10.1.2 Klasifikasi
KlasifIkasi tenggelam menurut Levin (dalam Arovah, 2009) adalah :
1. Berdasarkan kondisi paru-paru korban
a. Typical Drowning
Kondisi ketika cairan masuk ke dalam saluran pernapasan saat korban
tenggelam.
b. Atypical Drowning
Dry Drowning
Cairan yang masuk ke dalam saluran pernapasan hanya sedikit bahkantidak
ada.
Immersion Syndrom
Terutama pada anak-anak yang tiba-tiba terjun ke dalam air dingin (suhu
<20℃), menyebabkan terpicunya reflex vagal sehingga mengakibatkan
apneu, bradikardia, dan vasokonstriksi dari pembuluh darah kapiler dan
mengarah ke terhentinya aliran darah koroner dan sirkulasi serebral.
Submersion of the Unconscious
Sering terjadi pada korban yang menderita epilepsy atau penyakit jantung
khususnya coronary atheroma, hipertensi atau peminum yang mengalami
trauma kepala saat masuk ke air.
Delayed Dead
Kondisi ketika seorang korban masih hidup setelah lebih dari 24 jam
setelah diselamatkan dari suatu episode tenggelam.
2. Berdasarkan Kondisi Kejadian
a. Tenggelam (Drowning)
Penderita meneguk air dalam jumlah yang banyak hingga air masuk ke dalam
saluran pernapasan. Bagian apiglotis akan mengalami spasme yang
mengakibatkan saluran nafas menjadi tertutup dan hanya dapat dilalui oleh udara
yang sangat sedikit.
b. Hampir Tenggelam ( Near Drowning)
Kondisi korban masih berna/as dan membatukkan air keluar.
10.1.3 Etiologi
Terdapat beberapa penyebab tenggelam antara lain (Levin dalam Arovah, 2009) :
Kemampuan fisik yang terganggu akibat pengaruh obat
Ketidakmampuan fisik akibat hipotermia, syok, cedera, atau kelelahan
Ketidakmampuan akibat penyakit akut ketika berenang.
10.1.4 Patofisiologi
Hipoksia merupakan hal utama yang terjadi setelah seorang individu
tenggelam. Keadaan terhambatnya jalan nafas akibat tenggelam menyebabkan
adanya gasping dan kemudian aspirasi, dan diikuti dengan henti nafas (apnea)
volunter dan laringospasme. Hipoksemia dan asidosis yang persisten dapat
menyebabkan korban beresiko terhadap henti jantung dan kerusakan sistem
syaraf pusat. Laringospasme menyebabkan keadaan paru yang kering, namun
karena asfiksia membuat relaksi otot polos, air dapat masuk ke dalam paru dan
menyebabkan edema paru.
Efek fisiologis aspirasi pun berbeda antara tenggelam di air tawar dan air
laut. Pada tenggelam di air tawar, plasma darah mengalami hipoktonik, sedangkan
pada air laut adalah hipertonik. Aspirasi air tawar akan cepat diabsorbsi dari alveoli
sehingga menyebabkan hipervolemia intravaskular, hipotonis, dilusi elektrolit
serum, dan hemolisis intravaskular. Aspirasi air laut menyebakan hipovolemia,
hemokonsentrasi dan hipertonis.
Aspirasi air yang masuk kedalam paru dapat menyebabkan vagotonia,
vasokontriksi paru, dan hipertensi. Air segar dapat menembus membran alveolus
dan menggangu stabilitas alveolus dengan menghambat kerja surfaktan. Selain itu,
air segar dan hipoksemi dapat menyebabkan lisis eritrosit dan hiperkalemia.
Sedangkan, air garam dapat menghilangkan surfaktan, dan menghasilkan cairan
eksudat yang kaya protein di alveolus, intertitial paru, dan membran basal
alveolar sehingga menjadi keras dan sulit mengembang. Air garam juga dapat
menyebabkan penurunan volume darah dan peningkatan konsentasi elektrolit
serum. Hipoksia merupakan salah satu akibat dari tenggelam, dan merupakan
faktor yang penting dalam menentukan kelangsungan hidup korban tenggelam.
Karena itu, ventilasi, perfusi, dan oksigenasi yang cepat dibutuhkan untuk
meningkatkan tingkat survival korban.
1. Perubahan Paru-paru
Aspirasi paru terjadi pada sekitar 90% korban tenggelam dan 4080-
90% pada korban hamper tenggelam. Jumlah dan komposisi aspirat dapat
mempengaruhi perjalanan klinis penderita, isi lambung, organism pathogen, bahan
kimia toksisk dan bahan asing lain dapat memberi cedera pada paru dan atau
menimbulkan obstruksi jalan nafas.
Pada korban tenggelam tidak mengaspirasi sebagian besar cairan tetapi selalu
menelan banyak cairan. Air yang tertelan, aaspirasi pasru, cairan intravena yang
diberikan selama resusitasi dapat menimbulkan perubahan keadaan cairan dan
elektrolit. Aspirasi air laut dapat menimbulkan perubahan elektrolit dan perubahan
cairan karena tingginya kadar Na dan Osmolaritasnya. Hipernatremia dan
hipovolemia dapat terjadi setelah aspirasi air laut yang banyak. Sedangkan aspirasi
air tawar yang banyak dapat mengakibatkan hipervolemia dan hipernatremia.
Hiperkalemia dapat terjadi karena kerusakan jaringan hipoksia yang luas.
