Anda di halaman 1dari 26

FISIOLOGI NYERI

Nurfitriyana, Fitriani Asrul

A. Pendahuluan

Salah satu tujuan dari tindakan medis adalah mempertahankan dan

memulihkan status kesehatan pasien serta meminimalkan penderitaan mereka.

Untuk mencapai tujuan ini, pemahaman nyeri secara universal harus dapat

dipahami dengan baik. Nyeri bisa berasal dari berbagai situasi apapun, namun

cedera menjadi penyebab utama. Persepsi rasa sakit di setiap individu bersifat

kompleks dan dikendalikan oleh berbagai variabel.1

Untuk memahami fisiologi dan mekanisme nyeri serta metode pengendalian

yang optimal, harus dipahami jalur anatomis yang mentransmisikan informasi

nosiseptif ke otak. Jalur anatomi dibagi menjadi empat bagian: sistem perifer,

spinal, dorsal horn medullary, sistem ascending supraspinal. Neuron aferen

terletak pada ganglia dorsalis, yang terdapat pada foramina vertebralis medulla

spinalis. Setiap neuron aferen memiliki akson bifurkasi yang tunggal, satu menuju

jaringan perifer yang diinfervasinya dan yang lain menuju ke cornu dorsalis

medulla spinalis, yang menerima input sensoris. Pada cornu dorsal medulla

spinalis, neuron primer yang pertama bersinaps dengan neuron kedua yang

aksonnya melintasi garis tengah menuju traktus spinotalamikus kontralateral untuk

mencapai talamus. Saat di cornu dorsalis, selain terjadi sinaps dengan neuron

kedua, juga terjadi sinaps terhadap interneuron, neuron simpatik, dan cornu

anterior motorik. Selanjutnya pada inti thalamus, rangsangan diteruskan ke gyrus

1
postcentral dari korteks serebral melalui kapsul internal dan korona radiata untuk

dilakukan persepsi terhadap rangsangan yang ada.2

B. Definisi

Pada tahun 1996, International Association Study of Pain mendefinisikan

nyeri sebagai suatu pengalaman sensoris dan emosional yang terkait dengan

kerusakan jaringan atau potensial kerusakan jaringan. Nyeri adalah pengalaman

subjektif, yang tidak dapat diukur dengan mudah karena membutuhkan kesadaran.

Menggambarkan nyeri sebagai ‘pengalaman’ terpisah dari ‘nosisepsi’. Nosisepsi

adalah proses yang melibatkan transduksi dan transmisi stimulus berbahayake otak

melalui jalur nyeri. Nyeri adalah hasil dari interaksi kompleks antara sistem sinyal,

modulasi dari pusat yang lebih tinggi dan persepsi dari individu.2,3

Nyeri mempengaruhi seluruh tubuh melalui mekanisme neurohormonal,

pengeluaran katekolamin, jalur simpatis respon stress secara umum. Respon

fisiologis terhadap nyeri, berupa ansietas, takikardia, diaoresis, dan katabolisme.

Hal ini meningkatkan kebutuhan oksigen, peningkatan motilitas usus, takipnu,

aktifasi RAA sistem, dan produksi sitokinin dalam jumlah yang besar.3

2
Tabel 1. Respon sistemik dan fisiologik dari nyeri3

C. Klasifikasi Nyeri

1. Berdasarkan waktu durasi nyeri:

a. Nyeri akut : < 3 bulan, mendadak akibat trauma atau inflamasi, tanda

respon simpatis, penderita ansietas sedangkan keluarga suportif.

b. Nyeri kronik : >3 bulan, hilang timbul atau terus menerus, tanda respon

parasimpatis, penderita depresi sedangkan keluarga lelah

2. Berdasarkan etiologi, ke dalam :

a. nyeri nosiseptik : rangsang timbul oleh mediator nyeri, seperti pada

paska trauma operasi dan luka bakar

b. nyeri neuropatik : rangsang oleh kerusakan saraf atau disfungsi saraf

seperti diabetes mellitus, herpes zoster

3. berdasarkan intensitas nyeri, ke dalam:

3
a. skala visual analog score : 1-10

b. skala wajah Wong Baker : tanpa nyeri, nyeri ringan, sedang, berat, tak

tertahankan.

