Anda di halaman 1dari 8

WERENG HIJAU (Nephotettix virescens Distant):

DINAMIKA POPULASI DAN STRATEGI


PENGENDALIANNYA SEBAGAI VEKTOR
PENYAKIT TUNGRO

I Nyoman Widiarta
Balai Penelitian Tanaman Padi, Jalan Raya No. 9, Sukamandi Kotak Pos 11, Subang

ABSTRAK
Penyakit tungro pada padi disebabkan oleh kompleks virus berbentuk batang dan bulat dan ditularkan oleh wereng
hijau terutama Nephotettix virescens. Penularan penyakit bersifat semipersisten dengan periode pemerolehan dan
penularan virus oleh vektor yang sangat singkat. Penyakit ini merupakan salah satu kendala dalam menciptakan
stabilitas produksi padi karena bersifat endemis di sentra produksi padi nasional Jawa dan Bali. Fluktuasi kepadatan
populasi vektor mempengaruhi keberadaan penyakit. Kepadatan populasi wereng hijau umumnya rendah (kurang
dari 1 ekor imago/rumpun) dan hanya meningkat sekali selama satu periode pertanaman padi, terutama pada pola
tanam tidak serempak. Pemencaran imago mempengaruhi dinamika populasi wereng hijau. Oleh karena itu, upaya
menekan proporsi vektor infektif merupakan alternatif strategi dalam menghambat penyebaran penyakit tungro
dan mengimbangi kemampuan pemencaran imago. Berdasarkan strategi tersebut pengendalian terpadu penyakit
tungro disusun dengan mengintegrasikan taktik pengendalian yang dapat menekan aktivitas pemencaran imago
wereng hijau dan mengurangi kemampuan dalam memperoleh maupun menularkan virus. Taktik pengendalian
dianjurkan diintegrasikan bertahap sesuai dengan tahapan stadia pertumbuhan padi.
Kata kunci: Nephotettix virescens, dinamika populasi, strategi pengendalian

ABSTRACT
Green leafhopper (Nephotettix virescens Distant): its population dynamic and control strategy as vector of
tungro disease

Tungro is a notorius rice plant disease. The disease is caused by rice tungro bacilliform virus and rice tungro
spherical virus. Both viruses are transmitted effectively by green leafhopper (GLH), Nephotettix virescens. Tungro
is semipersistant virus with short acqusition and inoculation feeding periods. Tungro caused unstable rice production
because it is endemic in center of Indonesian rice production in Java and Bali, recently. Fluctuation of vector
population densities influenced disease incidence. Population densities of GLH were usually less than one adult/hill
and increased only one time in the period of rice plant growth, especially in asynchronous rice planting areas.
Adult dispersal plays an important role in regulating their population dynamics. Therefore, reducing population of
infective vectors is considered best strategy to compensate adult dispersal ability to reduce spreading of the disease.
Integrated tungro disease management that combining control tactics which can reduce adults dispersal, acquisition
and inoculation feeding abilities of vector was constructed based on those strategy. Control tactics were recommended
to be integrated step by step according to the rice growth stage.
Keywords: Nephotettix virescens, population dynamics, control strategy

W ereng hijau merupakan hama pen-


ting pada tanaman padi karena
dapat menularkan virus penyebab
penyebab penyakit tungro (Hibino dan
Cabunagan 1986). Saat ini N. virescens
mendominasi komposisi spesies wereng
pergeseran dominasi N. virescens ke N.
nigropictus (Widiarta et al. 2001a).
Dalam rangka memahami epidemi
penyakit tungro. Di Indonesia terdapat hijau di Pulau Jawa dan Bali (Widiarta penyakit tungro telah banyak dilakukan
empat spesies wereng hijau, yaitu et al. 1997). Pada musim hujan, N. penelitian mengenai patogen penyebab
Nephotettix virescens, N. nigropictus, N. nigropictus kadang-kadang mendominasi penyakit (Hibino et al. 1978), inang virus
malayanus, dan N. parvus. Di antara komposisi spesies wereng hijau di (Anjaneyulu et al. 1988), efisiensi vektor
empat spesies tersebut, N. virescens Kalimantan Selatan (Siwi dan Suzuki (Hibino dan Cabunagan 1986), dan reaksi
merupakan vektor yang paling efisien 1989), sementara di beberapa kabupaten varietas terhadap vektor dan virus
dalam menularkan kompleks virus di Sulawesi Selatan ada kecenderungan (Cabunagan et al. 1985; Dahal et al. 1988).

