Anda di halaman 1dari 21

JOURNAL READING

JULI 2019

The Diagnosis and Treatment of Functional Dyspepsia

OLEH:

Nurul utami C014172050

SUPERVISOR:

dr. Muh. Iwan Dani, Sp. B-KBD

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2019
HALAMAN PENGESAHAN

Berikut namadibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Nurul Utami


NIM : C014172050
Judul Jurnal : The Diagnosiso and Treatment of Functional Dyspepsia

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepanitraan klinik pada Departemen Ilmu
Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Juli 2019

Mengetahui,
Supervisor

.………………………………
dr. Muh. Iwan Dani, Sp. B-KBD
Continuing Medical Education

The Diagnosis and Treatment of Functional Dyspepsia


Ahmed Madisch, Viola Andresen, Paul Enck,Joachim Labenz,Thomas Frieling, MichaelSchemann

RINGKASAN

Latar belakang : Dispesia fungsional merupakan salah satu penyakit fungsional yang sering
dengan prevalensi 10 – 20 %, mengenai traktus gastrointestinal.

Metode : Artikel ini berdasarkan tinjauan publikasi yang diseleksi dari PubMed dengan
perhatian spesial terhadap artikel uji kontrol, pedoman klinis dan review artikel.

Hasil: Gejala dispepsia fungsional yang khas adalah nyeri epigastrik, sensasi tekanan dan
penuh pada epigastrium, mual, dan rasa cepat kenyang. Etiologi gangguan ini heterogen dan
multifaktorial. Penyebabnya meliputi gangguan motilitas, hipersensitivitas visceral,
permeabilitas mukosa yang meningkat, dan gangguan sistem saraf otonom dan enterik. Belum
ada pengobatan secara kausal untuk dispepsia fungsional. Penanganannya harus dimulai dengan
edukasi intensif pasien mengenai sifat gangguan yang jinak dan dengan pembentukan pakta
terapeutik menegnai pengobatan jangka panjang. Karena tidak adanya pengobatan secara kausal,
maka obat-obatan untuk mengobati dispepsia fungsional harus diberikan tidak lebih dari 8-12
minggu. Obat Proton-pump Inhibitor, fitoterapi, dan eradikasi Helicobacter pylori merupakan
pengobatan yang berbasis bukti. Untuk kasus-kasus berat, anti depresan trisiklik dan psikoterapi
adalah pilihan pengobatan yang lebih efektif.

Kesimpulan: Gangguan kualitas hidup pasien dengan dispepsia fungsional menandakan


perlunya penegakan diagnosis yang pasti yang diikuti dengan pemberian pengobatan simtomatik
selama fase simtomatik .
PENDAHULUAN

Istilah dispepsia berasal dari bahasa Yunani “dys” [buruk], “pepsis” [pencernaan])
digunakan untuk spektrum gejala yang terlokalisis pada daerah epigastrium (antara pusar dan
proses xiphoideus) dan pelvis. Gejalanya yaitu nyeri epigastrium dan rasa terbakar (60 hingga
70%), perasaan kembung setelah makan (80%), rasa cepat kenyang (60 hingga 70%), distensi
di daerah epigastrium (80%), Mual (60%), dan muntah (40%). Gejala dispepsia dapat bersifat
akut misalnya pada gastroenteritis atau kronis. Untuk kasus lebih lanjut, bisa didasari dari
kelainan organik, seperti ulkus, refluks, penyakit pankreas, penyakit jantung dan otot atau
faktor-faktor fungsional lain mungkin bertanggung jawab.

Pada pemeriksaan diagnostik, 20 hingga 30% pasien dengan dispepsia ditemukan


memiliki penyakit lain yang mencetuskan gejala-gejalanya (1, 2). Dispepsia fungsional
(sinonim: sindrom lambung iritasi) muncul setiap kali dilakukan pemeriksaan diagnostik
rutin dan endoskopi tidak mengidentifikasi adanya kelainan struktural atau biokimia (1-6).
Temuan seperti batu empedu, hiatus hernia, erosi gaster, atau "gastritis" tidak serta merta
menjelaskan gejalanya dan dengan demikian tidak bertentangan dengan diagnosis dispepsia
fungsional.

Terhadap latar belakang pengalaman profesional kami, kami melakukan pencarian


selektif literatur di PubMed. Kriteria inklusi, yaitu sebagai berikut:

 Teks lengkap dalam bahasa Inggris atau Jerman.


 Jenis studi: "uji klinis," "uji klinis terkontrol secara acak," "meta analisis," "Tinjauan
sistematis”, "" pedoman praktik klinik, "" pedoman, "" Tinjauan pustaka”.
Target Pembelajaran. Setelah menyelesaikan artikel ini, pembaca harus:

 Mengetahui definisi dispepsia fungsional sesuai dengan pedoman saat ini.


