1234
1234
Disusun oleh:
KELOMPOK 5
Okta Vianus Augustus M. W (1610913210014)
Laila Rahmania (1610913120007)
Muhammad Hasan (1610913310024)
Nurfiqri Ilham Zulfikar (1610913110012)
Yuliani (1610913120018)
Winda Lestari (1610913320041)
Putri Wulandari (1610913320034)
Rahmad (1610913210015)
Rizki Thayibah (1610913220019)
Rabiatul Adawiah (1610913210015)
Zauhar Latifah (1610913220021)
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Dan harapan kami semoga
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca,
Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar
menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin
masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.
Kelompok V
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................. ii
BAB 1 PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pelaku kejahatan pasti akan dijatuhi hukuman yang sesuai dengan berat atau
ringannya suatu pelanggaran yang dilakukan. Pelaku kejahatan yang telah
menjalani persidangan dan divonis hukuman pidana disebut dengan narapidana.
Harsono ( Siahaan,2008 ) mengatakan bahwa narapidana adalah seseorang yang
telah dijatuhi vonis bersalah oleh hokum dan harus menjalani hukuman atau
sanksi, yang kemudian akan ditempatkan di dalam sebuah bangunan yang
disebut rutan, penjara atau lembaga pemasyarakatan. Narapidana yang sedang
menjalani hukuman pidana tidak hanya akan mengalami hukuman secara fisik,
tetapi juga mengalami hukuman secara psikologis seperti kehilangan kebebasan
dan kasih sayang dari pasangan, anak, maupun orang tuanya. Frank ( Siahaan,
2008 ) menambhakan bahwa dampak fisik dan psikologis yang dialami
narapidana dapat membuat narapidana merasakan perasaan tidak bermakna
yang ditandai dengan perasaan hampa, gersang, bosan dan penuh dengan
keputusasaan. Rahmawati ( Shofia, 2009 ) melalui penelitiannya tentang
kepercayaan diri narapidana pasca hukuman pidana menyatakan bahwa pada
dasarnya mantan narapidana memiliki harga diri rendah dan konsep diri yang
negative. Secara garis besar hal ini disebabkan karena masyarakat cenderung
menolak kehadiran mereka dalam kehidupan yang normal. Penolakan
masyarakat terhadap narapidana dianggap sebagai masalah yang harus
diwaspadai.
2. Tujuan Umum
3. Tujuan Khusus
1. Pengertian Narapidana
Kamus besar Bahasa Indonesia memberikan arti bahwa:Narapidana adalah
orang hukuman (orang yang sedang menjalani hukuman karena tindak pidana);
terhukum. Sementara itu, menurut kamus induk istilah ilmiah menyatakan
bahwa Narapidana adalah orang hukuman; orang buaian. Selanjutnya
berdasarkan kamus hukum narapidana diartikan sebagai berikut: Narapidana
adalah orang yang menjalani pidana dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana di Lembaga
Pemasyarakatan (UU RI No.12 Th.1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 1 ayat
7). Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan
terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan (UU RI No.12 Th.1995
tentang Pemasyarakatan Pasal 1 ayat 2).
Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa narapidana adalah orang
atau terpidana yang sedang menjalani masa hukumannya di Lembaga
Pemasyarakatan dimana kemerdekaannya hilang.
a. umur;
b. jenis kelamin;
c. lama pidana yang dijatuhkan;
d. jenis kejahatan; dan
e. kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.
Narapidana pada orang dewasa mempunyai hak- hak yaitu :
1. Buku register;
10. Hak untuk diperlakukan adil menurut peraturan dan membela diri
apabila dianggap indisipliner;
11. Tidak diperkenankan pengurungan pada sel gelap dan hukuman badan;
13. Berhak mengetahui peraturan yang berlaku serta saluran resmi untuk
mendapatkan informasi dan menyampaikan keluhan;
15. Hak untuk mendapatkan bahan bacaan berupa buku-buku yang bersifat
mendidik; 16. Hak untuk mendapatkan pelayanan agama;
(1) Sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif.
(2) Sistem peradilan pidana anak sebagaimana dimaksud pada ayat, meliputi:
(3) dalam sistem peradilan pidana anaksebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan
huruf b wajib diupayakan diversi.
