Anda di halaman 1dari 20

BAB X

KEGAWATAN PADA KEMARITIMAN DAN MATRA LAUT

10.1 Kegawatadaruratan korban tenggelam


10.1.1 Definisi
Drowning atau disebut juga tenggelam adalah suatu proses yang
mengakibatkan gangguan respirasi karena cairan (van beck et al, 2005). Hasil akhir
dari kejadian tenggelam adalah korban dinyatakan selamat atau meninggal.
Penyebab kematian akibat tenggelam diantaranya adalah kematian otak karena
hipoksia atau iskemia otak parah, ARDS, kegagalan multi organ, sindrom sepsis
karena pneumonia aspirasi (Santoso, 2010).
Tenggelam adalah suatu bentuk sufokasi berupa korban terbenam dalam
cairan dan cairan tersbut terhisap masuk ke jalan nafas sampai alveoli paru-paru.
Pada umumnya tenggelam merupakan kasus kecelakaan, baik secara langsung
maupun karena ada faktor-faktor lain seperti korban dalam keadaan mabuk atau
dibawah pengaruh obat, atau bisa saja dikarenakan akibat dari suatu
peristiwa pembunuhan (Wilianto, 2012). Hampir tenggelam (near drowning)
adalah keadaan gangguan fisiologi tubuh akibat tenggelam tetapi tidak
terjadi kematian (Onyekwelu, 2008).
Near drowning didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang masih
bertahan hidup setelah mengalami sufokasi (kekurangan napas) akibat tenggelam
dalam air atau cairan lain. Sedangkan drowning sendiri didefinisikan sebagai
kematian sekunder karena asfiksia (sesak nafas) saat tenggelam dalam
cairan, biasanya air, dalam 24 jam setelah kejadian (Banerjee dalam Rauuf(2008))
Drowning (tenggelam) adalah masuknya cairan ke dalam saluran napas yang
mengakibatkan gangguan pertukaran udara di alveoli dan dapat terjadi mati lemas
(Arif Mansjoer, 2000).
Menurut WHO (2014), tenggelam merupakan gangguan sistem pernafasan
akibat terendam dalam media yang cair. konsensus terbaru menyatakan definisi
terbaru dari tenggelam harus mencakup kasus fatal dan non fatal. Dampak
tenggelam dapat berupa kematian, morbiditas, dan non morbiditas. Ada juga
konsensus yang menyatakan bahwa istilah basah, kering, aktif, pasif, diam, dan
menengah seharusnya tidak digunakan lagi.
Drowning atau tenggelam adalah proses masuknya cairan ke dalam saluran
nafas atau paru-paru yang menyebabkan gangguan pernafasan sampai kematian.
Definisi tenggelam mengacu pada adanya cairan yang masuk hingga menutupi
lubang hidung dan mulut, sehingga tidak terbatas pada kasus tenggelam dikolam
renang, atau perairan seperti sungai, laut, dan danau saja, tetapi juga pada kondisi
terbenamnya tubuh dalam selokan atau kubangan dimana bagian wajah berada di
bawah permukaan air (Putra, 2014).

10.1.2 Klasifikasi
KlasifIkasi tenggelam menurut Levin (dalam Arovah, 2009) adalah :
1. Berdasarkan kondisi paru-paru korban
a. Typical Drowning
Kondisi ketika cairan masuk ke dalam saluran pernapasan saat korban
tenggelam.
b. Atypical Drowning
 Dry Drowning
Cairan yang masuk ke dalam saluran pernapasan hanya sedikit bahkantidak
ada.
 Immersion Syndrom
Terutama pada anak-anak yang tiba-tiba terjun ke dalam air dingin (suhu
<20℃), menyebabkan terpicunya reflex vagal sehingga mengakibatkan
apneu, bradikardia, dan vasokonstriksi dari pembuluh darah kapiler dan
mengarah ke terhentinya aliran darah koroner dan sirkulasi serebral.
 Submersion of the Unconscious
Sering terjadi pada korban yang menderita epilepsy atau penyakit jantung
khususnya coronary atheroma, hipertensi atau peminum yang mengalami
trauma kepala saat masuk ke air.
 Delayed Dead
Kondisi ketika seorang korban masih hidup setelah lebih dari 24 jam
setelah diselamatkan dari suatu episode tenggelam.
2. Berdasarkan Kondisi Kejadian
a. Tenggelam (Drowning)
Penderita meneguk air dalam jumlah yang banyak hingga air masuk ke dalam
saluran pernapasan. Bagian apiglotis akan mengalami spasme yang
mengakibatkan saluran nafas menjadi tertutup dan hanya dapat dilalui oleh udara
yang sangat sedikit.
b. Hampir Tenggelam ( Near Drowning)
Kondisi korban masih berna/as dan membatukkan air keluar.

