JULI 2019
OLEH:
SUPERVISOR:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
HALAMAN PENGESAHAN
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepanitraan klinik pada Departemen Ilmu
Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Mengetahui,
Supervisor
.………………………………
dr. Muh. Iwan Dani, Sp. B-KBD
Continuing Medical Education
RINGKASAN
Latar belakang : Dispesia fungsional merupakan salah satu penyakit fungsional yang sering
dengan prevalensi 10 – 20 %, mengenai traktus gastrointestinal.
Metode : Artikel ini berdasarkan tinjauan publikasi yang diseleksi dari PubMed dengan
perhatian spesial terhadap artikel uji kontrol, pedoman klinis dan review artikel.
Hasil: Gejala dispepsia fungsional yang khas adalah nyeri epigastrik, sensasi tekanan dan
penuh pada epigastrium, mual, dan rasa cepat kenyang. Etiologi gangguan ini heterogen dan
multifaktorial. Penyebabnya meliputi gangguan motilitas, hipersensitivitas visceral,
permeabilitas mukosa yang meningkat, dan gangguan sistem saraf otonom dan enterik. Belum
ada pengobatan secara kausal untuk dispepsia fungsional. Penanganannya harus dimulai dengan
edukasi intensif pasien mengenai sifat gangguan yang jinak dan dengan pembentukan pakta
terapeutik menegnai pengobatan jangka panjang. Karena tidak adanya pengobatan secara kausal,
maka obat-obatan untuk mengobati dispepsia fungsional harus diberikan tidak lebih dari 8-12
minggu. Obat Proton-pump Inhibitor, fitoterapi, dan eradikasi Helicobacter pylori merupakan
pengobatan yang berbasis bukti. Untuk kasus-kasus berat, anti depresan trisiklik dan psikoterapi
adalah pilihan pengobatan yang lebih efektif.
Istilah dispepsia berasal dari bahasa Yunani “dys” [buruk], “pepsis” [pencernaan])
digunakan untuk spektrum gejala yang terlokalisis pada daerah epigastrium (antara pusar dan
proses xiphoideus) dan pelvis. Gejalanya yaitu nyeri epigastrium dan rasa terbakar (60 hingga
70%), perasaan kembung setelah makan (80%), rasa cepat kenyang (60 hingga 70%), distensi
di daerah epigastrium (80%), Mual (60%), dan muntah (40%). Gejala dispepsia dapat bersifat
akut misalnya pada gastroenteritis atau kronis. Untuk kasus lebih lanjut, bisa didasari dari
kelainan organik, seperti ulkus, refluks, penyakit pankreas, penyakit jantung dan otot atau
faktor-faktor fungsional lain mungkin bertanggung jawab.
Menurut kriteria Roma IV yang baru-baru ini direvisi (1), dispepsia fungsional didefinisikan:
Dispepsia persisten atau berulang selama lebih dari 3 bulan dalam 6 bulan terakhir.
Tidak ditemukan penyebab organik dari pemeriksaan endoskopi.
Tidak ada tanda bahwa gejala dispepsia hanya berkurang setelah buang air besar atau
hubungannya dengan feses iregulitas.
Kriteria terakhir ini diperkenalkan untuk menyingkirkan diagnosis Irritable Bowel Syndrome
(IBS) dengan gejala yang sama, meskipun sekitar 30% pasien dengan dispepsia fungsional juga
memiliki IBS.
Kriteria Roma IV saat ini (1) membagi dispepsia fungsional menjadi dua subkelompok
sesuai dengan gejala cardinal (Gambar 1):
Sindrom nyeri epigastrium (EPS) – Gejala dominan nyeriatau sensasi terbakar pada
epigastrium.
Post prandial distress syndrome (PDS) — Gejala dominan rasa penuh pada epigastrium atau
rasa cepat kenyang.