4. berdasarkan lokasi:

a. nyeri superfisial : nyeri pada kulit, subkutan, bersifat tajam, terlokasi,

b. nyeri somatik dalam : nyeri berasal dari otot, tendo, tumpul, kurang

terlokasi

c. nyeri visceral : nyeri yang berasal dari organ internal atau organ

pembungkusnya, seperti nyeri kolik gastrointestinal, dan kolik ureter.

d. nyeri alih/reffered : masukan dari organ dalam pada tingkat spinal

disalah artikan penderita sebagai masukan dari daerah kulit pada segmen

spinal yang sama

e. nyeri proyeksi : misalnya pada herpes zoster, kerusakan saraf

menyebabkan nyeri dialihkan ke sepanjang bagian tubuh yang dipersarafi

oleh saraf yang rusak tersebut.

f. nyeri phantom : persepsi nyeri dihubungkan dengan bagian tubuh yang

hilang seperti pada amputasi ekstremitas.

Nyeri dikelompokkan pula berdasarkan area nyeri, ke dalam : nyeri kepala,

leher, dada, abdomen, punggung, pinggang bawah, pelvis, ekstremitas, dan

sebagainya. Berdasarkan sifat nyeri ke dalam nyeri tusuk, terbakar, kemang, nyeri

sentuh, nyeri gerak, berdenyut, menyebar, hilang timbul, dan sebagainya.

4
Klasifikasi nyeri akan sangat berguba untuk menentukan penyebab, membedakan

nyeri neuropatik dari nosisepti, merencanakan terapi, dan evaluasi penderita.4

C. Anatomi dan Fisiologi Nyeri

Nociceptores tidak terspesialisasi, merupakan ujung saraf yang bebas, tak

bermyelin yang mengubah berbagai rangsangan menjadi impuls saraf, yang

dinterpretasikan otak untuk menghasilkan sensasi rasa nyeri.5

Ada 2 jenis nosiseptor, yaitu :

- high-threshold mechanoreceptors (HTM), yang berespon terhadap kerusakan

mekanis

- polymodal nociceptors (PMN), yang berespon terhadap berbagai kerusakan

jaringan oleh pengeluaran mediator:

 cytokines

 bradykinin

 histamine

 prostaglandins

 leucotrienes.6

Aktifasi nosiseptor oleh mediator-mediator yang dikeluarkan dari kerusakan

jaringan dan saraf. Prostaglandin dan bradikinin pada nosiseptor untuk aktivasi

rangsangan dengan intensitas rendah. Histamin dan 5-HT menyebabkan rasa sakit

ketika langsung terkena nerve ending. Ion hidrogen dan 5-HT bertindak langsung

5
pada saluran ion membran sel, tetapi sebagian besar yang lain mengikat membrane

reseptor dan mengaktifkan sistem messenger kedua melalui protein G. Nosiseptor

adalah ujung saraf yang bebas dari serabut saraf. Ada dua jenis serabut utama: A γ

dan C fibres. Perbandingan dari sifat-sifat serabut nyeri ini ditunjukkan pada Tabel

1. Nosiseptor berakhir pada dorsal root ganglia dan berhenti pada lapisan

superfisial dorsal horn of the spinal cord. Di sini terjadi penyampaian pesan

dengan melepaskan neurotransmiter seperti glutamat [3], substansi P, dan

calcitonin gene related peptide (CGRP Neurotransmiter ini akan menghasilkan

aktivasi neuron orde kedua sesuai reseptor. Selanjutnya melintasi spinal cord ke

sisi kontralateral hingga traktus spinotalamikus hingga mencapai thalamus.

