Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan dan
berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian
setiap anggota keluarga. Keluarga memerlukan organisasi tersendiri dan perlu kepala
rumah tangga sebagai tokoh penting yang memimpin keluarga disamping beberapa
anggota keluarga lainnya. Hubungan baik ini ditandai dengan adanya keserasian dalam
hubungan timbal balik antar semua anggota/individu dalam keluarga. Sebuah keluarga
disebut harmonis apabila seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai dengan
tidak adanya konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan terhadap keadaan (fisik,
mental, emosi dan sosial) seluruh anggota keluarga. Keluarga disebut disharmonis apabila
terjadi sebaliknya (Moertil,2009).
Ketegangan maupun konflik antara suami dan istri maupun orang tua dengan anak
merupakan hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah tangga. Tidak ada rumah
tangga yang berjalan tanpa konflik namun konflik dalam rumah tangga bukanlah sesuatu
yang menakutkan. Hampir semua keluarga pernah mengalaminya. Yang mejadi berbeda
adalah bagaimana cara mengatasi dan menyelesaikan hal tersebut. Penyelesaian masalah
dilakukan dengan marah yang berlebih-lebihan, hentakan-hentakan fisik sebagai
pelampiasan kemarahan, teriakan dan makian maupun ekspresi wajah menyeramkan.
Terkadang muncul perilaku seperti menyerang, memaksa, mengancam atau melakukan
kekerasan fisik. Perilaku seperti ini dapat dikatakan pada tindakan kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT) yang diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga (Moertil,2009).

B. Tujuan
Tujuan Umum dari pembuatan makalah ini adalah mahasiswa dapat menjelaskan
askep pada koerban KDRT.
Tujuan khusus dari makalah ini yaitu:
1. Menjelaskan yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
2. Menjelaskan apa saja bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga.
3. Menjelaskan faktor-faktor penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga.
4. Menjelaskan cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
5. Menjekaskan perlindungan bagi korban KDRT.
6. Menjelaskan pengertian KDRT menurut UU.
BAB 2

1
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan berpengaruh
sangat besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian setiap anggota
keluarga. Keluarga memerlukan organisasi tersendiri dan perlu kepala rumah tangga
sebagai tokoh penting yang memimpin keluarga disamping beberapa anggota keluarga
lainnya. Anggota keluarga terdiri dari Ayah, ibu, dan anak merupakan sebuah satu kesatuan
yang memiliki hubungan yang sangat baik. Hubungan baik ini ditandai dengan adanya
keserasian dalam hubungan timbal balik antar semua anggota/individu dalam keluarga.
Sebuah keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang
ditandai dengan tidak adanya konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan terhadap
keadaan (fisik, mental, emosi dan sosial) seluruh anggota keluarga.
Keluarga disebut disharmonis apabila terjadi sebaliknya. Ketegangan maupun
konflik antara suami dan istri maupun orang tua dengan anak merupakan hal yang wajar
dalam sebuah keluarga atau rumah tangga. Tidak ada rumah tangga yang berjalan tanpa
konflik namun konflik dalam rumah tangga bukanlah sesuatu yang menakutkan. Hampir
semua keluarga pernah mengalaminya. Yang mejadi berbeda adalah bagaimana cara
mengatasi dan menyelesaikan hal tersebut. Setiap keluarga memiliki cara untuk
menyelesaikan masalahnya masing-masing. Apabila masalah diselesaikan secara baik dan
sehat maka setiap anggota keluarga akan mendapatkan pelajaran yang berharga yaitu
menyadari dan mengerti perasaan, kepribadian dan pengendalian emosi tiap anggota
keluarga sehingga terwujudlah kebahagiaan dalam keluarga.
Penyelesaian konflik secara sehat terjadi bila masing-masing anggota keluarga
tidak mengedepankan kepentingan pribadi, mencari akar permasalahan dan membuat
solusi yang sama-sama menguntungkan anggota keluarga melalui komunikasi yang baik
dan lancar. Disisi lain, apabila konflik diselesaikan secara tidak sehat maka konflik akan
semakin sering terjadi dalam keluarga. Penyelesaian masalah dilakukan dengan marah
yang berlebih-lebihan, hentakan-hentakan fisik sebagai pelampiasan kemarahan, teriakan
dan makian maupun ekspresi wajah menyeramkan. Terkadang muncul perilaku seperti
menyerang, memaksa, mengancam atau melakukan kekerasan fisik. Perilaku seperti ini
dapat dikatakan pada tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang diartikan
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
B. Trend KDRT di Indonesia

Orang muda saat ini menjadi sasaran utama Kementrian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak (PPA) untuk menghentikan praktik kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT). Untuk itu sosialisasi dan edukasi tentang pencegahan KDRT giat dilakukan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
2
Dalam Rumah Tangga (PKDRT), terdapat empat jenis KDRT. Di antaranya kekerasan
fisik, psikis, seksual, dan penelantaran.