Dalam pasal 5 (1) menyebutkan bahwa sistem peradilan pidana anak wajib
mengutamakan pendekatan restoratif. sementara yang dimaksud dengan pendekatan
restoratif diatur dalam pasal 1 butir 6 yang menyebutkan: keadilan restoratif adalah
penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga
pelaku/korban, dan pihaklainyang terkait untuk bersamasama mencari penyelesaian yang
adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Dari hasil penelitian lapangan sebagaimana yang telah diuraikan pada subsub bab
terdahulu maka diperoleh fakta melalui data masih banyak persoalan yang dihadapi dalam
pelaksanaan narapidana anak di Lembaga Pendidikan yang layak anak harus merujuk pada
prinsip-prinsip pelaksanaan pendidikan berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4, yaitu:
a. Pengayoman.
b. Persamaan perlakukan dan pelayanan.
c. Pendidikan.
d. Pembimbingan.
e. Penghormatan harkat dan martabat manusia.
f. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan.
g.Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang
tertentu.
D. Kelompok Narapidana Pada Wanita
3. Hak-hak Narapidana
Konsep HAM memiliki dua pengertian dasar, pertama merupakan hak-hak
yang tidak dapat dipisahkan dan dicabut. Hak ini adalah hak-hak moral yang
berasal dari kemanusiaan setiap insan dan hak-hak itu bertujuan untuk
menjamin marrtabat setiap manusia. Kedua, hak menurut hukum, yang dibuat
sesuai dengan proses pembuatan hukum dari masyarakat itu sendiri, baik secara
nasional maupun internasional. Adapun dasar dari hak-hak ini adalah
persetujuan orang yang diperintah, yaitu persetujuan dari para warga, yang
tunduk pada pada hak-hak itu dan tidak hanya tertib alamiah, yang merupakan
dasar dari arti yang pertama tersebut di atas.
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Lembaga
Pemasyarakatan. Pada Pasal 14 di tentukan bahwa Narapidana berhak :
a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e. menyampaikan keluhan;
f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa
lainnya yang tidak dilarang;
g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu
lainnya;
i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi
keluarga;
k. mendapatkan pembebasan bersyarat;
l. mendapatkan cuti menjelang bebas; dan mendapatkan hak-hak lain sesuai
dengan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Kesadaran manusia terhadap HAM bermula dari kesadaran terhadap adanya
nilai harga diri, harkat dan martabat kemanusiaannya. Sesungguhnya hak-hak
manusia sudah ada sejak manusia itu ditakdirkan lahir didunia ini, dengan
demikian HAM bukan hal yang baru lagi. Pemerintah Indonesia yang batinnya
menghormati dan mengakui HAM, komitmen terhadap
perlindungan/pemenuhan HAM pada tahap pelaksanaan putusan. Wujud
komitmen tersebut adalah institusi hakim pengawas dan pengamat (WASMAT)
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 277 sampai dengan Pasal 283 KUHAP,
serta diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan
pemasyarakatan berdasarkan sistem kelembagaan, dan cara pembinaan yang
merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.
Jaminan dalam proses perkara pidana yang diatur dalam Internasional
Covenant on Civil and Political Rights (1CCPR) 1996 (Kovenan Internasional
hak-Hak Sipil Dan Politik), Declaration on Protection From Torture 1975
(Deklarasi Perlindungan Dan Penyiksaan dan perlakuan atau Pidana lain yang
kejam tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia), Standar Minimum
Rules For The Treatmen Of Prisoner 1957 (peraturan standar minimum untuk
perlakuan napi yang menjalani Pidana).
Pada tahap pelaksanaan putusan, HAM yang diinrodusir menjadi hak
narapidana tetap menjamin dan dilindungi oleh hukum yang bermakna
penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia. Pasal 10 ICCPR ditegaskan
bahwa semua orang yang kehilangan kebebasannya, diperlakukan secara
berperikemanusiaan dan dengan rasa hormat mengenai martabat pribadi insan
bawahannya. Sistem penjara harus didasarkan pada perlakuan tahanan-tahanan
yang esensialnya adalah reformasi dan rehabilitasi sosial. Pelanggara-pelanggar
dibawah umur harus dipisahkan dari orang-orang dewasa dan diberikan
perlakuan yang layak bagi usaha dan status hukum mereka.
