Anda di halaman 1dari 21

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa selalu kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan limpahan rahmat, taufik dan hidayah nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Pasien Fraktur”
dapat terselesaikan dengan baik. Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat nya sehingga
makalah ini dapat terselesaikan
2. Dosen Keperawatan Medikal Bedah III “Ns. Jumari, S.Kep., M.Kep” yang
telah membimbing dan memberi masukan dalam menyelesaikan makalah
ini.
3. Semua teman-teman kelompok yang telah membantu atas menyelesaikan
makalah ini
Laporan ini di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal
Bedah III tentang “Asuhan Keperawatan Pada Pasien Fraktur”. Laporan ini di
harapkan mampu memberikan manfaat dan kegunaan bagi pembaca terutama dalam
proses pembelajaran serta untuk menambah wawasan pengetahuan mengenai
“Asuhan Keperawatan Pada Pasien Fraktur”.
Laporan ini kami susun dengan segala kemampuan kami dan semaksimal
mungkin. Kami menyadari bahwa makalah ini tidaklah sempurna dan masih banyak
kesalahan serta kekurangan. Maka dari itu kami sebagai penyusun memohon kritik
dan saran dari semua pembaca terutama Dosen Keperawatan Medikal Bedah III
sebagai bahan koreksi untuk kami. Kami harap terjadi peningkatan dalam
penyusunan makalah di waktu yang akan datang.

Jakarta, 30 September 2019

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2. Tujuan ....................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN TEORITIS .......................................................................... 3
2.1. Pengertian ................................................................................................. 3
2.2. Etiologi ..................................................................................................... 3
2.3. Manifestasi ............................................................................................... 4
2.4. Patofisiologi.............................................................................................. 4
2.5. Pemeriksaan Penunjang ............................................................................ 5
2.6. Farmakologi .............................................................................................. 6
2.7. Terapi Diit ................................................................................................ 8
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN .............................................................. 12
3.1. Contoh Kasus ......................................................................................... 12
3.2. Asuhan Keperawatan .............................................................................. 12
3.2.1. Pengkajian ....................................................................................... 12
3.2.2. Analisa Data .................................................................................... 13
3.2.3. Diagnosa Keperawatan.................................................................... 14
3.2.4. Intervensi Keperawatan ................................................................... 15
BAB IV PENUTUP ............................................................................................. 16
4.1. Kesimpulan ............................................................................................. 16
4.2. Saran ....................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 17

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan Kesehatan adalah bagian dari pembangunan nasional
yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya. Pembangunan kesehatan tersebut merupakan upaya
seluruh potensi bangsa Indonesia baik masyarakat, swasta maupun
pemerintah. Dalam pelaksanaannya tentu saja terdapat berbagai tantangan
atau masalah kesehatan yang perlu ditangani bersama.
Masalah kesehatan yang dihadapi dewasa ini semakin kompleks dimana
penyakit tidak menular semakin meningkat sedangkan penyakit menular
tetap menjadi perhatian serius. Hal ini berpengaruh pada ruang lingkup
epidemiologi, dimana terjadi perubahan pola dari penyakit menular ke
penyakit tidak menular yang disebut dengan transisi epidemiologi seiring
dengan perkembangan kehidupan masyarakat. Menurut data dari WHO
SEARO (2000), penyebab kematian penduduk di dunia 52% diakibatkan
oleh penyakit tidak menular, 9% akibat kecelakaan dan 39% akibat penyakit
menular dan penyakit lainnya.
Salah satu penyakit tidak menular tersebut adalah penyakit
muskuloskeletal atau penyakit yang menyerang tulang dan jaringan otot.
Saat ini penyakit muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak
dijumpai di pusat-pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Bahkan
WHO telah menetapkan dekade ini (2000-2010) menjadi dekade tulang dan
persendian. Masalah pada tulang yang mengakibatkan keparahan disabilitas
adalah fraktur. Fraktur merupakan kondisi terputusnya kontinuitas jaringan
tulang yang umumnya disebabkan trauma langsung maupun tidak langsung.
Dengan makin pesatnya kemajuan lalu lintas baik dari segi jumlah pemakai
jalan, jumlah pemakai kendaraan, jumlah pemakai jasa angkutan,
bertambahnya jaringan jalan dan kecepatan kendaraan maka mayoritas
terjadinya fraktur adalah kecelakaan lalu lintas. Sementara trauma-trauma