Jurnal Litbang Pertanian, 24(3), 2005 85


Namun, informasi tentang dinamika waktu tanamnya dapat diatur, dengan virus tidak dapat ditularkan dari imago
populasi vektor terutama N. virescens cara memadukan waktu tanam yang tepat ke telur maupun stadia perkembangan
sebagai vektor penyakit tungro masih dan pergiliran varietas tahan terhadap imago (Ling 1966). Serangga yang telah
kurang. Salah satu penyebabnya adalah vektor. Hasil analisis faktor yang paling mendapat virus segera dapat menular-
kepadatan populasi vektor jarang menca- dominan mempengaruhi keberhasilan kannya sampai virus yang diperoleh
pai optimum yang dapat menimbulkan pengendalian menunjukkan bahwa pena- habis sehingga kehilangan kemampuan
kerusakan langsung pada tanaman. naman pada saat yang tepat lebih dominan menularkan virus. Masa terpanjang
Bila ada sumber virus, intensitas pengaruhnya daripada pergiliran varietas. vektor mampu menularkan virus adalah
serangan penyakit tungro berhubungan Pada daerah yang waktu tanamnya sulit 6 hari (Wathanakul dan Weerapat 1969).
erat dengan fluktuasi populasi vektor, diatur tanamnya tidak serempak, strategi Lama waktu yang dibutuhkan serangga
terlihat dari kemiripan fluktuasi kepadatan pengendalian di atas kurang efektif untuk memperoleh virus berkisar 5−30
populasi wereng hijau dengan persentase sehingga perlu dicari strategi lain yang menit (Rivera dan Ou 1965; Singh 1969),
tanaman terinfeksi tungro (Suzuki et al. sesuai. sedangkan waktu yang dibutuhkan
1992). Dengan petunjuk tersebut, pema- Keberhasilan pengendalian tungro untuk menularkan virus juga singkat,
haman dinamika populasi vektor sangat di Sulawesi Selatan menyebabkan daerah hanya 7−30 menit (Ling 1968; Lim 1969).
penting untuk melengkapi pemahaman bermasalah tungro berpindah ke Jawa, Bali Periode inkubasi virus dalam tanaman
epidemi serta menyusun strategi pengen- bahkan Nusa Tenggara Barat. Ketiga berkisar 6−15 hari (Rivera dan Ou 1965;
dalian dan paket pengendalian terpadu wilayah tersebut menyumbang lebih dari Wathanakul dan Weerapat 1969). Virus
penyakit tungro. Tulisan ini merupakan 60% produksi padi nasional. Dengan tungro tidak memberikan pengaruh negatif
rangkuman hasil-hasil penelitian tentang demikian penyakit tungro endemis di kepada vektor (Ling 1968).
dinamika populasi wereng hijau, vektor sentra produksi padi nasional. Eksplosi Menurut Suzuki et al. (1992), fluk-
penyakit tungro, dan implikasinya dalam tungro yang terjadi pada akhir tahun 1995 tuasi kepadatan populasi vektor sangat
pengendalian penyakit tungro. di wilayah Surakarta menyebabkan mempengaruhi keberadaan tanaman
kehilangan hasil senilai Rp25 miliar (Pusat terinfeksi penyakit tungro bila sumber
Penelitian dan Pengembangan Tanaman inokulum virus sudah ada di lapang
KERUGIAN EKONOMI Pangan 1995). (Gambar 1). Persentase tanaman terinfeksi
AKIBAT TUNGRO tungro yang tinggi pada musim hujan
(Desember hingga April) bertepatan
Penyakit tungro dapat menyebabkan dengan kepadatan populasi wereng hijau
jumlah anakan dan gabah bernas ber- HUBUNGAN VEKTOR DAN yang tinggi pada periode yang sama.
Sebaliknya pada musim kemarau (Mei
kurang, sehingga tanaman tidak dapat VIRUS TUNGRO
mencapai potensi produksi. Kehilangan sampai November), persentase tanaman
hasil akibat serangan penyakit tungro Gejala penyakit tungro yang berat di- terinfeksi tungro yang rendah bertepatan
bervariasi, bergantung pada periode sebabkan oleh kompleks dua jenis virus dengan kepadatan populasi wereng hijau
pertumbuhan tanaman saat terinfeksi, berbentuk batang (rice tungro bacilliform yang lebih rendah daripada musim hujan.
lokasi dan titik infeksi, musim tanam, dan virus: RTBV) dan bulat (rice tungro
varietas. Makin muda tanaman terinfeksi spherical virus: RTSV). Infeksi salah satu
makin besar persentase kehilangan hasil jenis virus menyebabkan gejala ringan
yang ditimbulkan (Direktorat Bina Perlin- atau tidak jelas, bergantung pada partikel DINAMIKA POPULASI
dungan Tanaman 1992). Kehilangan hasil yang menginfeksi (Hibino et al. 1978).
pada stadia infeksi 2−12 minggu setelah Kedua jenis virus umumnya terdapat pada Kepadatan populasi N. virescens pada
tanam (MST) berkisar antara 90−20%. jaringan floem (Favali et al. 1975). Kedua pola tanam tidak serempak di daerah tropis
Kehilangan hasil rumpun tanaman di jenis virus penyebab tungro ditularkan di Indonesia hanya 1/10 dari kepadatan
pusat infeksi lebih tinggi daripada rumpun oleh wereng terutama wereng hijau secara populasi N. cincticeps di daerah empat
tanaman di pinggir infeksi. Kehilangan semipersisten, dan spesies N. virescens musim di Jepang (Gambar 2), meskipun di
hasil pada tanaman terinfeksi di musim adalah vektor yang paling efisien laboratorium keduanya memiliki potensi
hujan lebih tinggi daripada tanaman menularkan penyakit tungro (Hibino dan reproduksi yang tidak jauh berbeda (Valle
terinfeksi di musim kemarau. Meskipun Cabunagan 1986). Cabauatan dan Hibino et al. 1986; Widiarta et al. 1992). Selain
saat infeksinya sama, kehilangan hasil (1984) melaporkan bahwa wereng hijau itu, kepadatan populasi N. cincticeps pada
varietas Krueng Aceh cenderung lebih dapat memindahkan RTSV dari tanaman padi sawah meningkat terus dari saat
besar daripada 1R36. Dalam kurun waktu padi yang hanya terinfeksi RTSV, tetapi invasi (G0) ke tanaman yang baru ditanam
10 tahun terakhir luas serangan penyakit tidak mampu memindahkan RTBV dari sampai tanaman menjelang dipanen selama
tungro mencapai 17.504 ha/tahun tanaman yang hanya terinfeksi RTBV. dua generasi G1 dan G2 berturut-turut.
(Soetarto et al. 2001), terluas diban- RTBV dapat dipindahkan oleh wereng Faktor-faktor yang menyebabkan
dingkan dengan luas serangan penyakit hijau yang telah terinfeksi RTSV. Dengan perbedaan kepadatan populasi kedua
lain dengan estimasi nilai kehilangan hasil demikian RTBV merupakan virus depen- spesies pada musim panas di sawah di
mencapai Rp14,10 miliar/tahun. dent sedangkan RTSV berfungsi sebagai daerah empat musim di Jepang dan di
Sama et al. (1991) melaporkan bahwa helper. daerah tropis di Indonesia telah dianalisis
penyakit tungro di Sulawesi Selatan Kedua partikel virus bersifat untuk memahami dinamika populasi
berhasil dikendalikan pada daerah yang noncirculative, yaitu dalam tubuh vektor wereng hijau, khususnya N. virescens.

