Anda di halaman 1dari 60

BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak
biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Secara klinis
ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai
lateralisasi, pada pemeriksaan CT Scan didapatkan adanya daerah hiperdens yang
indikasi dilakukan operasi jika single, diameter lebih dari 3 cm, Perifer, Adanya
pergeseran garis tengah. Secara klinis hematom tersebut dapat menyebabkan
gangguan neurologis/lateralisasi. Operasi yang dilakukan biasanya adalah evakuasi
hematom disertai dekompresi dari tulang kepala. Faktor-faktor yang menentukan
prognosenya hampir sama dengan faktor-faktor yang menentukan prognose
perdarahan subdural. (Paula, 2009).
Intraserebral hematoma (ICH) adalah pendarahan dalam jaringan otak itu sendiri.
Hal ini dapat timbul pada cidera kepala tertutup yang berat atau cidera kepala
terbuka. Intraserebral hematom dapat timbul pada penderita stroke hemorgik akibat
melebarnya pembuluh nadi (Corwin, 2009).
Kasus intraserebral hematoma memerankan posisi penting dalam angka kematian
pada pasien stroke.WHO memperkirakan sekitar 15 juta pasien didunia menderita
stroke setiap tahunnya, sepertiga pasien kasus stroke meninggal dunia, sepertiga
pasien mengalami kelumpuhan dan sepertiga lainnya sembuh total. Insidensi
tertinggi terjadi pada populasi usia tua dan pada ras afrika serta asia (Magistris, 2013).
Sekitar setengah kasus kematian pada intraserebral hematom terjadi 24 jam
setelah perdarahan utama. Dikarenakan angka kematian dari hematoma
intraserebral tinggi, diagnosis dan penatalaksanaan harus dilaksanakan dengan cepat
dan tepat (Magistris, 2013).

b. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Memaparkan tentang asuhan keperawatan pada Tn. O dengan intracerebral
hematoma dan informasi tentang terapi pada pasien dengan intracerebral
hematoma yang sesuai dengan Evidence Based saat ini.

1
2. Tujuan khusus
1. Mengetahui gambaran umum pasien dengan intracerebral hematoma (ICH).
2. Mengetahui gambaran masalah keperawatan yang terjadi pada pasien
dengan intracerebral hematoma (ICH).
3. Mengetahui gambaran rencana asuhan keperawatan pada pasien dengan
intracerebral hematoma (ICH).
4. Mengetahui gambaran implementasi keperawatan dan evaluasi pada pasien
dengan intracerebral hematoma (ICH).
5. Mampu mengidentifikasi jurnal yang terkait dengan intracerebral hematoma
(ICH).
6. Mampu menelaah jurnal yang terkait dengan intracerebral hematoma (ICH)

c. Manfaat penulisan
Hasil penulisan karya ilmiah akhir ini kelak dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan dalam ruang lingkup keperawatan. Karya ilmiah akhir ini dapat
dipergunakan untuk mahasiswa, instansi pendidikan keperawatan, dan perkembangan
ilmu keperawatan.

1. Bagi mahasiswa
Karya ilmiah akhir ini dapat menambah wacana bagi mahasiswa kesehatan
khususnya mahasiswa keperawatan dalam mempelajari konsep maupun praktik
asuhan keperawatan gawat darurat dengan intracerebral hematoma (ICH).
Mahasiswa keperawatan diharapkan mampu mempraktikkan asuhan keperawatan
dengan tepat pada pasien dengan intracerebral hematoma (ICH) saat praktik di
lapangan dengan pemahaman yang baik terhadap asuhan keperawatan tersebut.

2. Bagi Instansi Pendidikan Keperawatan

Informasi dari karya ilmiah akhir ini diharapkan dapat berguna bagi instansi
pendidikan PSIK FK UNSRI sebagai laporan hasil asuhan keperawatan mahasiswa
profesi ners pada pasien dengan intracerebral hematoma (ICH). Instansi juga dapat
menggunakan karya ilmiah ini sebagai sumber referensi bagi peserta didik,
terutama yang sedang mengikuti mata kuliah keperawatan gawat darurat.

2
BAB II

LAPORAN PENDAHULUAN

INTRACEREBRAL HEMATOM

1. Definisi
Intracerebral hematom adalah pendarahan dalam jaringan otak itu sendiri. Hal ini
dapat timbul pada cidera kepala tertutup yang berat atau cedera kepala terbuka
intracerebral hematom yang dapat timbul pada penderita stroke hemoragik akibat
melebarnya pembuluh darah nadi (Corwin, 2009).
Intracerebral hematom adalah perdarahan ke dalam substansi otak. Hemoragik ini
biasanya terjadi dimana tekanan mendesak kepala sampai daerah kecil dapat terjadi
pada luka tembak dan cidera tumpul (Suharyanto, 2009).
Intracerebral hematom adalah salah satu perdarahan otak bagian dari stroke
hemoragi akibat pecahnya pembuluh darah (mikroaneurisma) terutama karena
hipertensi yang mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak, membentuk
massa yang menekan jaringan otak, dan menimbulkan edema otak. Peningkatan TIK
yang terjadi cepat, dapat mengakibatkan kematian mendadak karena herniasi otak.
Perdarahan intracerebral yang disebabkan oleh hipertensi sering dijumpai di daerah
putamen, thalamus, pons dan serebelum (Muttaqin, 2009).

2. Etiologi
Etiologi dari Intra Cerebral Hematom menurut Suyono (2011) adalah :
a. Kecelakaan yang menyebabkan trauma kepala
b. Fraktur depresi tulang tengkorak
c. Gerak akselerasi dan deselerasi tiba-tiba
d. Cedera penetrasi peluru
e. Jatuh
f. Kecelakaan kendaraan bermotor
g. Hipertensi
h. Malformasi Arteri Venosa
i. Aneurisma
j. Distrasia darah
k. Obat

3
l. Merokok

3. Manifestasi Klinis
Intracerebral hematom mulai dengan tiba-tiba. Dalam sekitar setengah orang, hal
itu diawali dengan sakit kepala berat, seringkali selama aktifitas. Meskipun begitu,
pada orang tua, sakit kepala kemungkinan ringan atau tidak ada. Dugaan
gejala terbentuknya disfungsi otak dan menjadi memburuk sebagaimana
peluasan pendarahaan. Beberapa gejala, seperti lemah, lumpuh, kehilangan
perasa, dan mati rasa, seringkali mempengaruhi hanya salah satu bagian tubuh.
orang kemungkinan tidak bisa berbicara atau menjadi pusing. Penglihatan
kemungkinan terganggu atau hilang. Mata bisa di ujung perintah yang berbeda atau
menjadi lumpuh. Pupil bisa menjadi tidak normal besar atau kecil. Mual, muntah,
serangan, dan kehilangan kesadaran adalah biasa dan bisa terjadi di dalam hitungan
detik sampai menit.
Menurut Corwin (2009) manifestasi klinik dari Intra cerebral Hematom yaitu
kesadaran mungkin akan segera hilang, atau bertahap seiring dengan
membesarnya hematom, pola pernapasaan dapat secara progresif menjadi abnormal,
respon pupil mungkin lenyap atau menjadi abnormal, dapat timbul muntah-muntah
akibat peningkatan tekanan intra cranium, perubahan perilaku kognitif dan perubahan
fisik pada berbicara dan gerakan motorik dapat timbul segera atau secara lambat, serta
nyeri kepala dapat muncul segera atau bertahap seiring dengan
peningkatan tekanan intra cranium.

4. Patofisiologi
Perdarahan intracerebral ini dapat disebabkan oleh karena ruptur arteria serebri
yang dapat dipermudah dengan adanya hipertensi. Keluarnya darah dari pembuluh
darah didalam otak berakibat pada jaringan disekitarnya atau didekatnya, sehingga
jaringan yang ada disekitarnya akan bergeser dan tertekan. Darah yang keluar dari
pembuluh darah sangat mengiritasi otak, sehingga mengakibatkan vosospasme pada
arteri disekitar perdarahan, spasme ini dapat menyebar keseluruh hemisfer otak dan
lingkaran willisi, perdarahan aneorisma-aneorisma ini merupakan lekukan-lekukan
berdinding tipis yang menonjol pada arteri pada tempat yang lemah. Makin lama
aneorisme makin besar dan kadang-kadang pecah saat melakukan aktivitas. Dalam
keadaan fisiologis pada orang dewasa jumlah darah yang mengalir ke otak 58
4
ml/menit per 100 gr jaringan otak. Bila aliran darah ke otak turun menjadi 18
ml/menit per 100 gr jaringan otak akan menjadi penghentian aktifitas listrik pada
neuron tetapi struktur sel masih baik, sehingga gejala ini masih revesibel. Oksigen
sangat dibutuhkan oleh otak sedangkan O2 diperoleh dari darah, otak sendiri hampir
tidak ada cadangan O2 dengan demikian otak sangat tergantung pada keadaan aliran
darah setiap saat. Bila suplay O2 terputus 8-10 detik akan terjadi gangguan fungsi
otak, bila lebih lama dari 6-8 menit akan tejadi jelas/lesi yang tidak putih lagi
(ireversibel) dan kemudian kematian. Perdarahan dapat meninggikan tekanan
intrakranial dan menyebabkan ischemi didaerah lain yang tidak perdarahan, sehingga
dapat berakibat mengurangnya aliran darah ke otak baik secara umum maupun lokal.
Timbulnya penyakit ini sangat cepat dan konstan dapat berlangsung beberapa menit,
jam bahkan beberapa hari. (Smeltzer, 2002).

5. Tanda dan Gejala


Menurut Batticaca (2008), gejala yang dapat muncul pada intracerebral
hemorragi (parenchymatous hemorrhage) adalah sebagai berikut:
a. Tidak jelas, kecuali nyeri kepala berat karena hipertensi
b. Serangan terjadi pada siang hari, saat beraktivitas, dan emosi atau marah
c. Mual atau muntah pada permulaan serangan
d. Hemiparesis atau hemiplegia terjadi sejak awal serangan
e. Kesadaran menurun dengan cepat dan menjadi koma (65% terjadi kurang dari
setengah jam sampai 2 jam; <2% terjadi setelah 2 jam-9 hari).

6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada pasien intracerebral hematom
menurut Muttaqin (2009) adalah sebagai berikut:
a. Angiografi serebral
Membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik seperti perdarahan
arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari sumber perdarahan seperti
aneurisma atau malformasi vaskuler.
b. CT Scan
Memperlihatkan secara spesifik letak oedema, posisi hematoma, adanya jaringan
otak yang infark atau iskemia serta posisinya secara pasti.

5
c. Pungsi lumbal
Tekanan yang meningkatkan dan disertai dengan bercak darah pada cairan lumbal
menunjukkan adanya hemoragia pada sub arachnoid atau perdarahan pada
intrakranial. Peningkatan jumlah protein menunjukkan adanya proses inflamasi.
d. MRI (Magnetic Imaging Resonance)
Dengan menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi serta
besar/luas terjadinya perdarahan otak.
e. USG Doppler
Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah sistem karotis).

