Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

PFROPF-SKIZOFRENIA

Oleh

Musyaffa’ Addawani 1830912310109

Krisma Aulia 1830912320016

Nur Almira Rahma Sophia 1830912320141

Pembimbing :

dr. Hj. Yanti Fitria, Sp.KJ

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN JIWA

RSUD ULIN/FAKULTAS KEDOKTERAN ULM

BANJARMASIN

Agustus, 2019
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL............................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................... 3

BAB III PENUTUP .........................................................................

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Menurut data World Health Organization (WHO), masalah gangguan

kesehatan jiwa seperti skizofrenia sudah menjadi masalah yang sangat serius di

seluruh dunia. Pada tahun 2009 WHO menyatakan, paling tidak ada satu dari

empat orang di dunia mengalami gangguan kesehatan jiwa. WHO memperkirakan

ada sekitar 450 juta orang di dunia mengalami gangguan kesehatan jiwa.

Sementara itu, menurut Uton Muchtar Rafei, Direktur WHO Wilayah Asia

Tenggara, hampir satu pertiga dari penduduk di wilayah ini pernah mengalami

gangguan neuropsikiatri. Hal ini dapat dilihat dari data survey kesehatan Rumah

Tangga (SKRT); tahun 1995 saja, di Indonesia diperkirakan sebanyak 264 dari

1000 anggota rumah tangga menderita gangguan kesehatan jiwa. Azrul Azwar

(Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan) mengatakan bahwa

jumlah penderita gangguan kesehatan jiwa di masyarakat sangat tinggi, yakni satu

dari empat penduduk Indonesia menderita kelainan jiwa rasa cemas, depresi,

stress, penyalahgunaan obat, kenakalan remaja sampai skizofrenia. Di era

globalisasi gangguan kejiwaan meningkat sebagai contoh penderita tidak hanya

dari kalangan kelasa bawah, sekarang kalangan pejabat dan masyarakat lapisan

menengah ke atas juga terkena gangguan jiwa.1

Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan berbagai

tingkat kepribadian diorganisasi yang mengurangi kemampuan individu untuk

bekerja secara efektif dan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Gangguan

1
2

skizofrenia umumnya ditandai oleh distorsi pikiran dan persepsi yang mendasar

dan khas, dan oleh afek yang tidak serasi atau tumpul.2 Beberapa penelitian

menyatakan bahwa seseorang dengan retardasi mental memiliki kecendrungan

mengalami gangguan psikotik 3 sampai 4 kali besar dibandingkan orang normal. 3

Retardasi mental (RM) adalah suatu gangguan heterogen yang terdiri dari fungsi

intelektual yang dibawah rata-rata dan gangguan dalam ketrampilan adaptif.

Gangguan dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan dan psikososial. Selama

dekade terakhir, semakin dikenali faktor biologis , termasuk kelainan kromosom

kecil, sindrom genetika dan intoksikasi timbal subklinis dan berbagai pemaparan

toksin pranatal pada orang dengan retardasi mental ringan (sampai 85 persen dari

populasi retardasi mental).4

Gangguan jiwa dan fisik yang menyertai retardasi mental mempunyai

pengaruh besar pada gambaran klinis dan penggunaan dari semua keterampilan.

Hal ini terlihat pada penderita pfropfskizofrenia. Skizofrenia terutama yang terjadi

pada orang dengan retardasi mental memiliki prognosis yang kurang begitu baik.

Sekitar 25 persen pasien dapat pulih dari episode awal dan fungsinya dapat

kembali pada tingkat premorbid sebelum munculnya gangguan tersebut. Sekitar

25 persen tidak akan pernah pulih dan perjalanan penyakitnya cenderung

memburuk. Sekitar 50 persen berada diantaranya, ditandai ada kekambuhan

periodik dan ketidakmampuan berfungsi dengan efektif kecuali untuk waktu yang

singkat. Mortalitas pasien skizofrenia lebih tinggi secara signifikan dibandingkan

populasi umum yang menderita penyakit tertentu seperti jantung, stroke dan

sebagainya.1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu

gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi,

pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan

intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat

berkembang kemudian. Gangguan skizofrenia umumnya ditandai oleh distorsi

pikiran dan persepsi yang mendasar dan khas, dan oleh efek yang tidak serasi atau