Gejala dispepsia umum dan mengakibatkan banyak dampak langsung, seperti kunjungan ke
dokter, obat-obatan, dll dan juga khususnya biaya tidak langsung (cuti kerja) (3). Sekitar 18
hingga 20% orang Jerman mengeluh perut kembung, mulas, dan diare (6). Dalam prospektif
Studi Surveilans Gastro Enterologi Internasional (DIGEST), survei terhadap lebih dari 5500
orang menunjukkan bahwa sekitar sepertiga dari orang normal yang diwawancarai melaporkan
gejala dispepsia, termasuk dispepsia akut sebesar 6,5% dan dispepsia kronis sebesar 22,5%
kasus (7, 8). Hanya 10 hingga 25% dampak sosial dari gejala yang dirasakan cukup besar bagi
mereka untuk berkonsultasi dengan dokter (3). Namun, seperti halnya penelitian Anglo-Amerika,
Dispepsia mengambil biaya sebesar beberapa miliar EUR setiap tahun. Biaya-biaya ini bisa
langsung disebabkan oleh tuntutan layanan kesehatan, atau tidak langsung, melalui cuti dan
pensiun dini (7, 9). Penyakit ini menampilkan perjalanan periodik, fase dengan sedikit atau tanpa
gejala bergantian dengan periode keluhan intensif. Hanya 20% pasien dengan dispepsia
fungsional yang pernah bebas dari gejala dalam jangka panjang (1, 2, 5, 6)
Pasien dengan dispepsia fungsional mengalami gangguan akomodasi pada gaster proksimal
baik setelah dilatasi pada lambung maupun setelah makan (14). Hal ini ditunjukkan dalam
kedua kasus dengan relaksasi fundus yang tidak adekuat. Hasilnya adalah didapatkan distribusi
dispropional isi lambung dengan volume antrum lebih besar daripada di fundus (15). Tingkat
ekspansi antrum telah ditemukan terkait dengan peningkatan keparahan gejala (skor total dari
gejala kejenuhan awal, nyeri epigastrium, kembung, dan mual atau muntah) (14, 15). Selain itu,
pasien dengan dispepsia fungsional juga menunjukkan relaksasi fundus yang terganggu setelah
ekspansi duodenum (16).
Baik dengan perut kosong atau setelah makan, pasien dengan dispepsia fungsional
menderita hipersensitivitas visceral ketika fundus lambung mengalami ekspansi (17, 18).
Proporsi pasien yang ditemukan memiliki hipersensitivitas ini tergantung pada kriteria
diagnostik dan pada apakah hipersensitivitas didefinisikan sebagai proyeksi nyeri abnormal,
allodynia, dan / atau hiperalgesia.
Dalam setiap kasus hipersensitivitas berhubungan dengan keparahan gejala (19). Bahkan
pasien dengan akomodasi fundus normal dapat bereaksi secara hipersensitif terhadap ekspansi
lambung (20), dan beberapa pasien dengan dispepsia fungsional juga bereaksi terhadap ekspansi
duodenum, jejunum, atau rektum (21). Temuan ini menunjuk ke generalisasi daripada sensitisasi
visceral lokal dari nervus enterik eferen atau aferen atau saraf sensorik yang menghubungkan
usus dengan sistem saraf pusat (sumbu GIT-otak). Hipersensitivitas setelah ekspansi lambung
diperbaiki dengan menghambat tonus kolinergik tetapi tidak dengan relaksasi otot aktif melalui
nitrogliserin NO (22). Hal ini menunjukkan adanya peran dominan dari persarafan enterik
kolinergik dari asal hipersensitivitas.
Gejala dispepsia fungsional muncul setelah injeksi asam ke dalam duodenum (23) dan
mungkin akibat dari sensor peka pH atau pemindahan asam yang tidak memadai karena
gangguan fungsi motorik duodenum proksimal (24). Ini sesuai dengan sensitivitas yang
meningkat terhadap capsaicin (25). Capsaicin adalah agonis TRPV1 (reseptor transien potensial
saluran subfamili anggota V 1) yang distimulasi oleh di antara faktor-faktor lain yaitu penurunan
pH.
Adanya lemak dalam duodenum memicu gejala dispepsia fungsional akibat aksi saraf
langsung, peningkatan sensitivitas sel entero endokrin, peningkatan konsentrasi kolesistokinin
sistemik atau lokal, dan / atau peningkatan sensitivitas reseptor kolesistokinin-A (26).
Meskipun dispepsia fungsional berbeda dari IBS (27), selain faktor mental dalam
patogenesis, diagnosis, dan pengobatan ada lebih banyak kesamaan daripada perbedaan antara
kedua penyakit. Pada skala tes psikometri, pasien dengan dispepsia fungsional memiliki skor
lebih tinggi daripada mereka yang tidak memiliki gejala gastrointestinal untuk depresi,
kecemasan, dan somatisasi yang lebih kuat terkait dengan penurunan kualitas hidup daripada
gejala klinis itu sendiri (13). Hal ini menunjuk pada pemrosesan sentral dari rangsangan visceral
yang “patologis”, misalnya, meningkatkan kewaspadaan sensasi spesifik dari saluran
pencernaan. Peningkatan kewaspadaan ini dapat timbul dalam konteks sensitisasi pasca infeksi.