 Memahami kriteria manifestasi klinis dispepsia fungsional.
 Mampu melakukan langkah-langkah umum penatalaksanaan primer dan telah memperoleh
pengetahuan tentang pilihan penatalaksanaan medis yang terbukti efektif terhadap dispepsia
fungsional.
Definisi dispepsia fungsional

Menurut kriteria Roma IV yang baru-baru ini direvisi (1), dispepsia fungsional didefinisikan:

 Dispepsia persisten atau berulang selama lebih dari 3 bulan dalam 6 bulan terakhir.
 Tidak ditemukan penyebab organik dari pemeriksaan endoskopi.
 Tidak ada tanda bahwa gejala dispepsia hanya berkurang setelah buang air besar atau
hubungannya dengan feses iregulitas.
Kriteria terakhir ini diperkenalkan untuk menyingkirkan diagnosis Irritable Bowel Syndrome
(IBS) dengan gejala yang sama, meskipun sekitar 30% pasien dengan dispepsia fungsional juga
memiliki IBS.

Kriteria Roma IV saat ini (1) membagi dispepsia fungsional menjadi dua subkelompok
sesuai dengan gejala cardinal (Gambar 1):

 Sindrom nyeri epigastrium (EPS) – Gejala dominan nyeriatau sensasi terbakar pada
epigastrium.
 Post prandial distress syndrome (PDS) — Gejala dominan rasa penuh pada epigastrium atau
rasa cepat kenyang.

Gambar 1. Definisi Dispepsia Fungsional Berdasarkan Kriteria Rome IV (1)


Epidemiologi dan Riwayat Alami Penyakit

Gejala dispepsia umum dan mengakibatkan banyak dampak langsung, seperti kunjungan ke
dokter, obat-obatan, dll dan juga khususnya biaya tidak langsung (cuti kerja) (3). Sekitar 18
hingga 20% orang Jerman mengeluh perut kembung, mulas, dan diare (6). Dalam prospektif
Studi Surveilans Gastro Enterologi Internasional (DIGEST), survei terhadap lebih dari 5500
orang menunjukkan bahwa sekitar sepertiga dari orang normal yang diwawancarai melaporkan
gejala dispepsia, termasuk dispepsia akut sebesar 6,5% dan dispepsia kronis sebesar 22,5%
kasus (7, 8). Hanya 10 hingga 25% dampak sosial dari gejala yang dirasakan cukup besar bagi
mereka untuk berkonsultasi dengan dokter (3). Namun, seperti halnya penelitian Anglo-Amerika,
Dispepsia mengambil biaya sebesar beberapa miliar EUR setiap tahun. Biaya-biaya ini bisa
langsung disebabkan oleh tuntutan layanan kesehatan, atau tidak langsung, melalui cuti dan
pensiun dini (7, 9). Penyakit ini menampilkan perjalanan periodik, fase dengan sedikit atau tanpa
gejala bergantian dengan periode keluhan intensif. Hanya 20% pasien dengan dispepsia
fungsional yang pernah bebas dari gejala dalam jangka panjang (1, 2, 5, 6)

Patogenesis Dispepsia Fungsional

Penyebab dispepsia fungsional heterogen dan multifaktorial. Dalam beberapa dekade


terakhir banyak penelitian patofisiologis sistematis yang membandingkan pasien dispepsia
fungsional dengan populasi sehat , hasilnya menunjukkan bahwa dispepsia fungsional adalah
gangguan organik meskipun faktor patofisiologis yang relevan dibahas lebih lanjut dari artikel
ini saat ini, namun masih tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan klinis rutin (5, 10-13).
Dispepsia termasuk gangguan motilitas, disfungsi sensorimotor yang dihubungkan dengan
hipersensitivitas terhadap rangsangan mekanik dan kimia, aktivasi imun, peningkatan
permeabilitas mukosa di usus kecil proksimal, dan gangguan sistem saraf otonom dan enterik
(Tabel 1) (12) Seperti halnya banyak penyakit, hubungan sebab akibat antara perkembangan
gejala dan gangguan organik belum diklarifikasi. Kelainan tidak terjadi pada semua pasien dan
bahwa perubahan motilitas dan sensitivitas tidak terbatas pada lambung. Selain itu, tidak ada
penelitian yang dilakukan untuk menentukan faktor mana yang terjadi bersama atau terpisah
satu sama lain.
Tabel 1 . Kelainan Fungsional dan Patofisiologinya pada Dispepsia Fungsional

Pasien dengan dispepsia fungsional mengalami gangguan akomodasi pada gaster proksimal
baik setelah dilatasi pada lambung maupun setelah makan (14). Hal ini ditunjukkan dalam
kedua kasus dengan relaksasi fundus yang tidak adekuat. Hasilnya adalah didapatkan distribusi
dispropional isi lambung dengan volume antrum lebih besar daripada di fundus (15). Tingkat
ekspansi antrum telah ditemukan terkait dengan peningkatan keparahan gejala (skor total dari
gejala kejenuhan awal, nyeri epigastrium, kembung, dan mual atau muntah) (14, 15). Selain itu,
pasien dengan dispepsia fungsional juga menunjukkan relaksasi fundus yang terganggu setelah
ekspansi duodenum (16).