7. Penatalaksanaan Medis
Pendarahan intracerebral lebih mungkin menjadi fatal dibandingkan stroke
ischemik. Pendarahan tersebut biasanya besar dan catastrophic, khususnya pada orang
yang mengalami tekanan darah tinggi yang kronis. Lebih dari setengah orang yang
mengalami pendarahan besar meninggal dalam beberapa hari. Mereka yang bertahan
hidup biasanya kembali sadar dan beberapa fungsi otak bersamaan dengan waktu.
Meskipun begitu, kebanyakan tidak sembuh seluruhnya fungsi otak yang hilang.
Pengobatan pada pendarahan intracerebral berbeda dari stroke ischemic.
Anticoagulant (seperti heparin dan warfarin), obat-obatan trombolitik, dan obat-
obatan antiplatelet (seperti aspirin) tidak diberikan karena membuat pendarahan
makin buruk. Jika orang yang menggunakan antikoagulan mengalami stroke yang
mengeluarkan darah, mereka bisa memerlukan pengobatan yang membantu
penggumpalan darah seperti :
a. Vitamin K, biasanya diberikan secara infuse.
b. Transfusi atau platelet. Transfusi darah yang telah mempunyai sel darah dan
pengangkatan platelet (plasma segar yang dibekukan).
c. Pemberian infus pada produk sintetis yang serupa pada protein di dalam darah
yang membantu darah untuk menggumpal (faktor penggumpalan).
d. Operasi untuk mengangkat penumpukan darah dan menghilangkan tekanan di
dalam tengkorak, bahkan jika hal itu bisa menyelamatkan hidup, jarang
dilakukan karena operasi itu sendiri bisa merusak otak. Juga, pengangkatan
penumpukan darah bisa memicu pendarahan lebih, lebih lanjut kerusakan otak
menimbulkan kecacatan yang parah. Meskipun begitu, operasi ini

6
kemungkinan efektif untuk pendarahan pada kelenjar pituitary atau pada
cerebellum. Pada beberapa kasus, kesembuhan yang baik adalah mungkin.
Menurut Smetlzer (2002) menyebutkan penatalaksanaan untuk Intra Cerebral
Hematom adalah sebagai berikut :
a. Observasi dan tirah baring terlalu lama.
b. Mungkin diperlukan ligasi pembuluh yang pecah dan evakuasi hematom
secara bedah.
c. Mungkin diperlukan ventilasi mekanis.
d. Untuk cedera terbuka diperlukan antibiotiok.
e. Metode-metode untuk menurunkan tekanan intra kranium termasuk pemberian
diuretik dan obat anti inflamasi.
f. Pemeriksaan Laboratorium seperti : CT-Scan, Thorax foto, dan laboratorium
lainnya yang menunjang.

8. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan intracerebral hematom adalah:
a. Bedrest total
b. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran
c. Pemberian obat-obatan
- Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti-edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya traughma
- Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), berat untuk mengurangi
vasodilatasi.
- Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%, atau
glukosa 40%, atau gliserol 10%.
- Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (panisillin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidasol.
d. Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat
diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrose 5%, aminofusin, aminopel (18
jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.
e. Pada trauma berat karena hari-hari pertama didapat klien mengalami
penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit
maka hari-hari pertama(2-3 hari) tidak perlu banyak cairan. Dextrosa 5% 8
7
jam pertama, ringer dextrose 8 jam kedua, dan dextrose 5% 8 jam ketiga.
Pada hari selanjutnya bila kesadran rendah maka makanan diberikan melalui
nasogastric tube (25000-3000 TKTP). Pemberian protein tergantung dari nilai
urenitrogennya.

9. Komplikasi

Intracerebral hematom dapat memberikan komplikasi berupa:

a. Oedem serebri, pembengkakan otak


b. Kompresi batang otak, meninggal
Sedangkan outcome intracerebral hematom dapat berupa :
a. Mortalitas 20%-30%
b. Sembuh tanpa defisit neurologis
c. Sembuh denga defisit neurologis
d. Hidup dalam kondisi status vegetatif.

8
10. WOC INTRACEREBRAL HEMATOM

Trauma kepala, fraktur depresi tulang tengkorak, gerak akselerasi dan deselerasi tiba-tiba,
cedera penetrasi peluru, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor, hipertensi, malformasi Arteri
Venosa, aneurisma, distrasia darah, obat dan merokok

Pecahnya pembuluh darah otak (perdarahan intrakranial)

Darah masuk kedalam jaringan otak

Penatalaksanaan: kraniotomi Darah membentuk massa (hematoma)

Luka insisi pembedahan Penekanan pada jaringan otak

Port’ d entri mikroorganisme Peningkatan tekanan intracranial

Gangguan aliran darah & oksigen ke otak Fungsi otak


MK : Resiko
tinggi Infeksi Kerusakan neuromotorik
MK : Gangguan perfusi
jaringan sesrebral
Penurunan kesadaran

Immobilisasi

Mual, muntah, papil edema, pandangan kabur MK: Resiko


kerusakan
integritas kulit
MK : Resiko kekurangan
volume cairan
MK : Pola
Penumpukan sekret
nafas tidak
efektif
MK : Bersihan jalan nafas
tidak efektif

9
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. O DENGAN INTRACEREBRAL


HEMATOM (ICH)

A. GAMBARAN KASUS KELOLAAN UTAMA


1. Gambaran kasus
Tn. O dengan usia 17 tahun 3 bulan 19 hari masuk rawat inap General
Intensif Care (GICU) lantai 1 Rumah Sakit Mohammad Hosein Palembang pada
tanggal 29 Juni 2016 dengan keluhan penurunan kesadaran. ±2 jam SMRS motor
yang ditumpangi Tn.O mengalami kecelakaan tunggal. Tn. O terjatuh dengan
kepala membentur benda keras. Tn O dibawa ke IGD RSMH dan dilakukan
berbagai pemeriksaan kemudian dilakukan intubasi. Selanjutnya klien dilakukan
operasi craniotomy di OK IGD. Setelah dioperasi klien dirawat di rawat inap
General Intensif Care (GICU) untuk mendapatkan support ventilasi mekanik.

2. Asuhan keperawatan
IDENTITAS KLIEN
Nama : Tn.O
Umur : 17 Tahun 3 bulan 19 hari
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Ds. Muaro Meo
Status Marital : Belum menikah
Agama : Islam
Suku : Sumatera
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Wiraswasta
Tanggal MRS : 29 Juni 2016
No Rekam Medis : 959xxx
Sumber Informasi : Data Pasien dan Keluarga Pasien
Keluarga terdekat yang dapat segera dihubungi : Bp S

10
1. STATUS KESEHATAN SAAT INI
Keluhan Utama : Tn O mengalami penurunan kesadaran, terpasang
ventilator, dengan FiO2 40 %,
Faktor Pencetus : Kecelakaan lalu lintas
Riwayat Penyakit Dahulu : Keluarga mengatakan Tn O tidak pernah mengalami
penyakit berat dan dirawat di Rumah Sakit, Tn.O hanya
mengalami flu dan batuk satu tahun sekali.
Riwayat Penyakit Sekarang : Tn O mengalami kecelakaan motor tunggal dengan
kepala membentur benda keras yang mengakibatkan
klien mengalami penurunan kesadaran.
Diagnosa Medis : Post Craniotomi a.i ICH Tempoparietal Dextra +
edema serebri + ulkus decubitus grade 2 + VAP

2. RIWAYAT BIOLOGIS
Pola Nutrisi :
Sebelum sakit : Klien makan 3 kali sehari, dan selalu menghabiskan tiap porsi
makannya. Porsi makan terdiri dari nasi, sayur tumis, tempe dan sambal.
Selama sakit : Klien mendapatkan nutrisi enteral cair tiap 3 jam sekali
melalui NGT, berupa diet cair (susu) 4 x 200 kkal, peptisol 3 x 200 kkal. Diet cair
sebanyak 200 kkal diberikan pada pukul 08.00, 12.00, 16.00, 19.00. pada pukul 22.00
dan 02.00 klien mendapat diet cair 200 kkal. Total pemberian diet cair sebanyak 1500
kkal.

Pola Eliminasi :
Sebelum masuk RS : Klien BAB 1 kali sehari dan cair, dan BAK 3 kali per hari
Selama sakit : Klien BAK menggunakan cateter, dengan warna urine kuning
kemerahan. Output urin 1565 cc/24 jam. Klien belum BAB selama dirawat di ruang
intensif.

Pola Istirahat dan tidur :


a. Sebelum sakit: klien biasa tidur di malam hari dari pukul 10.00 sampai pukul
06.00 pagi
b. Saat sakit : tidak dapat dikaji

11
Pola Aktivitas dan Bekerja
a. Sebelum sakit: klien dapat beraktifitas seperti biasanya dan mampu melakukan
aktivitas kesehariannya secara mandiri
b. Saat sakit: klien masih dalam pengaruh obat, belum dapat melakukan aktivitas
sehari-hari, termasuk perawatan diri. ADL dibantu oleh perawat (tingkat
ketergantungan : total care).

Kebutuhan Personal Hygiene

Pola Sebelum Sakit Selama Sakit


Aktivitas
0 1 2 3 4 0 1 2 3 4
Makan √ √
Minum √ √
Mandi √ √
Toileting √ √
Berpakaian √ √
Mobilisasi √ √

Keterangan :
0 = Mandiri
1 = Memerlukan Alat
2 = Memerlukan Bantuan
3 = Memerlukan alat dan bantuan
4 = Tergantung

12
3. RIWAYAT KELUARGA

Keterangan :
: laki-laki
: perempuan
: meninggal
: pasien kelolaan

4. ASPEK PSIKOSOSIAL
a. Pola pikir dan persepsi : tidak dapat dikaji
b. Persepsi Diri : tidak dapat dikaji
c. Suasana Hati : tidak dapat dikaji
d. Hubungan / Komunikasi : tidak dapat dikaji
e. Pertahanan Koping : tidak dapat dikaji
f. Sistem Nilai Kepercayaan : tidak dapat dikaji

5. PENGKAJIAN FISIK
Pengkajian Sekunder
a. Airways
Klien terpasang ETT di mulut, terdapat sekret yang banyak ketika dilakukan
suctioning. Sekret kental dan kering.
b. Breathing
Irama nafas klien tidak teratur, RR 24x/menit, menggunakan alat bantu nafas
ventilator PS, PEEP 5, Fi O2 50% dengan volume tidal 200, MV 3,2, terdapat
suara nafas tambahan, yaitu ronchi.
c. Circulation
TD 137/95 mmHg, MAP= 108 mmHg, HR = 88 x/menit CRT= 2 detik.
SPO2 :100 %
13
d. Kesadaran ( Disability)
GCS tidak dapat dikaji, karena klien dibawah pengaruh obat.