tumpul.5,6

Retardasi mental adalah penurunan fungsi intelektual yang menyeluruh

secara bermakna dan secara langsung menyebabkan gangguan adaptasi sosial, dan

bermanifestasi selama masa perkembangan. American Association on Mental

Deficiency (AAMD) membuat definisi retardasi mental yang kemudian direvisi

oleh Rick Heber, sebagai suatu penurunan fungsi intelektual secara menyeluruh

yang terjadi pada masa perkembangan dan dihubungkan dengan gangguan

adaptasi sosial. Ada 3 hal penting yang merupakan kata kunci dalam definisi ini

yaitu penurunan fungsi intelektual, adaptasi sosial, dan masa perkembangan.

Beberapa asosiasi spesifik telah dilaporkan bahwa ada peningkatan risiko

skizofrenia seumur hidup di antara individu dengan retardasi mental. Pada tahun

1938, Penrose melaporkan bahwa 3,8% dari 1.280 individu dengan intelektual

kecacatan memiliki skizofrenia dan 1,9% memiliki psikosis afektif, perkiraan saat

3
4

ini masih menempatkan risiko skizofrenia pada retardasi mental sekitar 3%,

dibandingkan dengan populasi tanpa retardasi mental sekitar 1%. Skizofrenia pada

retardasi mental dikenal dengan pfropfskizofrenia.7,8,9

B. Epidemiologi

Jumlah gangguan jiwa berat atau psikosis/ skizofrenia tahun 2013 di

Indonesia provinsi-provinsi yang memiliki gangguan jiwa terbesar pertama antara

lain adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (0,27%), kemudian urutan kedua Aceh (

0,27%), urutan ketiga Sulawesi Selatan (0,26%), Bali menempati posisi keempat

(0,23%), dan Jawa Tengah menempati urutan kelima (0,23%) dari seluruh

provinsi di Indonesia. Sedangkan prevalensi skizofrenia di Kalimantan Selatan

sebesar 1,4 per seribu penduduk.10

Hampir 1% penduduk di dunia menderita skizofrenia selama hidup

mereka. Gejala skizofrenia biasanya muncul pada usia remaja akhir atau dewasa

muda. Onset pada laki-laki biasanya antara 15-25 tahun dan pada perempuan

antara 25-35 tahun.11 Skizofrenia pada pria lebih besar daripada wanita. Kejadian

tahunan berjumlah 15,2% per 100.000 penduduk, kejadian pada pria 1,4% lebih

besar dibandingkan wanita. Di Indonesia, hampir 70% mereka yang dirawat di

bagian psikiatri adalah karena skizofrenia. Angka di masyarakat berkisar 1-2%

dari seluruh penduduk pernah mengalami skizofrenia dalam hidup mereka.11

Dalam segi kesehatan mental, skizofrenia memiliki tingkat kematian

yang tinggi dari gangguan jiwa yang lainnya, 10 % meninggal karena bunuh diri.

Lebih dari 50% pengguna obat-obatan terlarang dan alkohol dan 90% perokok.11
5

C. Etiologi

1. Etiologi Skizofrenia12

Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa

penyebab skizofrenia, antara lain :

a. Faktor Genetik

Menurut Maramis, faktor keturunan juga menentukan timbulnya l ini

telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga penderita

skizofrenia terutama anak-anak kembar monozigotik. Skizofrenia melibatkan

lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut quantitative trait loci.

Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin disebabkan oleh beberapa gen

yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di seluruh kromosom. Ini juga

mengklarifikasikan mengapa ada gradasi tingkat keparahan pada orang-orang

yang mengalami gangguan ini (dari ringan sampai berat) dan mengapa risiko

untuk mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah

anggota keluarga yang memiliki penyakit ini.

b. Faktor Biokimia

Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang

disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-neuron

berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia

berasal dari aktivitas neurotransmitter dopamin yang berlebihan di bagian-bagian

tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap dopamin.

Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamin yang berlebihan saja
6

tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa neurotransmitter lain seperti serotonin

dan norepinephrine tampaknya juga memainkan peranan.

c. Faktor Psikologis dan Sosial

Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin

lama semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan

orang tua-anak yang patogenik, serta interaksi yang patogenik dalam keluarga.

Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam keluarga

mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah schizophregenic

mother kadang-kadang digunakan untuk mendeskripsikan tentang ibu yang

memiliki sifat dingin, dominan, dan penolak, yang diperkirakan menjadi penyebab

skizofrenia pada anak-anaknya.

Menurut Coleman dan Maramis, keluarga pada masa kanak-kanak

memegang peranan penting dalam pembentukan kepribadian. Orangtua terkadang

bertindak terlalu banyak untuk anak dan tidak memberi kesempatan anak untuk

berkembang, ada kalanya orangtua bertindak terlalu sedikit dan tidak merangsang

anak, atau tidak memberi bimbingan dan anjuran yang dibutuhkannya.

2. Etiologi Retardasi Mental7,8

Etiologi retardasi mental dapat terjadi mulai dari fase pranatal, perinatal

dan postnatal. Ditinjau dari penyebab secara langsung dapat digolongkan atas

penyebab biologis dan psikososial. Etiologi retardasi mental tipe klinis atau

biologikal dapat dibagi menjadi:

a. Penyebab pranatal
7

Kelainan kromosom penyebab retardasi mental yang terbanyak adalah

sindrom Down. Kelainan kromosom lain yang bermanifestasi sebagai retardasi

mental adalah trisomi-18 atau sindrom Edward, dan trisomi-13 atau sindrom

Patau, sindrom Cri-du- chat, sindrom Klinefelter, dan sindrom Turner.

Berdasarkan pengamatan ternyata kromatin seks, yang merupakan kelebihan

kromosom -X pada laki-laki lebih banyak ditemukan di antara penderita retardasi

mental. Diperkirakan kelebihan kromosom-X pada laki-laki memberi pengaruh

tidak baik pada kesehatan jiwa, termasuk timbulnya psikosis, gangguan tingkah

laku dan kriminalitas.

b. Kelainan Metabolik

Kelainan metabolik yang sering menimbulkan retardasi mental adalah

Phenylketonuria (PKU), yaitu suatu gangguan metabolik dimana tubuh tidak

mampu mengubah asam amino fenilalanin menjadi tirosin karena defisiensi enzim

hidroksilase. Penderita laki-laki tenyata lebih besar dibandingkan perempuan

dengan perbandingan 2:1. Kelainan ini diturunkan secara autosom resesif.

Diperkirakan insidens PKU adalah 1:12 000-15 000 kelahiran hidup.

c. Infeksi

Infeksi rubela pada ibu hamil triwulan pertama dapat menimbulkan

anomali pada janin yang dikandungnya. Risiko timbulnya kelainan pada janin

berkurang bila infeksi timbul pada triwulan kedua dan ketiga. Manifestasi klinis

rubela kongenital adalah berat lahir rendah, katarak, penyakit jantung bawaan,

mikrosefali, dan retardasi mental.

d. Intoksikasi
8

Fetal alcohol syndrome (FAS) merupakan suatu sindrom yang

diakibatkan intoksikasi alkohol pada janin karena ibu hamil yang minum

minuman yang mengandung alkohol, terutama pada triwulan pertama. Di negara

Amerika Serikat FAS merupakan penyebab tersering dari retardasi mental setelah

sindrom Down.

e. Penyebab perinatal

Koch menulis bahwa 15-20% dari anak retardasi mental disebabkan

karena prematuritas. Penelitian pada 73 bayi prematur dengan berat lahir 1000 g

atau kurang menunjukkan IQ yang bervariasi antara 59-142, dengan IQ rata-rata

94. Keadaan fisis anak-anak tersebut baik, kecuali beberapa yang mempunyai

kelainan neurologis, dan gangguan mata. Penulis-penulis lain berpendapat bahwa

semakin rendah berat lahirnya, semakin banyak kelainan yang dialami baik fisis

maupun mental.

f. Penyebab postnatal

Faktor-faktor postnatal seperti infeksi, trauma, malnutrisi, intoksikasi,

kejang dapat menyebabkan kerusakan otak yang pada akhirnya menimbulkan

retardasi mental.

Pfropfskizofrenia dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor. Salah

satunya oleh kelainan prenatal yaitu kelebihan kromosom-X pada laki-laki. Selain

itu, tekanan oleh keadaan lingkungan juga dapat menimbulkan skizofrenia.