Hubungan yang sering antara dispepsia fungsional dengan penyakit-penyakit usus dan
ekstraintestinal lainnya juga mengindikasikan suatu “gangguan somatisasi” yang serupa dengan
IBS. Faktor-faktor biopsikososial yang mungkin ini ditampilkan sebagai kategori berbeda pada
Tabel 1.
Pada pasien yang gagal berespon dengan pengobatan, prosedur diagnostik khusus harus
dilakukan. Adanya gejala refluks yang menyertai, pemantauan 24 jam pH esofagus / impedans
mungkin bermanfaat (29). Cbreath tests dan skintigrafi pengosongan lambung dapat mendeteksi
gangguan pengosongan lambung atau gastroparesis.
Pada kasus dengan gejala perut kembung berat, dilkaukan breath tests lebih lanjut untuk
intoleransi karbohidrat dan kolonisasi bakteri abnormal mungkin berguna. Pasien dengan gejala
yang tidak berespon dengan pengobatan harus dilakukan skrining gangguan mental seperti
kecemasan, depresi, dan stres (13, 30-32).
Ukuran Umum
Ketika dispepsia fungsional telah dikonfirmasi, salah satu pengobatan pertama adalah
edukasi pasien lengkap mulai dari diagnosis dan konsekuensinya (28, 34). Sangat penting untuk
keberhasilan pengobatan menjelaskan esensi diagnosis kepada pasien secara sederhana,
komprehensif, dan menekankan bahwa dispepsia fungsional adalah penyakit jinak tetapi organik
yang mungkin timbul dari berbagai gangguan yang mendasarinya. Pada saat yang sama, pasien
harus diinformasikan tentang pilihan pengoabatan. Tindakan umum nonmedisinal berikut saat ini
direkomendasikan, meskipun kemanjurannya belum teruji secara klinis (34):
Penjelasan tentang diagnosis dengan interpretasi temuan yang ada (yakinkan bahwa gejalanya
tidak disebabkan oleh kanker).
Penjelasan tentang sifat dan penyebab gejala.
Resolusi konflik dalam domain psikososial.
Mendorong pasien untuk bertanggung jawab.
Latihan relaksasi.
Aliansi pengobatan untuk perawatan jangka panjang.
Pilihan psikoterapi.
Diet hanya memainkan peran kecil dalam pengobatan dispepsia fungsional. Pasien harus
memperhatikan makanan apa yang tidak bisa dia toleransi dan harus dihindari. Untuk tujuan ini,
bisa menyimpan buku harian gejala, terutama dalam fase diagnostik. Makan teratur, menghindari
makan terlalu banyak, mengunyah lama dan tidak terburu-buru adalah rekomendasi umum yang
juga dapat membantu pengobatan dispepsia fungsional.
Pengobatan Medisinalis
Pengobatan medis dianjurkan sebagai tindakan suportif dalam interval simtomatik (1, 4-
6, 10, 13). Karena tidak adanya terapi kausal, maka durasi pengobatan dibatasi (mis.,
Periode 8-12 minggu) dan selalu berorientasi pada gejala utama, terutama karena tingkat
keberhasilan plasebo bisa sangat tinggi yaitu hingga 60%. Pasien menyetujui tujuan
perawatan yang realistis dengan penekanan pada pengurangan gejala dengan aplikasi
sistematis dari berbagai pilihan pengobatan. Berikut ini kategori pengobatan medis dan
nonmedisinal berbasis bukti : (lihat Gambar 3 untuk algoritma pengobatan):
Sejumlah uji coba terkontrol multinasional acak dari proton pump inhibitors (PPI) telah
menunjukkan dampak signifikan terhadap pengoabatan dispepsia fungsional dibandingkan
dengan plasebo (35). Satu meta-analisis menunjukkan dampak pemberian PPI 10 hingga
20% lebih tinggi daripada plasebo (RRR 10,3%; interval kepercayaan 95% [2,7; 17,3])
dengan jumlah yang diperlukan untuk mengobati (NNT) yaitu 14,7 pasien (35) . Dalam
analisis sub kelompok dampak pemberian PPI terbatas pada sindrom nyeri epigastrium
(RRR 12,8% [1,8; 34,3]) atau gejala dispepsia dengan refluks yang menyertainya (RRR
19,7% [1,8; 34,3]), sedangkan gejala dismotilitas pada sindrom dispepsia postprandial
tidak menunjukkan perbaikan dengan pemberian PPI (RRR 5,1% [10,9; 18,7]), untuk itu
perlu diberikan pendekatan terapi yang berbeda (1, 28, 35). Meskipun data penelitian
positif, pemberian PPI belum disetujui sebagai pengobatan dispepsia fungsional di Jerman.