10.1.3 Etiologi
Terdapat beberapa penyebab tenggelam antara lain (Levin dalam Arovah, 2009) :
 Kemampuan fisik yang terganggu akibat pengaruh obat
 Ketidakmampuan fisik akibat hipotermia, syok, cedera, atau kelelahan
 Ketidakmampuan akibat penyakit akut ketika berenang.

10.1.4 Patofisiologi
Hipoksia merupakan hal utama yang terjadi setelah seorang individu
tenggelam. Keadaan terhambatnya jalan nafas akibat tenggelam menyebabkan
adanya gasping dan kemudian aspirasi, dan diikuti dengan henti nafas (apnea)
volunter dan laringospasme. Hipoksemia dan asidosis yang persisten dapat
menyebabkan korban beresiko terhadap henti jantung dan kerusakan sistem
syaraf pusat. Laringospasme menyebabkan keadaan paru yang kering, namun
karena asfiksia membuat relaksi otot polos, air dapat masuk ke dalam paru dan
menyebabkan edema paru.
Efek fisiologis aspirasi pun berbeda antara tenggelam di air tawar dan air
laut. Pada tenggelam di air tawar, plasma darah mengalami hipoktonik, sedangkan
pada air laut adalah hipertonik. Aspirasi air tawar akan cepat diabsorbsi dari alveoli
sehingga menyebabkan hipervolemia intravaskular, hipotonis, dilusi elektrolit
serum, dan hemolisis intravaskular. Aspirasi air laut menyebakan hipovolemia,
hemokonsentrasi dan hipertonis.
Aspirasi air yang masuk kedalam paru dapat menyebabkan vagotonia,
vasokontriksi paru, dan hipertensi. Air segar dapat menembus membran alveolus
dan menggangu stabilitas alveolus dengan menghambat kerja surfaktan. Selain itu,
air segar dan hipoksemi dapat menyebabkan lisis eritrosit dan hiperkalemia.
Sedangkan, air garam dapat menghilangkan surfaktan, dan menghasilkan cairan
eksudat yang kaya protein di alveolus, intertitial paru, dan membran basal
alveolar sehingga menjadi keras dan sulit mengembang. Air garam juga dapat
menyebabkan penurunan volume darah dan peningkatan konsentasi elektrolit
serum. Hipoksia merupakan salah satu akibat dari tenggelam, dan merupakan
faktor yang penting dalam menentukan kelangsungan hidup korban tenggelam.
Karena itu, ventilasi, perfusi, dan oksigenasi yang cepat dibutuhkan untuk
meningkatkan tingkat survival korban.
1. Perubahan Paru-paru

Aspirasi paru terjadi pada sekitar 90% korban tenggelam dan 4080-
90% pada korban hamper tenggelam. Jumlah dan komposisi aspirat dapat
mempengaruhi perjalanan klinis penderita, isi lambung, organism pathogen, bahan
kimia toksisk dan bahan asing lain dapat memberi cedera pada paru dan atau
menimbulkan obstruksi jalan nafas.

2. Perubahan pada Kardiovaskuler

Pada korban hampir tenggelam kadang-kadang menunjukkan bradikardi berat.


Bradikardi dapat timbul karena refleks fisiologis saat berenang di air dingin atau
karena hipoksia. Perubahan pada fungsi kardiovaskuler yang terjadi pada hampir
tenggelam sebagian besar akibat perubahan tekanan parsial oksigen arterial (PaO2)
dan gangguan keseimbangan asam-basa.

3. Perubahan Pada Susunan Saraf Pusat

Iskemia terjadi akibat tenggelam dapat mempengaruhi semua organ


tetapi penyebab kesakitan dan kematian terutama terjadi karena iskemi otak.
Iskemi otak dapat berlanjut akibat hipotensi, hipoksia, reperfusi dan peningkatan
tekanan intra kranial akibat edema serebral. Kesadaran korban
yang tenggelam dapat mengalami penurunan. Biasanya penurunan kesadaran
terjadi 2-3 menit setelah apnoe dan hipoksia. Kerusakan
otak irreversibel mulai terjadi 4-10 menit setelah anoksia dan fungsi
normotermik otak tidak akan kembali setelah 8-10 menit anoksia. Penderita yang
tetap koma selama selang waktu tertentu tapi kemudian bangun dalam.

4. Perubahan Pada Ginjal

Fungsi ginjal penderita tenggelam yang telah mendapat resusitasi biasanya


tidak menunjukkan kelainan, tetapi dapat terjadi albuminuria,
hemoglobonuria, oliguria dan anuria. Kerusakan ginjal progresif akan
mengakibatkan tubular nekrosis akut akibat terjadinya hipoksia berat, asidosis
laktat dan perubahan aliran darah ke ginjal.