Pengkajian Sistem
a. Sistem Neurologi
Kesadaran : GCS tidak dapat dikaji, karena klien dibawah pengaruh obat.
Kejang : tidak terdapat kejang saat pengkajian.
Reflek Hamer : tidak dapat dikaji
Trauma Kepala : Terdapat trauma kepala.
b. Sistem Penglihatan
Bentuk : simeteris
Visus : tidak dikaji
Konjungtiva : agak anemis
Ukuran Pupil : anisokor, RC +/+
Akomodasi : baik
Tanda radang : tidak ada
Alat bantu : pasien tidak menggunakan alat bantu melihat
Riwayat Operasi : tidak ada
c. Sistem Pendengaran (THT)
ABD : tidak menggunakan ABD
Reaksi alergi : tidak ada
Kesulitan menelan : tidak dapat dikaji
Keluhan : tidak dapat dikaji.
d. Sistem Pernafasan
Pola Nafas : tidak teratur
Respirasi Rate : 16 x / menit
Suara paru : ronchii (+), wheezing (-)
Batuk : reflek batuk lemah
Sputum : ada saat suctioning, jumlah banyak di mulut, warna
putih, dan kental
Retraksi dinding dada : tidak ada

14
e. Sistem Kardiovaskuler
HR : 88 x / menit
TD : 137 / 95 mmHg
MAP : 108 mmHg
CRT : 2 detik
Suara Jantung : BJ I-II (+), gallop (-), murmur (-)
Edema : tidak terdapat edema
Nyeri : tidak dapat dikaji
Palpitasi : sinus rhytem
BAAL : tidak dapat dikaji
Perubahan Warna Kulit : mukosa bibir kering.
Kuku : terlihat pucat
Akral : teraba dingin
Clubbing finger : tidak ada
f. Sistem Pencernaan
Nutrisi :
Intake total 24 jam : 2211 ml
Output total 24 jam : 2191 ml
Nafsu Makan : tidak dapat dikaji
Jenis Diet : Diet Cair kalori sebanyak 4 x 200 kkal, diet peptisol 3
x 200 kkal.
Mual, muntah : (-)
BB : 50 kg
TB : 150 cm
Eliminasi :
BAB : belum
BAK :menggunakan pempers, dan kateter urin, urin
berwarna kuning kemerahan.
Kateter : memakai kateter
Urin Output : 2191 ml/24 jam
IWL : 663 ml/24 jam
g. Sistem Reproduksi :
Keluhan : tidak dapat dikaji

15
h. Sistem Muskuloskeletal :
Kekuatan Otot : ekstremitas dapat digerakkan, tidak terdapat kekauan
otot, kekuatan otot sulit dinilai.

Pergerakan ekstremitas : ROM Pasif, ekstremitas atas dan bawah pasien tidak
dapat bergerak sendiri (dengan keinginan pasien).
Terpasang CVC di vena subclavia dextra.
Nyeri : 5 (saat dilakukan suction, menggunakan skala BPS)
Edema : tidak terdapat edema pada ekstremitas.
i. Sistem Integumen :
Warna kulit : pucat.
Integritas : kulit tampak kering dan pucat, terdapat luka
dekubitus di bagian sacrum, terjadi dekubitus grade II,
luas luka ± 16 cm, sekeliling luka tampak kemerahan,
eksudat sedikit.
turgor kulit : elastis, CRT 2 detik

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Hasil Radiologi 28 Juni 2016
- Gambaran kontusio hemorrhages luas pada nukleus lentiformis kanan sampai
lobus temporal kanan dengan perifokal edema cerebri.
- Gambaran intra ventrikel hemorrhages pada ventrikel lateral kanan kiri kornus
posterior
- Gambaran sub arachnoid hemorrhages pada falk posterior-anterior, fissura silvii
kanan kiri.
- Sub galeal hematom pada temporoparietal kiri.
- Fraktur pada os temporal kiri.

16
b. Hasil Lab
19 Juli 2016
Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan
KIMIA KLINIK
FIO2 40 %
Temperature 36,1oC
Ph 7,411 7,35-7,45
pCO2 51,5 mmHg 35-45 mmHg
pO2 54,9 mmHg 83-108 mmHg
HCO3 33,0 mmol/L 21-28 mmol/L
Saturasi O2 71,0 %
Hct 32 % 39-49%
Hb 10,5 g/dL 13,2-17,3 g/Dl
Na+ 139,4
K+ 3,88 mmol/L
pHtc 7,424
pCO2tc 49,5
pO2tc 51,6 mmHg
Total CO2 34,6 mmol/L
Kelebihan Basa (BE) 8,2 mmol/L (-2)-(+3) mmol/L
Beb 7,9
SBC 31,1 mmol/L
O2Ct 10,6 mL/dL
O2Cap 14,6 mL/dL
Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 9,7 13,48-17,40 g/dl
Leukosit 14,5 4,5-13,5 103/mm3
Hematokrit 31 %
Trombosit 629 217-497 103/µL

17
7. TERAPI SAAT INI
Terapi Obat
a. Meropenem 3 x 1 gr
b. Levofloxacin 1 x 750 gr
c. Paracetamol 3 x 1 gr
d. Precedex 0,2-0,7 kg/bb
e. Bisolvon 3 x 4 mg
f. Metoclonpramid 3 x 10 mg
g. Ca gluconas 1 x 2 gr

B. PEMBAHASAN KASUS BERDASARKAN TEORI DAN HASIL PENELITIAN


1. ANALISA DATA
No Hari/tanggal Symptom Etiologi Problem
1 Selasa 19 DS:- Trauma kepala Ketidakefektifan
Juli 2016 DO : perfusi jaringan
- GCS DPO Pecahnya pembuluh serebral
(dalam darah otak (perdarahan
pengaruh obat) intracranial)
- TD 137/95
mmHg Darah masuk ke dalam
- HR 88 x/menit jaringan otak
- RR 16 x/menit
- Suhu 36,5oC Darah membentuk
- CRT <3 detik massa atau hematoma
- Kulit tampak
kering dan Penekanan pada jaringan
pucat otak
- Klien tampak
gelisah Peningkatan tekanan
- volume tidal intrakranial
200, MV 3,2.
- Kekuatan otot Gangguan aliran darah

18
tidak bisa dan oksigen ke otak
dikaji, karena
diberi sedative Ketidakefektifan perfusi
- Pupil anisokor, jaringan serebral
RC +/+
- Hasil AGD
FIO2 50 %
pH 7,411
pCO2 51,5 mmHg
pO2 54,9 mmHg
HCO3 33,0
mmol/L
Beecf 8,2 mmol/L
2 Selasa, 12 DS :- Trauma kepala Pola nafas tidak
Juli 2016 DO: efektif
- RR 16 x/menit Pecahnya pembuluh
- Irama nafas tidak darah otak (perdarahan
teratur intracranial)
- Ronchi (+)
- Retraksi dinding Darah masuk ke dalam
dada : tidak ada jaringan otak
- SPO2 100%
- FI O2 50% Darah membentuk
- reflek batuk massa atau hematoma
lemah
- terpasang endo Penekanan pada jaringan
tracheal tube otak
- Terpasang
ventilator mode Peningkatan tekanan
PS, PEEP 5, Fi intrakranial
O2 50% dengan
volume tidal 200, Penekanan saluran
MV 3,2 pernafasan

19
- Produksi sputum
ada saat Pola nafas tidak efektif
suctioning
- AGD
FIO2 50 %
pH 7,411
pCO2 51,5 mmHg
pO2 54,9 mmHg
HCO3 33,0
mmol/L
Beecf 8,2 mmol/L
3 Selasa, 19 DS:- ICH Ketidakefektifan
Juli 2016 DO: bersihan jalan
- Reflek batuk Metabolisme tubuh nafas
lemah meningkat
- RR 16x/menit
- Klien Kebutuhan O2
menggunakan meningkat
ventilator dengan
FiO2 40% Aktifitas medula
- Bunyi nafas oblongata meningkat
ronchii
- Sputum Pemasangan ETT dan
berwarna ventilator
kekuningan dan
hipersaliva Merangsang produksi
- Wheezing tidak sputum
ada
Mekanisme pengeluaran
sputum terganggu

Bersihan jalan nafas


tidak efektif

20
4 Selasa, 19 DS: ICH Gangguan
Juli 2016 DO: integritas kulit
- Klien bedrest Pecahnya pembuluh
total darah otak (perdarahan
- ADL dibantu intrakranial)
oleh perawat
(tingkat Darah masuk ke dalam
ketergantungan jaringan otak
: total care)
- Klien tidak Peningkatan tekanan
mampu intrakranial
beraktivitas
- GCS masih Gangguan aliran darah
dalam dan oksigen ke otak
pengaruh obat
- ROM pasif Fungsi otak menurun
- Warna kulit
pucat Kerusakan neuromotorik
- Kulit tampak
kering Kelemahan otot
- Terdapat luka progresif
dekubitus di
sacrum grade ADL dibantu
II, luas luka
±16 cm, Gangguan pemenuhan
sekeliling luka kebutuhan ADL
tampak
kemerahan Klien bedrest
- Eksudat sedikit
Penekanan lama pada
daerah punggung dan
bokong

Suplai nutrisi dan O2 ke


21
daerah tertekan

Dekubitus

Gangguan integritas
kulit

2. PRIORITAS MASALAH
 Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
 Ketidakefektifan pola nafas
 Perubahan perfusi jaringan serebral
 Kerusakan integritas kulit

3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
- Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan adanya edema atau
hematoma dan perdarahan otak
- Pola nafas tidak efektif yang berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler
(cidera pada pusat pernapasan)
- Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan menurunnya
kemampuan batuk efektif, akumulasi sekret
- Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik

22
3 RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasionalisasi


1 Ketidakefektifan bersihan Setelah diberikan - Kaji fungsi pernafasan (bunyi, nafas, - Penurunan bunyi nafas
jalan nafas berhubungan asuhan keperawatan kecepatan, pergerakan) menunjukkan atelektasis, ronchii
dengan menurunnya selama 3x 24 jam mneunjukkan penumpukan sekret,
kemampuan batuk efektif, diharapkan kebersihan dan ketidakefektifan pengeluaran
akumulasi sekret jalan nafas kembali sekret yang dapat menimbulkan
efektif, dengan kriteria penggunaan otot bantu nafas
hasil; - Kaji kemampuan klien mengeluarkan - Pengeluaran akan sulit bila sekret
- Reflek batuk klien sekret kental (efek infeksi dan hidrasi
meningkat yang tidak adekuat)
- Penggunaan ventilator - Berikan posisi semifowler/fowler - Posisi semifowler dapat
bisa berganti ke mode memaksimalkan ekspansi paru
CPAP dan menurunkan upaya bernafas
- Kemampuan bernafas - Bantu klien nafas dalam dan batuk - Nafas dalam dan batuk efektif
mandiri klien bisa efektif dapat membantu mengeluarkan
meningkat sekret
- Bunyi nafas normal - Pertahankan intake cairan sedikitnya - Intake cairan dapat membantu
(vesikuler) 2500 ml/hari mengencerkan sekret, sehingga
- Tidak adanya tarikan mudah dikeluarkan