86 Jurnal Litbang Pertanian, 24(3), 2005


% tanaman terinfeksi (+1) cincticeps 5,30 hari. Rata-rata jumlah telur
50 yang diletakkan imago G1 N. virescens
hanya 6,60 telur/ekor, sedangkan imago
G1 N. cincticeps meletakkan telur 10 kali
10
lebih banyak dengan rata-rata 69,30 telur/
ekor. Akibat dari perbedaan jumlah telur
yang diletakkan oleh G1, kepadatan
populasi G2 N. virescens menurun
1 sedangkan G2 N. cincticeps meningkat.
Perbedaan masa tinggal imago kedua
Jumlah wereng hijau (+1)

100
spesies kemungkinan dipengaruhi oleh
perbedaan aktivitas pemencaran imago
(Widiarta et al. 1993). Imago N. virescens
10 lebih aktif menyebar daripada N.
cincticeps. Hasil pengujian di laboratorium
menunjukkan bahwa N. virescens mem-
1 punyai kemampuan terbang dua kali
Agust. Sep. Okt. Nov. Des. Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul.
lebih lama dan dapat terbang lebih awal
1987 1988
setelah ganti kulit daripada N. cincticeps.
Imago jantan dan betina N. virescens mulai
Gambar 1. Hubungan antara fluktuasi populasi wereng hijau dan keberadaan terbang berturut-turut setelah 1,20 hari dan
penyakit tungro (Suzuki et al. 1992). 1 hari ganti kulit, sedangkan imago jantan
dan betina N. cincticeps baru mulai
terbang berturut-turut setelah 2 hari dan
Kepadatan populasi per generasi (log) 1,50 hari ganti kulit.
Hasil pengamatan selama 45 menit
N. virescens N. cincticeps menggunakan teknik tethered flight
1 1
menunjukkan bahwa imago jantan dan
0
imago betina N. virescens terbang
0
berturut-turut dengan rata-rata 20,30 menit
dan 27,40 menit, sedangkan imago jantan
-1 -1
dan imago betina N. cincticeps terbang
lebih singkat yaitu berturut-turut selama
-2 -2
10,40 menit dan 15,80 menit. Aktivitas
pemencaran imago N. virescens di lapang
didorong oleh pola tanam padi tidak
G0 G1 G2 G0 G1 G2
serempak yang menyediakan inang pada
Generasi wereng hijau stadia pertumbuhan yang disukai imago.
Imago yang baru menetas hanya tinggal
sebentar kemudian berpindah ke tanaman
Gambar 2. Perbandingan perubahan kepadatan populasi Nephotettix virescens
yang lebih muda. Di tempat menjadi imago,
dan N. cincticeps (Widiarta et al. 1997).
telur yang diletakkan hanya sebagian kecil
sehingga kepadatan populasi di tempat
tersebut tidak meningkat.
Perbedaan keadaan lingkungan biotik (Ikeda et al. 1992). Begitu pula keadaan
padi sawah seperti kepadatan musuh lingkungan abiotik seperti suhu selama
alami, keberadaan spesies pesaing dan musim tanam dan fotoperiode tidak Dinamika Populasi pada Pola
jenis varietas yang ditanam, tidak dapat menyebabkan perbedaan nyata pada Tanam Serempak dan Tidak
menjelaskan perbedaan kepadatan popu- parameter demografi N. virescens dan N.
Serempak
lasi kedua spesies di lapangan. Kepadatan cincticeps (Widiarta 1993).
populasi predator seperti Lycosa, laba-laba Rendahnya kepadatan populasi N. Berdasarkan perbedaan waktu tanam
lain, Microvelia dan Cyrthorhinus, serta virescens pada padi sawah di Indonesia antarhamparan, pola tanam padi sawah
serangga yang mungkin sebagai kompe- terutama disebabkan oleh masa tinggal dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu
titor seperti wereng coklat pada generasi (residential period) imago pada tanaman pola tanam serempak dan tidak serempak.
imigran wereng hijau (G0) dan dua tempatnya menjadi imago lebih singkat Pada pola tanam serempak, selisih waktu
generasi berikutnya yaitu G1 dan G2 tidak dibandingkan dengan masa tinggal N. tanam antarpetakan dalam satu hamparan
berbeda nyata (Widiarta et al. 1992). N. cincticeps, sehingga jumlah telur yang kecil, sehingga stadia tanaman hampir
virescens dapat berkembang dengan baik diletakkan lebih sedikit (Widiarta et al. seragam pada satu hamparan dalam satu
pada padi jenis indica seperti IR8 dan IR22 1992). Rata-rata masa tinggal imago G1 N. musim tanam. Pola tanam ini banyak
dan jenis japonica seperti Akebono virescens adalah 3,70 hari, sedangkan N. dijumpai di daerah irigasi teknis di dataran