Dalam konteks diskusi publik baru-baru ini mengenai efek samping potensial PPI, dapat
dinyatakan bahwa ketika diberikan sesuai dengan indikasi obat maka PPI sangat aman,
terutama karena PPI tidak diberikan untuk pengobatan jangka panjang dispepsia
fungsional ( 36)
Dampak pengobatan eradikasi H. pylori pada dispepsia fungsional telah menjadi subyek
dari sejumlah uji klinis besar terkontrol plasebo. Meta analisis dari semua studi ini menunjukkan
perbedaan yang signifikan (OR 1,38 [1,18; 1,62]; p <0,001) dengan NNT 15 (33, 37). Setelah
eradikasi H. pylori pada dispepsia fungsional H. pylori-positif, sekitar 10% pasien tetap bebas
dari gejala dalam jangka panjang (= dispepsia terkait H. pylori), sementara pada pasien yang
gejalanya menetap atau muncul kembali walaupun sudah ekstirpasi. Hal Ini tetap menjadi topik
kontroversi dalam literatur apakah dispepsia terkait H. pylori adalah subkelompok dispepsia
fungsional atau mewakili entitas independen (28, 33).Namun, diskusi ini tidak relevan dalam
praktik klinis. Mengingat tidak adanya pengobatan kausal untuk dispepsia fungsional, maka
eradikasi H. pylorimerupakan pilihan pengobatan yang penting karena potensi kuratifnya.
Untuk alasan ini maka eradikasi H. pyloripada pengobatan dispepsia fungsional
direkomendasikan dalam pedoman Jerman dan internasional (38)
Tabel 2. Pilihan Pengobatan Dispepsia Fungsional
Dalam pedoman saat ini dari the German Societyfor Gastroenterology,Digestive and
Metabolic Diseases (DeutscheGesellschaftfür Gastroenterologie,Ver- dauungs- und
Stoffwechselkrankheiten, DGVS )(33) Eradikasi H. pylori adalah indikasi “bisa”. Potensi Efek
samping pemberian antibiotik harus selalu dipertimbangkan dalam proses pengambilan
keputusan.
Phytotherapeutics telah lama digunakan dalam pengobatan. Sejumlah uji coba terkontrol
plasebo telah menunjukkan efek positif dari phytotherapy dibandingkan dengan plasebo dalam
pengobatan dispepsia fungsional (34, e1). Persiapan kombinasi sering digunakan untuk
mengobati dispepsia fungsional. Kebanyakan adalah kombinasi tetap dari peppermint dan
minyak jintan atau campuran permen pahit (Iberis amara), wormwood, gentian, dan akar
angelica, biasanya dalam kombinasi dengan ekstrak spasmolitik dan sedatif seperti chamomile,
peppermint, jintan, dan lemon balm. Phytotherapeutics memberikan efek stimulasi tonus
spasmolitik dan / atau obat penenang pada saluran pencernaan sehinga dapat meringankan
gejala dispepsia fungsional (34). Di Jerman persiapan komersial STW 5 (39, e1) dan
Menthacarin (e2) secara rutin digunakan berdasarkan bukti efeknya.
Data praklinis kini telah menunjukkan mekanisme aksi phytotherapeutics pada saluran
pencernaan dan menunjukkan bahwa pendekatan multi target dengan kombinasi beberapa
ekstrak berbeda menunjukkan efek aditif dan sinergis (40). Dalam meta analisis dari tiga uji coba
terkontrol plasebo, pengobatan dengan STW 5 selama 4 minggu secara signifikan lebih unggul
dibandingkan plasebo (OR 0,22 [0,11; 0,47]; p = 0,001) (39).