23
dinding dada - Kolaborasi pemberian terapi mukotik, - Agen mukotik dapat
bronkodilator dan kortikosteroid mengencerkan sekret par,
bronkodilator dapat meningkatkan
diameter lumern percabangan
trakeobronkhial, sehingga dapat
menurunkan tekanan terhadap
aliran udara. Kortikosteroid dapat
mengatasi hipoksemia
- Suction dilakukan jika klien tidak
- Kolaborasi dalam penghisapan sekret
mampu mengeluarkan sekret
(suction)
sendiri, dapat mencegah obstruksi
dan aspirasi
2 Pola nafas tidak efektif Setelah diberikan - Kaji keluhan TTV - Mengetahui keadaan umum dan
yang berhubungan dengan asuhan keperawatan standar untuk menentukan intervensi
kerusakan neurovaskuler selama 3 x 24 jam selanjutnya.
(cidera pada pusat pasien tidak mengalami - Auskultasi bunyi nafas, frekuensi, irama - Perubahan dapat menandakan
pernapasan) gangguan pola napas dan kedalaman pernafasan luasnya keterlibatan otak
dengan kriteria hasil : - Berikan klien posisi yang nyaman; - Memberikan kemudahan klien
posisi semi fowler dalam bernafas dan memberikan
 Menunjukkan jalan rasa nyaman
nafas yang paten - Lakukan pengisapan slym dengan hati- - Pengisapan slym pada trakeostomi
(klien tidak merasa

24
tercekik, RR dalam hati lebih dalam dapat menyebabkan
batas normal, tidak hypoxia
ada suara nafas - Lakukan chest fisioterapi - Agar klien lebih rileks dan nyaman
abnormal) - Kolaborasi dengan dokter dalam - Bronkodilator sebagai pengencer
 TTV dalam rentang pemberian therapi bronkodilator dan dahak dan oksigen memberi
normal oksigen menggunakan nebulisasi. kemudahan klien dalam bernafas.
3 Perubahan perfusi jaringan Setelah dilakukan - Kaji keluhan, observasi TTV setiap jam - Untuk mengetahui keadaan umum
cerebral berhubungan tindakan keperawatan dan kesadaran klien klien sebagai standar dalam
dengan adanya edema atau 3x24 jam, diharapkan menentukan intervensi yang tepat.
hematoma dan perdarahan perfusi jaringan - Kaji karakteristik nyeri (intensitas, - Penurunan tanda dan gejala
otak cerebral optimal secara lokasi, frekuensi dan faktor yang neurologis atau kegagalan dalam
bertahap, dengan mempengaruhi) pemulihannya merupakan awal
kriteria hasil; pemulihan dalam memantau TIK
- Terjadi peningkatan - Kaji capillary refill, GCS, warna dalam - Untuk mengetahui tingkat
kesadaran kelembapan kulit kesadaran dan potensial
- TTV dalam batas peningkatan TIK
normal (TD : 100- - Berikan klien posisi semifowler, kepala - Memberi rasa nyaman bagi klien
130/60-90 mmHg; ditinggikan 30 derajat
RR 12-20x/menit; HR - Anjurkan orang terdekat (keluarga) - Ungkapan keluarga yang
60-100x/menit; suhuu untuk bicara dengan klien walaupun menyenangkan memberikan efek
36,5oC-37,5oC) hanya lewat sentuhan. menurunkan TIK dan efek relaksasi

25
- Klien tampak tenang bagi klien
- Kolaborasi dengan dokter dalam - Sebagai therapi terhadap kehilangan
pemberian terapi obat-obatan. kesadaran akibat kerusakan otak,
kecelakaan lalu lintas dan operasi
otak.
4 Kerusakan integritas kulit Setelah dilakukan - Klasifikasi tahap pengembangan luka - Mengidentifikasi perkembangan
berhubungan dengan tindakan keperawatan luka dan membantu menentukan
imobiliasasi fisik 3x24 jam, diharapkan intevensi selanjutnya
perbaikan pada - Kaji status luka (warna, bau, jumlah - Status luka menentukan intervensi
integritas kulit menjadi drainase dari luka dan sekeliling luka) selanjutnya dan perkembangan
baik dengan kriteria luka
hasil: - Lakukan perawatan luka dengan - Membersihkan jaringan luka
Integritas kulit yang mencuci dasar luka dengan cairan untuk menjaga agar tidak terjadi
baik dapat salin steril dan tutup luka dengan adanya infeksi dan
dipertahankan balutan steril mempertahankan sekitar luka
tetap lembab
- Pantau tanda-tanda klinis dari adanya - Tanda-tanda infeksi diperlukan
infeksi luka untuk intervensi segera

26
4 CATATAN PERKEMBANGAN
Nama Pasien : Tn. O
Diagnosa : ICH
Hari, Tanggal :Selasa , 19 Juli 2016
Diagnosa Tindakan EVALUASI (SOAP)
Ketidakefektifan - Mengkaji fungsi pernafasan (jam 15.00) Jam 20.00
bersihan jalan nafas RR 22x/menit S:
berhubungan dengan Bunyi nafas=ronchii O:
menurunnya - mengkaji kemampuan klien mengeluarkan - RR= 20 x/menit
kemampuan batuk sekret (jam 15.15) - Reflek batuk lemah
efektif, akumulasi reflek batuk lemah - Bunyi nafas: ronchii
sekret - memberikan posisi semifowler (jam 14.30) - Terdapat banyak sekret saat dilakukan suction
- mengkolaborasikan pemberian terapi - Nafas klien terlihat lega setelah dilakukan nebulizer dan
mukotik, nebulizer (ventholin), jam 15.10 suction.
- mengkolaborasikan dalam penghisapan - Klien masih menggunakan ventilator, dengan mode CPAP,
sekret (suction) (jam 18.00) FiO2 50 %
A:masalah belum teratasi
P:intervensi dipertahankan
- Kaji fungsi pernafasan (bunyi nafas, kecepatan, pergerakan)
- Kaji kemampuan klien mengeluarkan sekret
- Berikan posisi semifowler/fowler

27
- Kolaborasi pemberian terapi mukotik nebulizer

Pola nafas tidak efektif - Mengkaji keluhan TTV (15.00) Jam 20.30
yang berhubungan HR 100x/menit S:-
dengan kerusakan Suhu 36,3oC O:
neurovaskuler (cidera NIBP 138/90 mmHg - TTV:
pada pusat pernapasan) SPO2 100% HR: 109x/menit
- Mengauskultasi bunyi nafas, frekuensi, RR: 20x/mt
irama dan kedalaman pernafasan (15.15) TD:128/102 mmHg
Irama tidak teratur Temp: 36.8oC
RR 22x/menit - Terdapat banyak secret saat dilakukan suction. Berwarna
Klien terpasang tracheostomi kuning kental tidak berbau.
Retraksi dinding dada tidak ada - Klien masih menggunakan ventilator dengan mode
Ronchi (+) CPAP, FiO2 50 %; TV 170; MV 2,2; IPL 0; PEEP 5
Klien menggunakan ventilator dengan - Hasil AGD
mode PS, F1 O2 50%, TV 260; MV 2,8;  FIO2 40 %
IPL 5; PEEP 5, Peak preessure 11.  pH 7,411
- Memberikan klien posisi yang nyaman;  pCO2 51,5 mmHg
posisi semi fowler (14.30)  pO2 54,9 mmHg
- Melakukan pengisapan slym dengan hati-  HCO3 33,0 mmol/L
hati (15.30)  sPO2 71,0 %

28
Sekret berwarna kekuningan dan kental,  Beecf 8,2 mmol/L
terdapat hipersaliva - Kulit tampak pucat
- Melakukan chest fisioterapi pada klien - Akral hangat
terutama pada area punggung (18.00) - Irama nafas tidak teratur
A: Ketidakefektifan pola nafas
P: Intervensi dilanjutkan
- Observasi TTV
- Lakukan suction
- Monitor status respirasi
- Observasi tanda hipoventilasi
- Monitor ventilator
Perubahan perfusi - Mengobservasi TTV setiap jam dan Jam 21.00
jaringan cerebral kesadaran klien (15.00) S:
berhubungan dengan RR 22x/menit DO :
adanya edema atau HR 100x/menit - RR 20 x/menit
hematoma dan Suhu 36,3oC - HR 88 x/menit
perdarahan otak NIBP 138/90 mmHg - Suhu 36,7oC
- Mengkaji capillary refill, GCS, warna - TD 119/80 mmHg
dalam kelembapan kulit (15.15) - Kulit kering
CRT <3 detik, kulit kering, mulut - CRT <3 detik
berwarna merah muda tetapi kering, GCS - GCS dalam pengaruh obat

29
dalam pengaruh obat - Klien masih menggunakan ventilator dengan mode CPAP,
- Memberikan klien posisi semifowler, FiO2 50 %; TV 270; MV 2,7; IPL 0; PEEP 5
kepala ditinggikan 30 derajat (14.30) A:masalah belum teratasi
- Menganjurkan orang terdekat (keluarga) P:intervensi dipertahankan
untuk bicara dengan klien walaupun hanya - Observasi TTV
lewat sentuhan (17.00) - Observasi kesadaran, capillary refill, warna dan kelembaban
kulit
Kerusakan integritas - Mengklasifikasi tahap pengembangan Jam 19.00
kulit berhubungan luka (14.15) S:
dengan imobilisasi fisik Dekubitus grade II, luas luka ±16 cm O:
- Mengkaji status luka (warna, bau, - Klien bedrest total
jumlah drainase dari luka dan sekeliling - Tingkat ketergantungan total care
luka) 14.15 - GCS masih dalam pengaruh obat
Sekeliling luka tampak kemerahan, tidak - Kulit tampak kering dan pucat
berbau, eksudat sedikit, batas tepi luka - Terdapat luka dekubitus di bagian sacrum grade II
utuh, dasar luka granulasi. - Eksudat sedikit
- Melakukan perawatan luka dengan A : masalah belum teratasi
mencuci dasar luka dengan cairan salin P:
steril dan tutup luka dengan balutan - Klasifikasi tahap pengembangan luka
steril (14.20) - Kaji status luka
Klien sudah dilakukan perawatan luka - Lakukan perawatan luka

30
- Memantau tanda-tanda klinis dari - Pantau tanda-tanda infeksi
adanya infeksi luka (14.15)
Tidak ada tanda-tanda infeksi

Nama Pasien : Tn. O


Diagnosa :ICH
Hari, Tanggal : Rabu , 20 Juli 2016
Diagnosa Tindakan EVALUASI (SOAP)
Ketidakefektifan - Mengkaji fungsi pernafasan (jam 10.00) Jam 12.00
bersihan jalan nafas RR= 20 x/menit, irama nafas tidak teratur. S:
berhubungan dengan Bunyi nafas=ronchii DO :
menurunnya kemampuan - Mengkaji kemampuan klien mengeluarkan - RR= 23 x/menit
batuk efektif, akumulasi sekret (jam 09.20), klien terbatuk sesekali, - Reflek batuk lemah
sekret tetapi tidak dapat mengeluarkan sputum - Bunyi nafas: ronchii
- Monitor posisi semifowler klien (jam 08.00) - Terdapat banyak sekret saat dilakukan suction, sekret
- Mengkolaborasikan pemberian terapi mukotik, Berwarna kuning kental dan masih bercampur darah
nebulizer (ventholin), jam 10.00 tidak berbau.
- Mengkolaborasikan dalam penghisapan sekret - Nafas klien terlihat lega setelah dilakukan nebulizer dan
(suction) (jam 09.00) suction.