5. Perubahan Cairan dan Elektrolit

Pada korban tenggelam tidak mengaspirasi sebagian besar cairan tetapi selalu
menelan banyak cairan. Air yang tertelan, aaspirasi pasru, cairan intravena yang
diberikan selama resusitasi dapat menimbulkan perubahan keadaan cairan dan
elektrolit. Aspirasi air laut dapat menimbulkan perubahan elektrolit dan perubahan
cairan karena tingginya kadar Na dan Osmolaritasnya. Hipernatremia dan
hipovolemia dapat terjadi setelah aspirasi air laut yang banyak. Sedangkan aspirasi
air tawar yang banyak dapat mengakibatkan hipervolemia dan hipernatremia.
Hiperkalemia dapat terjadi karena kerusakan jaringan hipoksia yang luas.

10.1.5 Manifestasi Klinik


Tanda dan gejala yang sering muncul ialah tanda dan gejala sistem
kardiorespiratori dan neurologi. Distres respiratori awalnya tidak terlihat, hanya
terlihat adanya perpanjangan nilai RR tanpa hipoksemia. Pasien yang lebih
parah biasanya menunjukkan tanda hipoksemia, retraksi dinding dada, dan suara
paruabnormal. Manifestasi neurologi yang muncul seperti penurunan kesadaran,
pasien mulai meracau, iskemik-hipoksia pada sistem saraf pusat sehingga
menunjukkan tanda peningkatan icp (Elzouki, 2012).
Sedangkan menurut sumber lain, manifestasi drowning yang muncul antara lain :

 Frekuensi pernafasan berkisar dari pernapasan yang cepat dan dangkal


sampai apneu.
 Syanosis
 Peningkatan edema paru
 Kolaps sirkulasi
 Hipoksemia
 Asidosis
 Timbulnya hiperkapnia
 Lunglai
 Postur tubuh deserebrasi atau dokortikasi
 Koma dengan cedera otak yang irreversible.

Tanda dan gejala neardrowing berbeda-beda pada tiap individu tergantung pada
durasi dari tenggelamnya. Manifestasi klinis yang biasa muncul antara lain
(Raoof,2008) :

 Asimtomatik
 Simtomatik
 Pasien sadar namun gelisah dan sesak nafas. Insufisiensi pulmonar dapat
berkemban cepat bersamaan dengan takipnea, takikardia, batuk dengan
sputum berwarna pink serta berbusa, dan sianosis.
 Cardiopulmonary arrest : Pasien mengalami apnea, bradikardi, ventricular
tachycardia/fibrilation, asistole, dan nampak seperti tidak sadar.

Tanda-tanda yang memperkuat diagnosis mati tenggelam (drowning ), yaitu :

 Kulit tubuh mayat terasa basah, dingin, pucat dan pakaian basah
 Lebam mayat biasanya sianotrik kecuali mati tenggelam di air dingin
berwarna merah muda.
 Kulit telapak tangan/telapak kaki mayat pucat (bleached) dan keriput
(washer woman’s hands/feet).
 Kadang terdapat cutis anserine/goose skin pada lengan, paha
dan bahu mayat.
 Terdapat buih putih halus pada hidung atau mulut mayat (scheumfilz
froth)yang bersifat melekat.
 Bila mayat dimiringkan, cairan akan keluar dari mulut/hidung.
 Bila terdapat cadaveric spasme maka kotoran air/bahan setempat berada
dalam genggaman tangan mayat.
 Paru-paru mayat membesar dan mengalami kongesti.
 Saluran napas mayat berisi buih, kadang berisi lumpur, pasir.
 Lambung mayat berisi banyak cairan.
 Benda asing dalam saluran napas masuk sampai ke alveoli.
 Organ dalam mayat mengalami kongesti.

10.1.6 Pemeriksaan Diagnostik


Pasien dengan drowning harus melakukan X-ray dada dan monitoring saturasi
oksigen. Radiografi dada mungkin menunjukkan perubahan akut, seperti infiltrasi
alveolar bilateral. Selain itu, pemeriksaan sistem saraf pusat, EKG, dan analisis gas
darah juga diperlukan (Elzouki, 2012). Berikut pemeriksaan diagnostic lainnya
yaitu :
 Laboratorium
 ABG + oksimetri, methemoglobinemia dan carboxyhemoglobinemia
CBC prothrombin time partial thromboplastin time, fibrinogen, D-dimer,
fibrin.
 Serum elektrolit, glukosa, laktat, factor koagulasi
 Liver enzymes
 Aspartate aminotransferase dan alanine minotransferase,
 Renal function tests (BGA, creatinine)
 Drug screen and ethanol level
 Continuous pulse oximetry and cardiorespiratory monitoring
 Cardiac troponin I-testing
 Urinalisis
 Imaging
 Foto thoraks : bukti aspirasi, edema pulmo, atelektasis, benda asing,
evaluasi penempatan endotrakea tube
 CT scan kepala dan servikal bila curiga trauma
 Extremity, abdominal, pelvic imaging bila ada indikasi
 Echocardiography jika ada disfungsi miokard
 EKG
 Kateter swan-ganz untuk monitor cardiac output dan hemodinamik
pada pasien dengan status CV tidak stabil atau pasien yang membutuhkan
pengobatan inotropic multiple dan vasoaktif.