1
2

lain yang dapat menyebabkan fraktur adalah jatuh dari ketinggian,


kecelakaan kerja dan cedera olah raga.
Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat tahun 2005 terdapat lebih dari
7 juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 2 juta
orang mengalami kecatatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang cukup
tinggi yakni insiden fraktur ekstremitas bawah, sekitar 46,2% dari insiden
kecelakaan yang terjadi.
Walaupun penyebab terbanyak dari fraktur adalah peristiwa trauma,
tetapi di kalangan usia lanjut, fraktur lebih sering terjadi karena lemahnya
tulang karena suatu penyakit yang disebut fraktur patologik. Hal ini bahkan
menjadi masalah utama pada kelompok usia tersebut. WHO memperkirakan
pada pertengahan abad mendatang, jumlah patah tulang panggul karena
osteoporosis meningkat tiga kali lipat dari 1,7 juta pada tahun 1990 menjadi
6,3 juta kasus pada tahun 2050 kelak. Data dari International Osteoporosis
Foundation (IOF) menyebutkan bahwa di seluruh dunia, satu dari tiga
wanita dan satu dari delapan pria yang berusia di atas 50 tahun memiliki
resiko mengalami patah tulang akibat osteoporosis dalam hidup mereka.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Depkes RI tahun 2007 di Indonesia terjadi
kasus fraktur yang disebabkan oleh cedera antara lain karena jatuh,
kecelakaan lalu lintas dan trauma benda tajam/tumpul. Dari 45.987
peristiwa terjatuh yang mengalami fraktur sebanyak 1.775 orang(3.8%) dan
20.829 kasus kecelakaan lalu lintas, yang mengalami fraktur sebanyak
1.770 orang (8.5%) dari 14.127 trauma benda tajam tumpul, yang
mengalami fraktur sebanyak 236 orang (1,7%).
1.2. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memahami apa itu penyakit
fraktur dan mengetahui asuhan keperawatan pasien dengan fraktur agar
dapat memberikan tindakan yang sesuai dengan kebutuhan klien.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1. Pengertian
Banyak sekali batasan yang dikemukakan oleh para ahli tentang fraktur.
Fraktur menurut (Smeltzer C & Suzanne, 2002) adalah terputusnya
kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Demikian pula
menurut (Sjamsuhidajat, 2005) fraktur atau patah tulang adalah terputusnya
kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa. Sementara (Doenges, 2000) memberikan
batasan, fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Lalu fraktur
menurut (Price & Wilson, 1995) adalah patah tulang, biasanya disebabkan
oleh trauma atau tenaga fisik kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut,
keadaan tulang itu sendiri, dan jaringan lunak disekitar tulang akan
menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap.
Sedangkan fraktur menurut (Oswari, 2000) adalah terputusnya hubungan
normal suatu tulang atau tulang rawan yang disebabkan oleh kekerasan.
Berdasarkan batasan diatas disimpulkan bahwa, fraktur adalah
terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang utuh, yang
biasanya disebabkan oleh trauma /rudapaksa atau tenaga fisik yang
ditentukan jenis dan luasnya trauma.
2.2. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan
puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Smeltzer C &
Suzanne, 2002). Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma di mana
terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang. Fraktur cenderung terjadi
pada laki-laki, biasanya fraktur terjadi pada umur di bawah 45 tahun dan
sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan, atau luka yang disebabkan
oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Sedangkan pada orang tua,
perempuan lebih sering mengalami fraktur dari pada laki-laki yang