31
- Klien masih menggunakan ventilator, dengan mode
CPAP, FiO2 50 %
A:masalah belum teratasi
P:intervensi dipertahankan
- Kaji fungsi pernafasan (bunyi nafas, kecepatan,
pergerakan)
- Kaji kemampuan klien mengeluarkan sekret
- Berikan posisi semifowler/fowler
- Kolaborasi pemberian terapi mukotik nebulizer
- Kolaborasi dalam penghisapan sekret (suction)

Pola nafas tidak efektif - Mengkaji keluhan TTV (10.00) Jam 14.00
yang berhubungan HR 118x/menit S:-
dengan kerusakan Suhu 36,7oC O:
neurovaskuler (cidera NIBP 136/89 mmHg - Ventilator terpasang baik, Fi O2 40 %, mode CPAP
pada pusat pernapasan) SPO2 100% (jam 14.00)
- Mengauskultasi bunyi nafas, frekuensi, irama - TTV:
dan kedalaman pernafasan (10.15) RR 20 x/menit
Irama tidak teratur HR 131 x/menit
RR 20x/menit Suhu 36,0oC
Klien terpasang tracheostomi TD 125/92 mmHg

32
Retraksi dinding dada tidak ada - Terdapat banyak secret saat dilakukan suction.
Ronchi (+) Berwarna kuning kental dan masih bercampur
Klien menggunakan ventilator dengan mode darah tidak berbau.
CPAP, F1 O2 40%, TV 230; MV 6,6; IPL 0; - SPO2 100%
PEEP 5. - Hasil AGD
- Memberikan klien posisi yang nyaman; posisi  pH 7,382
semi fowler (08.00)  pCO2 57,7 mmHg
- Melakukan pengisapan slym dengan hati-hati  pO2 102,1 mmHg
(09.00)  SO2 97,4
Sekret banyak dan kental bercampur darah  HCO3 34,6 mmol/L
sedikit.  Beecf 9,3 mmol/L
Melakukan chest fisioterapi pada klien terutama - Klien masih menggunakan ventilator dengan mode
pada area punggung (11.00) CPAP, FiO2 40 %; TV 240; MV 5,4; IPL 0; PEEP 5
- Kulit tampak pucat
- Akral dingin
- Irama nafas tidak teratur
A: Ketidakefektifan pola nafas
P: Intervensi dilanjutkan
- Observasi TTV
- Lakukan suction
- Monitor status respirasi

33
- Observasi tanda hipoventilasi
- Monitor ventilator
Perubahan perfusi - Mengobservasi TTV setiap jam dan kesadaran Jam 13.00
jaringan cerebral klien (10.00) DS:
berhubungan dengan RR 20x/menit DO :
adanya edema atau HR 118x/menit - RR 20 x/menit
hematoma dan Suhu 36,7oC - HR 131 x/menit
perdarahan otak NIBP 136/89 mmHg - Suhu 36,0oC
Hasil lab : - TD 125/92 mmHg
Hb 9,8 g/dL - Kulit kering
Eritrosit 3,43 106/mm3 - CRT <3 detik
3 3
Leukosit 14,3 10 /mm - GCS dalam pengaruh obat
Hematokrit 31 % - Sinus tachicardi
Trombosit 573 103/µL - SPO2 100%
- Mengkaji capillary refill, GCS, warna dalam - Klien masih menggunakan ventilator dengan mode
kelembapan kulit (09.00) CPAP, FiO2 40 %; TV 240; MV 5,4; IPL 0; PEEP 5
CRT <3 detik, kulit kering, mulut berwarna A:masalah belum teratasi
merah muda tetapi kering, GCS dalam P:intervensi dilanjutkan
pengaruh obat - Observasi TTV
- Memberikan klien posisi semifowler, kepala - Observasi kesadaran, capillary refill, warna dan
ditinggikan 30 derajat (08.15) kelembaban kulit

34
- Menganjurkan orang terdekat (keluarga) untuk
bicara dengan klien walaupun hanya lewat
sentuhan (10.00)

Kerusakan integritas kulit - Mengklasifikasi tahap pengembangan luka Jam 12.00


berhubungan dengan (10.00) S:
imobilisasi fisik Dekubitus grade II, luas luka ±16 cm (tidak O:
ada pengembangan luka) - Klien bedrest total
- Mengkaji status luka (warna, bau, jumlah - Tingkat ketergantungan total care
drainase dari luka dan sekeliling luka) 10.15 - ADL dibantu perawat
Sekeliling luka masih tampak kemerahan, - GCS masih dalam pengaruh obat
tidak berbau, eksudat sedikit, batas tepi luka - Kulit tampak kering dan pucat
utuh. - Terdapat luka dekubitus di bagian sacrum grade II
- Melakukan perawatan luka dengan mencuci - Sekeliling luka tampak kemerahan
dasar luka dengan cairan salin steril dan - Terdapat balutan luka
tutup luka dengan balutan steril (10.20) - Eksudat sedikit
Klien sudah dilakukan perawatan luka oleh A : masalah belum teratasi
perawat shift malam P:
- Memantau tanda-tanda klinis dari adanya - Klasifikasi tahap pengembangan luka
infeksi luka (10.10) - Kaji status luka
Tidak ada tanda-tanda infeksi - Lakukan perawatan luka
- Pantau tanda-tanda infeksi

35
Nama Pasien : Tn. O
Diagnosa :ICH
Hari, Tanggal : Kamis , 21 Juli 2016
Diagnosa Tindakan EVALUASI (SOAP)
Ketidakefektifan - Mengkaji fungsi pernafasan (jam 08.30) Jam 13.30
bersihan jalan nafas RR= 18 x/menit, irama nafas tidak teratur. S:
berhubungan dengan Bunyi nafas=ronchii DO :
menurunnya kemampuan - Mengkaji kemampuan klien mengeluarkan - RR 26 x/menit
batuk efektif, akumulasi sekret (jam 09.00), - Reflek batuk lemah
sekret reflek batuk lemah, tidak dapat mengeluarkan - Bunyi nafas: ronchii
sputum - Terdapat banyak sekret saat dilakukan suction, sekret
- Monitor posisi semifowler klien (jam 08.00) Berwarna kuning kental dan masih bercampur darah
- Mengkolaborasikan pemberian terapi mukotik, tidak berbau.
nebulizer (ventholin), jam 10.00 - Nafas klien terlihat lega setelah dilakukan nebulizer dan
- Mengkolaborasikan dalam penghisapan sekret suction.
(suction) (jam 09.00) - Klien masih menggunakan ventilator, dengan mode
Sekret banyak dan kental masih bercampur CPAP, FiO2 40 %; TV 260-290; MV 4,4; IPL 8 ; PEEP
darah sedikit. 5
A:masalah belum teratasi
P: intervensi dipertahankan

36
- Kaji fungsi pernafasan (bunyi nafas, kecepatan,
pergerakan)
- Kaji kemampuan klien mengeluarkan sekret
- Berikan posisi semifowler/fowler
- Kolaborasi pemberian terapi mukotik nebulizer
- Kolaborasi dalam penghisapan sekret (suction)

Pola nafas tidak efektif - Mengkaji keluhan TTV (09.00) Jam 13.00
yang berhubungan HR 91x/menit S:-
dengan kerusakan Suhu 36,4oC O:
neurovaskuler (cidera NIBP 151/66 mmHg - Ventilator terpasang baik, Fi O2 40 %, mode CPAP
pada pusat pernapasan) SPO2 100% (jam 13.00)
- Mengauskultasi bunyi nafas, frekuensi, irama - TTV:
dan kedalaman pernafasan (08.30) RR 24 x/menit
Irama tidak teratur HR 15 x/menit
RR 18x/menit Suhu 36,8oC
Klien terpasang tracheostomi TD 154/92 mmHg
Retraksi dinding dada tidak ada - Terdapat banyak secret saat dilakukan suction.
Ronchi (+) Berwarna kuning kental dan masih bercampur
Klien menggunakan ventilator dengan mode darah tidak berbau.
PS, F1 O2 50%, TV 100; MV 0,9; IPL 8; PEEP - Klien masih menggunakan ventilator dengan mode

37
5; Peak pressure 13; tracheal tube no.7 CPAP, FiO2 40 %; TV 260-290; MV 4,4; IPL 8 ;
- Memberikan klien posisi yang nyaman; posisi PEEP 5
semi fowler (08.00) - SPO2 100%
- Melakukan pengisapan slym dengan hati-hati - Hasil AGD
(09.00)  pH 7,38
Sekret banyak dan kental masih bercampur  PCO2 57,2 mmHg
darah sedikit.  PO2 52,1 mmHg
Melakukan chest fisioterapi pada klien  HCO3 35,6 mmol/L
terutama pada area punggung (11.30) - Kulit tampak pucat
- Akral hangat
- Irama nafas tidak teratur
A: Ketidakefektifan pola nafas
P: Intervensi dilanjutkan
- Observasi TTV
- Lakukan suction
- Monitor status respirasi
- Observasi tanda hipoventilasi
- Monitor ventilator
Perubahan perfusi - Mengobservasi TTV setiap jam dan kesadaran Jam 14.00
jaringan cerebral klien (09.00) DS:
berhubungan dengan RR 18x/menit DO :

38
adanya edema atau HR 91x/menit - RR 14 x/menit
hematoma dan Suhu 36,4oC - HR 130 x/menit
perdarahan otak NIBP 151/66 mmHg - Suhu 36,8oC
- Mengkaji capillary refill, GCS, warna dalam - TD 154/103 mmHg
kelembapan kulit (11.00) - Kulit kering
CRT <3 detik, kulit kering, mulut berwarna - CRT <3 detik
merah muda tetapi kering, GCS - GCS E4M5VTerintubasi
E4M5VTerintubasi - Sinus tachicardi
- Memberikan klien posisi semifowler, kepala - SPO2 100%
ditinggikan 30 derajat (08.15) - Klien masih menggunakan ventilator dengan mode PS,
- Menganjurkan orang terdekat (keluarga) untuk FiO2 50 %; TV 290; MV 7,2; IPL 8; PEEP 5, Peak
bicara dengan klien walaupun hanya lewat pressure 13; Tracheal tube no.7.
sentuhan (10.00) A:masalah belum teratasi
P:intervensi dilanjutkan
- Observasi TTV
Observasi kesadaran, capillary refill, warna dan
kelembaban kulit

Kerusakan integritas kulit - Mengklasifikasi tahap pengembangan luka Jam 11.00


berhubungan dengan (08.20) S:
imobilisasi fisik Dekubitus grade II, luas luka ±16 cm, O:

39
panjang 4 cm, lebar 4cm, kedalaman 2 cm - Klien bedrest total
(tidak ada pengembangan luka) - Tingkat ketergantungan total care
- Mengkaji status luka (warna, bau, jumlah - ADL dibantu perawat
drainase dari luka dan sekeliling luka) 08.20 - GCS E4M5Vterintubasi
Sekeliling luka masih tampak kemerahan, - CRT <3detik
tidak berbau, eksudat sedikit, batas tepi luka - Kulit tampak kering dan pucat
utuh. - Terdapat luka dekubitus di bagian sacrum grade II
- Melakukan perawatan luka dengan mencuci - Sekeliling luka tampak kemerahan
dasar luka dengan cairan salin steril dan - Terdapat balutan luka
tutup luka dengan balutan steril (08.20) - Eksudat sedikit
Klien sudah dilakukan perawatan luka oleh - Tidak ada tanda-tanda infeksi
perawat shift malam A : masalah belum teratasi
- Memantau tanda-tanda klinis dari adanya P:
infeksi luka (08.15) - Klasifikasi tahap pengembangan luka
Tidak ada tanda-tanda infeksi - Kaji status luka
- Lakukan perawatan luka
- Pantau tanda-tanda infeksi

