Anda di halaman 1dari 6

Nama : Della Trijuliana

Kelas : IP 4 C

NPM : 1610631180035

Matkul : Politik Agraria

Riview Buku “Dari Adat ke Politik”

Karya Nur Iman Subono

I. Dari Gerakan Sosial Menuju Partai Politik

Transformasi gerakan sosial dalam demokratisasi di Bolivia dan Ekuador, difokuskan


kepada proses – proses sosial dan politik dibalik transformasi gerakan sosial menjadi partai
politik, meskipun tetap mempertahankan gerakan sosial sebagai basis dukungan. Namun
demikian transformasi itu bukan menjadikan “gerakan sosial” menjadi “partai politik” sebagai
“dua identitas yang terpisah atau berbeda”. Pada tahun 1980 gerakan masyarakat adat Amerika
Latin disebut sebagai gerakan sosial berbasis “penduduk asli” ini, memang begitu marak
kemunculannya, dan sekaligus mengagetkan banyak pihak. Mereka secara sendiri-sendiri
maupun bersama-sama bergerak lintas negara atau wilayah, mengorganisir memobilisir dan
berpartisipasi dalam proses-proses politik, baik ditingkat nasional, regional, maupun
Internasional.
Persoalan masyarakat adat di beberapa wilayah Amerika Latin ini juga mendapat
pengakuan Internasional seperti misalnya Rigoberta menchu, seorang perempuan suku maya,
guatemala yang memperoleh hadial nobel perdamaian (1992) karena kiprahnya sebagai pejuang
Hak Asasi Manusia, khususnya dalam memperjuangkan hak-hak penduduk asli di guatemala,
dan Amerika Latin secara umum.
Sementara dalam proses politik khususnya proses demokrasi dalam politik Electoral kita
bisa merujuk Rodolvo Stavenhagen (2002) dari El Coligio de Mexcico yang mengatakan bahwa
hingga 1990, partai politik yang dikelola atau diorganisir dengan berbasis etnisitas sangat jarang
ada di Amerika Latin, meskipun populasi wilayah ini sangat beragam saceara rasial dan etnis.
Pandangan ini sejalan dengan survei Crawford Young (1976) mengenai ras, etnisitas, dan
pluralisme budaya di Amerika Latin. Menurutnya, di Amerika Latin, ternyata faktor kelas dan
nasionalisme lebih penting dibandingkan “penegasan diri” (Self Advimation) sebagai penduduk
asli atau orang Indian. “Indian qua Indian”, lanjutnya “bukanlah aktor kolektif dalam arena
politik nasional.” Artinya, secara umum bisa kita katakan bahwa kajian-kajian yang ada terlalu
mengabaikan penduduk asli tersebut, kecuali sebagai kelompok masyarakat yang terbelakang,
tidak stabil, miskin, tertinggal dari laju modernisasi, dan sangat tidak memdahi untuk terlibat
dalam proses demokrasi. Selama abad ke-20, menurut Deborah J. Yashar (1997) dari Princeton
University, aktifitas yang terbentuk di kawasan pertanian di kalangan dan di dalam komunitas
penduduk asli selama ini biasanya secara tradisional terserap dalam serikat-serikat petani, partai
politik, gereja dan gerakan revolusioner. Dalam kajian-kajian perbandingabn politik selama ini,
etnisitas dalam politik Amerika Latin memiliki dampak yang kecil saja dalam pengorganisasian
politik, platform partai politik, perdebatan politik, dan konflik politik.
Kita menyaksikan kini muncul dan berkembangnya gerakan sosial berbasis penduduk asli
di Bolivia dan Ekuador, juga di negara – negara Amerika Latin lainnya. Sebagai bagian dari
perjuangan politiknya, mereka menuntut hak penentuan nasib sendiri secara budaya (cultural self
determination) hak untuk hidup menurut adat istiadat sendiri (usos y custombers), pemerintahan
sendiri ( self governement ) sesuai dengan praktik dan kebiasaan lokal.

Mengapa Bolivia dan Ekuador

Pemilihan Bolivia dan Ekuador sebagai sorotan didasarkan pertimbangan khusus. Pertama,
populasi penduduk asli Ekuador dan Bolivia sekitar 20% dari sekitar 40 juta jiwa seluruh
populasi penduduk asli diseluruh wilayah Amerika Latin. Di Bolivia mereka merupakan
minoritas, tetapi signifikan secara politik, sekitar 20% - 40% dari total penduduk. Kedua, dua
negara itu juga dikenal tidak stabil secara politik, didominasi oleh kaum elit, diwarnai dengan
kudeta militer, dan institusionalisasi politiknya disebut oleh mainwaring dan scully (1995)
sebagai “inchoate party system” atau “ non or weekly institutionalizd party system”. Akibatnya
kondisi ini menghasilkan rendahnya keterwakilan kepentingan dari sektor-sektor masyarakat
yang terpinggirkan khususnya masyarakat adat. Ketiga, adanya kesamaan tahun-tahun proses
politik yang terjadi di kedua negara itu, yakni setelah transisi demokrasi terjadi dan pemilu
dijalankan di Bolivia (1982) dan Ekuador (1979) sebagai tanda kembalinya pemerintahan sipil,
perkembangan selanjutnya adalah dorongan untuk membentuk partai politik berbasis etnis
muncul hampir bersamaan di Bolivia (1995) dan Ekuador (1996). Pada bagian-bagian
berikutnya, kita bisa menerima dari adat ke politik tak semata sebagai sumbangsih pengetahuan,
melainkan juga sumbangsih kebahasaan.