PBB mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai ”semua tindak


kekerasan berbasis jender yang berakibat atau dapat berakibat pada kesakitan dan
penderitaan fisik, seksual atau psikologis perempuan, termasuk di dalamnya ancaman
untuk melakukan kekerasan, pengekangan atau penghilangan kebebasan, yang terjadi di
dalam ruang pribadi atau rumah dan atau di ruang publik”.

Dalam CATAHU tersebut, terdapat temuan trend kekerasan yang berkembang sesuai
konteks dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu:

1. KDRT, Femicide, Poligami dan perkawinan anak. Peristiwa KDRT disertai dengan
terungkapnya kasus pembunuhan perempuan (femicide), dalam kasus ini pembunuhan
terhadap istri. Tingginya cerai gugat istri banyak disebabkan oleh situasi rumah tangga
yang tidak aman, diantaranya kekerasan fisik, maraknya poligami, dan perkawinan
anak diantaranya kriminalisasi terhadap perempuan yang dikawinkan karena dianggap
berzina, padahal dalam data CATAHU tampak tingginya angka kekerasan sesksual
dan relasi pacaran.

2. Kekerasan terhadap perempuan berbasis cyber. Adalah kekerasan yang muncul ke


permukaan dengan massif, namun kurang dalam pelaporan dan penanganan. Dampak
dari kejahatan cyber ini dapat menjatuhkan hidup perempuan, menjadi korban
berulang kali, dan dapat terjadi seumur hidup. Cyber harrashment adalah terbanyak
kedua dari kasus kekerasan terhadap perempuan.

3. Incest. Kasus incest dengan pelaku ayah kandung atau pelaku pelecehan seksual anak
di bawah 5 tahun adalah “pekerjaan rumah” terbesar negara dan bangsa Indonesia
untuk merespon situasi kekerasan yang ekstrim ini. Walaupun sudah ada
penghukuman yang ditujukan untuk menjerakan publik melalui perpu kebiri, tapi tidak
banyak mengubah darurat kekerasan seksual yang ada. Ini menunjukkan ada
diskoneksi analisa negara terhadap penyebab kekerasan seksual dan penangananya.

4. Pelaku kekerasan seksual di ranah personal, ada tiga kategori tertinggi yaitu pacar
(1528), ayah kandung (425), paman (322), dari 19 kategori pelaku.

3
5. Perempuan masih menjadi sasaran yang disalahkan, di bully termasuk dalam konteks
perselingkuhan, poligami, dan kejahatan perkawinan lainnya. Sementara pelaku
utama justru lolos dari penghakiman sosial. Keenam, konflik sumber daya alam dan
pemiskinan. Politik pembangunan infrastruktur yang massif, impunitas dan supremasi
korporasi meminggirkan bahkan mengusir masyarakat penduduk asli atau masyarakat
adat, mengundang migrasi paksa, perdagangan orang maupun kerentanan kerja-kerja
domestik termasuk Pekerja Rumah Tangga (PRT). Perlawanan dianggap
pembangkangan terhadap hukum dan kebijakan pusat dan daerah. Dampaknya pada
perempuan adalah menambah beban pemiskinan

6. Politik populisme sudah menawan isu-isu krusial menjadi jalan di tempat atau bahkan
kemunduran dalam penanganan isu pelanggaran HAM masa lalu, atau semakin
memburuknya isu-isu HAM perempuan yang dipolitisasi atau dianggap mengganggu
moral mayoritas, seperti minimnya suaru mencegah persekusi pada minoritas agama,
minoritas seksual, politisasi isu perzinahan yang tidak bisa dibedakan dengan
kekerasan seksual, dan lainnya.

Meski demikian ada sejumlah kemajuan yang berhasil dicatat CATAHU 2018 ini,
yaitu pengaduan kepada lembaga pengadalayanan dari unsur pemerintah seperti Kepolisian
dan Rumah Sakit meningkat. Artinya lembaga tersebut dibutuhkan dan dipercaya
masyarakat, oleh karena itu diperlukan dukungan penambahan sumber daya manusia,
pelayanan dan penanganan yang cepat.