Baik dengan perut kosong atau setelah makan, pasien dengan dispepsia fungsional
menderita hipersensitivitas visceral ketika fundus lambung mengalami ekspansi (17, 18).
Proporsi pasien yang ditemukan memiliki hipersensitivitas ini tergantung pada kriteria
diagnostik dan pada apakah hipersensitivitas didefinisikan sebagai proyeksi nyeri abnormal,
allodynia, dan / atau hiperalgesia.
Dalam setiap kasus hipersensitivitas berhubungan dengan keparahan gejala (19). Bahkan
pasien dengan akomodasi fundus normal dapat bereaksi secara hipersensitif terhadap ekspansi
lambung (20), dan beberapa pasien dengan dispepsia fungsional juga bereaksi terhadap ekspansi
duodenum, jejunum, atau rektum (21). Temuan ini menunjuk ke generalisasi daripada sensitisasi
visceral lokal dari nervus enterik eferen atau aferen atau saraf sensorik yang menghubungkan
usus dengan sistem saraf pusat (sumbu GIT-otak). Hipersensitivitas setelah ekspansi lambung
diperbaiki dengan menghambat tonus kolinergik tetapi tidak dengan relaksasi otot aktif melalui
nitrogliserin NO (22). Hal ini menunjukkan adanya peran dominan dari persarafan enterik
kolinergik dari asal hipersensitivitas.

Gejala dispepsia fungsional muncul setelah injeksi asam ke dalam duodenum (23) dan
mungkin akibat dari sensor peka pH atau pemindahan asam yang tidak memadai karena
gangguan fungsi motorik duodenum proksimal (24). Ini sesuai dengan sensitivitas yang
meningkat terhadap capsaicin (25). Capsaicin adalah agonis TRPV1 (reseptor transien potensial
saluran subfamili anggota V 1) yang distimulasi oleh di antara faktor-faktor lain yaitu penurunan
pH.

Adanya lemak dalam duodenum memicu gejala dispepsia fungsional akibat aksi saraf
langsung, peningkatan sensitivitas sel entero endokrin, peningkatan konsentrasi kolesistokinin
sistemik atau lokal, dan / atau peningkatan sensitivitas reseptor kolesistokinin-A (26).

Peran Faktor Mental dalam Patogenesis

Meskipun dispepsia fungsional berbeda dari IBS (27), selain faktor mental dalam
patogenesis, diagnosis, dan pengobatan ada lebih banyak kesamaan daripada perbedaan antara
kedua penyakit. Pada skala tes psikometri, pasien dengan dispepsia fungsional memiliki skor
lebih tinggi daripada mereka yang tidak memiliki gejala gastrointestinal untuk depresi,
kecemasan, dan somatisasi yang lebih kuat terkait dengan penurunan kualitas hidup daripada
gejala klinis itu sendiri (13). Hal ini menunjuk pada pemrosesan sentral dari rangsangan visceral
yang “patologis”, misalnya, meningkatkan kewaspadaan sensasi spesifik dari saluran
pencernaan. Peningkatan kewaspadaan ini dapat timbul dalam konteks sensitisasi pasca infeksi.
Hubungan yang sering antara dispepsia fungsional dengan penyakit-penyakit usus dan
ekstraintestinal lainnya juga mengindikasikan suatu “gangguan somatisasi” yang serupa dengan
IBS. Faktor-faktor biopsikososial yang mungkin ini ditampilkan sebagai kategori berbeda pada
Tabel 1.

Konfirmasi Dispepsia Fungsional

Konfirmasi diagnosis dispepsia fungsional berdasar pada :

 Gejala tipikal dan riwayat pasien.


 Eksklusi penyakit saluran pencernaan bagian atas lain yang mungkin memiliki gejala yan
sama dengan dispepsia (1, 4, 6).
Gejala yang menyertai nongastrointestinal adalah gejala vegetatif umum seperti
pengeluaran keringat meningkat, nyeri kepala, gangguan tidur, ketegangan otot, gejala
jantung fungsional, dan iritabel kandung kemih. Saat ditanyai, pasien biasanya melaporkan
riwayat keluhan yang panjang, gejala bervariasi tanpa perkembangan yang jelas, nyeri difus
lokasi bervariasi, tidak adanya penurunan berat badan, dan ketergantungan gejala pada
stres.