3
4

berhubungan dengan meningkatnya insiden osteoporosis yang terkait


dengan perubahan hormon pada menopause. (Reeves, 2001)
2.3. Manifestasi
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
dimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan
antarfragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya
tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan
atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba)
ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan ekstremitas
normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi
normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya otot.
3. Pada fraktur tulang panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.
Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5-5 cm (1-2
inchi)
4. Saat ekstemitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa
baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
2.4. Patofisiologi
Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh, atau trauma,
baik itu karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur bemper
mobil, atau tidak langsung misalnya: seseorang yang jatuh dengan telapak
tangan menyangga. Juga bisa karena trauma akibat tarikan otot, misalnya:
5

patah tulang patela dan olekranon, karena otot trisep dan bisep mendadak
berkontraksi.
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup
bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
Terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar
oleh karena perlukaan dikulit.
Sewaktu tulang patah, perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat
patah dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak
juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul
hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi
menyebabkan peningkatan peningkatan aliran darah ke tempat tersebut.
Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di tempat patah
terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk
melekatkan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk
tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorpsi dan sel-
sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati.
(Corwin, 2000)
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yang tidak ditangani dapat menurunkan
asupan darah ke ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer.
Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan
tekanan jaringan, oklusi darah total dapat berakibat anoksia jaringan yang
mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot. Komplikasi
ini dinamakan sindrom kompartemen (Brunner & Suddarth, 2002)
2.5. Pemeriksaan Penunjang
1. X-Ray dapat dilihat gambaran fraktur, deformitas dan metalikment.
Venogram/anterogram menggambarkan arus vascularisasi. CT scan
untuk mendeteksi struktur fraktur yang kompleks.
2. Laboraturium
Pada fraktur test laboraturium yang perlu diketahui: Hb, hemotokrit
sering rendah akibat perdarahan, laju endap darah (LED) meningkat
6

bila kerusakan jaringan lunak sangat luas. Pada masa penyembuhan Ca


dan P meningkat di dalam darah.
2.6. Farmakologi
Sebagian besar manajemen farmakologi yang dilakukan pada pasien
fraktur bertujuan untuk meredakan nyeri yang dialami oleh pasien. Nyeri
pada fraktur disebabkan oleh perdarahan, pembengkakan, pergerakan
abnormal pada jaringan lunak di sekitarnya, dan pelepasan mediator-
mediator inflamasi. Nyeri yang dialami oleh pasien fraktur biasanya
merupakan nyeri yang sangat hebat, sehingga analgesik opioid, seperti
morfin menjadi sebuah pilihan terakhir jika analgesik lainnya tidak berhasil
mengurangi nyeri. Obat anti-inflamasi non steroid tidak dianjurkan untuk
digunakan karena sifatnya yang menghambat COX-1 dan COX-2 akan
menghambat proses penyembunhan.
1. Ketorolak
Ketorolak termasuk anti inflamasi non-steroid dengan sifat analgesik
yang kuat dan efek antiinflamasi sedang. Ketorolak bekerja secara
selektif menghambat COX-1. Absorpsi ketorolak berlangsung cepat,
baik itu melalui oral, maupun intramuskular. Ketorolak dapat dipakai
sebagai pengganti morfin dan penggunaannya dengan analgesik opioid
dapat mengurangi kebutuhan opioid sebesar 20-50%. Dosis
intramuskular ketorolak sebesar 30-60 mg, secara intravena sebesar 15-
30 mg, dan secara oral sebesar 5-30 mg. Ketorolak bersifat toksik pada
beberapa organ, seperti hati, lambung, dan ginjal jika digunakan dalam
jangka waktu lebih dari 5 hari.

2. Morfin
 Farmakodinamik
Morfin bekerja secara agonis pada reseptor µ. Morfin menimbulkan
analgesia dengan cara berikatan pada reseptor opioid pada SSP dan
medula spinalis yang berperan pada transmisi dan modulasi nyeri.
Reseptor opioid terdapat pada saraf yang mentransmisi nyeri di
medula spinalis dan aferen primer yang merelai nyeri. Reseptor
7

opioid membentuk g-protein coupled receptor. Morfin yang


ditangkap reseptor aferen primer akan mengurangi pelepasan
neurotransmitter yang selanjutnya akan menghambat saraf yang
mentransmisi nyeri di kornu dorsalis medula spinalis. Selain itu,
morfin juga menghasilkan efek inhibisi pascasinaps melalui
reseptor µ di otak. Analgesi pada penggunaan morfin dapat timbul
sebelum pasien tidur dan kadang tanpa disertai tidur. Pemberian
morfin dalam dosis kecil (5-10 mg) akan menyebabkan euforia
pada pasien yang sedang nyeri. Namun, pemberian morfin dengan
dosis 15-20 mg, pasien akan tertidur cepat dan nyenyak. Efek
analgetik morfin dan opioid lain sangat selektif dan tidak disertai
hilangnya fungsi sensorik lain. Yang terjadi adalah perubahan
reaksi terjadap stimulus nyeri, jadi stimulus nyeri tetap ada namun
reaksinya berbeda.
 Farmakokinetik