Jurnal Litbang Pertanian, 24(3), 2005 87


rendah pantai utara Jawa. Pada pola tanam marau. Pada pola tanam tidak serempak, musuh alami terutama predator dan
tidak serempak, selisih waktu tanam padi kepadatan populasi hanya meningkat dari emigrasi imago. Kepadatan populasi
antarpetakan dalam satu hamparan sangat G0 ke G1 (generasi ke-1 setelah imigran) musuh alami dan rasio musuh alami per
besar sehingga dalam satu hamparan (Gambar 3). Kepadatan populasi tertinggi telur yang menetas tidak berbeda nyata
dapat dijumpai berbagai stadia tanaman cenderung lebih tinggi pada pola tanam (Tabel 1). Berdasarkan kenyataan tersebut,
dan juga tahapan kegiatan budi daya. Pola serempak. Kepadatan populasi G0 lebih perbedaan kematian pada saat nimfa
tanam ini dapat dijumpai pada sawah tinggi pada pola tanam tidak serempak antarkedua populasi bukan disebabkan
irigasi pedesaan atau irigasi sederhana (Widiarta et al. 1990). oleh aktivitas predator, tetapi oleh emigrasi
terutama di daerah dataran sedang dan Pada pola tanam serempak, kepa- imago.
tinggi. datan populasi G0 dipengaruhi oleh
Pola pertumbuhan kepadatan popu- kondisi dan lama periode bera (Widiarta
Dinamika Populasi pada Pola
lasi wereng hijau antarpola tanam sangat 1995). Hasil analisis data neraca hidup
berbeda (Aryawan et al. 1993). Pada pola antarpopulasi pada pola tanam serempak Tanam Padi-Padi-Padi dan Padi-
tanam serempak, kepadatan populasi dan tidak serempak menunjukkan bahwa Bera-Padi/Padi-Palawija-Padi
cenderung meningkat terus dari generasi faktor kematian yang berbeda nyata Terdapat tiga pola khas pertumbuhan
G0 (generasi imigran) sampai generasi adalah pada saat periode nimfa termasuk kepadatan populasi (Gambar 4) pada pola
G2 (generasi ke-2 setelah imigran), baik emigrasi imago. Kematian pada periode tanam padi-padi-padi dan padi-bera-padi/
pada musim hujan maupun musim ke- nimfa dapat disebabkan oleh aktivitas padi-palawija-padi. Pada pola I, pening-
katan kepadatan populasi terjadi terus-
menerus dari G0 sampai G2. Pada pola II
peningkatan kepadatan populasi terjadi
Tanam tidak serempak Tanam serempak dari G0 ke G1, sedangkan pada pola III
2,5 sejak G0 kepadatan populasi tidak
Musim kemarau Musim kemarau meningkat sama sekali (Widiarta et al.
2
1999a). Pada pola tanam padi-padi-padi,
Imago tertangkap/75 ayunan jaring (log)

1,5 pertumbuhan kepadatan populasi se-


bagian besar (45%) mengikuti pola II,
1
sedangkan pada pola tanam padi-bera-
0,5 padi/padi-palawija-padi sebagian besar
(54,40%) mengikuti pola III. Dengan
0
2,5
demikian pada pola padi-padi-padi,
Musim hujan Musim hujan umumnya populasi wereng hijau dapat
2 berkembang hingga pertengahan pertum-
1,5
buhan tanaman, sedangkan pada pola
tanam padi-bera-padi/padi-palawija-padi
1 populasi wereng hijau tidak berkembang.
Keragaman pola pertumbuhan kepadatan
0,5
populasi N. virescens di lapang merupakan
0 ciri khas spesies tersebut. Beragam pola
G0 G1 G2 G0 G1 G2 pertumbuhan populasi N. virescens juga
Generasi wereng hijau dilaporkan oleh Cook dan Perfect (1989)
di Filipina.
Gambar 3. Perbandingan kepadatan populasi Nephotettix virescens dari generasi
Kepadatan populasi/20 ayunan jaring
ke generasi pada pola tanam serempak dan tidak serempak (Aryawan
et al. 1993). 13 I

11

9
Tabel 1. Kepadatan populasi predator dan rasio predator dengan telur yang 7
sehat pada penanaman serempak dan tidak serempak. III
5
II
Predator/80 rumpun (log) Predator/telur sehat (log) 3
Musim Predator G0 G1 G2
Tidak serempak Serempak Tidak serempak Serempak Generasi

Kemarau Laba-laba 1,94 1,92 -1,05 -0,58 Gambar 4. Perkembangan kepadat-


Serangga 1,62 1,21 -1,37 -1,29
an populasi Nephotettix
Hujan Laba-laba 1,91 1,71 -0,96 -1,05
Serangga 1,61 1,47 -1,26 -1,29 virescens dari generasi ke
generasi pada pola tanam
Sumber: Aryawan et al. (1993).
yang berbeda (Widiarta et
al. 1999a).