Selanjutnya neuron ketiga diaktifkan, dari thalamus ke korteks somatosensori,

yang memungkinkan untuk persepsi nyeri. Harus disebutkan bahwa pada tingkat

spinal cord, neuron urutan kedua menghasilkan aktivasi langsung neuron dari

lower motor neuron pada ventral horn spinal cord, sehingga terjadi refleks berupa

penarikan dari stimulus berbahaya. Demikian juga, interneuron pada spinal cord

yang akan memodulasi informasi nyeri yang masuk.5

6
Gambar 1. Alur nyeri

Tabel 1. Karakteristik serabut saraf perifer

7
Nosiseptor didistribusikan dalam struktur somatik dan visceral. Struktur

somatik (kulit dan jaringan dalam: otot, tendon, tulang, sendi) merespon berbagai

rangsangan mekanik, kimia, dan termal yang mengarah ke sensasi yang dirasakan

dan terlokalisir dengan baik. Nociceptors somatik dalam jaringan kurang sensitif

terhadap rangsangan berbahaya daripada nosiseptor kulit, tetapi mudah

tersensitisasi oleh peradangan. Nosiseptor spesifik mungkin ada di otot dan kapsul

sendi; berespon terhadap rangsangan mekanis, termal, dan kimia, hal ini akan

menjelaskan kejadia sebagian besar pada cedera olahraga. Kornea dan pulpa gigi

unik karena hampir keseluruhannya dipersarafi oleh nociceptif A-delta dan C fiber

(kornea dan A-delta, A-beta, dan gigi C-fiber.2

Struktur viseral (organ viseral seperti hati, saluran gastro-intestinal) dapat

terjadi nyeri yang disebabkan oleh iskemia, spasme, atau peradangan otot polos

serta rangsangan mekanik seperti distensi mesenterium. Serabut ini berjalan dalam

saraf simpartis dan parasimpatis, dan nyeri yang diinduksi kurang terlokalisasi.

Organ-organ pendengaran umumnya tidak peka dan kebanyakan mengandung

silent nociceptor. Beberapa organ memiliki nosiseptor spesifik, seperti jantung,

paru-paru, testis, dan saluran empedu. Kebanyakan organ lain, seperti usus,

dipersarafi oleh nosiseptor polimodal yang merespon spasme otot polos, iskemia,

dan peradangan. Reseptor-reseptor ini umumnya tidak berespon terhadap

pemotongan, pembakaran, atau penghancuran yang terjadi selama operasi.

Beberapa organ, seperti otak, memiliki nosiseptor dalam jumlah yang sedikit;

namun, meningeal otak memang mengandung nosiseptor. Fenomena ini

8
menjelaskan kebutuhan akan anestesi dan analgesia yang adekuat hanya selama

awal prosedur bedah saraf untuk diseksi dan paparan jaringan otak.2

1. The Spinal and Medullary Dorsal Horn

a. The Dorsal Horn

Dorsal horn adalah proyeksi rostral dari serabut afferent C dan A-delta

dalam traktus Lissauer (LT) yang memasuki kolumna spinalis, ascend atau

descend satu atau dua pada segmen ini sebelum menembus gray matter

dari dorsal horn tempat terjadinya sinapsis pada neuron orde kedua. Sinaps

merupakan keadaan penting dalam modulasi informasi nosiseptif dan

dipengaruhi oleh berbagai zat excitatory atau inhibitory. Untuk serabut A-

delta neurotransmitter di dorsal horn adalah glutamat yang bekerja pada

reseptor AMPA. Untuk C fiber, neurotransmiter di dorsal horn adalah

glutamat bersama dengan peptida tertentu seperti substansi P dan reseptor

untuk glutamat adalah AMPA dan N-methyl Daspartate (NMDA).

Reseptor NMDA dirangsang oleh depolarisasi secara kontinyu. Stimulasi

terus-menerus dari serabut C menyebabkan eksitasi pada neuron pasca

sinaptik di dorsal horn yang diintensifkan oleh aktivitas NMDA secara

bersamaan.2

Zat algesik atau penyabab nyeri berupa serotonin, histamin,

prostaglandin, bradikinin, substansi P, substansi K, asam amino glutamat

dan aspartat, calcitonin gene-related peptide, peptida intestinal vasoaktif,

kolesistokin, adenosin trifosfat, dan asetilkolin. Zat analgesik atau

9
penghambat rasa sakit adalah inhibitor neuromediator dan termasuk opioid

endogen (enkephalins, dynorphins, dan beta-endorphins), somatostatin,

serotonin, norepinefrin, asam gamma-aminobutyric, dan neurotensin.