Satu-satunya instrument pemeriksaan diagnostik yang dianggap cukup akurat adalah


esophagogtroduodenoscopy termasuk untuk pemeriksaan Helicobacter pylori, selain itu
ultrasonografi abdomen disertai dengan adanya gejala tambahan IBS dengan pemeriksaan
endoskopi colon. Pemeriksaan ini diindikasikan dalam kasus-kasus di mana riwayat medis dan
gejala tipikal dan tes laboratorium awal seperti blood count, elektrolit, dan fungsi hati dan ginjal,
serta laju sedimentasi eritrosit atau CRP danparameter tiroid eral dalam rentang normal (Gambar
2) (1, 28).
Gambar 2. Prosedur Diagnostik Pasien Dispepsia (1, 28).H.p., Helicobacter pylori; EGD,
Esophagogastroduodenoscopy.

Pada pasien yang gagal berespon dengan pengobatan, prosedur diagnostik khusus harus
dilakukan. Adanya gejala refluks yang menyertai, pemantauan 24 jam pH esofagus / impedans
mungkin bermanfaat (29). Cbreath tests dan skintigrafi pengosongan lambung dapat mendeteksi
gangguan pengosongan lambung atau gastroparesis.

Pada kasus dengan gejala perut kembung berat, dilkaukan breath tests lebih lanjut untuk
intoleransi karbohidrat dan kolonisasi bakteri abnormal mungkin berguna. Pasien dengan gejala
yang tidak berespon dengan pengobatan harus dilakukan skrining gangguan mental seperti
kecemasan, depresi, dan stres (13, 30-32).

Pemeriksaan diagnostik sering mengungkapkan temuan yang dikaitkan secara endoskopi,


dan juga secara histologis mengarah ke gastritis. Pasien yang benar-benar mengalami dispepsia
fungsional sering ditegakkan diagnosisnya dengan "gastritis" berdasarkan hasil endoskopi dan
histologis. Istilah "gastritis" sebagai diagnosis klinis harus dihindari dalam mendukung dispepsia
fungsional, terutama karena temuan endoskopi dan histologis gastritis tidak sesuai dengan gejala
pasien (13, 33). Investigasi dan konfirmasi diagnostik yang tepat tidak boleh diikuti dengan
pemeriksaan berulang. Hanya jika gejalanya berubah atau dalam kasus refraktori maka perlu
dilakukan evaluasi ulang atau pemeriksaan lanjutan yang diperlukan.

Pilihan Pengobatan untuk Dispepsia Fungsional

Ukuran Umum

Ketika dispepsia fungsional telah dikonfirmasi, salah satu pengobatan pertama adalah
edukasi pasien lengkap mulai dari diagnosis dan konsekuensinya (28, 34). Sangat penting untuk
keberhasilan pengobatan menjelaskan esensi diagnosis kepada pasien secara sederhana,
komprehensif, dan menekankan bahwa dispepsia fungsional adalah penyakit jinak tetapi organik
yang mungkin timbul dari berbagai gangguan yang mendasarinya. Pada saat yang sama, pasien
harus diinformasikan tentang pilihan pengoabatan. Tindakan umum nonmedisinal berikut saat ini
direkomendasikan, meskipun kemanjurannya belum teruji secara klinis (34):

 Penjelasan tentang diagnosis dengan interpretasi temuan yang ada (yakinkan bahwa gejalanya
tidak disebabkan oleh kanker).
 Penjelasan tentang sifat dan penyebab gejala.
 Resolusi konflik dalam domain psikososial.
 Mendorong pasien untuk bertanggung jawab.
 Latihan relaksasi.
 Aliansi pengobatan untuk perawatan jangka panjang.
 Pilihan psikoterapi.
Diet hanya memainkan peran kecil dalam pengobatan dispepsia fungsional. Pasien harus
memperhatikan makanan apa yang tidak bisa dia toleransi dan harus dihindari. Untuk tujuan ini,
bisa menyimpan buku harian gejala, terutama dalam fase diagnostik. Makan teratur, menghindari
makan terlalu banyak, mengunyah lama dan tidak terburu-buru adalah rekomendasi umum yang
juga dapat membantu pengobatan dispepsia fungsional.

Pengobatan Medisinalis

Pengobatan medis dianjurkan sebagai tindakan suportif dalam interval simtomatik (1, 4-
6, 10, 13). Karena tidak adanya terapi kausal, maka durasi pengobatan dibatasi (mis.,
Periode 8-12 minggu) dan selalu berorientasi pada gejala utama, terutama karena tingkat
keberhasilan plasebo bisa sangat tinggi yaitu hingga 60%. Pasien menyetujui tujuan
perawatan yang realistis dengan penekanan pada pengurangan gejala dengan aplikasi
sistematis dari berbagai pilihan pengobatan. Berikut ini kategori pengobatan medis dan
nonmedisinal berbasis bukti : (lihat Gambar 3 untuk algoritma pengobatan):

 Proton pump inhibitors


 Pengobatan eradiksi Helicobacter pylori
 Phytotherapy
 Antidepressants
 Psychotherapy

