Anda di halaman 1dari 8

11 Juli 1997:

Pemerintah Indonesia memperluas rentang intervensi kurs dari 192 (8 persen) menjadi 304
(12 persen), melakukan pengetatan likuiditas dan pembelian surat berharga pasar uang, serta
menerapkan kebijakan uang ketat.

14 Agustus 1997:

Pemerintah melepas sistem kurs mengambang terkendali (free floating). Masyarakat panik,
lalu berbelanja dolar dalam jumlah sangat besar. Setelah dana pemerintah ditarik ke Bank
Indonesia, tingkat suku bunga di pasar uang dan deposito melonjak drastis karena bank-bank
berebut dana masyarakat.

1 September 1997:

Bank Indonesia menurunkan suku bunga SBI sebanyak tiga kali. Berkembang isu di
masyarakat mengenai beberapa bank besar yang mengalami kalah kliring dan rugi dalam
transaksi valas. Kepercayaan masyarakat terhadap bank nasional mulai goyah. Terjadi rush
kecil-kecilan.

3 September 1997:

Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan serta Produksi dan
Distribusi berlangsung di Bina Graha dipimpin langsung oleh Presiden Soeharto. Hasil
pertemuan: pemerintah akan membantu bank sehat yang mengalami kesulitan likuiditas,
sedangkan bank yang ”sakit” akan dimerger atau dilikuidasi. Belakangan, kredit ini disebut
bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

1 November 1997:

16 bank dilikuidasi.

26 Desember 1997:

Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono melayangkan surat ke Presiden Soeharto,


memberitahukan kondisi perbankan nasional yang terus mengalami saldo debit akibat
tekanan dari penarikan dana nasabah. Soedradjad mengusulkan agar mengganti saldo debit
dengan surat berharga pasar uang (SBPU) khusus.

27 Desember 1997:

Surat Gubernur BI dijawab surat nomor R-183/M.Sesneg/12/1997 yang ditandatangani


Mensesneg Moerdiono. Isinya, Presiden menyetujui saran direksi Bank Indonesia untuk
mengganti saldo debit bank dengan SBPU khusus agar tidak banyak bank yang tutup dan
dinyatakan bangkrut.

10 April 1998:

Menkeu diminta untuk mengalihkan tagihan BLBI kepada BPPN dengan batas waktu
pelaksanaan 22 April 1998
Mei 1998:

BLBI yang dikucurkan pada 23 bank mencapai Rp 164 triliun, dana penjaminan antarbank
Rp 54 triliun, dan biaya rekapitalisasi Rp 103 triliun. Adapun penerima terbesar (hampir dua
pertiga dari jumlah keseluruhan) hanya empat bank, yakni BDNI Rp 37,039 triliun, BCA Rp
26,596 triliun, Danamon Rp 23,046 triliun, dan BUN Rp 12,067 triliun.

4 Juni 1998:

Pemerintah diminta membayar seluruh tagihan kredit perdagangan (L/C) bank-bank dalam
negeri oleh Kesepakatan Frankfurt. Ini merupakan prasyarat agar L/C yang diterbitkan oleh
bank dalam negeri bisa diterima di dunia internasional. Pemerintah terpaksa memakai dana
BLBI senilai US$ 1,2 miliar (sekitar Rp 18 triliun pada kurs Rp 14 ribu waktu itu).

21 Agustus 1998:

Pemerintah memberikan tenggat pelunasan BLBI dalam tempo sebulan. Bila itu dilanggar,
ancaman pidana menunggu.

21 September 1998:

Tenggat berlalu begitu saja. Boro-boro ancaman pidana, sanksi administratif pun tak
terdengar.

26 September 1998:

Menteri Keuangan menyatakan pemerintah mengubah pengembalian BLBI dari sebulan


menjadi lima tahun.

27 September 1998:

Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar Kartasasmita meralat


angka lima tahun. Menurut Ginandjar, pemerintah minta pola pembayaran BLBI tunai dalam
tempo setahun.

18 Oktober 1998:

Hubert Neiss melayangkan surat keberatan. Dia minta pelunasan lima tahun.
10 November 1998:

Pengembalian BLBI ditetapkan 4 tahun. Tahun pertama 27 persen, sisanya dikembalikan


dalam tiga tahun dalam jumlah yang sama. Jumlah kewajiban BLBI dari BTO (bank take-
over) dan BBO (bank beku operasi) saat itu adalah Rp 111,29 triliun.