40
C. IMPLIKASI KEPERAWATAN
Berdasarkan evidence base terbukti bahwa beberapa intervensi yang efektif dalam
membantu mengatasi masalah bersihan jalan nafas tidak efektif. Adapun penjabaran
pada masing-masing intervensi tersebut :
1. Penghisapan slym (suction)
Intensive Care Unit adalah ruang rawat inap dengan staf dan peralatan
khusus untuk mengobati pasien dengan penyakit, trauma, atau komplikasi yang
dapat mengancam jiwa. Ventilasi mekanis adalah bagian penting dalam unit
perawatan intensif. Pasien dengan penggunaan ventilasi mekanik invasif sebelum
nya akan dilakukan intubasi. Intubasi adalah teknik melakukan laringoskopi dan
memasukkan tabung endotrakeal (ETT) melalui mulut atau hidung yang dapat
meningkatkan sekret lendir pada pasien. Hal ini yang sering menimbulkan
masalah bersihan jalan napas tidak efektif. Oleh karena itu, tindakan suction atau
penghisapan slym diperlukan untuk mencegah aspirasi sekret dalam paru-paru
(Smeltzer, 2002).
Hal ini ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan Badriyah, 2016 yang
menunjukkan perbedaan sebelum dan sesudah dilakukan close suction. Sebelum
dilakukan close suction terdapat ronchi bunyi nafas di kedua bidang paru-paru,
RR 27 x / menit, dan SpO2 90%. Setelah dilakukan tindakan close suction pada
hari pertama didapatkan peningkatan pada hasil SpO2 95%, RR 22 x / menit,
tetapi masih terdapat suara Ronchi di kedua bidang paru-paru, pada hari ke-2
dengan hasil SpO2 97%, RR 20 x/menit, tidak terdapat suara ronchi di kedua
bidang paru-paru, dan pada hari ke-3 didapatkan hasil SPO2 100%, RR 18 x /
menit dan suara nafas vesikuler. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan
bahwa dengan melakukan close suction dapat efektif dalam mengatasi masalah
ketidakefektifan bersihan jalan napas.

2. Posisi head of bed (HOB)


Perawatan bagi pasien imobilisasi sekarang ini yaitu perubahan posisi pasien
dilakukan tiap 2 jam.Pasien yang dirawat di ruang ICU dengan gangguan status
mental misalnya oleh karena stroke, injuri kepala atau penurunan kesadaran tidak
mampu untuk merasakan atau mengkomunikasikan nyeri yang dirasakan atau
pasien merasakan adanya tekanan namun mereka tidak bisa mengatakan kepada
orang lain untuk membantu mereka mengubah posisi. Bahkan ada yang tidak
41
mampu merasakan adanya nyeri atau tekanan akibat menurunnya persepsi sensori
(Batticaca, 2008)
Oleh karena itu American Association of Critical Care Nurses (AACN)
memperkenalkan intervensi mobilisasi progresif yang terdiri dari 5 level: Head of
Bed (HBO), latihan Range of Motion (ROM) pasif dan aktif, terapi lanjutan rotasi
lateral, posisi tengkurap, pergerakan melawan gravitasi, posisi duduk, posisi kaki
menggantung, berdiri dan berjalan. Continus Lateral Rotation Therapy (CLRT)
dan Head Of Bed (HOB), yaitu memposisikan pasien setengah duduk 30° dan
miring kanan dan kiri 30°.
Terdapat pengaruh yang signifikan/ bermakna sebelum dan sesudah
pemberian mobilisasi progresif level I yaitu dengan yaitu berupa pengaturan posisi
head of bed 30° dan pemberian posis miring kanan dan kiri di ruang ICU RSUD
Ulin Banjarmasin 2015. Oleh karena itu diberikan perlakuan mobilisasi progresif
level 1 dan membuktikan bahwa tindakan mobilisasi progresif level 1 terbukti
efektif dan dapat memberikan perubahan pada parameter tekanan darah dan
respiratory rate dibandingkan pada awal pengukuran. Hal tersebut dapat
membuktikan bahwa penatalaksaan tindakan mobilisasi progresif level 1 dapat
membuat nilai monitoring hemodinamik pada pasien cerebrall injury lebih baik
(Olviani, 2015).

3. Fisioterapi dada
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas merupakan keadaan dimana individu
tidak mampu mengeluarkan sekret dari saluran nafas untuk mempertahankan
kepatenan jalan nafas (Ginting, 2010). Salah satu cara mengatasi ketidakefektifan
bersihan jalan nafas dapat melalui tindakan kolaboratif perawat dengan tim
kesehatan lain maupun tindakan mandiri perawat diantaranya adalah fisioterapi
dada yaitu Clapping. Clapping merupakan penepukkan ringan pada dinding dada
dengan tangan dimana tangan membentuk seperti mangkuk (Kusyati, 2006).
Dimana tujuan dari terapi clapping ini adalah jalan nafas bersih, secara mekanik
dapat melepaskan sekret yang melekat pada dinding bronkus dan
mempertahankan fungsi otot-otot pernafasan (Potter dan Perry, 2006).
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Maidartati (2014) yang
menunjukkan terdapat perbedaan bermakna rerata frekwensi bersihan jalan nafas
sebelum dan sesudah fisioterapi yaitu nilai P-value 0000. sedangkan untuk uji
42
beda bersihan nafas sebelum dan sesudah fisioterapi didapatkan hasil P-value
0.225. fisioterapi dada dapat diusulkan sebagai tindakan rutin di Puskesmas dalam
terapi supportif bagi anak yang mengalami gangguan bersihan jalan nafas.

43
BAB IV

TELUSURAN EVIDENCE BASE NURSING

A. Analisa Metode

JURNAL POPULATION INTERVENTION COMPARATOR


Fatin Lailatul 20 pasien yang Close suction : Metode penelitian adalah studi kasus pada pasien dengan
Badriyah menggunakan ventilator Close suction dilakukan selama 3 awal edema paru eklampsia yang menggunakan
(2016) mekanik, 8 pasien dengan hari menggunakan canula suction ventilator. Instrumen yang digunakan adalah lembar
ventilator yang ukuran 12 Fr. observasi yang dilakukan selama 3 hari.
menggunakan close suction
dan 12 pasien dengan
ventilator yang
menggunakan open suction.
Superdana G, 20 pasien dengan ventilasi Pengukuran penelitian Responden penelitian ini berjumlah 20 pasien. Desain
Retno Sumara mekanik di ruang ICU menggunakan alat oxymetri nadi penelitian ini adalah preeksperimental design, one group
(2015) rumah sakit Husada Utama. (pulse oxymetri) untuk mengetahui pre testpost test design. Populasi dalam penelitian ini
hasil saturasi oksigen lembar adalah keseluruhan pasien yang menggunakan alat bantu
observasi untuk mengetahui hasil ventilator di ICU Rs. Husada Utama Surabaya. Jumlah
saturasi oksigen. Pasien yang populasi pasien yang menggunakan ventilator di ICU Rs.
menggunakan ventilator setiap Teknik sampling yang digunakan adalah non probabilty

44
waktu sesuai kebutuhannya sampling dengan total sampling.
dilakukan tindakan suction.
Sebelum dilakukan tindakan
suction pasien diberi terapi
nebulizer terlebih dahulu sesuai
advis dari dokter kemudian
dilakukan fisioterapi dada.
Sebelum melakukan suction dan
hiperoksigenasi peneliti melihat
hasil saturasi oksigen terlebih
dahulu kemudian melakukan
hiperoksigenasi dilanjutkan dengan
suctioning. Kemudian melihat hasil
saturasi oksigen setelah dilakukan
hiperoksigenasi dan suctioning.
Mulyadi Penderita yang sedang Diberikan intervensi berupa Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode
(2013) terpasang ETT dan terdapat tindakan pengisapan lendir Pre-eksperimen dengan menggunakan desain penelitian
lendir (suction) ETT sebanyak satu kali One-Group Pretest-Posttest Design, yang
tindakan mengungkapkan sebab akibat dengan cara melibatkan
satu kelompok subyek. Suatu kelompok diberi perlakuan,
tetapi sebelumnya diberikan pre-test, setelah itu dilakukan

45
post-test. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu lembar observasi yang terdiri dari identitas umum
responden yang terdapat pada bagian atas lembar
observasi. Sedangkan pada bagian bawah terdapat hasil
penilaian pretest dan posttest terhadap tindakan
pengisapan lendir (suction) yang dilakukan. Prosedur
dalam penelitian ini, data-data awal tentang kadar saturasi
oksigen dikumpulkan melalui pre test. Meliputi nilai dari
hasil pengukuran dengan menggunakan alat oksimetri.
Selanjutnya responden akan diberikan tindakan
pengisapan lendir (suction). Setelah melakukan tindakan
melalui perlakuan, data akhir penelitian ini diambil
melalui post test meliputi data-data mengenai kadar
saturasi oksigen dengan pemantauan menggunakan alat
oksimetri. Teknik pengolahan data pada penelitian ini
terdiri dari editing, coding, cleaning, tabulating dan
describing. Sedangkan analisa data dilakukan dengan
pengujian univariat dan bivariat.
Yunita, dkk Populasi target pada Intervensi yang dilakukan adalah Jenis penelitian ini adalah preeksperiment dengan desain
(2015) penelitian ini adalah semua dilakukan dengan uji colony one group pretest and posttest.
pasien dengan ventilator counter untuk mengetahui jumlah

46
mekanik. Sedangkan kolonisasi bakteri dalam sekret
populasi terjangkau pada pasien sebelum dan setelah
penelitian ini yaitu semua tindakan open suction system.
pasien dengan ventilator Pengambilan data dilakukan pada
mekanik yang dilakukan hari kedua (H2) sebagai data
OSS di ruang ICU RSD dr. pretest dan hari keempat (H4)
Soebandi Jember. Sampel sebagai data posttest. Alat
dalam penelitian ini adalah pengumpul data pretest dan posttest
pasien dengan ventilator pada penelitian ini adalah lembar
mekanik di ruang ICU RSD observasi dan colony counter.
dr. Soebandi dalam waktu
satu bulan yaitu 20 Agustus
– 20 September 2014 yang
sesuai dengan kriteria
inklusi dan eksklusi yaitu
berjumlah 6 orang.
Lesamana, dkk Populasi adalah semua Pasien cedera kepala berat yang Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, dengan
(2015) pasien cedera kepala berat memenuhi kriteria inklusi metode penelitian eksperimen semu (quasi experiment)
yang terpasang selang penelitian sebelumnya dilakukan khususnya menggunakan desain pre and post test without
endotrakeal di ruang hiperoksigenasi 1–3 menit hingga control group dengan pengukuran yang berulang
Neurosurgical Critical saturasi oksigen melebihi 95%, (repeated measures) dengan pertimbangan ketika