Pada umumnya, morfin diberikan secara oral maupun parenteral


dengan efek analgetik yang ditimbulkan pemberian oral jauh lebih
rendah daripada pemberian parenteral. Kemudian, morfin akan
mengalami konyugasi dengan asam glukoronat di hati. Ekskresi
morfin terutama dilakukan oleh ginjal dan sebagian kecil morfin
bebas terdapat di tinja dan keringat.
Morfin bersifat adiksi yang menyangkut tiga fenomena, yaitu
1. Habituasi, yaitu perubahan psikis emosional sehingga pasien
ketagihan morfin
2. Ketergantungan fisik, yaitu ketergantungan kerena faal dan
biokimia tubuh tidak berfungsi lagi tanpa morfin
3. Adanya toleransi
3. Metadon
Efek analgetik 7,5-10 mg metadon sama kuat dengan efek 10 mg
morfin. Metadon dapat diberikan secara oral dan parenteral. Setelah
masuk ke darah, biotransformasi metadon terutama
8

akan berlangsung di hati. Setelah itu, sebagian besar metadon akan


diekskresikan melalui utin dan tinja.
Metadon diberikan untuk meredakan jenis nyeri yang dapat
dipengaruhi morfin. Pada dosis yang ekuianalgetik, metadon sedikit
lebih kuat daripada morfin. Efek analgetik mulai timbul 10-20 menit
setelah pemberian parenteral dan 30-60 menit setelah pemberian oral.
Metadon biasanya digunakan sebagai pengganti morfin untuk
mencegah timbulnya gejala putus. Gejala putus obat yang ditimbulkan
oleh metadon tidak sekuat yang ditimbulkan oleh morfin, tetapi
berlangsung lebih lama. Dosis pemberian metadon secara oral adalah
2,5-15 mg dan 2,5-10 mg untuk pemberian secara parenteral.
Selain sebagai penghilang rasa nyeri yang ada, manajemen
farmakologi pada fraktur juga bersifat profilaksis. Hal ini dilakukannya
khususnya pada fraktur terbuka dan fraktur yang akan segera dilakukan
fiksasi interna. Umumnya, diberikan antibiotik cephalosporin generasi
1 dengan dosis 1 gram pada fraktur yang akan segera difiksasi interna.
Untuk fraktur terbuka, antibiotik yang diberikan disesuaikan besar luka
yang terbentuk. Jika lukanya bersih dan luasnya kurang dari 1 cm,
cephalosporin generasi pertama dengan dosis 1 gram sudah cukup. Jika
lukanya lebih luas, harus ditambahkan pemberian antibiotik khusus
gram negatif. Jika lukanya tampak agak kotor, pemberian 1,5 mg
gentamicin juga harus dilakukan dan jika lukanya tampak sangat kotor
harus dilakukan pemberian penicillin untuk mencegah infeksi
clostridium.
2.7. Terapi Diit
Kebutuhan nutrisi yang baik untuk pasien fraktur adalah dengan melakukan
diet TKTP (Tinggi Kalori Tinggi Protein).
 Pengertian Diet TKTP
Diet TKTP adalah pengaturan jumlah protein dan kalori serta jenis zat
makanan yang dimakan disetiap hari agar tubuh tetap sehat.
 Tujuan diet TKTP
9

Diet TKTP bertujuan untuk :


a. Memberikan makanan secukupnya atau lebih dari pada biasa untuk
memenuhi kebutuhan protein dan kalori.
Maksudnya, jumlah makanan khusus kebutuhan protein dan kalori
dibutuhkan dalam jumlah lebih dari pada kebutuhan biasa.
b. Menambah berat badan hingga mencapai normal.