10.1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaannya sebagai berikut :
1. Bantuan Hidup Dasar
Penanganan ABC merupakan hal utama yang harus dilakukan, dengan
fokus utama pada perbaikan jalan nafas dan oksigenesasi buatan. Penilaian perna
pasan dilakukan dengan tiga langkah, yaitu :
a. Look yaitu melihat adanya pergerakan dada.
b. Listen yaitu mendengar suara nafas.
c. Feel yaitu merasakan ada tidaknya hembusan nafas.
Penanganan pertama pada korban yang tidak sadar dan tidak bernafas
dengan normal setelah pembersihan jalan napas yaitu kompresi dada lalu pemberi
an napas buatan dengan rasio 30:2. Terdapat tiga cara pemberian napas buatan,
yaitu mouth to mouth, mouth to nose, mouth to neck stoma.
Penanganan utama untuk korban tenggelam adalah pemberian napas
buatan untuk mengurangi hipoksemia. Melakukan pernapasan buatan dari mulut
ke hidung lebih disarankan karena sulit untuk menutup hidung korban saat pembe
rian napas mulut ke mulut. Pemberian napas buatan dianjurkan hingga 10-15 kali
sekitar 1 menit. Kompresi dada diindikasikan pada korban yang tidak sadar dan
tidak bernapas dengan normal, karena kebanyakan korban tenggelam mengalami
henti jantung akibat hipoksia.

2. Bantuan hidup lanjut

Bantuan hidup lanjut pada korban tenggelam yaitu pemberian oksigen dengan
tekanan lebih tinggi, yang dapat dilakukan dengan BVM ( Bag Valve Mask) atau
tabung oksigen. Oksigen yang diberikan memiliki saturasi 100%. Jika
setelah pemberian oksigen ini keadaan korban belum membaik maka dapat
dilakukan intubasi trakeal. Dalam Raoof (2008), penatalaksanaan pasien dengan
neardrowning umumnya terbagi menjadi tiga fase, antara lain
perawatan prehospital, perawatan unit gawat darurat, penatalaksanaan rawat inap.
a. Perawatan pre hospital
Pada fase ini, penatalaksanaan difokuskan pada Airway (A), Breathing
(B),dan Circulation (C). Pasien harus dipindahkan dari air secepatnya, namun
menyelamatkan pernafasan dapat dimulai walau korban masih berada diair.
Cara memindahkan pasien harus benar dengan meminimalkan gerakan
pada leher pasien untuk menghindari terjadinya cedera medula spinal.
Ketika pasien telah berada di permukaan yang datar, segera dilakukan CPR ketika
nadi tidak teraba. Akan tetapi, nadi mungkin lemah dan sulit teraba pada korban
yang mengalami hipotermia karena bradikardi dan atrial fibrilation (AF).
Heimlich Maneuver tidak banyak menguntungkan bila digunakan
untuk mengeluarkan air yang tertelan, teknik ini seharusnya hanya digunakan
saat penyebab obstruksi jalan nafas adalah benda asing. Oksigen tambaha(100%)
dapat diberikan jika tersedia. Pasien yang mengalami apneu harus dilakukan
intubasi sesegera mungkin.
b. Perawatan di unit gawat darurat
Ketika pasien sudah dipindah ke unit gawat darurat, harus dilakukan peng
kajian ulang secara hati-hati untuk mengetahui adanya tanda-tanda trauma seperti
trauma spinal, trauma dada, atau trauma abdomen. Pengkajian
status neurologi termasuk reflek batang otak dan GCS diperlukan untuk memastik
an prognosis pasien.
c. Pakaian yang basah harus dilepas
Pasien dengan hipotermia harus
dihangatkan dengan menggunakan berbagai cara. Seperti selimut hangat, bantalan
pemanas, mandi air hangat, teknik forced warm air. Kadang-
kadang peritoneal lavage dan pleural lavage dengan larutan hangat juga
digunakan.
d. Oksimetri nadi dan EKG
Digunakan untuk mendeteksi hipoksia dan
aritmia jantung.Analisis gas darah arteri, serum elektrolit, level etanol, pemeriksaa
n urin biasanya dilakukan. Cervical spine imaging, radiografi dada, CT scan
dilakukan jika dicurigai adanya trauma. Pasien yang sudah terlihat
membaik dapat dipulangkan setelah dilakukan monitoring selama 7 sampai 12
jam. Pasien dengan distres respiratori berat dan perubahan status mental
diperlukan intubasi dan ventilasi mekanik.
e. Perawatan rawat inap
Tujuan dari penatalaksanaan di rumah sakit ialah untuk mencegah cedera
neurologi sekunder, iskemia yang menetap, hipoksemia, edema serebral,
asidosis, dan abnormalitas elektrolit. Pasien dengan hipotermia diperlukan
resusitasi sampai suhu mencapai 32 atau 35 ℃. Pasien dengan hipotensi dilakukan
resusitasi cairan dan diberikan obat inotropik bila perlu. Radiografi dadabiasanya
menunjukkan gambaran normal sampai edema pulmonar yang menyebar.
Pneumonia pada pasien diobati dengan antibiotik spektrum luas.