Tak luput menyoal “Indian”, istilah penting dalam obrolan ikhwal masyarakat adat di
Amerika Latin. “Indian” sendiri kita tahu lebih merupakan kesalahan sejarah, karena saat
colombus mendarat di salah satu pulau caribia dalam ekspedisinya dia menyangka telah
menemukan benua India yang menjadi tujuan utamanya dalam mencari rempah-rempah.
Kemudian ada dua masalah dalam istilah Indian itu sendiri, seolah-olah penduduk asli ini
homogen dan seragam di semua tempat (padahal penduduk asli Amerika Latin sangat
heterogen), dan berkonotasi penghinaan atau perendahan penduduk asli.

Membagi tiga politik dan masyarakat adat di Amerika Latin: masa kolonialisme, masa
kemerdekaan dan kebangkitan gerakan masyarakat adat. Di setiap masanya itu pemberontakan
masyarakat selalu ada, namun berhasil di tuntas. Di era kemerdekaanpun masyarakat adatpun
tetap ada di bawah timbunan paling bawah dalam struktur masyarakat nasional, dan elit seolah
yang mendominasi kekuasaan politik dan ekonomi di Amerika Latin hanya elitnya saja yang
mengalami sirkulasi pergantian, tanpa mengubah struktur masyarakat.

Lalu apa yang baru dari adat masyarakat di Amerika Latin?

Menurut Dona Levancot hanya tranformasi dari yang tadinya hanya “pihak luar” yang
cuma memilki kapasitas untuk memperngaruhi kemudia berkembang menjadi aktor politik
kolektif yang efektif dan berkuasa yang dapat mempertahankan kehadirannya baik di tingkat
Naional, Regional, maupun Internasional. Untuk pertama kalinya pueblos (rakyat jelata) tampil
sebagai aktor politik baru, yang masuk dalam agenda-agenda perjuangan merka sendiri, kata
Lucas Savino.

Cocaleros di Bolivia

Cocaleros merupakan petani koka hanya muncul dan bererkembang di dua tempat Los
Yungas di Departemen La Paz dan L capare di Departemen Cocabamba. Di dua tempat itu
markas besar gerakan Cocaleros. Sering juga disebut “generasi kedua” gerakan sosial
masyarakat adat di Bolivia, karena jauh sebelumnya sudah ada banyak organisasi dan gerakan
sosial yang cukup mengemukakan di Bolivia: konfederasi sindikalis tunggal buruh tani Bolivia
dan konfederasi masyarakat adat Bolivia. Namun, Cocaleroslah yang paling menarik karena:

1. Visi aksi ggerakan sosial perlawanan terhadap globalisasi neo liberal dan
perjuangan kelas melawan kekuasaan negara. Dia membangun basis strategi
kehidupannya dfi tingkat lokal dalam melakukan perlawananya terhadap kebijakan
negara, sekaligus mengaitkannya dnegan gerakan lebih luas dalam melakaukan
perlawanan terhadap globalisasi dan neoliberal.
2. Melalui partai politiknya Movimiento Al Sochialismo ( MAS ) dibantu dan
beraliansi dengan berbagai pihak, pada akhirnya mampu menjadikan ketuanya evo
morales dari suku aimara sebagai presiaden pada tahun 2015 dengan perolehan
suara 53,7 persen. Morales adalah Presiden pertama di Bolivia, bahkan di Amerika
Latin, yang berasal dari penduduk asli.

Neoliberalisme berdampak besar pada kaum buruh dan tani (termasuk petani adat). Bukan hanya
terjadi pemotongan besar-besaran anggaran untuk subsidi pertanian dan akses kredit, tetapi
ideologi dan kebijakan neoliberalisme dalam bentuk privatisasi dan sertifikasi individu secara
langsung mengancam hak adat atas tanah komunal yang merupakan konsep kewilayahan utama
penduduk asli. Pada titik inilah, menurut Iman, wacana anti neoliberalisme menjadi semacam
amunisi pencetus atau daya ledak gerakan penduduk asli.