8 Januari 1999:

Pemerintah menerbitkan surat utang sebesar Rp 64,5 triliun sebagai tambahan penggantian
dana yang telah dikeluarkan BI atas tagihan kepada bank yang dialihkan ke BPPN.

6 Februari 1999:
BI dan Menkeu membuat perjanjian pengalihan hak tagih (on cessie) BLBI dari BI kepada
pemerintah senilai Rp 144,53 triliun

8 Februari 1999:

Penerbitan Surat Utang Pemerintah No SU-001/MK/1998 dan No SU-003/MK/1998.

13 Maret 1999:

Pemerintah membekukan kegiatan usaha 38 bank, mengambil alih 7 bank, dan


merekapitalisasi 7 bank

Februari 1999:

DPR RI membentuk Panja BLBI

19 Februari 1999:

Ketua BPKP Soedarjono mengungkapkan adanya penyelewengan dana BLBI oleh para bank
penerima. Potensi kerugian negara sebesar Rp 138,44 triliun (95,78%) dari total dana BLBI
yang sudah disalurkan.

13 Maret 1999:

Pemerintah mengumumkan pembekuan usaha (BBKU) 38 bank.

14 Maret 1999:

Pemerintah dan BI mengeluarkan SKB Penjaminan Pemerintah.

17 Mei 1999:

UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia ditandatangani Presiden Habibie. Dalam UU itu
disebutkan bahwa BI hanya dapat diaudit oleh BPK, dan direksi BI tak dapat diganti oleh
siapa pun.

1 September – 7 Desember 1999:

BPK mengaudit neraca BI per 17 Mei 1999 dan menemukan bahwa jumlah BLBI yang dapat
dialihkan ke pemerintah hanya Rp 75 triliun, sedangkan Rp 89 triliun tidak dapat
dipertangggungjawabkan. BPK menyatakan disclaimer laporan keuangan BI. Tapi, pejabat BI
menolak hasil audit. Alasannya, dana BLBI itu dikeluarkan atas keputusan kabinet.

28 Desember 1999:

Pemerintah melalui Kepala BPPN Glen Yusuf memperpanjang masa berlaku program
penjaminan terhadap kewajiban bank.

Desember 1999:
BPK telah menyelesaikan audit BI dan terdapat selisih dari dana BLBI sebesar Rp 51 triliun
yang tidak akan dibayarkan pemerintah kepada BI, terutama karena penggunaannya tidak
dapat dipertanggung jawabkan.

5 Januari 2000:

Ada perbedaan jumlah BLBI antara pemerintah dan BI. Pemerintah menyebut BLBI sebesar
Rp 144,5 triliun plus Rp 20 triliun untuk menutup kerugian Bank Exim (Mandiri). Tapi,
menurut BI, masih ada Rp 51 triliun dana BLBI yang harus ditalangi pemerintah. Dana
sebanyak itu diberikan BI kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas selama
November 1997-Januari 1998.

10 Januari 2000:

Bocoran hasil audit KPMG yang ditunjuk BPK untuk mengaudit neraca awal BI beredar di
kalangan wartawan. Audit itu menemukan bahwa penyelewengan BLBI berjumlah Rp 80,25
triliun.

29 Januari 2000:

Audit BPK menemukan fakta bahwa 95,78 persen dari BLBI sebesar Rp 144,54 triliun
berpotensi merugikan negara karena sulit dipertanggung jawabkan. Ttersangka dalam kasus
cessie Bank Bali.

21 Juni 2000:

Gubernur Bank Indonesia, Syahril Sabirin, ditahan Kejaksaan Agung dengan status sebagai
tersangka.

9 Oktober 2000:

Ketua BPK Billy Judono mengatakan bahwa BLBI sudah diberikan oleh BI sejak 1991
hingga 1996. Jadi, tidak benar bahwa BI hanya bertanggung jawab saat krisis saja.

18 Oktober 2000:

Komisi IX DPR yang membidangi perbankan menolak jumlah BLBI yang ditanggung BI
hanya sebesar Rp 24,5 triliun. “Jumlah ini merendahkan hasil audit BPK,” kata anggota
dewan.