Hubungan pasien dengan keluarga, teman atau tetangga yang kurang baik seperti

pasien yang dituduh mencuri, pernah dipukuli teman dan bahkan mendapatkan

tekanan dari keluarga sendiri dapat menjadi penyebab skizofrenia terlebih pada
9

orang dengan gangguan mental. Menurut Erlina (2010) ada beberapa factor

psikososial yang mempengaruhi gangguan jiwa skizofrenia, yaitu social ekonomi

rendah dan stress lingkungan.

D. Klasifikasi

Beberapa tipe skizofrenia yang diidentifikasi berdasarkan variabel klinik

menurut ICD-10 antara lain sebagai berikut:12

a. Skizofrenia paranoid

Ciri utamanya adalah adanya waham kejar dan halusinasi auditorik namun

fungsi kognitif dan afek masih baik.

b. Skizofrenia hebefrenik

Ciri utamanya adalah pembicaraan yang kacau, tingkah laku kacau dan

afek yang datar atau inappropiate

c. Skizofrenia katatonik

Gangguan pada psikomotor yang dapat meliputi motoric immobility,

aktivitas motorik berlebihan, negativesm yang ekstrim serta gerakan yang

tidak terkendali.

d. Skizofrenia tak terinci

Gejala tidak memenuhi kriteria skizofrenia paranoid, hebefrenik maupun

maupun katatonik.

e. Depresi pasca skizofrenia

f. Skizofrenia residual
10

Paling tidak pernah mengalami satu episode skizofrenia sebelumnya dan

saat ini gejala tidak menonjol.

g. Skizofrenia simpleks

h. Skizofrenia lainnya

- Pseudoneurotic schizoprenia

- Oneiroid schizophrenia

- Pfropf schizoprenia

- Defisit schizophrenia

- Post psychotic schizophrenia

i. Skizofrenia yang tak tergolongkan (YTT) 12

E. Faktor Resiko

Faktor-faktor yang berperan terhadap timbulnya skizofrenia adalah

sebagai berikut:

a. Jenis kelamin

Proporsi skizofrenia terbanyak adalah laki-laki, dengan kemungkinan

laki laki beresiko 3 kali lebih besar mengalami skizofrenia dibandingkan

perempuan. Kaum pria lebih mudah terkena gangguan jwa karena kaum pria

yang menjadi penopang utama rumah tangga sehingga lebih besar mengalami

tekanan hidup, sedangkan perempuan lebih sedikit berisiko menderita gangguan

jiwa dibandingkan laki-laki karena perempuan lebih bisa menerima situasi

kehidupan dibandingkan dengan laki-laki. Meskipun beberapa sumber lainnya


11

mengatakan bahwa wanita lebih mempunyai risiko untuk menderita stress

psikologik dan juga wanita relatif lebih rentan bila dikenai trauma.13

b. Pekerjaan

Pada kelompok skizofrenia, jumlah yang tidak bekerja adalah sebesar

85% sehingga orang yang tidak bekerja kemungkinan mempunyai risiko lebih

besar menderita skizofrenia dibandingkan yang bekerja. Orang yang tidak

bekerja akan lebih mudah menjadi stres yang berhubungan dengan tingginya

kadar hormon stres (kadar katekolamin) dan mengakibatkan ketidak berdayaan,

karena orang yang bekerja memiliki rasa optimis terhadap masa depan dan lebih

memiliki semangat hidup yang lebih besar dibandingkan dengan yang tidak

bekerja.13

c. Faktor psikososial

Faktor psikososial meliputi interaksi pasien dengan keluarga dan

masyarakat. Timbulnya tekanan dalam interaksi pasien dengan keluarga, misalnya

pola asuh orang tua yang terlalu menekan pasien, kurangnya dukungan keluarga

terhadap pemecahan masalah yang dihadapi pasien, pasien kurang diperhatikan

oleh keluarga ditambah dengan pasien tidak mampu berinteraksi dengan baik di

masyarakat menjadikan faktor stressor yang menekan kehidupan pasien. Ketika

tekanan tersebut berlangsung dalam waktu yang lama sehingga mencapai tingkat

tertentu,maka akan menimbulkan gangguan keseimbangan mental pasien dan

salah satunya adalah timbulnya gejala skizofrenia.13.14


12

d. Status ekonomi

Status ekonomi rendah mempunyai risiko 6,00 kali untuk mengalami

gangguan jiwa skizofrenia dibandingkan status ekonomi tinggi. Status ekonomi

rendah sangat mempengaruhi kehidupan seseorang. Himpitan ekonomi memicu

orang menjadi rentan dan terjadi berbagai peristiwa yang menyebabkan gangguan

jiwa. Jadi, penyebab gangguan jiwa bukan sekadar stressor psikososial melainkan

juga stressor ekonomi. Dua stressor ini kait-mengait, makin membuat persoalan

yang sudah kompleks menjadi lebih kompleks.14

e. Konflik keluarga

Konflik keluarga kemungkinan berisiko 1,13 kali untuk mengalami

gangguan jiwa skizofrenia dibandingkan tidak ada konflik keluarga.13

f. Faktor genetik

Faktor genetik turut menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini telah

dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia dan

terutama anak-anak kembar monozigot. Angka kesakitan bagi saudara tiri adalah

0,9-1,8%; bagi saudara kandung 7-15%; bagi anak dengan salah satu orang tua

yang menderita skizofrenia 7-16%; bila kedua orang tua menderita skizofrenia 40-

68%; bagi heterozigot 2-15%;dan bagi monozigot 61-86%. Diperkirakan bahwa

yang diturunkan adalah potensi untuk mendapatkan skizofrenia melalui gen yang

resesif. Potensi ini mungkin kuat, mungkin juga lemah, tetapi selanjutnya

tergantung pada lingkungan individu itu apakah akan terjadi manifestasi

skizofrenia atau tidak.14


13

F. Manifestasi Klinis

a. Gejala Positif Skizofrenia :

1) Delusi atau Waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional.

Meskipun telah dibuktikan secara obyektif bahwa keyakinannya itu

tidak rasional, namun penderita tetap meyakini kebenarannya.

2) Halusinansi, yaitu pengalaman panca indera tanpa ada rangsangan.

Misalnya penderita mendengar bisikan-bisikan di telinganya padahal

tidak ada sumber dari bisikan itu.

3) Kekacauan alam pikir, yang dapat dilihat dari isi pembicaraannya.

Misalnya bicaranya kacau, sehingga tidak dapat diikuti alur pikirannya.

4) Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara

dengan semangat dan gembira berlebihan.

5) Merasa dirinya “Orang Besar”, merasa serba mampu, serba hebat dan

sejenisnya.

6) Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman

terhadap dirinya.

7) Menyimpan rasa permusuhan.

b. Gejala negatif skizofrenia :

1) Alam perasaan “tumpul” dan “mendatar”. Gambaran alam perasaan ini

dapat terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi.

2) Menarik diri atau mengasingkan diri tidak mau bergaul atau kontak

dengan orang lain, suka melamun.

3) Kontak emosional amat “miskin”, sukar diajak bicara, pendiam.


14

4) Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial.

5) Sulit dalam berfikir abstrak.

6) Tidak ada/kehilangan dorongan kehendak dan tidak ada inisiatif dan

serba malas.15

G. Diagnosis

Pedoman diagnosis menegakkan Skizofrenia menurut PPDGJ III yaitu:16

1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua

gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):

a. Thought echoing yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau

bergema dalam kepalanya. Thought insertion or withdrawal yaituisi pikiran yang

asing dari luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil

keluar oleh sesuatu dari/luar dirinya (withdrawal). Thought broadcasting yaitu isi

pikirannya tersiar ke luar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya.

b. Delusion of control adalah waham tentang dirinya dikendalikan oleh

suatu kekuatan tertentu. Delusion of influence adalah waham tentang dirinya

dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar. Delusion of passivity adalah

waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari

luar. Delusion of perception yaitu pengalaman inderawi yang tak wajar, yang

bermakna sangat khas bagi dirinya biasanya bersifat mistik atau mujizat.

c. Halusinasi auditorik, yaitu suara halusinasi yang berkomentar secara

terus menerus terhadap perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal pasiendi


15

antara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau jenissuara

halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.

d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat

dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan

agama atau politik tertentu atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia

biasa(misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan

makhluk asing dari dunia lain.

2. Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas:

a. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja apabila disertai baik

oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa

kandungan afektif yang jelas, ataupun ide-ide berlebihan yang menetap, atau

terjadi selama setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus

menerus.

b. Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan (interpolation)

yang berakibat inkoherensiatau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme.

c. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi

tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan

stupor.

d. Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan

respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya mengakibatkan

penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus
16

jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi

neuroleptika.

3. Adanya gejala-gejala khas tersebut di atas telah berlangsung selama kurun

waktu satu bulan atau lebih.

4. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu

keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal

behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak

berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan

penarikan diri secara sosial.16

H. Penatalaksanaan

1. Non farmakologi18

a. Terapi psikososial/ psikoterapi

Dengan terapi psikososial dimaksudkan penderita agar mampu kembali

beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri,

mampu mandiri tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban

bagi keluarga atau masyarakat, pasien diupayakan untuk tidak menyendiri, tidak

melamun, banyak kegiatan dan kesibukan dan banyak bergaul. Psikoterapi dapat

diberikan kepada anak retardasi mental maupun kepada orangtua anak tersebut.

Walaupun tidak dapat menyembuhkan retardasi mental tetapi dengan psikoterapi

diusahakan perubahan sikap, tingkah laku dan adaptasi sosialnya.

b. Terapi psikoreligius
17

Terapi keagaman terhadap penderita skizofrenia ternyata mempunyai

manfaat misalnya, gejala-gejala klinis gangguan jiwa skizofrenia lebih cepat

hilang. Terapi keagamaan yang dimaksudkan adalah berupa kegiatan ritual

keagamaan seperti sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian kepada Tuhan,

ceramah keagamaan dan kajian kitab suci.

c. Terapi fisik berupa olahraga.

d. Berbagai kegiatan seperti kursus atau les

2. Farmakologi 19

Obat-obat antipsikotik juga dikenal sebagai neuroleptik dan juga sebagai

trankuiliser mayor. Obat antipsikotik pada umumnya membuat tenang dengan

mengganggu kesadaran dan tanpa menyebabkan eksitasi paradoksikal. Ciri

terpenting obat antipsikotik adalah:

a. Berguna mengatasi agresivitas, hiperaktivitas dan labilitas emosional pada

pasien psikotik.

b. Dosis besar tidak menyebabkan koma yang dalam ataupun anesthesia.

c. Dapat menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang reversibel atau ireversibel.

d. Tidak ada kecenderungan untuk menimbulkan ketergantungan fisik dan psikis.

Mekanisme Kerja Antipsikotik menghambat (agak) kuat reseptor

dopamine (D2) di sistem limbis otak dan di samping itu juga menghambat

reseptor D1/D2, α1 (dan α2) adrenergik , serotonin, muskarin dan histamin. Akan

tetapi pada pasien yang kebal bagi obat-obat klasik telah ditemukan pula blokade

tuntas dari reseptor D2 tersebut. Riset baru mengenai otak telah menunjukkan

bahwa blokade-D2 saja tidak selalu cukup untuk menanggulangi skizofrenia


18

secara efektif. Untuk ini neurohormon lainnya seperti serotonin (5HT2), glutamate

dan GABA (gamma-butyric acid) perlu dipengaruhi.

Golongan obat antipsikotik ada 2 macam yaitu: 19

1. Golongan antipsikotik tipikal: chlorpromazine, fluperidol, haloperidol,

loxapine, molindone, mesoridazine, perphenazine, thioridazine, thiothixene,

trifluperezine.

2. Golongan antipsikotik atipikal: aripiprazole, clozapin, olanzapine, quetiapine,

risperidone, ziprasidone.