Dua organisasi dua adat itu berhasil memenangkan elektoral dengan caranya sendiri. Konflik
internal di dalam dua organisasi itu sebelum memutuskan mendirikan partai politik sehingga
berhasil memenangkan elektoral presiden. Sebagaimana di Bolivia dan Ekuador, menurut Iman,
masyarakat di Indonesia juga berada dalam posisi marginal secara ekonomi dan subordinat
secara sosial dan politik. Mereka layaknya “orang lain” di negeri sendiri. Sejarah kolonialisme di
Indonesia juga demikian, dicirikan dengan penaklukan dan pengambil alihan wilayah-wilayah
adat dan wilayah kelola adat dengan satu asumsi, wilayah itu pada dasarnya tidak bertuan.

Peran masyarakat adat sangat berkaitan dengan tanah, sumber daya alam, hutan dan
keberlangsungan lingkungan. Kehidupan mereka harmonis dengan alam. Namun, kolonialisme
dan kapitalisme hingga pemerintah telah merusak kehidupan masyarakat adat di Indonesia
dengan merampas hutan tanah mereka sebagai “hak menguasai negara” lalu diberikan kepada
korporasi dalam bentuk lisensi, izin dan konsesi. Cerita itu juga terjadi di Amerika Latin, dimulai
dari penjajah Spanyol menghabisi sekitar 95% populasi masyarakat adat. Setelah kolonialisme,
kapitalisme global berkolaborasi dengan pemerintahan suatu negara, juga menghancurkan
keberadaan masyarakat adat.

Ditengah itu perlawanan masyarakat adat, dari gerakan sosial hingga merebut kekuasan politik
melalui pemilihan elektoral. Tahun 1990 sampai 2000 terjadi perubahan politik di Amerika
Latin, ketika gerakan masyarakat adat mulai dari Mexico, Nikaragua hingga terutama Bolivia
dan Ekuador yang menampilkan diri sebagai subjek kekuatan politik yang menentukan dalam
proses-proses politik yang sedang berlangsung, bahkan mereka juga mampu masuk dalam
struktur kekuasaan melalui pendirian partai politik berbasis etnik dan politik elektoral. Kajian-
kajian ilmu politik selama ini hanya berfokus pada masalah-masalah elit politik, kekuatan bisnis
ekonomi, kalangan oligarki, kudeta militer dan kekuatan buruh, instabilitas politik dan krisis
ekonomi hingga demokrasi tanpa memberikan tempat pada peran dan posisi penduduk asli dalam
proses-proses politik yang sudah dan sedang berlangsung kecuali sebagai objek politik yang
pasif, mudah diatur dan terbelakang. Namun semuanya berbalik 180 derajat kata Nur Iman
Subono dalam kata pengantar yang tertarik melihart fenomena yang tidak dipikirkan oleh para
pengkaji politik.

Dengan mengumpulkan literatur lantas membingkai dengan pendekatan struktur politik, struktur
mobilisasi, proses pembingkaian dan menuju pendekatan integrasi struktur politik. Para peneliti
modern menyebutnya “malapetaka demografi” yang dihadirkan oleh berbagai penyakit baru
seperti cacar, campak, typus, penyakit kotor, dan influenza yang tanpa sengaja dibawa penjajah
Eropa dan memusnahkan sebagian besar masyarakat yang ada. Selama kolonialisme Eropa
mereka megalami diposession (tercabut hak miliknya), ekspoitation (penghisapan), dan
oppression (penindasan).

Nur Iman Subono membagi tiga partai dan masyarakat adat di Amerika Latin; masa kolonialism,
masa kemerdekaan, dan masa kebangkitan gerakan masyarakat adat. Di tiap masa itu
pemberontakan masyarakat adat selalu ada, namun berhasil ditumpas. Pun di era kemerdekaan,
masyarakat adat tetap berada di bawah timbunan paling bawah dalam struktur masyarakat
nasional, dan elit kreolah yang mendominasi kekuasaan politik dan ekonomi di Amerika Latin
pada masa itu. Hanya bagian elitnya saja yang mengalami sirkulasi pergantian, tanpa ada
perubahan di dalam struktur masyarakat.

Bagian paling terakhir dari buku ini menunjukan betapa Nur Iman Subono paham bahwa setiap
kajian politik suatu negara atau wilayah diluar sana mesti pula dijadikan pelajaran untuk
Indonesia. Diskusi gerakan adat Indonesia hampir selalu bisa dipastikan merujuk ke Aliansi
masyarakat adat nusantara (AMAN), yang berdiri pada tahun 1999 dan menjadi organisasi
masyarakat dat tingkat Naisonal pertama di Indonesia. Memang, setahun setelah reformasi 1998,
beragam masyarakat adat tiba-tiba bangkit di berbagai wilayah Indonesia. Di era mutkhair ini
kita pun mengenal sedulur sikep lebih sering dikenal sebagai wong samin yang menyuarakan
penolakan keras terhadap pembangunan pabrik semen karena akan merusak ekosistem
pegunungan kendeng. Namun, karena kita heterogen dan tidak setiap dari kita bisa menerima
kenyataan itu, maka kehadiran masyarakat adat dalam kontestasi politik Nasional tentu sangat
sulit.

Anda mungkin juga menyukai