Materi HAM Napi yang terdapat pada pedoman PBB mengenai Standard
Minimum Rules untuk perlakuan Napi yang menjalani hukuman (Standard
minimum Rules For The Treatment Of Prisoner, 31 Juli 1957), yang meliputi:
1. Buku register;
2. Pemisahan kategori Napi;
3. Fasilitas akomodasi yang harus memiliki ventilasi;
4. Fasilitas sanitasi yang memadai;
5. Mendapatkan air serta perlengkapan toilet;
6. Pakaian dan tempat tidur yang layak;
7. Makanan yang sehat;
8. Hak untuk berolahraga diudara terbuka;
9. Hak untuk mendapatkan pelayanan dokter umum dan dokter gigi
10.Hak untuk diperlakukan adil menurut peraturan dan membela diri apabila
dianggap indisipliner;
11. Tidak diperkenankan pengurungan pada sel gelap dan hukuman badan;
12. Borgol dan jaket penjara tidak boleh dipergunakan narapidana;
13. Berhak mengetahui peraturan yang berlaku serta saluran resmi untuk
mendapatkan informasi dan menyampaikan keluhan;
14. Hak untuk berkomunikasi dengan dunia luar;
15. Hak untuk mendapatkan bahan bacaan berupa buku-buku yang bersifat
mendidik;
15. Hak untuk mendapatkan pelayanan agama;
16.Hak untuk mendapatkan jaminan penyimpanan barang-barang berharga;
17. Pemberitahuan kematian, sakit, dari anggota keluarga;
Dari apa yang tertulis di atas, dapat di lihat bahwa masih banyak aturan-aturan
yang disepakati oleh masyarakat internasional yang dikeluarkan oleh PB8
tentang Perlindungan HAM Napi yang masih sangat mungkin untuk di adopsi
kedalam hukum normatif di Indonesia terkait dengan pemasyarakatan di
Indonesia.
4. Pola Pembinaan Pemasyarakatan.
Pola pembinaan narapidana merupakan suatu cara perlakuan terhadap
narapidana yang dikehendaki oleh sistem pemasyarakatan dalam usaha
mencapai tujuan, yaitu agar sekembalinya narapidana dapat berperilaku sebagai
anggota masyarakat yang baik dan berguna bagi dirinya, masyarakat serta
negara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembinaan narapidana juga
mempunyai arti memperlakukan seseorang yang berstatus narapidana untuk
dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang baik. Maka yang perlu dibina
adalah pribadi dan budi pekerti narapidana agar membangkitkan kembali rasa
percaya dirinya dan dapat mengembangkan fungsi
sosialnya dengan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dalam
masyarakat. Jadi pembinaan sangat memerlukan dukungan dan keikutsertaan
dari masyarakat.
Bantuan tersebut dapat dilihat dari sikap positif masyarakat untuk menerima
mereka
kembali di masyarakat. Berdasarkan UU No.12 tahun 1995 pembinaan
narapidana dilaksanakan dengan sistem:
a. Pengayoman
Pengayoman adalah perilaku terhadap warga binaan pemasyrakatan
dalam rangka melingdungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya
tindak pidana oleh wargabinaan pemasyarakatan, juga memberikan
bekal hidupnya kepada warga binaan pemasyarakatan, agar menjadi
warga yang berguna di masyarakat.
b. Persamaan Perlakuan dan Pelayanan
Persamaan perlakuan dan pelayanan adalah pemberian perlakuan dan
pelayanan yang sama kepada warga binaan pemasyarakatan tanpa
membeda-bedakan orang.
c. Pendidikan
Pendidikan adalah bahwa penyelenggara pendidikan dan bimbingan
dilaksanakan berdasarkan Pancasila, antara lain penanaman jiwa
kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian, dan kesempatan
untuk menunaikan ibadah.
d. Penghormatan Harkat dan Martabat Manusia
Penghormatan harkat dan martabat manusia adalah bahwa sebagai orang
yang tersesat warga binaan pemasyarakatan harus tetap diperlukan
sebagai manusia.
e. Kehilangan Kemerdekaan
Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan adalah
warga binaan pemasyarakatan harus berada didalam Lembaga
Pemasyarakatan untuk jangka waktu tertentu, sehingga mempunyai
kesempatan penuh untuk memperbaikinya. Selama di Lembaga
Pemasyarakatan (warga binaan tetap memperoleh hak-hakny yang lain
seperti layaknya manusia, dengan kata lain hak perdatanya tetap
dilindungi seperti hak memperoleh perawatan, kesehatan, makan,
minum, pakaian, tempat tidur, latihan, olah raga, atau rekreasi).