Analgesik endogen mengaktifkan opioid, alfa-adrenergik, dan reseptor lain

yang menghambat pelepasan Glu dari nociceptive primer atau mengurangi

respon postsynaptic dari neuron orde kedua.2

Secara histologis, gray matter of the spinal cord dibagi menjadi sepuluh

"laminae"). Dorsal horn dibagi menjadi (I – V), komponen yang berhubungan

dengan sebagian besar dengan input nyeri: Lamina I: nukleus marginal posterior,

Lamina II / III: substansia gelatinosa, Lamina III / IV / V: nucleus proprius,

Lamina VI: nukleus dorsalis. Lamina VII ada di antara lamina ini dan lebih ventral

Laminae VIII (motor interneurons) dan IX (motor interneurons), dan X mengacu

pada materi abu-abu pada gray matter di sekitar the central canal of the spinal

cord.2

Gambar 2. Gray matter medulla spinalis

10
2. The Ascending System

Sistem ascending yang mentransmisikan impuls nosiseptif dari dorsal horn

ke supraspinal terbentuk dari beberapa sistem, diantaranya:

 Traktus spinotalamikus

 Traktus spinoretikular

 Saluran spinomesencephalic

a. Traktus spinotalamikus

Traktus spinotalamikus (STT) adalah jalur ascending utama untuk

informasi nyeri, suhu, sentuhan, terlokalisir di kuadran anterolateral dari

spinal cord. STT mengatur informasi yang bersifat cepat dan lambat dari

nyeri di daerah yang berbeda dari saluran yang ditransmisikan secara

paralel ke talamus. STT dibagi menjadi STT lateral (nyeri dan suhu yang

cepat dan lambat) dan STT anterior (sentuhan). STT menuju batang otak

tempat akson rangsangan nyeri yang bersifat cepat berakhir pada nukleus

ventroposterior. Sedangkan untuk rangsangan nyeri yang lambat berakhir

pada nukleus intralaminar nonspesifik dari thalamus dan reticular

formation pada batang otak, dan akson ini mengirimkan informasi tentang

kualitas (ketidaknyamanan atau rasa takut cedera lebih lanjut) dari nyeri.

Proyeksi terhadap retikuler terlibat dalam efek rangsangan nyeri yang

mengaktifkan neuron noradrenergik pada lokus coeruleus dan terjadi

penuruanan transmisi nyeri oleh adanya umpan balik negatif. 2,8

11
b. The spinoreticular tract (SRT)

Naik ke kedua sisi spinal cord dan mentransmisikan informasi

sensoris dari lamina VII dan VIII ke neuron pada formasi retikuler,

kemudian ke nuklei intralaminar. SRT terlibat dalam gairah, aktifitas

neuron berupa motivasi dan aspek afektif dari nyeri.2

c. Spinomesencephalic Tract

The spinomesencephalic tract (SMT) muncul dari Laminae I dan V,

melalui medula dan pons, STT dan SRT dan berakhir di otak tengah tectum

dan periaqueductal gray, mengintegrasikan sensasi somatik dengan

informasi visual dan pendengaran.2

II. The Supraspinal System

Terlibat dalam memeroses informasi nosiseptif terdiri dari: retikuler

formation, thalamus, sistem limbic, korteks, dan hypothalamus.2

III. Descending Pathway

Jalur descending modulatory berfungsi untuk menurunkan persepsi nyeri

dan respon effert dengan menginhibisi transmisi nyeri pada dorsal horn,

Periaqueductal gray (PAG), brainstem rostral ventral medulla (RVM), dan

tempat lainnya pada SSP. Korteks serebri, hipotalamus, thalamus, PGA,

nucleus raphe magnus (RVM), dan locus coeruleus (LC), semua mengirimkan

akson descending yang bersinaps, dan modulasi transmisi nyeri, sel noksius

terletak pada batang otak dan spinal cord dorsal horn. Komponen dari sistem

12
descending yang berperan pada transmisi modulasi nyeri, sistem opioid

endogen, noradrenergic descending system, dan neuron serotonergik.

PAG adalah enkephalinergic brainstem yang bertanggung jawab untuk

menghasilkan morfin dan dan stimulasi untuk produksi anelgesia. Axon

descending dari PAG menuju nuclei pada fnormasi retikuler dari medulla,

termasuk NRM, dan descend ke dorsal horn tempat terjadinya sinaps satu

sama lain dan menginhibisi wide dynamic rabge (WDR) dan sistem saraf

(NS). Akson terminal dari NRM ke dorsal horn, dan terjadi pelepasan

serotonin dan norepinefrin (NE). Stimulasi RVM mengaktifakn sistem

serotonergik turun ke spinal dorsal horn yang menghasilkan analgesia.