Gambar 3. Algoritma PengobatanDispepsia Termodifikasi (1)

Obat Penekan Asam Lambung

Sejumlah uji coba terkontrol multinasional acak dari proton pump inhibitors (PPI) telah
menunjukkan dampak signifikan terhadap pengoabatan dispepsia fungsional dibandingkan
dengan plasebo (35). Satu meta-analisis menunjukkan dampak pemberian PPI 10 hingga
20% lebih tinggi daripada plasebo (RRR 10,3%; interval kepercayaan 95% [2,7; 17,3])
dengan jumlah yang diperlukan untuk mengobati (NNT) yaitu 14,7 pasien (35) . Dalam
analisis sub kelompok dampak pemberian PPI terbatas pada sindrom nyeri epigastrium
(RRR 12,8% [1,8; 34,3]) atau gejala dispepsia dengan refluks yang menyertainya (RRR
19,7% [1,8; 34,3]), sedangkan gejala dismotilitas pada sindrom dispepsia postprandial
tidak menunjukkan perbaikan dengan pemberian PPI (RRR 5,1% [10,9; 18,7]), untuk itu
perlu diberikan pendekatan terapi yang berbeda (1, 28, 35). Meskipun data penelitian
positif, pemberian PPI belum disetujui sebagai pengobatan dispepsia fungsional di Jerman.
Dalam konteks diskusi publik baru-baru ini mengenai efek samping potensial PPI, dapat
dinyatakan bahwa ketika diberikan sesuai dengan indikasi obat maka PPI sangat aman,
terutama karena PPI tidak diberikan untuk pengobatan jangka panjang dispepsia
fungsional ( 36)

Eradikasi Helicobacter pylori pada Dispepsia Fungsional

Dampak pengobatan eradikasi H. pylori pada dispepsia fungsional telah menjadi subyek
dari sejumlah uji klinis besar terkontrol plasebo. Meta analisis dari semua studi ini menunjukkan
perbedaan yang signifikan (OR 1,38 [1,18; 1,62]; p <0,001) dengan NNT 15 (33, 37). Setelah
eradikasi H. pylori pada dispepsia fungsional H. pylori-positif, sekitar 10% pasien tetap bebas
dari gejala dalam jangka panjang (= dispepsia terkait H. pylori), sementara pada pasien yang
gejalanya menetap atau muncul kembali walaupun sudah ekstirpasi. Hal Ini tetap menjadi topik
kontroversi dalam literatur apakah dispepsia terkait H. pylori adalah subkelompok dispepsia
fungsional atau mewakili entitas independen (28, 33).Namun, diskusi ini tidak relevan dalam
praktik klinis. Mengingat tidak adanya pengobatan kausal untuk dispepsia fungsional, maka
eradikasi H. pylorimerupakan pilihan pengobatan yang penting karena potensi kuratifnya.
Untuk alasan ini maka eradikasi H. pyloripada pengobatan dispepsia fungsional
direkomendasikan dalam pedoman Jerman dan internasional (38)
Tabel 2. Pilihan Pengobatan Dispepsia Fungsional

Dalam pedoman saat ini dari the German Societyfor Gastroenterology,Digestive and
Metabolic Diseases (DeutscheGesellschaftfür Gastroenterologie,Ver- dauungs- und
Stoffwechselkrankheiten, DGVS )(33) Eradikasi H. pylori adalah indikasi “bisa”. Potensi Efek
samping pemberian antibiotik harus selalu dipertimbangkan dalam proses pengambilan
keputusan.

Pilihan Pengobatan Fitoterapi dan Komplemen

Phytotherapeutics telah lama digunakan dalam pengobatan. Sejumlah uji coba terkontrol
plasebo telah menunjukkan efek positif dari phytotherapy dibandingkan dengan plasebo dalam
pengobatan dispepsia fungsional (34, e1). Persiapan kombinasi sering digunakan untuk
mengobati dispepsia fungsional. Kebanyakan adalah kombinasi tetap dari peppermint dan
minyak jintan atau campuran permen pahit (Iberis amara), wormwood, gentian, dan akar
angelica, biasanya dalam kombinasi dengan ekstrak spasmolitik dan sedatif seperti chamomile,
peppermint, jintan, dan lemon balm. Phytotherapeutics memberikan efek stimulasi tonus
spasmolitik dan / atau obat penenang pada saluran pencernaan sehinga dapat meringankan
gejala dispepsia fungsional (34). Di Jerman persiapan komersial STW 5 (39, e1) dan
Menthacarin (e2) secara rutin digunakan berdasarkan bukti efeknya.

Data praklinis kini telah menunjukkan mekanisme aksi phytotherapeutics pada saluran
pencernaan dan menunjukkan bahwa pendekatan multi target dengan kombinasi beberapa
ekstrak berbeda menunjukkan efek aditif dan sinergis (40). Dalam meta analisis dari tiga uji coba
terkontrol plasebo, pengobatan dengan STW 5 selama 4 minggu secara signifikan lebih unggul
dibandingkan plasebo (OR 0,22 [0,11; 0,47]; p = 0,001) (39).