Kecemasan, pada tingkatan tertentu merupakan hal yang normal dan akan
selalu ada sepanjang kehidupan manusia. Pada kadar ringan dan moderat,
kecemasan membantu individu tetap siaga dan waspada dalam menghadapi suatu
peristiwa. Tetapi pada kadar berlebihan, dengan reaksi yang berlebihan pula,
kecemasan menjadi sesuatu yang menggangu dan ia dapat digolongkan sebagai
gangguan psikologis ( eastwood atwanter dan karen grovers duffy, 1999 : 350).
Reaksi atas adanya situasi yang menekan (stressor) tertentu berbeda pada orang
yang berbeda, setiap orang mempunyai perbedaan dalam menghadapi stressor yang
dapat di pengaruhi oleh sifat (berat atau ringannya) stressor, tetapi juga di pengaruhi
oleh kemampuan adaptasi dan kemampuan orang tersebut dalam mengatasi
(coping) stressor yang dihadapinya. Secara umum kehidupan seseorang merupakan
stressor yang penting. (T.H. Holmes, 1984, dalam Clifford T. Morgan, Dkk., 1986
:321).
Menurut Erickson dalam Hurlock (1999: 261) masa dewasa dini merupakan
mata “krisis keterpencilan” dalam masa ini pria atau wanita sering merasa kesepian.
Pria atau wanita yang belum menikah biasanya bingung ketika mengisi waktu luang
dan kesepian karena teman-temannya sudah mempunyai kesibukan sendiri. Pria
dan wanita yang sudah menikahpun kadang merasa kesepian dan rindu dengan
temannya begitupun. Mantan narapidana ketika telah tumbuh dewasa belajar untuk
menerima perubahan fisik dan juga memanfaatkannya. Mantan narapidana juga
menyadari kekurangan pada diri mereka dan memperbaiki kesalahan mereka.
Menurut Syamsu Yusuf (2010: 115) ada beberapa contoh tentang pengaruh
emosi terhadap perilaku individu diantaranya sebagai berikut:
1) Memperkuat semangat, apabila seorang merasa senang atau puas atas hasil
yang telah dicapai.
4) Terganggu penyesuaian sosial, apabila timbul rasa cemburu dan iri hati.
5) Suasana emosional yang diterima dan dialami individu semasa kecilnya akan
mempengaruhi sikapnya dikemudian hari, baik terhadap dirinya sendiri maupun
terhadap orang lain.
4) Jarang terjadi.
Manusia pasti mengalami tahap akuisitif yaitu tahap yang terjadi pada masa
anak dan remaja (bahkan dewasa muda) dan mereka berusaha menguasai
pengetahuan dan keterampilan melalui jalur pendidikan baik formal maupun
informal (Agoes dariyo, 2003: 61). Masa pencapaian prestasi dianggap sebagai
kemampuan untuk mempraktikan seluruh potensi intelektual, bakat minat,
pengetahuan dalam masa akuisitif ke dalam dunia karir. Mantan narapidana di
dalam lembaga pemasyarakatan atau rutan tentu mempunyai keterampilan baru
yang diadakan di dalam lembaga pemsyarakatan atau rutan.
Menurut Kartini Kartono (1981: 170) bahwa usia 35 tahun itu sering timbul
krisis jiwa, yaitu berlangsung peristiwa sebagai berikut:
1. Mereka ingin berhenti menjadi penjahat dan menjadi baik, namun harus hidup
berhemat dan berkekurangan. Ataupun mereka melakukan kejahatan-kejahatan
yang ringan.