Meskipun serotonin memainkan peran penting dalam nyeri, beberapa subtipe

reseptor ini telah membingungkan perkembangan analgesik yang bekerja

melalui reseptor-reseptor ini. Akson yang turun dari LC memodulasi transmisi

nociceptive di dorsal horn rerutama melalui pelepasan NE dan aktivasi

reseptor postsinaptik alpha 2-adrenergik. Peran NE dalam jalur ini

menjelaskan efek analgesik dari antidepresan trisiklik dan klonidin.

GABAnergic dan enkephalinergic pada dorsal horn juga memberikan

penekanan lokal penularan nyeri.2

Aliran penghambatan dan peningkatan sensitivitas neuron ke

noradrenergik descending dan inhibisi opioid. Tidak seperti indra lainnya,

nyeri memiliki komponen subjektif dan emosional yang penting. Keluarnya

impuls descending inhibitory dari korteks frontal, cingulate gyrus, dan

13
hipotalamus dipengaruhi oleh kondisi psikologis dan emosional pasien.

Kecemasan, stres psikologis, dan depresi dapat mengurangi penghambatan

descending, sehingga menurunkan ambang untuk sensitisasi sentral dan

meningkatkan skor intensitas nyeri.2,7

ce

Gambar 3. Jalur nyeri asendens dan desendens

14
Jalur nyeri dimulai dengan aktivasi nosiseptor perifer. Nosiseptor terdapat

di mana saja di dalam tubuh dan menyampaikan sensasi berbahaya, baik

secara eksternal (yaitu kulit, mukosa) atau secara internal (yaitu, sendi, usus).

Nociceptors dapat dipicu oleh stimulus apapun, yang sebagian besar dapat

dikategorikan sebagai mekanis, kimia, atau thermal innature sehingga

pengeluaran mediator radang akibat kerusakan jaringan.2

Gambar 4. Pengeluaran mediator kimia akibat kerusakan jaringan yang menstimulasi


nosiseptor. Pengeluaran substansi P, histamine menyebabkan vasodilatasi dan
swelling

1. Transduksi dan konduksi

Transduksi mengacu pada proses di mana rangsangan berbahaya, kimia,

termal, atau mekanik, diubah ke dalam aktivitas listrik pada tingkat

nosiseptor. Badan sel nosiseptor ini ditemukan di ganglia akar dorsal (DRG)

dari sumsum tulang belakang. Setelah ambang sensoris telah tercapai, aktivasi

nociceptor memulai depolarisasi Ca2 + atau potensi generator, yang

15
mendepolarisasi akson distal dan lebih lanjut memulai arus Na + ke dalam

self-propagate. Setelah cedera jaringan, beberapa mediator seluler

mengaktifkan ujung terminal nosiseptor seperti kalium, ion hidrogen,

prostaglandin, dan bradikinin.2,4

Selain itu, terdapat silent nociceptors yang biasanya tidak aktif, setelah

cedera jaringan dan kemudian dapat merespon ke berbagai modalitas stimulus.

Setelah diaktifkan, nociceptors diam sebelumnya terus menerus. Ketika

nosiseptor menjadi peka, menanggapi rangsangan berbahaya lebih kuat, yaitu

stimulus yang sama sekarang menghasilkan lebih banyak rasa sakit. Hal ini

disebut hiperalgesia. Namun, rangsangan biasa juga dapat menghasilkan rasa

sakit, yang disebut '‘allodynia”. Lebih penting lagi, reseptor opioid yang

terletak di ujung saraf perifer, ketika diaktifkan oleh opioid endogen atau

eksogen (pemberian morfin), menunjukan penghambatan pada jalur aferen.