C. Data Angka KDRT di Indonesia

Pengumpulan data catatan tahunan (disingkat CATAHU) Komnas Perempuan


berdasarkan pemetaan laporan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang diterima
dan ditangani oleh berbagai lembaga masyarakat maupun institusi pemerintah yang
tersebar di hampir semua provinsi di Indonesia, serta pengaduan langsung yang diterima
oleh Komnas Perempuan melalui Unit Pengaduan Rujukan (UPR) maupun melalui email
resmi Komnas Perempuan. (silakan lihat daftar lembaga yang berpartisipasi dalam
memberikan data kepada Komnas Perempuan) Metode yang dilakukan Komnas
Perempuan adalah dengan beberapa cara:

4
1. Bekerjasama dengan pemerintah yang telah memiliki mekanisme membangun dan
mengolah data dari seluruh provinsi di Indonesia, yaitu Badan Peradilan Agama
(BADILAG). BADILAG memiliki data lengkap tentang angka perceraian dan telah
melakukan kategorisasi penyebab perceraian berdasarkan UU Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam. Data ini membantu Komnas Perempuan menemukan
penyebab-penyebab berdasarkan kekerasan berbasis gender dalam ranah
Perkawinan atau Rumah Tangga. Komnas Perempuan juga mengambil data
unduhan tentang perceraian yang disajikan melalui situs internet resmi dari putusan
perkara Mahmah Agung, untuk menemukan kasus perceraian selain yang beragama
Islam.
2. Mengirimkan formulir kuesioner yang perlu diisi oleh lembaga-lembaga yang
menangani perempuan korban kekerasan baik kepada pemerintah maupun
organisasi masyarakat sipil. Formulir kuesioner yang dibuat Komnas Perempuan
memuat tentang identifikasi kasus kekerasan berbasis gender. Kesediaan
pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil sangat membantu Komnas
Perempuan dalam menyajikan data temuan kekerasan terhadap perempuan.
3. Mengolah data pengaduan yang langsung datang Komnas Perempuan dari Unit
Pengaduan dan Rujukan maupun dari email.
4. Menyajikan tambahan data dari mitra berdasarkan kelompok perempuan rentan
yaitu Kekerasan terhadap Komunitas Minoritas Seksual, Perempuan dengan
Disabilitas, Perempuan dengan HIV, serta WHRD (Women Human Rights
Defender/Perempuan Pembela HAM)

Kategorisasi dalam Penyajian Data CATAHU

CATAHU menyajikan tampilan data kekerasan terhadap perempuan


berdasarkan kategori berikut ini: - Kategori berdasarkan data kuesioner yang telah
diterima Komnas Perempuan dari berbagai lembaga layanan baik pemerintah maupun
LSM - Kategori berdasarkan data langsung dari Pengadilan Agama dan Pengadilan
Negeri tentang angka dan penyebab perceraian. Sejak tahun 2012, Komnas Perempuan
mengembangkan analisis data dari PA secara terpisah karena PA memiliki cara/sistem
pengkategorisasian tentang kekerasan terhadap perempuan yang berbeda. Seluruh data
PA yang digunakan dalam catahu ini adalah kasus-kasus yang telah diputus oleh

5
pengadilan dan dilihat lebih terinci pada penyebab perceraian yang dilaporkan, baik
cerai gugat maupun cerai talak.

Data dari PA ini menambah angka total kasus KtP secara signifikan, khususnya
di ranah rumah tangga (KDRT)/relasi personal (RP). Namun demikian analisis tetap
dilakukan terpisah agar menjadi jelas kebutuhan penanganan kasus di lembaga-
lembaga mitra pengada layanan (selain PA). - Kategori pengaduan langsung ke
Komnas Perempuan melalui Unit Pengajuan dan Rujukan (UPR) dan email resmi
Komnas Perempuan.

Kategori lainnya adalah berdasarkan ranah yaitu: - Kategori Privat atau biasa
disebut KDRT/Ranah Personal (RP), - Kategori Publik atau Komunitas - Kategori
negara. Ketiga kategori ini untuk menunjukkan bagaimana perempuan mengalami
kekerasan dari berbagai aspek mulai dari rumah atau orang terdekat, ruang publik,
hingga dampak kebijakan negara.