2. Atau mereka justru menjadi semakin pintar dan licin, lebih matang, lebih kejam,
lalu menjadi abnormal dan psikopatik. Khususnya penjahat-penjahat yang
melakukan kejahatan penggelapan, pemalsuan cek, penipuan pada bank-bank dan
manipulasi ekonomi, sehingga menjadi semakin cekatan dan lebih berani, lagi pada
usia sekitar 35 tahun yang lalu.
2. Aspek Ekonomi
Menurut Hurlock (1999: 257), orang-orang dewasa muda lebih tertarik pada
uang karena dapat memenuhi kebutuhan saat ini, daripada fungsi uang untuk hari
depan. Orang beranggapan bahwa dia dapat memiliki atau mengerjakan hal-hal
yang dimiliki atau dikerjakan oleh orang-orang muda lainnya dari kelompok
pilihannya, maka kepemilikan atau kegiatan-kegiatan itu akan mempercepat
penerimaan dalam kalangan itu serta memantapkan kedudukannya. Pekerjaan yang
layak, hasil yang mencukupi serta hubungan baik dengan masyarakat adalah
dambaan bagi setiap orang apalagi mantan narapidana, agar semua kebutuhan hidup
mereka dapat terpenuhi.
Menurut Rand Conger dalam Syamsu Yusuf (2010: 53) mengemukakan
orang tua yang mengalami tekanan ekonomi atau perasaan tidak mampu mengatasi
masalah finansialnya cenderung menjadi depresi dan mengalami konflik dengan
keluarganya. Mantan narapidana mempunyai kesulitan dalam mendapatkan
pekerjaan karena dalam memperoleh pekerjaan harus mempunyai Surat Keterangan
Catatan Kepolisian (SKCK). Dalam surat keterangan catatan kepolisian disebutkan
“tidak pernah tersangkut perkara polisi”, maka jelaslah mantan narapidana tidak
akan mendapatkannya. Pada umumnya mantan narapidana dapat memperoleh
pekerjaan dengan bantuan keluarganya, teman atau usaha sendiri yang tidak
memperlukan syarat SKBB. Biasanya pekerjaan yang diperoleh oleh mantan
narapidana lebih rendah daripada pekerjaan sebelumnya.
3. Aspek Religius
Salah satu hal yang dapat memberikan nilai-nilai yang positif mantan
narapidana adalah pembekalan agama. Di dalam psikologi, agama dipahami
sebagai variabel yang bersifat multidimensional yang mencakup apa yang
dipercayai, dirasakan, dilakukan, diketahui seseorang, dan bagaimana mereka
berespon terhadap kepercayaan mereka. Menurut Sofyan S. Willis (2004:37)
kurangnya pendidikan agama menyebabkan tidak mempunyai pegangan hidup dan
akhirnya menjadi orang-orang yang stres, konflik, frustasi, dan bahkan bunuh diri
seperti di Jepang. Madjid N. (2000: 4) menjelaskan bahwa rasa tawakal yang tinggi
adalah mereka menginsafi dan mengakui keterbatasan diri sendiri setelah usaha
yang optimal dan untuk menerima kenyataan bahwa tidak semua persoalan dapat
dikuasai dan diatasi tanpa bantuan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Menurut Aliah B. Purwakania Hasan (2008: 149) apabila manusia
menyadari kekurangan dan keterbatasan kemampuan, kesalahan, dan dosa atas
kejahatan maka manusia akan tulus ikhlas menyerahkan diri kepada Tuhan,
memohon ampun dan dijauhkan dari tindak kejahatan. Mereka dengan bekal
tawakal yang memadai, tidak lagi mengulang kejahatan yang pernah dilakukan
sebelumnya, berperilaku sesuai dengan norma-norma yang ada di masyarakat,
sekaligus diharapkan dapat memiliki bekal keterampilan untuk menjalani
kehidupan seperti masyarakat kebanyakan. Agama dapat membantu mantan
narapidana dalam menerima dan melihat kehidupan secara positif.
Mantan narapidana telah menjalani hukuman sesuai apa yang telah
dilakukannya maka mantan narapidana dapat memulai hidup yang baru. Wahai
orang-orang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-
murninya (QS Al-Tahrim, 66:8). Manusia adalah mahluk yang diciptakan oleh
Allah Sang Maha Kuasa sebagai dapat berbuat dosa dan kesalahan. Dari berbagai
penelitian ditemukan bahwa tidak ada satu orangpun yang belum pernah melakukan
perbuatan dosa dan kesalahan, termasuk pelanggaran hukum pidana.