Morfin yang bekerja pada reseptor opioid (G-protein coupled receptors)

menghasilkan pembukaan yang tidak langsung pada saluran kalium. Kalium

dengan muatan positifnya mengalir keluar dari nosiseptor meninggalkan

bagian dalam neuron yang lebih negatif. Hal itu meningkatkan muatan negatif

intraseluler sehingga terjadi hiperpolarisasi nosiseptor, sehingga terjadi

penurunan aktivitas nosiseptor.2,5

16
2. Transmisi

Setelah transduksi, stimulus listrik dihasilkan harus ditransmisikan ke lapisan

superfisial dan lebih dalam pada dorsal horn dari spinal cord. Seperti

dijelaskan di atas, Aδ dan serabut C adalah akson neuron unipolar yang

memiliki proyeksi distal yang dikenal sebagai ujung nociceptive. Setelah

sinapsis di dorsal horn, neuron orde kedua mengirim sinyal secara

kontralateral dan ke atas melalui traktus spinotalamikus. Sinyal-sinyal dari

traktus spinotalamikus menjalar ke sumsum tulang belakang melalui medula

dan sinaps pada neuron di talamus. Saraf dari talamus kemudian

menyampaikan sinyal ke berbagai area korteks somatosensori, di mana

persepsi nyeri terjadi. Glutamat, asam amino eksitatori yang terlibat dalam

transmisi dari nociceptors utama ke neuron dorsal horn. Terdapat padap

berapa reseptor [amino-3-hydroxyl-5-methyl-4-propionic acid (AMPA),

kainate, N-methyl-D- aspartate (NMDA), dan metabotropic aktif. Berbagai

kombinasi reseptor ini ada pada neuron di berbagai lamina dorsal horn.

Sambungan sinaptik antara neuron orde pertama dan sel dorsal horn di

sumsum tulang belakang memiliki plastisitas yang cukup besar. Untuk alasan

ini dorsal horn disebut gerbang, di mana impuls nyeri dapat "terjaga

keamanannya", diubah.2,5,8

3. Modulasi

Modulasi adalah proses yang ketiga dan sangat penting dari pemrosesan

stimulus noksius. Proses ini merupakan perubahan yang terjadi di sistem

17
saraf dalam menanggapi stimulus noksius dan memungkinkan stimulus

noksius diterima pada dorsal horn medulla spinalis menjadi selektif

terhambat sehingga transmisi sinyal ke pusat yang lebih tinggi telah

dimodifikasi. Sistem modulasi nyeri endogen yang terdiri dari neuron

menengah di dalam lapisan superfisial spinal cord dan traktus desending

dapat menginhibisi transmisi dari signal nyeri. Opioid endogen dan eksogen

dapat bertindak pada terminal presinaptik dari nociceptor primer

melaluireseptor opioid mu dengan secara tidak langsung memblokir saluran

kalsium. Penghambatan kalsium masuk ke terminal presinaptik serta reflux

kalium (hyperpolarization) menghasilkan penghambatan pelepasan

neurotransmitter nyeri dari serat primer yang utama, maka terjadi analgesia.

Opioid memiliki situs aksi kedua pada tingkat sumsum tulang belakang.

Reseptor opioid pada saraf postsynaptic (neuron orde kedua), ketika

diaktifkan oleh opioid, saluran potassium yang secara tidak langsung

membuka mengakibatkan hiperpolarisasi saraf.5

4. Persepsi

Merupakan hasil akhir proses interaksi yang komplek, dimulai dari proses

transduksi, transmisi, dan modulasi sepanjang aktifasi sensorik yang sampai

pada area primer sensorik kortek serebri dan masukan lain bagian otak yang

pada gilirannya mengahsilkan suatu perasaan subjektif yang dikenal sebagai

persepsi nyeri.4

18
D. Penilaian Nyeri

Penilaian nyeri bisa merupakan hal yang mudah atau sulit. Penilaian lokasi

dan intensitas nyeri sering dilakukan dalam praktek sehari-hari. Namun, aspek

penting dari nyeri akut seperti intensitas nyeri saat istirahat, perlu ditentukan dan

diukur. Jika tidak, data yang tidak berarti dan kesimpulan yang salah dapat terjadi.