88 Jurnal Litbang Pertanian, 24(3), 2005


Hasil analisis faktor kunci menunjuk-
kan bahwa kematian pada saat nimfa Tabel 2. Koefisien regresi (b) dan koefisien korelasi (r) hubungan antara
termasuk emigrasi imago (kn) memiliki komponen kematian dan kematian total wereng hijau.
koefisien kemiringan regresi (b) paling
besar dibandingkan dengan hubungan Pola tanam
Hubungan
regresi antara kematian telur (ke) maupun Padi-padi-padi Padi-bera-padi-/padi-palawija-padi
regresi
kematian imago (ka) dengan total kematian
b r b r
(K) (Tabel 2). Dengan demikian kematian
pada saat nimfa merupakan faktor kunci ka-K -0,32 0,14 0,09 0,15
pada kedua populasi. Hasil analisis ke-K 0,06 0,31 -0,09 0,44
kn-K 1,31 0,49 0,92 0,85
tanggap bilangan antara kematian saat
nimfa dengan musuh alami memperlihatkan K: total kematian, ka: kematian imago, ke: kematian telur, kn: kematian nimfa.
bahwa fluktuasi populasi dipengaruhi b = koefisien kemiringan regresi, r = hubungan.
oleh proses yang berbeda. Pada pola Sumber: Widiarta et al. (1999a).
tanam padi-padi-padi tidak ditemukan
hubungan tanggap bilangan antara
kematian nimfa dengan kepadatan Kepadatan telur/rumpun
predator (r = -0,094), sehingga emigrasi 50
imago mempengaruhi pola fluktuasi. G1
Terdapat hubungan antara kedua variabel 40
(r = 0,585) pada pola padi-bera/palawija-
MH
padi, dalam hal ini musuh alami terutama
pemangsa sangat berperan. 30
t

20
Dinamika Populasi N. virescens
pada Musim Hujan dan 10
MK
Kemarau t

0
Pola pertumbuhan kepadatan populasi
pada musim hujan dan kemarau tidak 1 2 3 4 5
berbeda (Widiarta et al. 2001b). Kepadatan
12
populasi hanya meningkat dari G0 ke G1, G2
kemudian dari G1 ke G2 kepadatan 10
populasi relatif tetap. Namun puncak
kepadatan populasi lebih tinggi pada 8
musim hujan daripada musim kemarau.
Hasil analisis neraca hidup menunjukkan 6
bahwa jumlah telur G1 pada musim hujan
lebih tinggi daripada di musim kemarau MK
4
(Gambar 5), tetapi kelulusan hidup dari MH t

telur sampai imago tidak berbeda


2
antarpopulasi pada kedua musim. t

Berdasarkan hubungan regresi 0


kepadatan G0 dan kepadatan telur G1, 1 2 3 4 5
intersep dan kemiringan regresi pada
Ulangan pengamatan per musim
musim hujan lebih tinggi dari musim
kemarau. Hal tersebut menunjukkan
bahwa kondisi lingkungan dan fisiologi Gambar 5. Perbandingan kepadatan telur Nephotettix virescens pada musim hujan
wereng hijau pada musim hujan lebih dan kemarau (Widiarta et al. 2001b).
menguntungkan untuk reproduksi we-
reng tersebut. Menurunnya kepadatan
popu-lasi dari G1 ke G2 pada musim hujan padatan populasi N. virescens terutama
IMPLIKASI TERHADAP
dan kemarau berhubungan dengan pada pola tanam tidak serempak ter-
aktivitas pemencaran imago yang di- PENGENDALIAN TUNGRO pelihara rendah karena adanya kebiasaan
tunjukkan oleh pendeknya kelanjutan emigrasi imago yang tinggi. Hal tersebut
usia imago di lapang, yaitu pada musim Strategi Pengendalian sangat menguntungkan karena kepadatan
kemarau dan musim hujan berturut- populasi vektor yang rendah tidak perlu
turut 3,56 dan 3,42 hari (Widiarta et al. Dari hasil tinjauan tentang dinamika dikendalikan. Apabila tidak ada sumber
2001b). populasi vektor diketahui bahwa ke- virus, kepadatan populasi yang rendah