Agama berperan positif dalam penyesuaian diri narapidana. Namun, tidak
sejak awal agama menjadi resource yang berkontribusi besar dalam penyesuaian
diri narapidana. Hal ini dipengaruhi oleh komitmen religius narapidana sebelum
masuk penjara. Mantan narapidana menjadi lebih sadar tujuan hidup mereka adalah
tidak berbuat dosa lagi, mengenal Tuhan, beribadah, memberikan diri untuk Tuhan,
dan beramal. Kepercayaan lain yang muncul adalah tidak boleh menduakan Tuhan,
tidak boleh mengandalkan manusia, tidak boleh meninggikan diri, selalu datang
pada Tuhan jika ada masalah.
11. Asuhan Keperawatan Pada Narapidana
A. Pengkajian
1. Identitas : identitas pasien, identitas penanggung jawab, dan
identitas rumah sakit.
2. Alasan masuk rumah sakit
3. Faktor predisposisi : faktor biologis, faktor fisiologis, sosial budaya,
dan faktor genetic
4. Faktor presipitasi : sikap persepsi merasa tidak mampu, putus asa,
tidak percaya diri, merasa gagal, merasa malang, kehilangan, rendah
diri, perilaku agresif, kekerasan, ketidak adekuatan pengobatan dan
penanganan gejala stress pencetus.
5. Psikososial
a) Genogram
b) Pola istirahat dan tidur
c) Pola persepsi dan kognitif
d) Pola persepsi dan konsep diri
e) Pola peran dan hubungan
f) Pola reproduksi dan seksual
g) Pola koping terhadap stress
h) Pola tata nilai dan kepercayaan
6. Status mental
a) Penampilan
b) Pembicaraan
c) Aktivitas motorik
d) Afek dan emosi
e) Interaksi selama wawancara
f) Alam perasaan
g) Tingkat kesadaran
h) Memori
i) Tingkat konsentrasi dan berhitung
j) Kemampuan penilaian
k) Daya titik diri
7. Mekanisme koping
8. Masalah psikososial dan lingkungan
9. Pengetahuan tentang masalah kejiwaan
B. Diagnosa keperawatan
1. Harga diri rendah situasional (00120) berhubungan dengan perilaku
tidak konsisten dengan nilai dan gangguan peran sosial
2. Isolasi sosial (00053) berhubungan dengan perubahan status mental,
sumber personal yang tidak adekuat, dan perilaku sosial tidak sesuai
norma
3. Ketidakefektifan koping (00069) berhubungan dengan tingkat
persepsi kontrol yang tidak adekuat
4. Resiko bunuh diri (00150) berhubungan dengan situasional tinggal
di tatanan non-tradisional yaitu penjara
1. Harga diri rendah Harga diri (1205) Peningkatan harga diri (5400)
situasional (00120) Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor pernyataan pasien
berhubungan dengan keperawatan selama 1 x 24 jam mengenai harga diri
perilaku tidak diharapkan: 2. Tentukan kepercayaan diri
konsisten dengan nilai 1. Klien dapat menghargai pasien dalam hal penilaian
dan gangguan peran orang lain diri
sosial 2. Klien dapat menerima kritik 3. Bantu pasien untuk
yang membangun menemukan penerimaan diri
3. Perasaan nilai diri
2. Isolasi sosial (00053) Keparahan kesepian (1203) Peningkatan sosialisasi (5100)
berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan 1. Anjurkan lesabaran dalam
perubahan status keperawatan selama 1 x 24 jam pengembangan hubungan
mental, sumber diharapkan: 2. Tingkatkan berrbagi
personal yang tidak 1. Klien merasa hilang harapan masalah dengan orang lain
adekuat, dan perilaku 2. Perasaan klien terisolasi 3. Fasilitasi masukan pasien
sosial tidak sesuai secara social dan perencenaan kegiatan
norma 3. Klien depresi dimasa depan
4. Gangguan konsentrasi
Waktu
Waktu
Dx Kep Implementasi TT Tgl/Ja Evaluasi TT
Tgl/Jam
m
PENUTUP
1. Kesimpulan
2. Saran