Penilaian nyeri yang berkelanjutan dan efek dari pengobatan lebih sulit baik pada

pasien yang menderita nyeri dari penyebab non-malignant dan pada pasien dengan

nyeri kanker. Banyak instrumen yang telah dikembangkan untuk berbagai jenis

dan subtipe nyeri kronis untuk menilai aspek kualitatif nyeri dan dampakny. yang

instrumen penilaian nyeri terus dikembangkan yang menunjukkan bahwa penilaian

nyeri terus berlanjut dan merupakan suatu tantangan. Karena nyeri bersifat

subyektif, pribadi,dan pengalaman pribadi, menilai nyeri pada pasien yang tidak

bisa berkomunikasi dengan baik merupang akan hal sulit, biasanya pada pasien

dengan gangguan kognitif dan demensia.8

Beberapa penilaian nyeri yang tersedia yang dapat digunakan diantaranya:

a). Ekspresi wajah: terdiri dari 6 ekspresi wajah yang berbeda, dari

senang hingga sedih. Skala ini sesuai pada pasien dengan gangguan

bahasa seperti anak-adak, pasien geriatri, bingung, pasien yang tidak

dapat berbahasa lokal.

b). Verbal rating scale (VRS); pasien ditanya tengtang nyeri yang

dirasakan terdiri dari 5 poin : tidak nyeri, ringan, sedang, berat, atu sangat

berat

19
c). Numerical rating scale (NRS) terdiri dari nilai 0-10

d). Visual analogue scale (VAS). Pasiem memberikan garis pada nyeri

yang dirasakan10

Gambar 5. Skala pengukuran nyeri

E. Penatalaksanaan Nyeri

Obat-obatan sering menjadi modalitas utama. Obat-obatan yang berbeda

bekerja pada bagian yang berbeda dari jalur nociceptive dan seringkali penting

untuk menggunakan kombinasi obat-obatan. Selain itu, penggunaan obat-obatan

kombinasi dapat menghasilkan efek samping yang lebih sedikit, misalnya

meresepkan parasetamol reguler selain morfin memungkinkan dosis morfin untuk

20
dikurangi, menghasilkan efek samping lebih sedikit dari efek samping morfin.10

Klasifikasi analgesik:

Tabel 2. Analgesia11

1. Simple analgesics

Aspirin, atau asam asetilsalisilat, awalnya berasal dari kulit pohon

willow. Obat ini memiliki beberapa efek, diantaranya penghambat

cyclooxygenases (COXs), enzim yang mengkatalisis produksi

prostaglandin dari asam arakidonat (komponen asam lemak dari membran

sel). Prostaglandin tidak mengaktifkan nociceptors, tetapi menyebabkan

sensitisasi, menurunkan ambang sehingga diaktifkan oleh rangsangan

mekanik, termal atau kimia yang biasanya tidak berbahaya. Dengan

demikian, memblokir produksi perifer prostaglandin selama peradangan

mengurangi rasa sakit yang sedang berlangsung dan hiperalgesia dan,

dengan mengganggu peradangan neurogenik, juga mengurangi hiperemia

21
dan udema. Agen serupa seperti parasetamol (acetaminophen), ibuprofen

dan naproxen, yang secara kolektif disebut NSAID, menggunakan efek

analgesik perifer melalui mekanisme yang sama. Kortikosteroid memiliki

efek yang sama dengan mencegah induksi COX serta sitokin

proinflamasi.10

Aspirin dan NSAID secara permanen menghambat keduanya

COX-1 (konstitutif) dan COX-2 (diinduksi) isozim, yang menghasilkan

prostaglandin yang berbeda dan dilokalisasi pada yang berbeda. COX-1

sangat penting untuk lambung dan ginjal, di mana aspirin dosis tinggi

kronis menyebabkan kerusakan organ tersebut. Karena pembentuka

prostaglandin diinduksi COX-2 terutama menyebabkan peradangan,

sensitisasi dan demam, inhibitor COX-2 selektif saat ini sedang

dikembangkan dan relatif bebas dari samping efek aspirin.10

NSAID juga memiliki efek sentral. Saat nyeri kronis, prostaglandin

dilepaskan di sumsum spinal cord, di mana berkontribusi pada sensitisasi

sentral dengan cara yang analog dengan efeknya di perifer, misalnya

dengan meningkatkan pelepasan neurotransmitter dari terminal aferen

primer. Pemberian spinal dari NSAID menyebabkan pelepasan yang

terhambat dan, selain itu mengurangi peradangan neurogenik perifer

dengan menghilangkan aktivitas patologis yang dibawa pada serabut

nosiseptor ke dalam jaringan perifer. NSAID sistemik juga dapat

menghasilkan efek analgesik sentral dengan berinteraksi dengan

22
mekanisme kontrol nyeri endogen dalam periaqueductal graymatter, yang

dapat bersinergi dengan mekanisme opioid.10

2. Opioid

Opioid, yang termasuk opiat klasik seperti morfin dan juga peptida

dengan mekanisme serupa, termasuk analgesik poten pada kedua tindakan

perifer dan sentral. Suntikan opioid perifer dapat mempengaruhi nyeri

inflamasi dengan mengurangi aktivitas serabut nosiseptif primer aferen dan

mempengaruhi aktivitas sel imun. Dalam sumsum tulang belakang, opioid

menghasilkan penghambatan presinaptik nosiseptif aferen (dengan

menghambat masuknya kalsium) dan penghambatan postsynaptic dari sel

dorsal horn nociceptive (dengan peningkatan konduktansi kalium G

protein-coupled). Hal yang sebaliknya dengan NSAID, opioid

menurunkan pengeluaran dan transmisi dari nyeri yang terjadi. Ketiga jenis

reseptor opiat (m dan dk) juga terlibat, tetapi epidural (atau intratekal)

injeksi opiat selektif kerja cepat (seperti fentanyl) secara klinis paling

efektif. Bupivacaine, anestesi lokal kerja lama yang memblok serabut

aferen primer dengan diameter yang kecil, yang mengurangi dosis opiat

yang dibutuhkan dan bahaya depresi pernafasan karena penyebaran

rostral.10

Opiat yang diberikan secara sistemik melibatkan kontrol mekanisme

nyeri endogen pada forebrain, terutama di brainstem periaqueductal grey

matter dan amygdala Agonis selektif menyebabkan disinhibisi pada jalur

23
desenden yang melibatkan serabut serotonergik dan noradrenergik yang

dapat diaktifkan selama stimulasi yang menyebabkan analgesia. Jalur anti

nociceptive lain yang biasanya diaktifkan oleh endogen b-endorphin dalam

periaqueductal grey dipengaruhi oleh morfin. Aspirin dapat bersinergi

dengan efek morfin dalam periaqueductal grey. Opiat tidak diresepkan

secara klinis untuk pereda nyeri akut atau pasca operasi, karena ditakutkan

efek dari ketergantungan, tetapi penggunaannya sekarang sangat

dianjurkan, berdasarkan penelitian yang menunjukkan bahwa kurang dari

1% pasien berada dalam risiko pada penggunaannya10

24
Gambar 6. Terapi farmakologi sesuai dengan pathway nyeri12

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Kumar KM, Elevarasi P. Definition of pain and classification of pain disorders.


Journal of Advaned Clinical and Reaearch Insight (2016),3,87-90

2. Vadivelu N. Urman RD, Hines RL Essentials of Pain Management. Springer. 2011

3. Lindenbaum, Milia DJ. Pain management in the IC. Surg Clin N Am 92 (2012)
1621-1636

4. Soenarjo, Jatmiko HD. Anestesiologi; Nyeri. Bagian Anestesiologi dan Terapi


Intensif FK Undip Semarang. 2010

5. Vanderah TW, Pathophysiology of pain. Med Clin N Am 91 (2007) 1-12

6. Steeds CE. The anatomy nad physiology of pain. Basic Science. Elseiver. 2009

7. Patel NB. Guide to pain management in low-resource setting. 2010. 13-17

8.Breivik H et al. Assesment of pain. Br J Anaesth 2008; 101: 17–24

9. Andres JD et al. Post operative management-good clinical practice. General


reccomendation and principles for successful pain management. 2005

10. Craig AD, Sorkin LS. Pain and analgesia. Encyclopedia Of Life Science. 2001
Nature Publishing Group / Www.Els.Ne.

11. Polomano RC. Multimodal analgesia. Clinical Educator Hospital of The


university pf Pennsylvania

12. Manworren M. Multimodal pain management and the future of a personalized


medicine approach to pain. AORN Journal March 2015, Volume 101, No. 3

26

Anda mungkin juga menyukai