47
Care Unit (NCCU) yang kemudian dilakukan suctioning menggunakan satu responden yang dilakukan pengukuran
memenuhi kriteria dengan tekanan 100 mmhg dan berulang dapat meminimalkan variabel perancu (kondisi
inklusi yg telah ditetapkan. dilakukan pengukuran saturasi fisiologis paru) bila dilakukan pada responden yang
oksigen. Ketika ada indikasi berbeda.
suction, kegiatan ini diulang
dengan penerapan tekanan 120
mmHg dan 150 mmHg.
Maidartati 17 anak usia 1-5 tahun Fisoterapi dada : Responden dalam penelitian yaitu 17 orang. Jenis
(2014) Fisioterapi dada dilakukan hanya penelitian yang dipergunakan pada penelitian ini adalah
satu kali pemberian untuk setiap Quasi Eksperiment dengan jenis One Group Pretest-
tempat dilakukan fisioterapi dada Posttes design, kemudian kelompok subjek akan
(postural drainase, perkusi dan diobservasi sebelum dilakukan intervensi, selanjutnya
vibrasi) selama 2 menit dengan diobservasi lagi setelah intervensi (Nursalam, 2008).
durasi satu kali sesi pemberian
selama 20 – 30 menit.
Ainnur Sampel pada penelitian ini Mobilisasi progresif yang terdiri Responden dalam penelitian berjumlah 30 orang.
Rahmanti & berjumlah 30 orang. Semua dari kegiatan perubahan posisi dari Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan
Dyah Kartika pasien yang dirawat di HOB 30°, HOB 45°, lateral kanan desain penelitian quasi eksperiment design with pre-post
Putri (2013) ruang ICU dengan dan lateral kiri. Tekhnik test without control group. Pada penelitian ini dilihat
menggunakan ventilasi mengumpulkan data pada beda rerata tekanan darah sistolik maupun diastolik
mekanik baik kasus penelitian ini pertama – tama akan disettiap perubahan posisi. Penelitian ini dianalisa secara

48
medikal maupun bedah. diukur tekanan darah pasien di univariat dan bivariat. Analisis univariate
posisi awal kemudian diukur pada mengkategorikan umur, jenis kelamin,dan mode
posisi HOB 30°, lalu diukur ventilator. Pada analisis bivariat menggunakan uji anova
kembali pada posisi HOB 45°, repeated measured yaitu melihat perubahan tekanan
kemudian diukur pada posisi lateral darah sistolik dan diastolik di setiap tahapan perubahan
kanan dan kiri yang dilakukan posisi.
selama tiga bulan yaitu pada bulan
Mei – Juni 2013 di RS Hasan
Sadikin Bandung.
Yurida Olviani 21 responden pada pasien Pemberian mobilisasi yang Desain penelitian yang digunakan adalah
(2015) cerebral injury di ruang diberikan yaitu berupa pengaturan QuasyEksperimen. Penelitian quasy eksperimen adalah
ICU RSUD Ulin posisi head of bed 30° dan penelitian yang menguji coba suatu intervensi pada
Banjarmasin. pemberian posisi miring kanan dan sekelompok subjek dengan atau tanpa kelompok
kiri kemudian dilanjutkan dengan pembanding namun tidak dilakukan randomisasi untuk
posisi lateral kanan dan kiri. memasukkan subjek ke dalam kelompok perlakuan atau
Observasi dilakukan sebanyak 2 control (Dharma,2011). Rancangan penelitian yang
kali yaitu sebelum dan sesudah dilakukan adalah one-group pretest-postest design.
intervensi pada satu kelompok Didalam desain ini observasi dilakukan sebanyak 2 kali
perlakuan. yaitu sebelum dan sesudah intervensi pada satu kelompok
perlakuan.

49
B. Analisa Hasil
No. Judul Penelitian OUTCOME
The
1 application of close suction to help Hasil penelitian menunjukkan perbedaan sebelum dan sesudah dilakukan
ineffectiveness
1 of airway clearance in patients with close suction. Sebelum dilakukan close suction terdapat ronchi bunyi nafas
ventilator
1 in the Intensive Care Unit di kedua bidang paru-paru, RR 27 x / menit, dan SpO2 90%. Setelah
1 dilakukan tindakan close suction pada hari pertama didapatkan peningkatan
pada hasil SpO2 95%, RR 22 x / menit, tetapi masih terdapat suara Ronchi di
kedua bidang paru-paru, pada hari ke-2 dengan hasil SpO2 97%, RR 20
x/menit, tidak terdapat suara ronchi di kedua bidang paru-paru, dan pada hari
ke-3 didapatkan hasil SPO2 100%, RR 18 x / menit dan suara nafas
vesikuler. Sehingga dapat disimpulkan bahwa close suction efektif dalam
mengatasi masalah ketidakefektifan bersihan jalan napas. Namun, pada
pasien dengan infeksi paru yang menggunakan ventilator dengan sekret yang
kental harus diberikan nebulizer sebelum dilakukan close suction.
Efektifitas
2 hiperoksigenasi pada proses suctioning Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka dapat diambil kesimpulan
terhadap saturasi oksigen pasien dengan ventilator bahwa hiperoksigenasi efektif pada proses suctioning terhadap saturasi
mekanik di Intensive Care Unit oksigen pasien dengan ventilator mekanik, dimana dapat diketahui dari hasil
penelitian dengan hasil menggunakan uji statistik Wilcoxon Signed Rank
Test.From hasil uji statistik dengan Wilcoxon Signed Rank Test diperoleh p-
value = 0,001 (α <0,05). Berdasarkan hasil tersebut H1 diterima, berarti
hiperoksigenasi efektif dalam proses suctioning terhadap saturasi oksigen

50
pasien dengan ventilator mekanik di ruang ICU Rumah Sakit Husada Utama
Surabaya.
Pengaruh
3 tindakan penghisapan lendir endotrakeal Hasil penelitian ini menunjukkan jumlah responden terbanyak berumur
tube (ett) terhadap kadar saturasi oksigen pada pasien antara 45-54 tahun yaitu 7 orang atau 44%, 15–24 tahun 4 orang atau 25%,
yang dirawat di ruang ICU RSUP Prof. dr. r. d. 35-44 tahun 4 orang atau 25%, dan responden paling sedikit yaitu dengan
kandou manado umur antara 25-34 tahun yaitu 1 orang atau 6%. Hasil menunjukkan terjadi
penurunan kadar saturasi oksigen dari responden yaitu adanya selisih nilai
kadar saturasi oksigen sebesar 5,174 %. Selain itu dari hasil uji statistik t-
Test pada responden yaitu terdapat pengaruh yang signifikan dimana nilai p-
value =0,000 (α< 0.05).
Pengaruh
4 Open Suction System terhadap Kolonisasi Hasil analisa data didapatkan p value = 0,025 < α dan nilai t = +3,177
Staphylococcus aureus pada Pasien dengan sehingga dapat disimpulkan terdapat perbedaan jumlah kolonisasi
Ventilator Mekanik di Ruang Intensive Care Unit Staphylococcus aureus sebelum dan dilakukan Open Suction System pada
(ICU) RSD dr. Soebandi Jember pasien dengan ventilator mekanik di Ruang ICU RSD dr. Soebandi Jember.
Open Suction System dapat meningkatkan kolonisasi Staphylococcus aureus
dengan rata-rata peningkatan 33,33 CFU/ml. Hasil penelitian ini dapat
menjadi bahan pertimbangan dalam memperbaiki Standart Operating
Procedure (SOP) terkait open suction system pada pasien dengan ventilator
mekanik di ruang ICU karena open suction system dapat mencegah
pneumonia nosokomial lebih baik daripada closed suction system jika
dilakukan dengan prosedur yang tepat.

51
Analisis
5 Dampak Penggunaan Varian Tekanan Saturasi oksigen sebelum dan setelah suctioning pada tekanan 100 mmHg
Suction terhadap Pasien Cedera Kepala Berat mengalami penurunan hingga 2 %. Pada tekanan 120 mmHg, saturasi
oksigen sebelum dan setelah suctioning mengalami penurunan hingga 4 %
dan saturasi oksigen sebelum dan setelah suctioning pada tekanan 150
mmHg mengalami penurunan hingga 5 %. Dilanjutkan dengan uji post-hoc
Wilcoxon dimana nilai p= 0,0001 pada ketiga tekanan, hal ini menunjukkan
terdapat perbedaan saturasi oksigen sebelum dan setelah suctioning pada
tekanan 100 mmHg, tekanan 120 mmHg dan tekanan 150 mmHg. Penerapan
ketiga tekanan tersebut menyebabkan penurunan saturasi oksigen setelah
suctioning dalam tingkatan yang berbeda-beda, dimana semakin besar
tekanan maka akan semakin besar penurunan saturasi oskigen setelah
suctioning.
6 Pengaruh fisioterapi dada terhadap bersihan jalan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka dapat diambil kesimpulan
nafas pada anak usia 1- 5 tahun yang mengalami bahwa terdapat perbedaan frekwensi nafas sebelum dan sesudah dilakukan
gangguan bersihan jalan nafas di Puskesmas Moch. fisioterapi dada pada anak yang mengalami bersihan jalan nafas. dimana
Ramdhan Bandung dapat diketahui dari hasil penelitian dengan hasil perhitungan p = 0.00
(p=<0.05)
7 Mobilisasi progresif terhadap perubahan tekanan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat dikemukakan
darah pasien di Intensive Care Unit (ICU) bahwa tidak ada perubahan yang bermakna tekanan darah sistolik maupun
diastolik setelah diberikan mobilisasi progresif dengan nilai P> 0,05. Anova
repeated measurement untuk mengidentifikasi perbedaan rata-rata masing-

52
masing tekanan darah. Hasil penelitian ini menunjukkan ada dua kali
perubahan sistolik antara HOB 30° ke HOB 45° dan HOB 45° ke kanan
posisi lateral (3,3%). Ada sembilan kali perubahan diastolik antara HOB 45°
ke kanan posisi lateral (16,7%).
8 Pengaruh pelaksanaan mobilisasi progresif level 1 Hasil penelitian didapatkan setelah diberikan intervensi terlihat ada
terhadap nilai monitoring hemodinamik non invasif perubahan pada parameter tekanan darah dan respiratory rate dibandingkan
pada pasien cerebral injury di ruang ICU RSUD Ulin pada awal pengukuran. Pada parameter heart rate dan saturasi oksigen tidak
Banjarmasin tahun 2015 mengalami perubahan. Analisi bivariat didapatkan pengaruh pemberian
mobilisasi pada tekanan darah dengan p value = 0.020 dan respirasi dengan p
value = 0.005 sedangkan parameter lainnya p value > 0.005. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada pengaruh pelaksanaan mobiliasi progresif level I
terhadap nilai monitoring hemodinamik pada pasien cerebral injury di ruang
ICU RSUD Ulin Banjarmasin.