10.1.8 Komplikasi
Menurut Flags (2008) dan Szpilman (2012), setelah kejadian near drowing, pasien
beresiko terjadinya komplikasi seperti :
1. Hipoksia atau iskemik injuri cerebral
2. ARDS (acute respiratory distress syndrome)
3. Kerusakan pulmonal sekunder akibat respirasi
4. Cardiak arrest
5. Anoksia
6. Shock
7. Myoglubinuria
8. Insufisiensi ginjal
9. Infeksi sistemik dan intravaskuler koagulasi juga dapat terjadi selama 72 jam
Pertama setelah resusitasi.
Ada juga komplikasi lain dari drowing yaitu :
a. Neurplogc injury
b. Pulmonary edema and ARDS
c. Secondary pulmonary infection
d. Multiple organ system failure
e. Acute tubular necrosis (secondary to hypoxemia)
f. Myoglibinuria
g. Hemoglobinuria

10.1.9 Prognosis
Prognosis pasien dengan neardrowning dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain (Raoof, 2008) :
a. Durasi tenggelam > 10 menit
b. Usia pasien < 3 tahun
c. Hipotermia < 33℃
d. GCS < 5
e. pH darah arteri < 7,1
Prognosis drowning berdasarkan sumber lain juga dipengaruhi oleh yaitu :
1. Pasien yang sadar atau sadar secara ringan pada presentasi mempunyai
kesempatan yang baik untuk bisa pulih sempurna.
2. Pasien yang komatose, mereka yang mendapatkan CPR di ED, atau mereka
yang telah jelas dan dilatasi pupil dan tidak adanya respirasi spontan mempunyai
prognosis yang buruk. Dalam beberapa studi, 35-60% individu
yang membutuhkan CPR terus menerus dalam perjalanan menuju ED
meninggal, dan 60-100% yang selamat dalam kelompok ini mengalami sekuele
neurologis jangka panjang. Studi Pediatric mengindikasikan bahwa anak-
anak yang membutuhkan penanganan
spesialisasi karena tenggelam di pediatric intensive care unit (PICU) sedikitnya
mempunyai angka mortalitas 30 % dan penambahan 10-30% mengalami kerusakan
otak yang berat.

10.1.10 Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
a. Identitas klien : meliputi nama, umur, pekerjaan, jenis kelamin, alamat.
b. Keluhan Gtama : Kaji hal yang dirasakan klien saat itu, biasanya klien
mengeluh sesak nafas.
c. Riwayat Penyakit Sekarang : Bagaimana awal mula klien dibawa ke pelayanan
kesehatan sampai munculnya keluhan yang dirasakan klien.
d. Riwayat Penyakit Dahulu : Kaji apakah sebelumnya klien pernah tenggelam,dan
kaji apakah klien mempunyai penyakit asma.
e. Primary Survey
 Airway : kaji adanya sumbatan jalan nafas akibat paru-paru yang terisi
cairan. Manajemen : Kontrol servikal, bebaskan jalan nafas.
 Breathing : Periksa adanya peningkatan frekuensi nafas, nafas dangkal dan
cepat, klien sulit bernafas. Manajemen : Berikan bantuan ventilasi.
 Circulation : Kaji penurunan curah jantung. Manajemen : Lakukan
kompresi dada.
 Disability :
Cek kesadaran klien, apakah terjadi penurunan kesadaran.Manajemen :
Kaji GCS, periksa pupil dan gerakan ektremitas.
 Exposure : kaji apakah terdapat jejas.
f. Pengkajian fisik
Keadaan Umum : Klien biasanya tampak lemah, pucat, sesak, dan
kesulitan bernafas .Pemeriksaan per – system B1-B6 :
B-1 : Klien mengeluh sesak dan sulit bernafas, pernafasan cepat dan dangkal, RR
meningkat.
B-2 : Tekanan darah klien menurun, klien tampak pucat, sianosis dan nadi
meningkat (takikardi).
B-3 : Klien mengalami penurunan kesadaran, GCS menurun.
B-4 : Tidak ditemukan kelainan.
B-5 : Tidak ditemukan kelainan.
B-6 : Kaji adanya fraktur karena terbentur benda keras.
2. Diagnosa Keperawatan
 Gangguan pertukaran gas
 Bersihan jalan nafas tidak efektif
 Perubahan perfusi jaringan otak
 Pola nafas tidak efektif
 Penurunan curah jantung
 Kelebihan volume cairan
 Resiko tinggi cedera
 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Intervensi Keperawatan
 Buat dan pertahankan jalan napas yang paten.
a. Hisap dan jalan napas seperlunya
b. Pasang selang nasogastrik (untuk mencegah aspirasi muntahan)
 Pantau dan catat respons anak terhadap terapi oksigen.
a. Lakukan pengkajian pernapasan (frekuensinya tergantung pada keadaan)
b. Pantau penggunaan ventilator dan alat respirasi lainnya.
c. Pantau tekanan vena sentral (CVP) dan jalur arteri
d. Pantau penggunaan pernapasan tekanan positif intermiten (IPPB)
atautekanan akhir ekspiratori posisti (PEEP)
 Pantau dan catat tingkat fungsi neurologik anak
a. Lakukan pengkajian neurologik (frekuensinya tergantung status)
b. Observasi dan catat tanda-tanda TIK (letargi,peningkatan tekanan
darah,penurunan frekuensi napas, peningkatan denyut apeks, pupil dilatasi)
 Pantau dan pertahankan keseimbangan cairan
a. Catat asupan dan haluaran
b. Jaga kepatenan dan lakukan perawatan kateter Foley
c. Pertahankan restriksi cairan dengan adanya edema serebri
 Pantau dan pertahankan pengaturan suhu homeostatik (penurunan
dankebutuhan oksigen)
a. Pantau suhu
b. Sediakan kasur pendingin (mencegah menggigil)
c. Berikan antipiretik
 Berikan dan pertahankan asupan nutrisi yang adekuat
a. Kaji kemampuan anak untuk mendapatkan asupan nutrisi melalui
selangnasogastrik atau oral (NG po)
b. Kaji kapasitas anak untuk mentolerir makanan melalui selang
nasogastrikatau per-oral ( periksa adanya sisa dan muntah )
c. Naikkan jumlah dan jenis asupan nutrisi
 Observasi dan catat tanda-tanda komplikasi
a. Pantau respons anak terhadap tata cara terapi fisik
b. Pantau respons terapeutik anak dan efek samping dari pengobatan