Pengiriman Formulir Data Catahu dan Tingkat Respon Berikut adalah data
pengiriman dan penerimaan Formulir Kuesioner Komnas Perempuan kepada lembaga-
lembaga yang bersedia berpartisipasi. Pengiriman kuesioner dilakukan dalam jumlah
yang beragam. Komnas Perempuan melakukan verifikasi data setiap tahun dimana ada
beberapa lembaga yang sudah tutup ataupun kehilangan kontak, serta adanya
perubahan struktur dalam lembaga pemerintah seperti P2TP2A yang berubah
fungsinya sebagai unit pelaksana teknis di tahun lalu. Komnas Perempuan menyadari
bahwa terdapat kendala yang berdampak dalam pengembalian kuesioner, pertama
berkaitan dengan keberlangsungan lembaga mitra, kedua pemahaman atas pengisian
formulir kuesioner, ketiga tingkat kebutuhan lembaga mitra tentang pengolahan data,
serta tidak adanya sumber daya manusia di lembaga-lembaga mitra tersebut. Atas
keadaan tersebut Komnas Perempuan sangat membutuhkan untuk melakukan
pengembangan kapasitas atau membimbing mitra lembaga baik pemerintah maupun
LSM yang ingin berpartisipasi memberikan data Catahu.

6
D. Faktor Penyebab Kdrt (Kekerasan dalam Rumah Tangga)
Faktor-faktor penyebab terjadinya KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) dapat
dirumuskan menjadi dua bagian, yakni faktor eksternal dan faktor internal. Pada faktor
eksternal erat hubungannya dengan kekuasaan suami dan diskriminasi di kalangan
masyarakat, diantaranya sebagai berikut :
1) Budaya Patriarkhi yang menempatkan posisi laki-laki lebih unggul daripada
perempuan dan berlaku tanpa adanya perubahan, seolah-olah itulah kodrati.
2) Interprestasi Agama yang tidak sesuai dengan universal agama, misalnya nusyuz,
yakni suami boleh memukul istri dengan alasan mendidik atau istri tidak mau
melayani kebutuhan seksual suami, suami berhak memukul dan istri dilaknat
malaikat.
3) Kekerasan berlangsung justru bertumpang tindih dengan legitimasi dan menjadi
bagian dari suatu budaya, keluarga, negara dan praktik di masyarakat sehingga
menjadi bagian kehidupan.
Adapun faktor internal timbulnya kekerasan terhadap istri adalah kondisi psikis
dan kepribadian suami sebagai pelaku tindak kekerasan tersebut, yaitu :
 sakit mental;
 pecandu alkohol;
 penerimaan masyarakat terhadap perilaku kekerasan;
 kurangnya komunikasi;
 penyelewengan seks;
 citra diri yang rendah;
 frustasi;
 perubahan situasi dan kondisi;
 kekerasan sebagai suatu sumber daya untuk menyelesaikan masalah (pola kebiasaan
keturunan dari keluarga atau orang tua).

E. Akibat KDRT
Korban KDRT pada umumnya mengalami stres, dan depresi. Selain itu, korban
KDRT juga ketakutan, dan trauma. Tidak hanya itu, korban KDRT biasanya takut
bertemu pelaku sehingga putus komunikasi antara korban dan pelaku. cacat fisik, atau
berakhir pada perceraian. Pelaku KDRT apabila kasusnya terungkap dan dilaporkan,
biasanya timbul rasa menyesal, malu, rasa dihukum. Ada yang meminta maaf dan tobat,
tapi juga tidak jarang memilih dengan jalan perceraian.

F. Pencegahan
Ada ungkapan, mencegah lebih baik daripada mengobati. Maka dalam masalah
KDRT, sangat penting dilakukan pencegahan sebelum terjadi KDRT.
Adapun kiat mencegah terjadinya KDRT antara lain:

7
1) Keluarga wajib mengamalkan ajaran agama. Bapak harus menjadi imam bagi
isteri, anak-anak serta keluarga, dan Ibu imam bagi anak-anak dan dalam
mengatur urusan rumah tangga.
2) Harus dikembangkan komunikasi timbal balik antara suami, isteri dan anak-anak.
3) Isteri wajib mendidik anak sejak kecil, kalau marah jangan memukul dan berkata
kasar.
4) Kalau ada masalah harus diselesaikan dengan dialog.
5) Jika terjadi pertengkaran serius, salah satu atau kedua-duanya harus meminta kepada
orang yang dituakan untuk memediasi.
Dalam hal pencegahan KDRT secara dini, Ibu sebagai isteri dan ibu dari anak-anak,
secara dini bisa berperan dalam mencegah KDRT melalui pencerahan dan penyadaran
kepada putra-putrinya. Selain itu, organisasi massa seperti PKK dapat berperan dalam
sosialisasi pentingnya dibangun rumah tangga yg baik, mawaddah (penuh cinta kasih) wa
rahmah (penuh kasih sayang).