Chlorpromazine dan thioridazine: menghambat α1 adrenoreseptor lebih

kuat dari reseptor D2. Kedua obat ini juga menghambat reseptor serotonin 5-HT2

dengan kuat. Tetapi afinitas untuk reseptor D1 seperti diukur dengan penggeseran

ligan D1 yang selektif, relatif lemah.20

Perphenazine: bekerja terutama pada reseptor D2; efek pada reseptor 5-

HT2 dan α1 ada tetapi pada reseptor D1 dapat dikesampingkan.20

Klozapin: bekerja dengan menghambat reseptor-D2 agak ringan

(k.I.20%) dibandingkan obat-obat klasik (60-75%). Namun efek antipsikotisnya

kuat, yang bias dianggap paradoksal. Juga afinitasnya pada reseptor lain dengan

efek antihistamin, antiserotonin, antikolinergis dan antiadrenergis adalah relative

tinggi. Menurut perkiraan efek baiknya dapat dijelaskan oleh blokade kuat dari

reseptor-D2,-D4, dan -5HT2. Blokade reseptor-muskarin dan –D4 diduga

mengurangi GEP, sedangkan blokade 5HT2 meningkatkan sintesa dan pelepasan

dopamin di otak. Hal ini meniadakan sebagian blokade D2, tetapi mengurangi

risiko GEP.20
19

Risperidone: bekerja dengan menghambat reseptor-D2 dan -5HT2,

dengan perbandingan afinitas 1:10, juga dari reseptor-α1,-α2, dan –H1. Blokade

α1 dan α2 dapat menimbulkan masing-masing hipotensi dan depresi sedangkan

blokade H1 berkaitan dengan sedasi.19,20

Olanzapine: menghambat semua reseptor dopamine (D1s/d D5) dan

reseptor H1,-5HT2,-adrenergis dan –kolinergis, dengan afinitas lebih tinggi untuk

reseptor 5-HT2 dibandingkan D2.20

Obat antipsikosis long acting (flufenazin dekanoat 25mg/ml atau

haloperidol dekanoat 50 mg/ml i.m, untuk 2-4 minggu) sangat berguna untuk

pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat ataupun yang efektif terhadap

medikasi oral. Dosis mulai dengan 0,5 ml setiap 2 minggu pada bulan pertama,

kemudian baru ditingkatkan menjadi 1 ml setiap bulan.20

Penggunaan klorpromazin injeksi sering menimbulkan hipotensi

ortostatik. Efek samping ini dapat dicegah dengan tidak langsung bangun setelah

suntik atau tiduran selama 5-10 menit. Haloperidol sering menimbulkan gejala

eksrapiramidal, maka diberikan tablet triheksifenidil (Artane®) 3-4 x 2 mg/hari

atau sulfus atropine 0,5-0,75 mg i.m. Kontraindikasi untuk obat ini adalah

penyakit hati, penyakit darah, epilepsi, kelainan jantung, febris yang tinggi,

ketergantungan alkohol, penyakit susunan syaraf pusat, dan gangguan kesadaran.


19,20

Obat-obat yang sering digunakan dalam pengobatan retardasi mental

adalah terutama untuk menekan gejala-gejala hiperkinetik. Metilfenidat (ritalin)