Jurnal Litbang Pertanian, 24(3), 2005 89


tidak menimbulkan kerusakan pada seperti teki atau eceng (Yulianto et al. tahan virus tungro yang telah dilepas
tanaman. Di lain pihak kemampuan 1997), serta 3) menabur benih di per- sejak tahun 2000 antara lain adalah Tukad
pemencaran yang tinggi merupakan semaian setelah lahan dibersihkan atau Balian, Tukad Petanu, Tukad Unda,
sifat intrinsik N. virescens yang tidak tanam sistem tabur benih langsung Kalimas, dan Bondoyudo (Widiarta dan
menguntungkan, karena meskipun po- (tabela). Mengubah kebiasaan mengisap Daradjat 2000). Tukad Petanu dapat
pulasinya rendah bila telah memperoleh vektor dapat dilakukan dengan menanam ditanam pada semua daerah endemis,
virus, akan sangat efektif menyebarkan varietas tahan sehingga wereng hijau sedangkan Tukad Unda dianjurkan untuk
penyakit tungro terutama di daerah yang hanya mengisap pembuluh xilem yang ditanam di NTB dan Sulawesi Selatan.
pola tanamnya tidak serempak. tidak mengandung virus tungro (Siwi et Varietas Tukad Balian dianjurkan untuk
Berdasarkan karakter dinamika popu- al. 1999), dan menekan kemampuan ditanam di Bali dan Sulawesi Selatan.
lasi vektor yang dicirikan oleh populasi mengisap vektor dengan antifidan seperti Kalimas dan Bondoyudo diketahui tahan
rendah tetapi aktivitas pemencaran imago imidacloprid atau sambilata (Widiarta et di Jawa Timur. Selain di Jawa Timur,
tinggi, strategi yang perlu ditempuh untuk al. 2001c). Bondoyudo dapat ditanam di Bali dan
mengendalikan tungro adalah dengan Sulawesi Selatan. Penyebaran benih di
menekan aktivitas pemencaran dan persemaian dilakukan setelah lahan bersih
kemampuan vektor untuk memperoleh Integrasi Taktik Pengendalian dari gulma teki dan eceng (Yulianto et al.
atau menularkan virus sehingga tidak 1997), atau dapat pula dilakukan cara
menjadi vektor pembawa virus (viruli- Taktik pengendalian untuk menekan tanam dengan sistem tabela.
ferous). aktivitas pemencaran dan kemampuan Pada stadia vegetatif, penanaman
vektor memperoleh atau menularkan virus dengan cara legowo dua baris atau empat
dapat dilakukan dengan cara memadukan baris dapat menekan pemencaran wereng
Taktik Pengendalian komponen pengendalian yang mampu hijau (Widiarta et al. 2003). Aplikasi jamur
mengurangi aktivitas pemencaran wereng entomopatogen dapat dilakukan pada saat
Aktivitas pemencaran wereng hijau dapat hijau dan menekan sumber inokulum dalam tanaman berumur 3 MST untuk menekan
ditekan dengan memodifikasi sebaran satu paket pengendalian terpadu yang pemencaran wereng hijau generasi imigran
tanaman dengan tanam jajar legowo diintegrasikan secara bertahap sesuai dan diulang pada 6 MST untuk menekan
(Widiarta et al. 2003), mengatur kondisi tahapan budi daya padi. Pada saat pra- kepadatan populasi turunan dari generasi
pengairan yaitu tidak mengeringkan tanam, dapat dipertimbangkan penggu- imigran (Widiarta dan Kusdiaman 2005).
sawah yang terserang tungro (Widiarta et naan varietas tahan wereng hijau sesuai Aplikasi antifidan nabati sambilata atau
al. 1999b), serta menggunakan jamur dengan tingkat adaptasi wereng hijau imidacloprid untuk mengurangi kemam-
entomopatogen seperti Beauveria terutama N. virescens atau varietas tahan puan wereng hijau dalam memperoleh dan
bassiana dan Metharizium anisopliae virus sesuai dengan variasi virulensi virus. menularkan virus dapat dilakukan bila
(Widiarta dan Kusdiaman 2002). Menekan Varietas tahan wereng hijau dapat dipilah berdasarkan hasil pengamatan tanaman
kemampuan vektor menularkan virus menjadi golongan T0-T4 (Sama et al. 1991, terancam (Widiarta et al. 2001c). Tanaman
(proporsi populasi vektor pembawa virus) Tabel 3). Anjuran penggunaan varietas dinyatakan terancam bila pada umur 2
dapat dilakukan dengan menekan atau tahan wereng hijau menurut Siwi et al. MST ditemukan lima rumpun tanaman
eradikasi sumber inokulum dan mem- (1999) adalah sebagai berikut: di Jawa bergejala tungro dari 10.000 rumpun tana-
pengaruhi kebiasaan mengisap (feeding Barat dapat ditanam varietas tahan man, atau pada umur 3 MST ditemukan
behavior) wereng hijau. Sumber inokulum golongan T1, T2, dan T4; di Jawa Tengah satu tanaman bergejala tungro dari 1.000
dapat diminimalkan dengan: 1) menggu- semua golongan varietas tahan, dan di rumpun tanaman (Suzuki et al. 1992).
nakan varietas tahan virus terutama RTSV Yogyakarta varietas tahan dari golongan Pengeringan sawah tidak dianjurkan
(Widiarta dan Daradjat 2000), sehingga T2 dan T4. Di Jawa Timur dan Bali hanya karena kondisi kering akan merangsang
RTBV tidak dapat ditularkan oleh vektor dianjurkan menanam varietas tahan pemencaran wereng hijau sehingga mem-
karena tidak ada virus perantara, 2) golongan T4 dan di NTB dianjurkan perluas dan mempercepat penyebaran
eradikasi selektif gulma sumber inokulum menanam varietas tahan virus. Varietas tungro (Widiarta et al. 1999b).

KESIMPULAN
Tabel 3. Penggolongan varietas padi tahan wereng hijau berdasarkan gen
tahan tetua. Tungro merupakan penyakit utama
tanaman padi yang mengancam tanaman
Golongan Varietas Gen tahan padi di sentra produksi padi Indonesia.
Penyakit ini disebabkan oleh virus dan
T0 IR5, Pelita, Atomita, Cisadane, Cikapundung, Lusi −
T1 IR20, IR30, IR26, IR46, Citarum, Serayu Glh1
paling efektif ditularkan oleh N. virescens.
T2 IR32, IR38, IR36, IR47, Semeru, Asahan, Meskipun demikian kepadatan populasi
Ciliwung, Krueng Aceh, Bengawan Solo Glh 6 N. virescens umumnya rendah, dan hanya
T3 IR50, IR48, IR54, IR52, IR64 Glh 5 meningkat selama tanaman pada stadia
T4 IR66, IR70, IR72, IR68, Barumun, Klara Glh 4 vegetatif.
Sumber: Sama et al. (1991). Dinamika populasi N. virescens
dipengaruhi oleh kebiasaan pemencaran

90 Jurnal Litbang Pertanian, 24(3), 2005


imago. Emigrasi ke tempat lain menye- berlangsung meskipun kepadatan popu- mengeringkan sawah, dan menggunakan
babkan lama imago berada pada tanaman lasi vektor rendah. jamur entomopatogen. Kemampuan vek-
tempatnya untuk menetas menjadi pendek Strategi pengendalian penyakit tor untuk memperoleh atau menularkan
sehingga hanya sebagian kecil telur tungro berdasarkan karakter dinamika virus dapat dikendalikan dengan mena-
yang menetas. Dengan adanya kebiasaan populasi wereng hijau dilakukan dengan nam varietas tahan, eradikasi selektif
pemencaran imago, kepadatan populasi menekan aktivitas pemencaran dan gulma sumber inokulum atau tanam
rendah sehingga kerusakan secara kemampuan vektor dalam memperoleh sistem tabela, dan menekan kemampuan
langsung jarang terjadi. Namun bila ada atau menularkan virus. Pemencaran dapat mengisap vektor dengan antifidan.
sumber virus, penyebaran tungro akan ditekan dengan tanam jajar legowo, tidak