10.2 Matra laut


Kesehatan hiperbarik mempelajari masalah kesehatan akibat pemberian
tekanan lebih dari 1 atm terhadap tubuh serta penggunaannya untuk pengobatan.
Terapi oksigen hiperbarik bentuk pengobatan dengan pemberian oksigen tekanan
tinggi yang dilaksanakan dalam RUBT (Ruang Udara Bertekanan Tinggi ).
Pengobatan Oksigen Hiperbarik adalah pengobatan yang menggabungkan
menghirup Oksigen 100 % dengan memberikan tekanan lebih dari 1-3 atmosfer
absolut didalam Hyperbarik Chamber (RUBT).
Indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik :
Terapi oksigen hiperbarik dapat direkomendasikan pada pasien yang mengalami
kondisi atau penyakit seperti:
 Penyakit dekompresi. Penyakit dekompresi merupakan kondisi yang terjadi
pada saat aliran darah di dalam tubuh terhambat, dikarenakan perubahan
tekanan udara. Perubahan tekanan ini dapat terjadi akibat penerbangan,
menyelam, atau hal lain yang mengakibatkan terjadinya perubahan tekanan
udara secara drastis.
 Keracunan karbon monoksida. Keracunan karbon monoksida dapat terjadi
ketika seseorang mengirup gas karbon monoksida yang menyebabkan
penyerapan oksigen oleh darah terganggu.
 Penyembuhan luka yang sulit pulih. Pada kondisi normal, luka dapat
sembuh dengan sendirinya. Akan tetapi pada kondisi tertentu, luka sulit
untuk sembuh dan menutup kembali, misalnya luka kronis pada penderita
diabetes atau ulkus dekubitus.
 Pemulihan cangkok kulit. Cangkok kulit pada pasien yang tidak memiliki
gangguan peredaran darah dapat menyatu dengan baik.
 Infeksi jaringan lunak yang mengalami nekrosis (kematian
jaringan). Infeksi jaringan lunak umumnya disebabkan oleh bakteri.
Selain kondisi di atas, terapi oksigen hiperbarik juga digunakan pada keadaan
cedera remuk serta sindrom kompartemen, emboli udara, cedera organ akibat
radiasi, osteomielitis berulang, luka bakar, anemia, penyumbatan pembuluh darah
mata, dan tuli mendadak.
Manfaat Oksigen Hiperbarik mencakup :
1. Masalah yang berhubungan dengan penyelaman.
Misalnya : penyakit dekompresi, keracunan gas CO, dan tes toleransi oksigen
Bagi penyelam.
2. Beberapa penyakit kronis
Misalnya : DM, Stroke, luka bakar, osteomyelitis, cangkok kulit/jaringan dan
Lain-lain.
3. Kebugaran
Meningkatkan asupan oksigen di jaringan, meningkatkan sintesa kolagen,
Neovaskularisasi, mempercepat eliminasi asam laktat.
Kontra indikasi terapi oksigen hiperbarik :
Mutlak untreated pneumothorax, Pasien yang sedang menggunakan obat-
obatan tertentu, seperti cisplatin, bleomycin, disulfiram, dan doxorubicin, infeksi
saluran nafas atas, emfisema dengan retensi co2, lesi paru asimtomatis pada foto
dada, riwayat operasi dada dan telinga, demam tinggi, optic neuritis, kehamilan,
kejang, kelaianan sel darah merah, PPOK. Komplikasi barotrauma : telinga, sinus
gigi, paru, temporer myopia, kejang karena O2, klaustrofobia (fobia pada ruang
sempit), efek samping mual, keringat, batuk, sakit dada, kedutan, tinitus.
Persiapan Terapi Oksigen Hiperbarik :
Sebelum menjalani terapi oksigen hiperbarik, pasien terlebih dahulu akan
diminta untuk berhenti menggunakan kosmetik atau produk perawatan pribadi