G. Penanganan KDRT
Jika KDRT terjadi, maka hadapi dan tangani:
1) Isteri dan suami lakukan dialog. Keduanya harus cari solusi atas masalah yang
dihadapi untuk memecahkan masalah yang menjadi penyebab terjadinya
KDRT. Jika anak-anak sudah mulai besar, ajak mereka supaya berbicara kepada
bapak, kalau KDRT dilakukan bapak (suami).
2) Selesaikan masalah KDRT dengan kepala dingin. Cari waktu yang tepat untuk
sampaikan bahwa KDRT bertentangan hukum negara, hukum agama, budaya dan
adat-istiadat masyarakat.
3) Laporkan kepada keluarga yang dianggap berpengaruh yang bisa memberi jalan
keluar terhadap penyelesaian masalah KDRT supaya tidak terus terulang.
4) Kalau sudah parah KDRT seperti korban sudah luka-luka, maka dilakukan visum.
5) Laporkan kepada yang berwajib telah terjadi KDRT. Melapor ke polisi
merupakan tindakan paling terakhir karena bisa berujung kepada perceraian.

Di Indonesia, dalam menanggulangi kejahatan (criminal policy) seperti KDRT ada


dua pendekatan. Pertama, pendekatan sarana penal (hukum pidana) pendekatan ini lebih
bersifat represif dan Kedua, pendekatan non penal (bukan hukum pidana) dan pendekatan
ini lebih bersifat preventif. Di Indonesia, penanggulangan KDRT menggunakan hukum
pidana bisa ditempuh korban dengan mengajukan laporan di Unit Pelayanan Perempuan
dan Anak (UPPA) disejumlah instansi kepolisian yang berada dibawah naungan satuan
reserse kriminal (Satreskrim).

8
Adapun mengenai sanksi pidana dalam pelanggaran UU No.23 Tahun 2004 tentang
PKDRT diatur dalam Bab VIII mulai dari pasal 44 s/d pasal 53 KUHP. Khusus untuk
kekerasan KDRT di bidang seksual, berlaku pidana minimal 5 Tahun penjara dan maksimal
15 Tahun penjara atau 20 Tahun penjara atau denda antara 12 juta s/d 300 juta rupiah atau
antara 25 juta s/d 500 juta rupiah (Baca: pasal 47 dan 48 UU PKDRT). Dan perlu diketahui
juga, bahwa pada umumnya UU No.23 Tahun 2004 tentang PKDRT, bukan hanya
ditujukan kepada seorang suami, tapi juga juga bisa ditujukan kepada seorang isteri yang
melakukan kekerasan terhadap suaminya, anak-anaknya, keluarganya atau pembantunya
yang menetap tinggal dalam satu rumah tangga tersebut.

Adapun pendekatan penanggulangan KDRT melalui pendekatan di luar hukum


pidana (Non-Penal Policy) dilakukan pemerintah dibawah kordinasi
kementrian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Di era desentralisasi, nama
nama lembaga antar daerah tentu berbeda satu dengan yang lainnnya, namun dalam
operasionalnya, lembaga tersebut lebih menekankan pencegahan terjadinya KDRT. Jadi
non penal itu dapat diartikan segala usaha yang bersifat non-yuridis guna menanggulangi
timbulnya kejahatan. Dan usaha-usaha non-penal ini mempunyai posisi sangat strategis
karena lebih mempusatkan pada pencegahan.

Upaya penanganan KDRTantara lain meliputi:

1. Pendidikan Pendidikan memegang peran kunci dalam mengangkat permasalahan


kekerasan dalam rumah tangga dari masalah privat menjadi masalah umum, jadi
penurunan kekerasan dalam rumah tangga bisa terjadi bila anggota masyarakat sendiri
bertanggungjawab untuk mendidik lingkungannya, yaitu melalui pendidikan yang
sensitif gender. Pendidikan di sekolah-sekolah adalah jalur yang efektif dalam upaya
ini, misalnya dengan memasukkan tema-tema sensitif gender dalam kurikulum di
sekolah. Hal tersebut merupakan salah 42 satu contoh bagaimana pendidikan dapat
mempengaruhi pembentukan self. Upaya-upaya rekonstruksi budaya melalui
pendidikan, baik di level formal maupun non-formal, terutama pendidikan dalam
keluarga. Pendidikan yang dapat mengubah budaya patriarki menjadi budaya yang
menghargai kesetaraan, perbedaan dan kemajemukan; mengubah budaya kekerasan
menjadi budaya toleransi. Upaya ini diharapkan dapat membantu lahirnya iklim