Penambahan berat badan hingga mencapai normal menunjukkan


kecukupan energi. Untuk mengetahui berat badan yang normal,
seseorag dapat menggunakan kartu menuju sehat (KMS), untuk
anak balita, anak sekolah, remaja, ibu hamil dan kelompok usia
lanjut. Bagi orang dewasa digunakan Indek Masa Ttubuh (IMT).
c. Mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan.
Artinya, dengan terpenuhinya kebutuhan energi / kalori dan protein
di dalam tubuh, sehingga menjamin terbentuknya sel-sel baru di
dalam jaringan tubuh.
 Syarat Diet TKTP
1. Tinggi Energi
2. Tinggi Protein
3. Cukup mineral dan Vitamin
4. Mudah dicerna
5. Diberikan secara bertahap bila penyakit dalam keadaan darurat
6. Makanan yang dapat mengurangi nafsu makan dihindari.
 Indikasi Pemberian Diet TKTP
a. Malnutrisi, defisiensi kalori, protein, anemia, kwashiorkor.
b. Sebelum dan sesudah operasi.
c. Baru sembuh dari penyakit dengan panas tinggi atau penyakit
berlangsung lama.
d. Trauma perdarahan.
e. Infeksi saluran pernafasan
 Macam-macam Diet TKTP
1. TKTP I : Kalori : 2600 kal/kg BB
10

Protein : 100 g (2 g/kgBB)


2. TKTP II : Kalori : 3000 kal / kg BB
Protein : 125 g (2½ g / kg BB)
Kebutuhan kalori dan protein pada setiap orang berbeda-beda
tergantung pada umur dan berat badan masing-masing orang.
12

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1. Contoh Kasus
T. A 40 Th dirawat, dua hari yang lalu karena kecelakaan lalu lintas. Hasil
pengkajian: Keadaan kompos mentis, merintih kesakitan, paha dibalut
setelah debridement di bagian emergency, tidak bisa duduk karena sangat
sakit. Rencana Tn. A akan dioprasi pasang pen tapi menunggu datangnya
pen. TD : 110/70 mmHg, N: 80x/mnt, RR: 24x/mnt. Terpasang infuse
dengan NAacl 0,9% 12tpm. Hasil Laboratorium semua dalam keadaan
normal. Hasil Rongent menunjukkan “ Simple fraktur femur dextra
sepertiga distal”.
3.2. Asuhan Keperawatan
3.2.1. Pengkajian
a. Identitas
Nama : Tn. A
Usia : 40 th
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat :-
Diagnosa : Femur dextra terbuka sepertiga distal
Tanggal Pengkajian: 20 Agustus 2019
Tanggal Oprasi : Rencana Tn. A dioprasi pasang pen tetapi
menunggu datangnya pen.
b. Keluhan Utama
Merintih kesakitan, tidak bisa duduk karena sangat sakit
c. Riwayat Kesehatan Sekarang
1. Provocative : dua hari yang lalu klien kecelakaan lalu lintas.
2. Quantity: Bagaimana dirasakan = merintih kesakitan
Bagaimana terlihat = tidak bisa duduk karena
sangat sakit
3. Region : femur dextra sepertiga distal
4. Severity : aktivitas terganggu
13

5. Time
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada
f. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : Kompos Mentis
b. TTV
- TD : 110/70 mmHg
- S: 37ºC
- N : 80 x/menit
- RR : 24 x/menit
g. Hasil Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Semua dalam batas normal
b. Rongent
Hasil rongent menunjukan simple fraktur femur dextra
sepertiga distal.
3.2.2. Analisa Data
No. Data Penyebab Masalah
1. DS : Klien mengatakan Trauma langsung Gangguan rasa
nyeri kaki dibagian Paha nyaman nyeri
Terputusnya kontinuitas
DO : Klien tampak merintih jaringan
kesakitan, Paha klien
dibalut setelah debridement Pergeseran fragmen tulang
dibagian emergency
Pelepasan mediator
kimia(bradikinin,histamine)
14

Rangsangan reseptor
medulla spinalis

Korteks serebri

Nyeri
2. DS: Klien mengatakan tidak Diskontinuitas tulang Gangguan
bisa duduk karena sangat imobilisasi
sakit Perubahan jaringan sekitar