dengan bahan yang mudah terbakar. Produk-produk tersebut umumnya
menggunakan bahan hidrokarbon sebagai komposisi utama, yang berisiko terbakar
akibat bereaksi dengan oksigen. Selain itu, untuk menghindari terjadinya risiko
kebakaran, petugas akan meminta pasien untuk tidak membawa benda-benda yang
dapat memicu kebakaran, seperti pemantik api atau baterai.
Prosedur Terapi Oksigen Hiperbarik
Terapi oksigen hiperbarik dilakukan di tabung atau ruang hiperbarik.
Terdapat dua jenis ruang hiperbarik, yaitu monoplace hyperbaric
chamber dan multiple hyperbaric chamber. Monoplace hyperbaric chamber hanya
dapat menampung satu orang untuk sekali waktu terapi, sedangkan multiple
hyperbaric chamber dapat menampung lebih dari satu orang. Beberapa multiple
hyperbaric chamber bahkan dapat menampung hingga 20 orang. Penggunaan dan
pemeliharaan ruang hiperbarik harus dijaga dengan sangat ketat.
Terapi oksigen hiperbarik dilakukan tanpa perlu menjalani rawat inap.
Pasien pertama kali akan diminta untuk berganti pakaian dengan pakaian khusus
rumah sakit. Setelah itu, pasien atau beberapa orang pasien akan masuk ke ruang
hiperbarik. Pasien kemudian akan diposisikan senyaman mungkin selama terapi,
umumnya dalam posisi duduk santai.
Setelah dipastikan bahwa tidak ada benda atau bahan mudah terbakar di
ruang hiperbarik, petugas akan meninggalkan pasien di ruangan hiperbarik dan
mulai menaikkan tekanan udara ruang hiperbarik secara perlahan hingga mencapai
tekanan yang diperlukan. Selama prosedur terapi hiperbarik, pasien akan merasakan
adanya penekanan pada gendang telinga akibat peningkatan tekanan udara di ruang
hiperbarik. Untuk meredakan rasa tertekan pada gendang telinga, pasien dapat
menguap atau menelan ludah sehingga dapat membantu menyamakan tekanan
udara di bagian dalam telinga.
Terapi umumnya berlangsung selama dua jam, dan selama itu petugas akan
memantau kondisi pasien melalui alat monitor khusus. Jika sudah selesai, petugas
akan menurunkan tekanan ruang hiperbarik menjadi normal kembali. Setelah itu,
pasien akan diminta beristirahat terlebih dahulu sebelum melanjutkan aktivitasnya
seperti biasa. Pasien akan menjalani terapi oksigen hiperbarik ini selama beberapa
kali sesuai dengan anjuran dokter.
Setelah Terapi Oksigen Hiperbarik
Pasien dapat merasa letih dan lesu atau lapar, usia menjalani sesi terapi
oksigen hiperbarik. Setelah beristirahat beberapa saat, rasa letih lesu ini akan hilang
dengan sendirinya dan pasien dapat melanjutkan aktivitasnya kembali.
Beberapa efek samping yang dapat muncul akibat terapi oksigen hiperbarik,
meskipun sangat jarang terjadi, adalah:
 Merasa tidak nyaman atau nyeri selama prosedur terapi oksigen hiperbarik.
 Rabun jauh sementara setelah menjalani terapi oksigen hiperbarik.
 Kejang akibat penumpukan oksigen di otak.
 Cedera pada telinga.
 Cedera pada paru-paru.
 Kebakaran atau ledakan di ruang hiperbarik, terutama jika pasien
menggunakan atau membawa bahan-bahan atau produk mudah terbakar.

KOMENTAR

Kehilangan nyawa akibat tenggelam semakin meningkat tiap harinya.