DAFTAR PUSTAKA
Anjaneyulu, A., R.D. Daquioag, M.E. Mesina, H. and indica rices on reproductive abilities of Prosiding Lokakarya Padi: Implementasi
Hibino, R.T. Lubigan, and K. Moody. 1988. two green leafhoppers, Nephotettix virescens Kebijakan Strategis untuk Meningkatkan
Host plants of rice tungro (RTV)-associated and N. cincticeps (Hemiptera:Cicadellidae). Produksi Padi Berwawasan Agribisnis dan
viruses. IRRN 13: 30−31. Chugoku Kontyu 6: 1−6. (Dalam bahasa Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengem-
Jepang dengan ringkasan bahasa Inggris) bangan Tanaman Pangan, Bogor. 247 hlm.
Aryawan, IG.N., IG.N. Gede, and Y. Suzuki. 1993.
Population growth patterns of the green Lim, G.S. 1969. The bionomics and control of Suzuki, Y., I K.R. Widrawan, I G.N. Gede, I N.
leafhopper, Nephotettix virescens (Distant) Nephotettix impicticeps Ishihara and Raga, Yasis, and Soeroto. 1992. Field
(Homoptera: Euscelidae), in small-scale transmission studies on its associated viruses epidemiology and forecasting technology of
synchronous and asynchronous rice fields. in West Malaysia. Malaysia Mim. Agric. rice tungro disease vectored by green
Appl. Entomol. Zool. 28: 390−393. Coop. Bull. 121. 62p. leafhopper. JARQ 26: 98−104.
Cabauatan, P.Q. and H. Hibino. 1984. Detection Ling, K.C. 1966. Nonpersistence of the tungro Valle, R.R., F. Nakasuji, and E. Kuno. 1986. A
of spherical and bacilliform virus particles virus of rice in its leafhopper vector, comparative study of the different bionomic
in tungro-infected plants by leafhopper Nephotettix impicticeps. Phytopatology 56: and demographic parameters of four green
transmission. IRRN 9: 18−19. 1.252−1.256. leafhoppers, Nephotettix spp. (Homoptera:
Cabunagan, R.C., Z.M. Florest, and H. Hibino. Ling, K.C. 1968. Mechanism of tungro- Cicadellidae). Appl. Entomol. Zool. 21:
1985. Reaction of IR varieties to tungro resistence in rice variety Pankhari 203. 571−577.
(RTV) under various disease pressure. IRRN Philippine Phytopatology 4: 21−38.
Wathanakul, L. and P. Weerapat. 1969. Virus
10: 11.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman disease of rice in Thailand. In Proceedings
Cook, A.G. and T.J. Perfect. 1989. Population Pangan. 1995. Laporan serangan tungro di of a Symposium on the Virus Disease of the
dynamics of three leafhopper vector of rice Jawa tengah. Pusat Penelitian dan Pengem- Rice Plant, 25−28 April 1967, Los Banos,
tungro viruses, Nephotettix virescens bangan Tanaman Pangan, Bogor. 15 hlm. Philippines. John Hopkins Press, Baltimore.
(Distant), N. nigropictus (Stal) and Recilia p. 79−85.
Rivera, C.T. and S.H. Ou. 1965. Leafhopper
dorsalis (Motschulsky) (Hemiptera: Cica-
transmission of “tungro” disease of rice. Widiarta, I.N., Y. Suzuki, H. Sawada, and F.
dellidae) in farmer’s fields in the Philippines.
Plant. Dis. Rep. 49: 127−131. Nakasuji. 1990. Population dynamics of the
Bull. Entomol Res. 79: 473−451.
green leafhopper Nephotettix virescens
Sama, S., A. Hasanuddin, I. Manwan, R.C.
Dahal, G., V.M. Aquiero, R. C. Cabunagan, and (Distant) (Hemiptera: Cicadellidae) in
Cabunagan, and H. Hibino. 1991. Integrated
H. Hibino. 1988. Varietal reaction to tungro synchronized and staggered transplanting
rice tungro disease management in South
(RTV) with change in leafhopper “virulence”. areas of paddy fields in Indonesia. Res.
Sulawesi, Indonesia. Crop Protection 10:
IRRN 13: 12−13. Popul. Ecol. 32: 319−328.
34−40.
Direktorat Bina Perlindungan Tanaman. 1992. Widiarta, I.N., Y. Suzuki, K. Fujisaki, and F.
Singh, K.G. 1969. Virus vector relationship in
Tungro dan wereng hijau. Direktorat Bina Nakasuji. 1992. Comparative population
penyakit merah of rice. Phytopatol. Soc.
Perlindungan Tanaman, Direktorat Jenderal dynamics of green leafhopper in paddy field
Japan, Ann. 35: 322−324.
Bina Produksi Tanaman Pangan, Jakarta. of the tropics and temperate regions. JARQ
194 hlm. Siwi, S.S. and Y. Suzuki. 1989. A biology of green 26: 115−123.
leafhopper Nephotettix nigropictus Stal
Favali, M.A., S. Pellegrini, and M. Bassi. 1975. Widiarta, I N. 1993. Comparative population
(Homoptera:Cicadellidae) from South Kali-
Ultra structural alterations induced by tungro dynamics of green leafhopper, Nephotettix
mantan colony. Contr. Centr. Res. Inst. Food
virus in rice leaves. Virology 66: 502− virescens and N. cincticeps. Shokubutsu-
Crops Bogor 77: 21−35.
507. boeki (Plant Protection) 47: 396−39.
Siwi, S. S., I.N. Widiarta, dan A. Hasanuddin.
Hibino, H., M. Roechan, and S. Sudarisman. 1978.
1999. Daya hidup dan kemampuan koloni Widiarta, I.N., T. Ikeda, K. Fujisaki, and F.
Association of two types of virus particles
Nephotettix virescens (Distant) sebagai Nakasuji. 1993. Comparison of dispersal
with penyakit habang (tungro disease) of rice
penular virus tungro. Penelitian Pertanian ability between the green leafhopper,
in Indonesia. Phytopatology 68: 1.412−
Tanaman Pangan 18: 6−14. Nephotettix virescens and N. cincticeps
1.416.
(Hemiptera: Cicadellidae) by tethrered
Soetarto, A., Jasis, S.W.G. Subroto, M. Siswanto, flight. Res. Popul. Ecol. 35: 23−39.
Hibino, H. and R.C. Cabunagan. 1986. Rice tungro
dan E. Sudiyanto. 2001. Sistem peramalan
associated viruses and their relation to host
dan pengendalian organisme pengganggu Widiarta, I.N. 1995. Hubungan antara kondisi
plants and vector leafhopper. Trop. Agric.
tanaman (OPT) mendukung sistem produksi bera dan populasi wereng imigran saat stadia
Res. Ser. 19: 173−182.
padi berkelanjutan. Dalam I. Las, Suparyono, awal pertumbuhan tanaman padi sawah ta-
Ikeda, T., I.N. Widiarta, R. Tsukuda, K. Fujisaki, A.A. Daradjat, H. Pane, U.S. Nugraha, H.M. nam serempak. Buletin Hama Penyakit
and F. Nakasuji. 1992. Effect of japonica Toha, A. Tyasdjaya, dan O.S. Lesmana (Ed.). Tumbuhan 8: 65−73.