26 Oktober 2000:

Jaksa agung menunda proses hukum terhadap 21 obligor agar mereka punya kesempatan
melunasi dana BLBI.

1 November 2000:

DPR, Pemerintah dan BI menetapkan keputusan politik menyangkut pembagian beban antara
Pemerintah dan BI terhadap dana BLBI yang sudah dikucurkan
Awal November 2000:

Sumber di BI menyatakan, tanggung jawab BI terhadap BLBI hanya Rp 48 triliun, terhitung


sejak 3 September 1997-29 Januari 1999, bukan sebelum dan sesudahnya

2 November 2000:

BPK mengancam BI akan memberikan opini wajar dengan pengecualian terhadap laporan
neraca BI jika dana BLBI tidak dapat dituntaskan.

17 November 2000:

Pukul 16.30, pejabat teras BI menyatakan mundur serentak. Mereka yang mundur adalah
Deputi Senior Gubernur Anwar Nasution, Deputi Gubernur Miranda Goeltom, Dono
Iskandar, Achwan, dan Baharuddin Abdullah, dengan alasan tak mendapat dukungan politik
pemerintah dan DPR. Sedangkan Syahril Sabirin, Achjar Iljas, dan Aulia Pohan tidak
mundur. Pokok-pokok Kesepakatan Bersama antara Pemerintah dan BI ditetapkan.
Berdasarkan kesepakatan ini, BI menanggung beban Rp 24,5 triliun dan sisanya menjadi
beban Pemerintah.

3 Januari 2001:

Dua Deputi BI Aulia Pohan dan Iwan G Prawiranata ditingkatkan berkasnya ke penyidikan
berkaitan dengan keterlibatan mereka dalam penyalahgunaan dana BLBI

7 Maret 2001:

DPR mengusulkan pembentukan Pansus BLBI DPR. Pembentukan Pansus ini dipicu oleh
pernyataan Menkeu Prijadi Praptosuhardjo yang menyebutkan pemerintah belum
menyepakati jumlah tanggungan BI sebesar Rp 24,5 miliar.

10 Maret 2001:

Pemilik BUN Kaharuddin Ongko ditahan Kejaksaan Agung atas tuduhan penyelewengan
dana BLBI

22 Maret 2001:

Pemilik Bank Modern, Samandikun Hartono ditahan Kejaksaan Agung atas tuduhan
penyelewengan dana BLBI.

29 Maret 2001:

Kejagung mencekal mantan ketua Tim Likuidasi Bank Industri (Jusup Kartadibrata), Presider
Bank Aspac (Setiawan Harjono).

2 April 2001:

Pelaksanaan Program Penjaminan dana nasabah yang semula diatur melalui SKB antara BI
dan BPPN diubah dengan SK BPPN No 1036/BPPN/0401 tahun 2001.
9 April 2001:

Dirut BDNI Sjamsul Nursalim yang bersatus tersangka penyelewengan dana BLBI dicekal
Kejaksaan Agung. Selain Sjamsul, David Nusawijaya (Sertivia) dan Samandikun Hartono
(Bank Modern) juga dicekal.

30 April 2001:

Kejagung membebaskan David Nusawijaya, tersangka penyelewengan BLBI. Selain itu,


Kejagung juga mencekal 8 pejabat bank Dewa Rutji selama 1 tahun.

2 Mei 2001:

Kejagung membebaskan 2 tersangka penyelewengan BLBI (Samandikun Hartono dan


Kaharuddin Ongko) dan mengubah statusnya menjadi tahanan rumah.

19 Juni 2001:

Wapresider Bank Aspac, Hendrawan Haryono dijatuhi hukuman 1 tahun penjara dan dikenai
denda Rp 500 juta. Ia didakwa telah merugikan negara sebesar Rp 583,4 miliar

21 Juni 2001:

Mantan Direksi BI Paul Sutopo ditahan di gedung Bundar oleh aparat Kejagung.