9
demokrasi yang memungkinkan partisipasi perempuan secara luas dalam berbagai
perumusan kebijakan publik (Mulia, 2007: 242).
2. Hukum Penanganan bidang hukum harus pula diperhatikan dalam masalah kekerasan
dalam rumah tangga ini, karena semua bentuk kekerasan merupakan pelanggaran hak
asasi manusia (HAM). Kekerasan tersebut adalah kejahatan terhadap 43 martabat
kemanusiaan dan juga perbuatan yang mengakibatkan tidak terciptanya keluarga yang
bahagia. Itulah sebabnya negara memberikan perlindungan kepada masyarakat,
khususnya korban, agar terhindar dan terbebas dari kekerasan, serta pemulihan
terhadap korban kekerasan (Tungka, 2007: 80). Agar para korban merasa aman dalam
proses hukum maka diperlukan advokasi dan pendampingan. Hal ini dimaksudkan
untuk menumbuhkan rasa percaya diri korban dan pemulihan kondisi psikis korban,
sehingga dalam menjalankan proses-proses hukum dengan sehat dan tanpa adanya
tekanan apapun.
3. Kesehatan Proses menangani kekerasan jalur kesehatan ini, dibedakan atas penanganan
fisik, psikis, dan seksual. Penanganan korban secara fisik: yaitu dengan memberikan
pelayanan khusus di rumah sakit. 44 Pelayanan tersebut berupa membantu
menyembuhkan memar-memar dan luka-luka akibat kekerasan dalam rumah tangga,
secara berkesinambungan, dan dalam pelayanannya tidak membedakan status
sosialnya. Bagi korban kekerasan psikis, dapat ditangani dengan segala aspek misalnya
wawancara konseling dan rumah aman. Wawancara konseling diharapkan dapat
terpecahkan masalah korban yang ditangani oleh orang yang ahli, melalui percakapan
itu akan tercapai pengambilan keputusan dan langkah-langkah yang tepat untuk
bersikap dan bertindak (Tungka, 2007: 39). Penanganan rumah aman yang didirikan
oleh pemerintah maupun swasta pemerhati perempuan, yaitu dengan adanya konsultan
dan psikolog untuk menangani korban yang mengalami kekerasan psikis, dan apabila
kondisi psikis korban hanya ringan, korban dapat tinggal di rumahnya dengan sesekali
mendatangi rumah aman tersebut. Untuk menangani korban kekerasan seksual upaya
45 penanganannya hampir sama dengan korban kekerasan fisik, yaitu melalui rumah
sakit dan instansi terkait yang memberikan pelayanan, menjamin penegakan dan
perwujudan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, akan tetapi lebih
menekankan pada aspek seksual dan reproduksi perempuan (Marlia, 2007: 73).

10
H. Rehabilitasi KDRT

Rehabilitasi sosial, kejiwaan, dan perilaku kepada para pelaku kekerasan terhadap
anak masih minim. Akibatnya, ketika usai menjalani masa hukum pidana dan kembali ke
rumah, tidak ada perubahan persepsi pelaku kekerasan tentang bagaimana mengasuh anak
dengan baik. Kekerasan pun rentan terulang.
Pasal 50 Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menyatakan bahwa para pelaku kekerasan
harus menjalani konseling dan pemulihan di bawah lembaga tertentu. Namun, pada
praktiknya belum ada jaminan hal tersebut diterapkan.
Kejiwaan pelaku kekerasan umumnya diperiksa bersamaan dengan penyidikan
kepolisian. Namun, proses ini kadang melibatkan kekerasan sehingga menghasilkan
dendam.
Secara terpisah, psikolog anak sekaligus anggota Balai Pertimbangan
Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Seto Mulyadi,
menerangkan, di lembaga pemasyarakatan (LP), para pelaku kejahatan terhadap anak
sering dianiaya, bukan disadarkan atas kesalahannya. Contohnya, kasus kejahatan seksual
terhadap siswa di satu sekolah di Jakarta. Akibat tertekan, salah satu tersangka justru bunuh
diri.
Kementerian Sosial (Kemsos) mengembangkan rehabilitasi keluarga lewat Sesi
Pengembangan Keluarga (FDS) kepada anak-anak di panti sosial serta orang tua mereka.
Menurut Direktur Kesejahteraan Anak Kemsos Edi Suharto, program ini berusaha mencari
akar masalah dan mendorong pemulihan keluarga. Orang tua disadarkan dari perbuatan
menyakiti anak dan diberi penyuluhan cara mengasuh anak yang baik. Namun, cakupan
FDS masih terbatas, yaitu baru merangkul 37.000 orang tua.

I. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

a) Pengkajian
1. Kecemasan
a. Perilaku : Gelisah, ketegangan fisik, tremor, gugup, bicara cepat, menarik diri
dari hubungan personal, mengahalangi, menarik diri dari hubungan
interpersonal, melarikan diri dari hubungan intrapersonal.
b. Stresor Pecetus : Stesor penscetus mungkin berasal dari sumber internal dan
sumber eksternal. Stressor pencetus dibagi menjadi dua kategori. Kategori
pertama yaitu ancaman terhadap integritas seseorang meliputi ketidakmampuan
fisiologis yang akan datang atau menurunnya kkapasitas untuk melakukan
aktivitas hidup sehari-hari. Katagori kedua yaitu ancaman terhadap system diri
seseorang dapat membahayakan identitas, harga diri, dan fungsi social yang
terintegrasi seseorang.
c. Mekanisme koping : Tingkat kecemasan seseorang dapat menimbulkan dua
mekanisme koping. Mekanisme yang pertama adalah mekanisme yang

11
berorientasi pada tugas yaitu upaya yang disadari, dan berorientasi pada
tindakan untuk memenuhi secara realistic tuntutan situasi stress(Perilaku
menyerang untuk mengatasi hambatan pemenuhan, perilaku menarik diri secara
fisik maupun psikologik untuk memindahkan sumber stress, perilaku
kompromi untuk mengubah tujuan). Mekanisme yang kedua adalah mekanisme
pertahan ego yang membantu mengatasi ansietas.
d. Gangguan Tidur
 Perilaku
 Sumber koping : dukungan social dari keluarga, teman, dan pemberi
pelayanan juga merupakan sumber yang penting.
 Mekanisme koping : represi perasaan, konflik, menyangkal masalah
psikologis.
 Gangguan Seksual
 Perilaku
 Factor predisposisi
 Faktoer pencetus
 Mekanisme koping

b) Diagnosa Keperawatan
Kecemasan
c) Identifikasi Hasil
 Kecemasan
Pasien akan menunjukkan cara adaptif dalam mengatasi stress
 Gangguan tidur
Pasien akan mengekspresikan perasaannya secara verbal daripada melalui
perkembangan gejala-gejala fisik.
 Gangguan seksual
Pasien akan mencapai tingkat maksimal respons seksual yang adaptif untuk
meningkatkan atau mempertahankan kesehatan.
d) Perencanaan
 Kecemasan
Pasien harus mengembangkan kapasitasnya untuk mentoleransi ansietas.
 Gangguan tidur
Penyuluhan untuk pasien tentang strategi koping yang adaptif.
 Gangguan seksual
Lakukan penyuluhan.
e) Implementasi

12
Implementasi atau pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk
mencapaitujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan
disusun dan dilanjutkan pada nursing orders untuk membantu klien tujuan yang
diharapkan.
Rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-
faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien. Tujuan dari pelaksanaan adalah
membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yang mencakup
peningkatan kesehatan pencegahan penyakit, pemulihan dan memanifestasikan
koping.
Perencanaan tindakan keperawatan dapat dilaksanakan dengan baik, jika
klien mempunyai keinginan untuk beradaptasi
dalam pelaksanaan tindakan keperawatan. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan
pada pasien dengan KDRT rumah tangga yang perlu diperhatikan adalah penarikan
diri dari hubungan personal, melarikan diri dari hubungan intrapersonal, menarik diri
dari hubungan interpersonal , tingkat kecemasan sosial, perawat melakukan
pengurangan penyebab kecemasan, menggunakan teknik relaksasi untuk mengurangi
kecemasan. Dalam memberikan asuhan keperwatan, perawat harus
mampu bekerja sama dengan klien, keluarga, serta anggota tim kesehatan yang lain
sehingga asuhan yang diberikan dapat optimal dan komprehensif.
 Kecemasan
 Memecahkan masalah yang membuat pasien cemas
 Gangguan tidur
 Memenuhi kebutuhan fisiologis pasien.
 Memenuhi kebutuhan dasar akan rasa aman dan keselamatan.
 Gangguan Seksual
 Sebelum melakukan penyuluhan perawat harus memeriksa nilai dan
keyakinannya sendiri tentang pasien yang berperilaku seksual yang mungkin
berebda.
Dx:-
Do: Gelisah, ketegangan fisik, tremor, gugup, bicara cepat, mengahalangi,
Dx:-
Do: menarik diri dari hubungan personal, melarikan diri dari hubungan intrapersonal,
menarik diri dari hubungan interpersonal