Percobaan terkontrol plasebo multicenter yang lebih besar berikutnya selama periode 8
minggu menegaskan efek pengobatan (e3). Setelah banyak penelitian terkontrol plasebo positif,
phytotherapy sekarang direkomendasikan dalam pedoman Jerman dan internasional untuk
diberikan kepada pasien gangguan pencernaan fungsional, khususnya dispepsia fungsional dan
IBS (1, 6). Pengobatan dispepsia fungsional dengan enzim pencernaan juga telah dipelajari, di
mana tindakan klinis kombinasi tetap dari ekstrak mukosa lambung dan asam amino hidroklorida
yang digunakan diberikan bukan melalui substitusi tetapi dengan mendukung pelepasan
proteolitik asam amino. Percobaan crossover acak, terkontrol plasebo, double-blind pada 1167
pasien (e4) menunjukkan efek yang signifikan dari pengobatan ini dalam mengurangi gejala
dispepsia (p <0,001), tetapi studi praklinis dan klinis lebih lanjut diperlukan untuk mengonfirmasi
pengobatan komplementer lainnya seperti akupunktur telah memberikan efek heterogen dalam uji
coba terkontrol dan karenanya tidak direkomendasikan untuk dispepsia fungsional (5, 13). Sejauh
ini tidak ada bukti untuk kemanjuran homeopati atau probiotik.
Anti depresan diberikan setelah kegagalan pengobatan di atas. Kemanjuran anti depresan
trisiklik telah dikonfirmasi namun tidak untuk antidepresan inhibitor reuptake serotonin (e5).
Penelitian terbesar sampai saat ini menyelidiki manfaat amitriptilin (25 mg selama 2 minggu,
kemudian 50 mg selama 10 minggu), escitalopram (10 mg selama 12 minggu), dan plasebo pada
total 292 pasien. Sementara escitalopram tidak menunjukkan efek, amitriptilin mengurangi
gejala dominan seperti nyeri perut, secara signifikan dibandingkan dengan plasebo (OR 3.1 [1.1;
9.0]) (e6). Studi lain juga menunjukkan bahwa antidepresan sangat efektif mengurangi gejala
dispepsia ketika keluhan utamanya adalah komorbiditas perut dan / atau mental (e5). Ada juga
data yang mendukung penggunaan psikoterapi, yang harus dipertimbangkan khususnya dalam
kasus resistensi pengobatan (13, e7).
Prokinetik
Dokter perawatan primer pada awalnya dihadapkan dengan dispepsia yang tidak diselidiki
yang tidak boleh dikacaukan dengan dispepsia fungsional. “Tidak diinvestigasi” berarti bahwa
tidak ada penilaian diagnostik, khususnya tidak ada pemeriksaan instrumental, belum
dilakukan untuk mengecualikan penyebab organik. Tiga strategi diagnosis dan pengobatan
dispepsiatidak diselidiki berikut dapat dibedakan (Gambar2) (28, 34):
Observasi (“watchfulwaiting”)
Terapi empiris
Langkah diagnosis primer yaitu tes laboratorium,esophagogastroduodenoscopy, dan USG
abdomen yang diikuti pengobatan spesifik berdasarkan temuan.
Strategi pengamatan tanpa intervensi obat biasanya tidak praktis, karena kebanyakan pasien
datang dengan gejala dan meminta bantuan secepat mungkin.Yang dimaksud terapi empiris
adalah terapi dengan salah satu kelompok zat yang disebutkan di atas. Pilihan zat tergantung
pada gejala yang dominan. Percobaan acak dari negara-negara Inggris telah menunjukkan bahwa
endoskopi primer lebih unggul daripada terapi empiris, karena tidak adanya kelainan pada
endoskopi menyebabkan kepuasan pasien yang lebih besar dan sebagian besar pasien yang
memulai terapi empiris akhirnya harus diperiksa dengan endoskopi (34).
Dispepsia fungsional dengan gejala kardinal nyeri perut bagian atas pada awalnya dapat
diobati dengan PPI, diikuti terapi dengan phytotherapy jika tidak ada respons. Namun, jika
gejala dismotilitas mendominasi, pengobatan harus dimulai dengan fitoterapi. Jika
ditemukan infeksi H. pylori yang menyertainya, pedoman Jerman merekomendasikan
pemberian pengobatan eradikasi H. pylori. Dalam kasus-kasus refraktori, perlu dilakukan
skrining kecemasan, depresi, dan stres, intervensi antidepresan dan intervensi psikoterapi
dapat dipertimbangkan.
References