Percobaan terkontrol plasebo multicenter yang lebih besar berikutnya selama periode 8
minggu menegaskan efek pengobatan (e3). Setelah banyak penelitian terkontrol plasebo positif,
phytotherapy sekarang direkomendasikan dalam pedoman Jerman dan internasional untuk
diberikan kepada pasien gangguan pencernaan fungsional, khususnya dispepsia fungsional dan
IBS (1, 6). Pengobatan dispepsia fungsional dengan enzim pencernaan juga telah dipelajari, di
mana tindakan klinis kombinasi tetap dari ekstrak mukosa lambung dan asam amino hidroklorida
yang digunakan diberikan bukan melalui substitusi tetapi dengan mendukung pelepasan
proteolitik asam amino. Percobaan crossover acak, terkontrol plasebo, double-blind pada 1167
pasien (e4) menunjukkan efek yang signifikan dari pengobatan ini dalam mengurangi gejala
dispepsia (p <0,001), tetapi studi praklinis dan klinis lebih lanjut diperlukan untuk mengonfirmasi
pengobatan komplementer lainnya seperti akupunktur telah memberikan efek heterogen dalam uji
coba terkontrol dan karenanya tidak direkomendasikan untuk dispepsia fungsional (5, 13). Sejauh
ini tidak ada bukti untuk kemanjuran homeopati atau probiotik.

Antidepresan dan Psikoterapi

Anti depresan diberikan setelah kegagalan pengobatan di atas. Kemanjuran anti depresan
trisiklik telah dikonfirmasi namun tidak untuk antidepresan inhibitor reuptake serotonin (e5).
Penelitian terbesar sampai saat ini menyelidiki manfaat amitriptilin (25 mg selama 2 minggu,
kemudian 50 mg selama 10 minggu), escitalopram (10 mg selama 12 minggu), dan plasebo pada
total 292 pasien. Sementara escitalopram tidak menunjukkan efek, amitriptilin mengurangi
gejala dominan seperti nyeri perut, secara signifikan dibandingkan dengan plasebo (OR 3.1 [1.1;
9.0]) (e6). Studi lain juga menunjukkan bahwa antidepresan sangat efektif mengurangi gejala
dispepsia ketika keluhan utamanya adalah komorbiditas perut dan / atau mental (e5). Ada juga
data yang mendukung penggunaan psikoterapi, yang harus dipertimbangkan khususnya dalam
kasus resistensi pengobatan (13, e7).
Prokinetik

Karena gangguan motilitas adalah penyebab mendasar dispepsia fungsional, prokinetik


dapat dipertimbangkan sebagai terapi dispepsia fungsional. Sebuah meta analisis dari 14 studi
menunjukkan bahwa prokinetik lebih efektif daripada plasebo (5, 10). Cisapride dan
Domperidone adalah obat yang paling banyak dipelajari. Cisapride telah ditarik dari pasar
beberapa waktu lalu karena kardiotoksisitasnya, sedangkan efek samping dari Domperidone
dan Metoclopramide berarti penggunaannya dibatasi, khususnya dalam pengobatan jangka
panjang. Dengan demikian, saat ini tidak ada prokinetik yang dapat digunakan dalam praktik
klinis sehari-hari. Prucalopride agonis 5-HT4 selektif efektif dalam mengobatai dispepsia
fungsional ketika indikasi terapinya adalah obstipasi refraktori, tetapi tidak ada uji coba
terkontrol yang telah dilakukan sehingga Prucalopride belum dilisensikan. Aciotamide
(inhibitor autoreseptor muskarinik dan inhibitor kolinesterase), itopride, dan levosulpiride
(keduanya antagonis selektif dopamin-D2 selektif) lebih lanjut merupakan obat aktif prokinetik
yang telah terbukti efektif dalam studi terkontrol tetapi belum disetujui untuk digunakan di
Jerman (e8– e10).

KESIMPULAN DAN ALGORITMA TERAPI DISPEPSIA

Dokter perawatan primer pada awalnya dihadapkan dengan dispepsia yang tidak diselidiki
yang tidak boleh dikacaukan dengan dispepsia fungsional. “Tidak diinvestigasi” berarti bahwa
tidak ada penilaian diagnostik, khususnya tidak ada pemeriksaan instrumental, belum
dilakukan untuk mengecualikan penyebab organik. Tiga strategi diagnosis dan pengobatan
dispepsiatidak diselidiki berikut dapat dibedakan (Gambar2) (28, 34):