NO DIAGN DO/DS NOC NIC


OSA

13
1 Isolasi DO = Setelah dilakukan 1. Terapi Aktivitas
Sosial tindakan keperawatan
a. Bantu Klien untuk
selama… X24 jam
Menarik diri diharapkan mengeksplorasi
dari hubungan tujuan personal dari
personal, aktivitas – aktivitas
melarikan diri Tingkat Kecemasan yang bisa dilakukan
dari hubungan sosial #1216
atau yang di sukai
intrapersonal, -Menghindari situasi
menarik diri b. Dorong aktivitas
sosial #121601
dari hubungan kreatif yang tepat
interpersonal c. Dorong keterlibatan
dalam aktivitas
DS = - kelompok maupun
terapi, jika diperlukan
2. Peningkatan sosialisasi
a. Tingkatkan hubungan
dengan orang-orang
yang memiliki minat
dan tujuan yang sama
b. Lakukan bermain
peran dalam rangka
berlatih
meningkatkan
keterlampilan dan
teknik komunikasi
c. Anjurkan
perencanaan
kelompok kecil untuk
kegiatan khusus

2 Ansietas DO = Setelah dilakukan 1. Pengurangan Kecemasan


/Cemas tindakan keperawatan
a. Gunakan pendekatan
selama… X24 jam
Gelisah, diharapkan yang tenang dan
ketegangan meyakinkan
fisik, tremor, b. Kaji tanda verbal
gugup, bicara Kontrol Kecemasan maupun non verbal
cepat, Diri #1402
kecemasan
menghalangi -Mengurangi penyebab c. Dengarkan klien
kecemasan #140202
2. Terapi relaksasi
DS = - -Menggunakan teknik
relaksasi untuk

14
mengurangi kecemasan a. Tunjukan dan
#140207 praktikan teknik
relaksasi kepada klien
b. Dorong klien untuk
mengulang-ulang
teknik relaksasi jika
diperlukan

f) Evaluasi
S: Pasien mengatakan merasa cemas karena mengalami gangguan tidur
O: Pasien terlihat menarik diri dari hubungan personal,gelisah dan tegang
A: Sementara ini analisi belum dapat ditarik kesimpulannya,dikarenakan ini
merupakan intervensi yang pertama kalinya
P: perlunya diberikan pendidikan kesehatan lanjutan kepada ayah dan ibu oleh
petugas maupun kader kesehatan

15
BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan berpengaruh sangat
besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga.
Anggota keluarga terdiri dari Ayah, ibu, dan anak merupakan sebuah satu kesatuan yang memiliki
hubungan yang sangat baik. Hubungan baik ini ditandai dengan adanya keserasian dalam
hubungan timbal balik antar semua anggota/individu dalam keluarga. Tidak ada rumah tangga
yang berjalan tanpa konflik namun konflik dalam rumah tangga bukanlah sesuatu yang
menakutkan. Hampir semua keluarga pernah mengalaminya. Yang menjadi berbeda adalah
bagaimana cara mengatasi dan menyelesaikan hal tersebut. Dan tetap keluarga adalah segala-
galanya yang tidak bisa dinali baik secara materi maupu non materi.

Saran
Diharapkan dengan dibuatnya makalah tentang KDRT, makalah ini dapat berguna bagi
mahasiswa ataupun pembaca dan dapat memahami tentang penyebab dan cara pencegahan KDRT
dan diharapkan di kehidupan pembaca dalam berkeluarga nantinya dapat terhindar dari tindakan
KDRT setelah membaca makalah ini.

16
DAFTAR PUSTAKA

Stuart, Gail Wiscarz. 1998. Buku Saku Kperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
Moerti Hadiati Soeroso.2009. Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif
Yuridis-Viktimologis, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 1.
Hendra Akhdhiat, 2011. Psikologi Hukum. Penerbit CV Pustaka Setia :Bandung.
Tergerusnya Ruang Aman Perempuan Dalam Pusaran Politik, Populisme Catatan
Kekerasan Terhadap Perempuan, Komnas Perempuan Jakarta, 7 Maret 2018
Dep. Kes. RI. (2003). Profil Kesehatan Reproduksi Indonesia 2003. Jakarta: Dep.Kes. RI
Fakih, Mansour, 1998, Diskriminasi dan Beban Kerja Perempuan: Perspektif
Gender,Yogyakarta: CIDESINDO.
Mulia, Siti Musdah, 2004, Muslimah Reformis Perempuan Pembaru Keagamaan,
Bandung: Mizan Pustaka

Marlia, Milda. 2007, Marital Rape, Yogyakarta : PT. LKIS Pelangi Aksara.

Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional
,Bandung: Alumni.
Meiyanti,S.1999.Kekerasan terhadap Perempuan dalam Rumah
Tangga.Yogyakarta:Pusat Penelitian Kependudukan UGM dan Ford Foundation.

17

Anda mungkin juga menyukai