Seperti anak kecil tergelincir di kolam renang, remaja berenang dibawah pengaruh
alkohol atau obat-obatan, penumpang kapal yang terbalik dan warga masyarakat
yang dilanda banjir. Dengan adanya banyak kejadian diperlukan pencegahan dan
pengetahuan terkini tentang tenggelam. Tenggelam atau drowning memiliki angka
mortalitas yang cukup tinggi didunia. Hipoksia merupakan penyebab utama
kematian pada kasus tenggelam.
BerdasarkanAHA Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care 2010, RJP pada pertolongan korban neardrowning siklus A-B-C tetap
dipertahankan oleh karena sifat hipoksia dari arrest yang terjadi sehingga apabila korban
hanya mengalami henti nafas dapat segeramerespon tindakan yang diberikan. Indikasi
penghentian RJP adalah apabila pasien sadar atau dapat bernafas spontan, pasien
meninggal atau penolong mengalami kelelahan.
Penyebab tingginya angka kematian akibat tenggelam salah satunya adalah
sistem pertolongan dan pengetahuan penanganan korban yang tidak tepat dan
prinsip pertolongan awal yang tidak sesuai. Pengetahuan penanggulangan penderita
gawat darurat memang posisi besar dalam menentukan keberhasilan pertolongan.
Banyak kejadian penderita pertolongan pertama yang justru meninggal dunia atau
mengalami kecacatan akibat kesalahan dalam memberikan pertolongan awal, hal
ini terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang kasus
kegawatdaruratan.
Mengetahui besarnya manfaat terapi hiperbarik dalam penyembuhan
penyakit di atas, sudah selayaknya terapi hiperbarik dijadikan salah satu terapi
pengobatan baru yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Mengigat Indonesia
sendiri merupakan negara maritime dan kepulauan dimana 65 % adalah
kepulauan, tidak dipungkiri kejadian masalah kesehatan
yang berhubungan dengan penyelaman yang merupakan salah satu manfaat terapi
hiperbarik. Ironisnya, masih banyak tenaga kesehatan khususnya di bidang
kedokteran belum mengenal dan mengerti manfaat terapi hiperbarik. Tetapi
sekarang sudah banyak yang mengetahui terapi oksigen hiperbarik terutama di
RSAL Surabaya.
DAFTAR PUSTAKA

Dolinak, D., Matshes, E. & Lew, E. O., (2005) . Forensic Pathology: Principles and
Practice.s.l.:Elsevier.
McCance, K. L., Huether, S. E., Brashers, V. L. & Rote, N. S., (2014).
Pathophsysiology,The Biologic Basis for Disease in Adults andChildren, Seventh
Edition. Canada: Mosby.
Onyekwelu, E., (2008) . Drowning and Near Drowning Internal Journal of Health
8 Volume 2.
Putra, A. A. G. A., 2014. Kematian Akibat Tenggelam : Laporan kasus,Denpasar :
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RSUP Sanglah .
Raoof, Suhail. (2008) .Manual of Critical Care. New York: Brooklyn.
Rastogi, P. & Rao, J., (2011).Accidental Mechanical Asphyxia At Work Site
by Mud. J Punjab Acad Forensic Med Toxicol,Volume 11, pp. 52-54.
Santoso, Bhetaria, (2010). Perbedaan Kadar Magnesium Serum antara Tikus Putih
(Rattus Norvegicus) yang mati Tenggelam di Air Tawar dengan di Air Laut,
Skripsi,Surakarta, Universitas Sebelas Maret
Sorrentino, S., (2010) . Mosby’s Textbok for Long-Term Care Nursing Assistants.
6th penyunt. s.l.:Mosby.
Tasmono, (2008) .Distribusi Kasus Kematian Akibat Asfiksia di Malang Raya yang
Diperiksa di Instalasi Kedokteran Forensik RSSA Tahun 2006-2007. pp. 36-39.
Wilianto, W., (2012) . Pemeriksaan Diatom pada korban DidugaTenggelam. Jurnal
Kedokteran Forensik Indonesia, Volume 14 pp.39-46.
Wilkinson & Ahern. (2011) .Buku Saku Diagnosis Keperawatan :
Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC . Ed. 9. Jakarta: EGC
World Health Organization. Global Report on Drowning: Preventing A
LeadingKiller. Geneva: World Health Organization; 2014.
Cantwell GP. Drowning. Updated on [May 18, 2017]; accessed on [Dec 14,
2017].Available
URL: https://emedicine.medscape.com/article/772753overview Bierens JJLM
(eds.). Drowning: Prevention, Rescue, Treatment. 2nd edition. NewYork: Springer;
2014
Howell, et al. (2018). Hyperbaric Oxygen Therapy: Indications, Contraindications,
and Use at a Tertiary Care Center. AORN Journal, 107 (4), pp. 442-453.
Mayo Clinic (2018). Tests and Procedures. Hyperbaric Oxygen Therapy.
Latham, E. Medscape (2017). Hyperbaric Oxygen Therapy.
Nall, R. Healthline (2016). Speeding Healing : Hyperbaric Oxygen (HBO) Therapy.

Anda mungkin juga menyukai