DO: Klien tidak bisa Pergeseran fragmen tulang


menggerakkan kaki
Deformitas

Gangguan fungsi

Gangguan mobilitas fisik


3. DS: - Adanya luka terbuka di Resiko infeksi
bagian fraktur
DO : terlihat paaha dibalut
setelah debridement di
bagian emergency

3.2.3. Diagnosa Keperawatan


1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan terputusnya
kontinuitas jaringan tulang dan adanya luka terbuka.
2. Gangguan imobilisasi berhubungan dengan terputusnya
kontinuitas jaringan tulang.
3. Resiko Infeksi berhubungan dengan adanya luka terbuka dibagian
fraktur.
15

3.2.4. Intervensi Keperawatan


Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
Gangguan rasa nyaman Setelah dilakukan - Lakukan pendekatan
nyeri berhubungan tindakan 3x24 jam nyeri pada klien dan
dengan terputusnya berkurang secara keluarga
kontinuitas jaringan berkala. Dengan Kriteria - Kaji tingkat intensitas
tulang dan adanya luka Hasil : Klien melaporkan dan frekuensi nyeri
terbuka rasa nyeri yang - Jelaskan pada klien
berkurang, tanda-tanda penyebab dari nyeri.
vital dalam batas normal - Observasi TTV
(Td : 120/80 mmHg, Nd - Melakukan kolaborasi
: 80-100 x/menit, Rr : dengan tim medis
18-24 x/menit, Sh : 36- dalam pemberian
37ºC), tampak ekspresi analgesik.
wajah rileks, skala nyeri
0-1.
Gangguan imobilisasi Setelah dilakukan - Atur posisi elevasi
berhubungan dengan tindakan keperawatan tungkai.
terputusnya kontinuitas selama 3×24 jam - Pertahankan posisi
jaringan tulang diharapkan masalah tirah baring.
hambatan mobilitas fisik
dapat teratasi
Resiko Infeksi Setelah dilakukan - Kolaborasi pemberian
berhubungan dengan tindakan keperawatan antibiotika sesuai
adanya luka terbuka selama 5 x 24 jam indikasi.
dibagian fraktur diharapkan resiko - Analisa hasil
terjadinya infeksi pemeriksaan
teratasi. laboratorium (Hitung
darah lengkap, LED,
16

Kriteria hasil : Tidak ada Kultur dan sensitivitas


tanda-tanda infeksi luka/serum/tulang)
(kalor, dolor, tumor, - Observasi tanda-tanda
rubor, dan fungsiolesa), vital dan tanda-tanda
tanda-tanda vital dalam peradangan lokal
batas normal (Td : pada luka.
120/80 mmHg, Nd : 80-
100 x/menit, Rr : 18-24
x/menit, Sh : 36-370C),
hasil pemeriksaan
laboratorium leukosit
dalam batas normal (
5.000-10.000/ul).
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang
yang utuh, yang biasanya disebabkan oleh trauma /rudapaksa atau tenaga fisik
yang ditentukan jenis dan luasnya trauma.
Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan
puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem. Umumnya fraktur
disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada
tulang. Fraktur cenderung terjadi pada laki-laki, biasanya fraktur terjadi pada
umur di bawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan,
atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Sedangkan
pada orang tua, perempuan lebih sering mengalami fraktur dari pada laki-laki
yang berhubungan dengan meningkatnya insiden osteoporosis yang terkait
dengan perubahan hormon pada menopause.
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila
tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Terbuka
bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena
perlukaan dikulit.
4.2. Saran
Semoga dengan makalah ini kita semua dapat menambah pengetahuan
dan wawasan tentang penyakit fraktur serta mengetahui asuhan keperawatan
yang benar pada pasien fraktur.

16
DAFTAR PUSTAKA
Corwin. (2000). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Doenges, M. E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan & Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.

Lukman, & Ningsih, N. (2012). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan


Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.

Oswari, E. (2000). Bedah Dan Perawatannya. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Price, S. A., & Wilson, L. M. (1995). Patofisiologi "Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit". Jakarta: EGC.

Reeves, J. C. (2001). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.

Sjamsuhidajat, W. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Smeltzer C, & Suzanne. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Brunner
& Suddarth. Jakarta: EGC.

17

Anda mungkin juga menyukai