Jurnal Litbang Pertanian, 24(3), 2005 91


Widiarta, I.N., Yulianto, dan M. Muhsin. 1997. pengaruhi pergeseran dominasi komposisi anisopliae (Metsc.) dan Beauveria bassiana
Status penyebaran penyakit tungro pada padi spesies wereng hijau (Nephotettix spp.). (Bals.) menekan pemencaran wereng hijau.
di Jawa Barat. Jurnal Perlindungan Tanaman Seminar Nasional Persatuan Entomologi Laporan Akhir Tahun. Balai Penelitian
Indonesia 3: 23−31. Indonesia. Bogor, 6 November 2001. hlm. Tanaman Padi, Sukamandi. 12 hlm.
15−20.
Widiarta, I.N., D. Kusdiaman, dan A. Hasanuddin. Widiarta, I.N., D. Kusdiaman, dan A. Hasan-
1999a. Dinamika populasi Nephotettix Widiarta, I.N., D. Kusdiaman, dan A. Hasa-
nuddin. 2003. Pemencaran wereng hijau dan
virescens pada dua pola tanam padi sawah. nuddin. 2001b. Analisis dinamika populasi keberadaan tungro pada pertanaman padi
Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 5: wereng hijau Nephotettix virescens pada padi dengan beberapa cara tanam. Penelitian
42−49. sawah di musim kemarau dan musim hujan.
Pertanian Tanaman Pangan 22: 129−133.
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 20:
Widiarta, I.N., D. Kusdiaman, and A. I.G.N. 11−16. Widiarta, I.N. dan D. Kusdiaman. 2005. Uji
Aryawan. 1999b. Study on dispersal activity
of Nephotettix virescens Distant, the most Widiarta, I.N., A. Yustiano, dan D. Kusdiaman. lapang kemampuan jamur entomopatogen,
effective vector of rice tungro virus disease. 2001c. Daya hambat aktivitas mengisap Metarhizium menekan pemencaran wereng
tanaman padi oleh Nephotettix virescens hijau dan menularkan tungro. Laporan Akhir
One day Seminar ITSF. International Torai
Science Fondation. Jakarta, 31 January 1999. Distant akibat aplikasi foliar ekstrak daun Tahun. Balai Penelitian Tanaman Padi,
hlm. 37−44. sambilata (Andrographis paniculata) serta Sukamandi. 18 hlm.
dampaknya terhadap penularan penyakit
Widiarta, I.N. dan A.A. Daradjat. 2000. Daya Yulianto, A. Hasannuddin, M. Muhsin, dan S.
tungro. Simposium Pengendalian Hayati
Somowiyarjo. 1997. Identifikasi gulma se-
tular tungro daerah endemis terhadap Serangga. Pusat Penelitian dan Pengem-
varietas tahan. Berita Pusat Penelitian dan bagai inang alternatif virus tungro. Prosiding
bangan Tanaman Pangan. Sukamandi 14−
Pengembangan Tanaman Pangan 18: 1−2. Kongres XIV dan Seminar Ilmiah Persatuan
15 Maret 2001. hlm. 205−209.
Fitopatologi Indonesia. Perhimpunan
Widiarta, I.N., D. Kusdiaman, dan Koesnang. Widiarta, I.N. dan D. Kusdiaman. 2002. Pengujian Fitopatologi Indonesia. Palembang, 27−29
2001a. Fenomena dan faktor yang mem- potensi jamur entomopatogen Metarizhium Oktober 1997. hlm 435−440.

92 Jurnal Litbang Pertanian, 24(3), 2005

Anda mungkin juga menyukai