 Observasi (“watchfulwaiting”)
 Terapi empiris
 Langkah diagnosis primer yaitu tes laboratorium,esophagogastroduodenoscopy, dan USG
abdomen yang diikuti pengobatan spesifik berdasarkan temuan.
Strategi pengamatan tanpa intervensi obat biasanya tidak praktis, karena kebanyakan pasien
datang dengan gejala dan meminta bantuan secepat mungkin.Yang dimaksud terapi empiris
adalah terapi dengan salah satu kelompok zat yang disebutkan di atas. Pilihan zat tergantung
pada gejala yang dominan. Percobaan acak dari negara-negara Inggris telah menunjukkan bahwa
endoskopi primer lebih unggul daripada terapi empiris, karena tidak adanya kelainan pada
endoskopi menyebabkan kepuasan pasien yang lebih besar dan sebagian besar pasien yang
memulai terapi empiris akhirnya harus diperiksa dengan endoskopi (34).

Dispepsia fungsional dengan gejala kardinal nyeri perut bagian atas pada awalnya dapat
diobati dengan PPI, diikuti terapi dengan phytotherapy jika tidak ada respons. Namun, jika
gejala dismotilitas mendominasi, pengobatan harus dimulai dengan fitoterapi. Jika
ditemukan infeksi H. pylori yang menyertainya, pedoman Jerman merekomendasikan
pemberian pengobatan eradikasi H. pylori. Dalam kasus-kasus refraktori, perlu dilakukan
skrining kecemasan, depresi, dan stres, intervensi antidepresan dan intervensi psikoterapi
dapat dipertimbangkan.
References