dapat memperbaiki keseimbangan emosi dan fungsi kognitif. Imipramin,


20

dekstroamfetamin, klorpromazin, flufenazin, fluoksetin kadang-kadang

dipergunakan oleh psikiatri anak. Untuk menaikkan kemampuan belajar pada

umumnya diberikan tioridazin (melleril), metilfenidat, amfetamin, asam glutamat,

gamma aminobutyric acid (GABA).20

I. Prognosis

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa lebih dari periode 5

sampai 10 tahun setelah perawatan psikiatrik pertama kali di rumah sakit karena

skizofrenia, hanya kira-kira 10-20 % pasien dapat digambarkan memliki hasil

yang baik. Lebih dari 50% pasien dapat digambarkan memiliki hasil yang buruk,

dengan perawatan di rumah sakit yang berulang, eksaserbasi gejala, episode

gangguan mood berat, dan usaha bunuh diri. Walaupun angka-angka yang kurang

bagus tersebut, skizofrenia memang tidak selalu memiliki perjalanan penyakit

yang buruk, dan sejumlah faktor telah dihubungkan dengan prognosis yang baik.21

Rentang angka pemulihan yang dilaporkan didialam literatur adalah dari

10-60% dan perkiraan yang beralasan adalah bahwa 20-30% dari semua pasien

skizofrenia mampu untuk menjalani kehidupan yang agak normal. Kira-kira 20-

30% dari pasien terus mengalami gejala yang sedang,dan 40-60% dari pasien

terus terganggu scara bermakna oleh gangguannya selama seluruh hidupnya.21


BAB III

KESIMPULAN

Skizofrenia adalah suatu psikosa fungsional dengan gangguan utama pada

proses pikir serta disharmonisasi antara proses pikir, afek atau emosi, kemauan

dan psikomotor disertai distorsi kenyataaan terutama karena waham dan

halusinasi, assosiasi terbagi-bagi sehingga muncul inkoherensi, afek dan emosi

inadekuat, psikomotor menunjukkan penarikan diri, ambivalensi dan perilaku

bizar. Penyebab skizofren itu dapat di sebabkan oleh keturunan, endokrin,

metabolism, dan susunan saraf. Gejala gejala yang di perlihatkan secara klinis

yaitu adanya waham, delusi, halusiasi, kekacauan pikiran, gaduh, gelisah, merasa

diri nya besar. Retardasi mental adalah penurunan fungsi intelektual yang

menyeluruh secara bermakna dan secara langsung menyebabkan gangguan

adaptasi sosial, dan bermanifestasi selama masa perkembangan. Skizofrenia pada

retardasi mental dikenal dengan pfropfskizofrenia. Dalam pengklasifikasian,

propfschizophrenia termasuk dalam skizofrenia lainnya (F 20.8). 6,7,12

21
22

DAFTAR PUSTAKA

1. Yosep I. Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama, 2009.

2. Maramis Willy F. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Ed. 9. Surabaya:


Airlangga University Press, 2005.

3. Rabia K & Khoo EM. A Mentally Retarded Patient with Schizophrenia.


Academy of Family Physicians of Malaysia. 2008; 3(3): 146-50.

4. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Retardasi Mental. Dalam: Sinopsis
Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jakarta: Binarupa
Aksara, 2010.

5. Maslim Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III dan DSM-5. PT. Nuh Jaya: 2013.

6. Kapla, Sadock. Synopsis of Psychiatry Behavioral


Scienes/Clinical/Psychiatry Eleven Edition; 2015.

7. Sularyo TS, Kadim M. Retardasi Mental. Subbagian Pediatri Sosial. Bagian


Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2000; 2 (3): 170-177.

8. AAMR. The AAMR Definition of Mental Retardation. American


Association on Mental Retardation; 2002.

9. Morgan VA, Leonard H, Bourke J. Intellectual Disability Co-Occurring


with Schizophrenia and Other Psychiatric Illness: population-based study.
The British Journal of Psychiatry. 2008; 364-372.

10. Balitbang Kemenkes RI. 2015. Riset Kesehatan Dasar;


RISKESDAS.Jakarta: Balitbang Kemenkes RI.

11. Zahnia S, Sumekar DW. Kajian Epidemiologis Skizofrenia. Bagian Ilmu


Kedokteran Komunitas dan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas
Kedokteran. Universitas Lampung. 2016.

12. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & sadock's synopsis of psychiatry:
behavioral sciences/clinical psychiatry. Edisi 10. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2010.

13. Erlina S, Pramono D, editor. Determinan terhadap timbulnya skizofrenia


pada pasien rawat jalan di rumah sakit jiwa prof. hb saanin padang sumatera
barat. Berita Ked Masy. 2010; 26(2):71-80
23

14. Utomo TL. Hubungan antara faktor somatik, psikososial, dan sosio-kultur
dengan kejadian skizofrenia di instalasi rawat jalan RSJD Surakarta
[skripsi]. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta; 2013.

15. Hawari, Dadang., 2007. Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa


Skizofrenia. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

16. Departemen Kesehatan. Pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan


jiwa di Indonesia iii. Jakarta: Departemen Kesehatan; 2004.

17. Willy FM, Albert AM. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2. Surabaya:
Airlangga University Press; 2009.

18. Sinaga, Benhard R. Skizofrenia dan Diagnosis Banding. FK UI. Jakarta,


2007.

19. Tjay TH, Rahardja K. Obat-obat Penting Khasiat, Penggunaan dan Efek-
efek Sampingnya Edisi Keenam. PT Elex Media Komputindo. Jakarta,
2007; 262, 269-271.

20. Katzung, B.G. Farmakologi Dasar dan Klinik , Edisi III. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta; 2002.

21. Valente M, Tarjan G. Etiology factors in mental retardation. Psychiatric


Ann Repr 1974:8-14.`

Anda mungkin juga menyukai