53
C. Analisa Pembahasan

No Judul penelitian Pembahasan


1. The application of close suction to help Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit ICU Dr. Mohammad Soewandhie
ineffectiveness of airway clearance in patients with sebanyak 20 pasien dengan edema paru eclampsia, didapatkan hasil bahwa
ventilator in the Intensive Care Unit close suction efektif dalam mengatasi masalah ketidakefektifan bersihan
jalan napas. Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan
keterampilan perawat ICU dalam tindakan keperawatan sesuai dengan
standar keperawatan terutama close suction dan open suction pada ETT
dengan berbagai kanul suction sesuai tehnik dengan perkembangan teknologi
kesehatan.
2. Efektifitas hiperoksigenasi pada proses suctioning Pada penelitian ini responden berjumlah 20 pasien dengan ventilasi mekanik
terhadap saturasi oksigen pasien dengan ventilator di ruang ICU rumah sakit Husada Utama yang diberikan intervensi yaitu
mekanik di Intensive Care Unit melakukan suction. Didapati bahwa hasil saturasi oksigen setalah dilakukan
hiperoksigenasi pada proses suctioning, saturasi oksigen pasien meningkat
dan ada yang bertahan di nilai yang sama. Menurut hasil penelitian dan teori
pasien dengan alat bantu ventilator mekanik yang dilakukan hiperoksigenasi
pada proses suctioning terbukti mampu bertahan dan juga meningkat.
Mengingat tindakan suction ini dapat menyebabkan bahaya, maka sangat
diperlukan kewaspadaan dini, kepatuhan melakukan tindakan suctioning
sesuai dengan SPO yang benar dan keterampilan yang baik bagi petugas

54
kesehatan yang melakukan tindakan tersebut, terlebih khusus bagi tenaga
perawat.
3 Pengaruh tindakan penghisapan lendir endotrakeal Hasil penelitian ini didapatkan bahwa kadar saturasi oksigen setelah
tube (ett) terhadap kadar saturasi oksigen pada pasien dilakukan tindakan penghisapan lendir mengalami penurunan. Berdasarkan
yang dirawat di ruang ICU RSUP Prof. dr. r. d. hasil penelitian ini dapat menjadi masukan pada perawat untuk melakukan
kandou manado tindakan penghisapan (suction) dengan benar dan sesuai SOP mengingat
tindakan suction ini dapat menyebabkan bahaya, maka sangat diperlukan
kewaspadaan yang dini. Salah satunya dapat terjadi penurunan kadar oksigen
dan jika petugas kesehatan/ perawat tidak peka terhadap masalah yang
muncul bisa mengakibatkan pasien mengalami gagal napas bahkan sampai
kepada kematian.
4 Pengaruh Open Suction System terhadap Kolonisasi Hasil analisa data didapatkan p value = 0,025 < α dan nilai t = +3,177
Staphylococcus aureus pada Pasien dengan sehingga dapat disimpulkan terdapat perbedaan jumlah kolonisasi
Ventilator Mekanik di Ruang Intensive Care Unit Staphylococcus aureus sebelum dan dilakukan Open Suction System pada
(ICU) RSD dr. Soebandi Jember pasien dengan ventilator mekanik di Ruang ICU RSD dr. Soebandi Jember.
Open Suction System dapat meningkatkan kolonisasi Staphylococcus aureus
dengan rata-rata peningkatan 33,33 CFU/ml. Hasil penelitian ini dapat
menjadi bahan pertimbangan dalam memperbaiki Standart Operating
Procedure (SOP) terkait open suction system pada pasien dengan ventilator
mekanik di ruang ICU karena open suction system dapat mencegah
pneumonia nosokomial lebih baik daripada closed suction system jika

55
dilakukan dengan prosedur yang tepat.
5 Analisis Dampak Penggunaan Varian Tekanan Terdapat perbedaan yang bermakna nilai saturasi oksigen setelah suction
Suction terhadap Pasien Cedera Kepala Berat dengan tekanan 100 mmHg, 120 mmHg dan 150 mmHg. Penggunaan
tekanan suction 100 mmHg terbukti menyebabkan penurunan saturasi
oskigen yang paling minimal bila dibandingkan dengan tekanan 120 mmHg
dan 150 mmHg. Ketiga penggunaan tekanan suction (100 mmHg, 120
mmHg dan 150 mmHg) tidak menyebabkan penurunan saturasi oksigen > 5
%, sehingga dapat digunakan pada pasien cedera kepala yang memiliki nilai
saturasi oksigen 100 % (setelah tindakan hiperoksigenasi). Penggunaan
ketiga tekanan tersebut suction memertimbangkan kondisi pasien terutama
nilai saturasi oksigen dan jumlah produksi mukus. Penggunaan tekanan
suction dilahan praktik dapat diterapkan berdasarkan hasil penelitian yang
menunjukkan tekanan suction 100 mmHg dapat menurunkan saturasi
oksigen yang minimal, sehingga lebih tepat digunakan pada pasien cedera
kepala yang membutuhkan suctioning dengan saturasi oksigen setelah
hiperoksigenasi < 95 %. Sebaiknya lakukan tindakan hiperoksigenasi selama
1–3 menit sebelum dan setelah suctioning guna mencegah terjadinya
penurunan saturasi oksigen kurang dari 95 %. Satu fase suctioning pada
pasien dewasa tidak boleh melebihi dari 15 detik karena akan menyebabkan
penurunan saturasi pasien kurang dari 95 %.
6 Pengaruh fisioterapi dada terhadap bersihan jalan Pada penelitian ini responden berusia anak usia 1-5 tahun hal ini menunjukan

56
nafas pada anak usia 1- 5 tahun yang mengalami bahwa fisioretapi dada berpengaruh terhadap bersihan jalan nafas, dimana
gangguan bersihan jalan nafas di Puskesmas Moch. dapat memperbaiki status frekuensi pernafasan Fisioterapi dada dapat
Ramdan Bandung. diterapkan didalam pemberian asuhan keperawatan pada anak terutama
dalam kondisi keterbatasan penyediaan alat nebulizer di puskesmas.
Fisioterapi dada dapat dilakukan oleh ibu manapun, dengan syarat petugas
kesehatan terlebih dahulu memberikan penjelasan dan demontrasi dan
pelatihan terkait fisioterapi dada pada keluarga terutama ibu yang mau
melakukan fisioterapi dada.
7 Mobilisasi progresif terhadap perubahan tekanan Sampel pada penelitian ini berjumlah 30 orang. Sample pada penelitian ini
darah pasien di Intensive Care Unit (ICU) adalah semua pasien yang dirawat di ruang ICU dengan menggunakan
ventilasi mekanik baik kasus medikal maupun bedah. Berdasarkan penelitian
ini mobilisasi progresif yang terdiri dari kegiatan perubahan posisi dari HOB
30°, HOB 45°, lateral kanan dan lateral kiri tidak ada pengaruh yang
bermakna tekanan darah sistolik maupun diastolik setelah diberikan
mobilisasi progresif. Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan perawat di
ICU saat melakukan monbilisasi diantaranya: keamanan tubes dan line,
ketidakstabilan hemodinamik, sumber daya manusia, ketersediaan alat,
kebutuhan terhadap sedasi, ukuran postur tubuh pasien dan penggunaan obat-
obatan inotropik.
8 Pengaruh pelaksanaan mobilisasi progresif level 1 Pada penelitian ini pemberian mobilisasi yang diberikan yaitu berupa
terhadap nilai monitoring hemodinamik non invasif pengaturan posisi head of bed 30° dan pemberian posis miring kanan dan kiri

57
pada pasien cerebral injury di ruang ICU RSUD Ulin pada 21 responden pasien cerebral injury di ruang ICU RSUD Ulin
Banjarmasin tahun 2015 Banjarmasin, didapatkan bahwa ada perubahan pada parameter tekanan
darah dan respiratory rate dibandingkan pada awal pengukuran. Hasil
penelitian nilai respirasi berpengaruh terhadap mobilisasi hal ini sesuai
dengan teori latihan ROM aktif bermanfaat untuk mempertahankan fungsi
respirasi yang dilakukan beberapa kali selama tirah baring untuk mengurangi
penumpukan sputum. Hal ini dapat menjadi salah satu intervensi yang
dilakukan pada penerapan asuhan keperawatan dengan diagnosa
keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas dari hasil penelitian yang
menunjukan terdapat mobiliasi progresif level I terhadap nilai monitoring
hemodinamik pada pasien cerebral injury. Mobilisasi progresif level 1 juga
dapat diterapkan di rumah dengan diberikan edukasi bagaimana cara
mobilisasi progresif level 1 yang benar. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjadi salah satu evidence based yang dapat digunakan dalam
pengembangan intervensi masalah keperawatan dengan bersihan jalan nafas
tidak efektif. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi dasar bagi
penelitian selanjutnya dalam mengembangkan intervensi yang efektif dalam
masalah keperawatan dengan bersihan jalan nafas tidak efektif.

58
59
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisa jurnal diatas terdapat beberapa terapi nonfarmakologi yang terbukti
efektif dalam bersihan jalan nafas tidak efektif. Diantarannya, penghisapan slym (suction),
fisoterapi dada dan posisi head of bed. Penggunaan alat ventilator mekanik mempengaruhi
munculnya masalah pada bersihan jalan nafas, di antaranya adalah meningkatnya produksi
sputum sehingga diperlukan tindakan perawatan yang tepat. Salah satu intervensi
keperawatan yang efektif yaitu dengan melakukan tindakan suctioning. Suctioning atau
penghisapan merupakan tindakan untuk memper-tahankan jalan nafas sehingga memung-
kinkan terjadinya proses pertukaran gas yang adekuat dengan cara mengeluarkan secret pada
klien yang tidak mampu mengeluarkannya sendiri (Timby, 2009).
Dari beberapa jurnal diatas intervensi penghisapan slym (suction) terdapat 2 jurnal dan
menyatakan bahwa dengan intervensi penghisapan slym (suction) berpengaruh terhadap
bersihan jalan nafas. Tindakan suction atau penghisapan slym diperlukan untuk mencegah
aspirasi sekret dalam paru-paru (Smeltzer, 2002). Menurut Yudhiana 2010 dalam studinya
juga melaporkan bahwa ada efek pada efektivitas tindakan suction dalam membersihkan
jalan napas.
B. Saran
1. Bagi penelitian keperawatan
Peneliti selanjutnya dapat menjadikan hasil analisa jurnal ini sebagai sumber
informasi untuk melakukan penelitian terkait penatalaksanaan bersihan jalan nafas tidak
efektif pada pasien dengan intracerebral hematoma (ICH).
2. Bagi pendidikan keperawatan
Bidang keperawatan gawat darurat dapat menjadikan hasil analisa jurnal ini sebagai
landasan untuk pengembangan ilmu keperawatan yang aplikatif terhadap
penatalaksanaan intervensi bersihan jalan nafas tidak efektif.
3. Bagi praktik keperawatan
Perawat dapat meningkatkan pengetahuan dan menjadi bahan masukan serta
pertimbangan, khususnya perawat gawat darurat dalam memberikan pelayanan
keperawatan dan dapat menjalankan perannya sebagai care provider.

60

Anda mungkin juga menyukai