1. Stanghellini V,Talley NJ, Chan F, et al.: Rome IV – GastroduodenalDisorders.


Gastroenterology 2016 pii: S0016–5085(16)00177–3.
2. FordAC, MarwahaA, LimA, Moayyedi P: What is the prevalence of clinically significant
endoscopicfindings in subjects with dyspepsia? Systematicreview and meta-analysis. Clin
Gastroenterol Hepatol2010; 8: 830–7.
3. MadischA, Hotz J: GesundheitsökonomischeAspekte der funktio- nellen Dyspepsie und
des Reizdarmsyndroms. Gesundh ökon Qual manag 2000; 5: 32–5.
4. Moayyedi PM, Lacy BE,Andrews CN, Enns RA, Howden CW, Vakil N: ACG and CAG.
Clinical Guideline: Management of dyspepsia.Am J Gastroenterol 2017; 112: 988–1013.
5. Talley NJ, FordAC. Functional dyspepsia. N Engl J Med 2015; 373:1853–63.
6. Talley NJ, Walker MM, Holtmann G: Functional dyspepsia. Curr OpinGastroenterol 2016;
32: 467–73.
7. GFK Marktforschung Nürnberg: Die 100 wichtigsten Krankheiten. Woran die Deutschen
nach Selbsteinschätzung leiden.Apotheken- Umschau 1/2006.
8. EgglestonA, Farup C, Meier R:The domestic/international gastro- enterology surveillance
study(DIGEST): design, subjects and methods. Scand J Gastroenterol 1999; 231(Suppl): 9–
14.
9. Lacy BE, Weiser KT, KennedyAT, Crowel MD,Talley NJ: Functional dyspepsia: the
economic impact to patients.Aliment PharmacolTher2011; 33: 561–71.
10. Talley NJ: Functional dyspepsia:Advances in diagnosisand therapy.Gut and Liver 2017; 3:
349–57.
11. Oustamanolakis, P,Tack J: Dyspepsia: organicversus functional.J Clin Gastroenterol 2012;
46, 175–90.
12. Schemann M: Reizdarm und Reizmagen-Pathopysiologie und Bio- marker.
Gastroenterologe 2017; 2: 114–29.
13. Enck P,Azpiroz F, Boeckxstaens G, et al.: Functional dyspepsia. NatRev Dis Primers 2017;
3: 17081.
14. Bortolotti M, Bolondi L, Santi V, Sarti P, Brunelli F, Barbara L: Patterns of gastric
emptying in dysmotility-like dyspepsia. Scand J Gastro- enterol 1995; 30, 408–10.
15. Kim DY, Delgado-Aros S, Camilleri M, et al.: Noninvasive measure- ment of
gastricaccommodation in patients with idiopathic nonulcer dyspepsia.Am JGastroenterol
2001; 96: 3099–105.
16. Coffin B, Azpiroz F, Guarner F, Malagelada JR: Selective gastric hypersensitivity and
reflex hyporeactivity in functional dyspepsia.Gastroenterol 1994; 107, 1345–51.
17. Troncon LE,Thompson DG,Ahluwalia, NK, Barlow J, Heggie L: Relations between upper
abdominal symptoms and gastric distension abnormalities in dysmotility like functional
dyspepsia and after vagotomy. Gut 1995; 37: 17–22.
18. Mertz H, Fullerton S, Naliboff B, Mayer EA: Symptoms and visceral perception in severe
functional and organic dyspepsia. Gut 1998; 42,814–22.
19. Simrén M,Törnblom H, Palsson OS, et al.: Visceral hypersensitivityis associated with GI
symptom severity in functional GI disorders: consistent findings from five different patient
cohorts. Gut 2018; 67:255–62.
20. Mearin F, Cucala M,AzpirozF, Malagelada JR:The origin of symp- toms on the brain-gut
axis in functional dyspepsia. Gastroenterol1991; 101: 999–1006.
21. Grundy D,Al-Chaer ED,Aziz Q, et al.: Fundamentals of neurogas- troenterology: basic
science. Gastroenterol 2006; 130: 1391–411.
22. Bouin M, Lupien F, Riberdy-Poitras M, Poitras P:Tolerance to gastric distension in patients
with functional dyspepsia: modulation by a cholinergicand nitrergic method. Eur J
Gastroenterol Hepatol 2006;18: 63–8.
23. Lee KJ, Demarchi B, Demedts I, Sifrim D, Raeymaekers P,TackJ.A: Pilot studyon
duodenal acid exposure and its relationship to symptoms in functional dyspepsia with
prominent nausea.Am J Gastroenterol 2004; 99: 1765–73.
24. Samsom M, Verhagen MA, vanBerge Henegouwen GP, SmoutAJ: Abnormal clearance of
exogenous acid and increased acid sensitivity of the proximal duodenum in dyspeptic
patients. Gastroenterol 1999;116: 515–20.
25. Hammer J, Führer M, Pipal L, Matiasek J: Hypersensitivity for cap- saicin in patients with
functional dyspepsia. Neurogastroenterol Motil2008; 20: 125–33.
26. Feinle-Bisset C: Upper gastrointestinal sensitivity to meal-related signals in adult humans –
relevance to appetite regulation and gut symptoms in health, obesity and functional
dyspepsia. Physiol Behav2016; 62: 69–82.
27. Enck P,Aziz Q, Barbara G, et al.: Irritable bowel syndrome. Nat RevDis Primers. 2016; 2:
16014.
28. Delaney B, FordAC, Forman D, Moayyedi P, Qume M: Initial manage- ment strategies for
dyspepsia. Cochrane Database Syst Rev2005;19; CD00196.
29. Labenz J, Koop H. [Gastro-oesophageal reflux disease – how to man- age if PPI are not
sufficiently effective, not tolerated, or not wished?]. Dtsch Med Wochenschr 2017; 142:
356–66.
30. Van Oudenhove L,AzizQ:The role of psychosocial factors and psychiatric disorders in
functional dyspepsia. Nat Rev Gastroenterol Hepatol 2013; 10: 158–67.
31. Oudenhove L, Walker MM, Holtmann G, Koloski NA,TalleyNJ: Mood and anxiety
disorders precede development of functional gastrointesti- nal disordersin patients but not
in the population. Clin Gastroenterol Hepatol 2017; 15: 1014–20.
32. Pinto-SanchezMI,FordAC,Avila CA,etal.:Anxietyanddepression in- creaseina
stepwisemannerinparallel withmultipleFGIDs and symp- tom severityand
frequency.AmJGastroenterol2015;110:1038–48.
33. Fischbach W, Malfertheiner P, Lynen Jansen P, et al.: S2k-Leitlinie Helicobacter pylori und
gastroduodenale Ulkuskrankheit. ZGastro- enterol 2016; 54: 327–63.
34. MadischA, Miehlke S, Labenz J: Management of functional dyspep- sia: Unsolved
problemsand new perspectives. World J Gastroenterol2005; 11: 6577–81.
35. Wang WH, Huang JQ, Zheng GF, et al.: Effectsof proton-pump inhibitors on functional
dyspepsia: a meta-analysis of randomized placebo-controlled trials. Clin Gastroenterol
Hepatol. 2007; 5: 178–85.
36. Mössner J:The indications, applications, and risks of proton pump inhibitors. DtschArztebl
Int 2016; 113: 477–83.
37. Zhao B, Zhao J, Cheng WF, et al.: Efficacy of Helicobacter pylori eradication therapy on
functional dyspepsia: a meta-analysis of ran- domized controlled studies with 12-month
follow-up. J Clin Gastro- enterol 2014; 48: 241–7
38. Sugano K,Tack J, Kuipers EJ, et al.: Kyoto global consensus report on Helicobacter pylori
gastritis. Gut 2015; 64: 1353–67.
39. Melzer J, Rosch W, Reichling J, Brignoli R, Saller R: Meta-analysis: phytotherapy of
functional dyspepsia with the herbal drug preparation STW 5.Aliment PharmacolTher
2004; 20: 1279–87.
40. Hohenester B, RühlA, Kelber O, Schemann M:The herbal prepara- tion STW5 has potent
and region-specific effects on gastric motility. Neurogastroenterol Motil 2004; 16: 765–73.

Anda mungkin juga menyukai