31 Mei 2002:

Tim Bantuan Hukum Komite Kebijakan Sektor Keuangan menyampaikan Laporan


Pemeriksaan Kepatuhan Anthony Salim, Andre Salim dan Sudono Salim untuk memenuhi
Kewajiban-kewajibannya dalam MSAA tanggal 21 September 1998. Dalam bagian
kesimpulannya, TBH antara lain menyatakan meski telah memenuhi sebagian besar
kewajiban-kewajibannya, namun secara yuridis formal telah terjadi pelanggaran, atau
kelalaian atau cidera janji atau ketidakpatuhan, atas kewajiban-kewajibannya dalam MSAA
yang berpotensi merugikan BPPN.

2004:

Sampai 2004, pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarno


Putri mengeluarkan surat keterangan lunas (SKL) kepada lima obligor MSAA dan 17 obligor
PKPS APU padahal mereka belum lunas membayar utang mereka.

11 Januari 2007:

Dua petinggi Salim Grup (Anthony Salim dan Beny Setiawan) menjalani pemeriksaan di
Mabes Polri atas tuduhan telah menggelapkan aset yang telah diserahkan kepada BPPN
sebagai bagian pembayaran utangnya. Aset yang digelapkan itu meliputi tanah, bangunan
pabrik dan mesin-mesin di perusahaan gula Sugar Grup.

19 Februari 2007:
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di
Gedung MPR/DPR RI menegaskan terhadap 8 obligor yang bermasalah, pemerintah akan
menggunakan kesepakatan awal APU plus denda. “Kami tetap akan menjalankan sesuai
keyakinan pemerintah bahwa mereka (delapan obligor BLBI, red) default. Tagihan kepada
mereka adalah Rp 9,3 triliun,” tegasnya. Kedelapan obligor itu adalah James Sujono
Januardhi dan Adisaputra Januardhy (Bank Namura), Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian),
Lidia Muchtar (Bank Tamara), Marimutu Sinivasan (Bank Putra Multikarsa), Omar Putihrai
(Bank Tamara), Atang Latief (Bank Bira), dan Agus Anwar (Bank Pelita dan Istimarat).

18 September 2007:

Sejumlah anggota DPR mengajukan hak Interpelasi mengenai BLBI kepada Pimpinan DPR.

4 Desember 2007:

Rapat Paripurna DPR menyetujui Hak Interpelasi Atas Penyelesaian KLBI dan BLBI yang
diajukan 62 pengusul.

21 Januari 2008:

Ormas-ormas Islam yang tergabung dalam “Jihad Melawan Koruptor BLBI” memberikan
penghargaan terhadap sejumlah anggota DPR yang dinilai benar-benar serius hendak
mengungkap kasus BLBI.

28 Januari 2008:

DPR – RI secara resmi mengirimkan surat kepada Presiden RI agar memberikan keterangan
di depan Rapat Paripurna DPR sekaitan Hak Interpelasi atas penyelesaian KLBI dan BLBI.

29 Januari 2008:

Ratusan orang yang tergabung dalam GEMPUR berunjuk rasa di depan gedung DPR. Mereka
curiga ada anggota DPR yang menjadi beking para obligor BLBI.

12 Februari 2008:

Pemerintah yang diwakili Menko Perekonomian Boediono menyampaikan jawaban


pemerintah terhadap 10 pertanyaan terkait penyelesaian BLBI di depan Rapat Paripurna
DPR. Ketika membacakan keterangan, lebih separuh anggota dewan meninggalkan ruang
sidang. Pada awalnya, Rapat Paripurna diwarnai hujan interupsi yang mempersoalkan
ketidakhadiran SBY dan lembaran jawaban yang hanya ditandatangani Boediono saja.

29 Februari 2008:

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Kemas Yahya Rahman, menyatakan Tim 35 yang
melakukan penyelidikan kasus ini BLBI I dan BLBI II tidak menemukan adanya pelanggaran
pidana yang dilakukan Anthony Salim dan Sjamsul Nursalim. Menurut Kemas Yahya, sesuai
dengan surat penyelesaian utang Master Settlement for Acquisition Agreement atau MSAA,
kewajiban debitor kepada pemerintah dianggap selesai jika aset yang dinilai sesuai dengan
kewajiban dan diserahkan kepada pemerintah. “Kami sudah berbuat semaksimal mungkin
dan kami kaitkan dengan fakta perbuatannya. Hasilnya tidak ditemukan perbuatan melanggar
hukum yang mengarah pada tindakan korupsi,” kata Kemas Yahya Rachman.

Anda mungkin juga menyukai