Tanda dan gejala neardrowing berbeda-beda pada tiap individu tergantung pada
durasi dari tenggelamnya. Manifestasi klinis yang biasa muncul antara lain
(Raoof,2008) :
Asimtomatik
Simtomatik
Pasien sadar namun gelisah dan sesak nafas. Insufisiensi pulmonar dapat
berkemban cepat bersamaan dengan takipnea, takikardia, batuk dengan
sputum berwarna pink serta berbusa, dan sianosis.
Cardiopulmonary arrest : Pasien mengalami apnea, bradikardi, ventricular
tachycardia/fibrilation, asistole, dan nampak seperti tidak sadar.
Kulit tubuh mayat terasa basah, dingin, pucat dan pakaian basah
Lebam mayat biasanya sianotrik kecuali mati tenggelam di air dingin
berwarna merah muda.
Kulit telapak tangan/telapak kaki mayat pucat (bleached) dan keriput
(washer woman’s hands/feet).
Kadang terdapat cutis anserine/goose skin pada lengan, paha
dan bahu mayat.
Terdapat buih putih halus pada hidung atau mulut mayat (scheumfilz
froth)yang bersifat melekat.
Bila mayat dimiringkan, cairan akan keluar dari mulut/hidung.
Bila terdapat cadaveric spasme maka kotoran air/bahan setempat berada
dalam genggaman tangan mayat.
Paru-paru mayat membesar dan mengalami kongesti.
Saluran napas mayat berisi buih, kadang berisi lumpur, pasir.
Lambung mayat berisi banyak cairan.
Benda asing dalam saluran napas masuk sampai ke alveoli.
Organ dalam mayat mengalami kongesti.
10.1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaannya sebagai berikut :
1. Bantuan Hidup Dasar
Penanganan ABC merupakan hal utama yang harus dilakukan, dengan
fokus utama pada perbaikan jalan nafas dan oksigenesasi buatan. Penilaian perna
pasan dilakukan dengan tiga langkah, yaitu :
a. Look yaitu melihat adanya pergerakan dada.
b. Listen yaitu mendengar suara nafas.
c. Feel yaitu merasakan ada tidaknya hembusan nafas.
Penanganan pertama pada korban yang tidak sadar dan tidak bernafas
dengan normal setelah pembersihan jalan napas yaitu kompresi dada lalu pemberi
an napas buatan dengan rasio 30:2. Terdapat tiga cara pemberian napas buatan,
yaitu mouth to mouth, mouth to nose, mouth to neck stoma.
Penanganan utama untuk korban tenggelam adalah pemberian napas
buatan untuk mengurangi hipoksemia. Melakukan pernapasan buatan dari mulut
ke hidung lebih disarankan karena sulit untuk menutup hidung korban saat pembe
rian napas mulut ke mulut. Pemberian napas buatan dianjurkan hingga 10-15 kali
sekitar 1 menit. Kompresi dada diindikasikan pada korban yang tidak sadar dan
tidak bernapas dengan normal, karena kebanyakan korban tenggelam mengalami
henti jantung akibat hipoksia.
Bantuan hidup lanjut pada korban tenggelam yaitu pemberian oksigen dengan
tekanan lebih tinggi, yang dapat dilakukan dengan BVM ( Bag Valve Mask) atau
tabung oksigen. Oksigen yang diberikan memiliki saturasi 100%. Jika
setelah pemberian oksigen ini keadaan korban belum membaik maka dapat
dilakukan intubasi trakeal. Dalam Raoof (2008), penatalaksanaan pasien dengan
neardrowning umumnya terbagi menjadi tiga fase, antara lain
perawatan prehospital, perawatan unit gawat darurat, penatalaksanaan rawat inap.
a. Perawatan pre hospital
Pada fase ini, penatalaksanaan difokuskan pada Airway (A), Breathing
(B),dan Circulation (C). Pasien harus dipindahkan dari air secepatnya, namun
menyelamatkan pernafasan dapat dimulai walau korban masih berada diair.
Cara memindahkan pasien harus benar dengan meminimalkan gerakan
pada leher pasien untuk menghindari terjadinya cedera medula spinal.
Ketika pasien telah berada di permukaan yang datar, segera dilakukan CPR ketika
nadi tidak teraba. Akan tetapi, nadi mungkin lemah dan sulit teraba pada korban
yang mengalami hipotermia karena bradikardi dan atrial fibrilation (AF).
Heimlich Maneuver tidak banyak menguntungkan bila digunakan
untuk mengeluarkan air yang tertelan, teknik ini seharusnya hanya digunakan
saat penyebab obstruksi jalan nafas adalah benda asing. Oksigen tambaha(100%)
dapat diberikan jika tersedia. Pasien yang mengalami apneu harus dilakukan
intubasi sesegera mungkin.
b. Perawatan di unit gawat darurat
Ketika pasien sudah dipindah ke unit gawat darurat, harus dilakukan peng
kajian ulang secara hati-hati untuk mengetahui adanya tanda-tanda trauma seperti
trauma spinal, trauma dada, atau trauma abdomen. Pengkajian
status neurologi termasuk reflek batang otak dan GCS diperlukan untuk memastik
an prognosis pasien.
c. Pakaian yang basah harus dilepas
Pasien dengan hipotermia harus
dihangatkan dengan menggunakan berbagai cara. Seperti selimut hangat, bantalan
pemanas, mandi air hangat, teknik forced warm air. Kadang-
kadang peritoneal lavage dan pleural lavage dengan larutan hangat juga
digunakan.
d. Oksimetri nadi dan EKG
Digunakan untuk mendeteksi hipoksia dan
aritmia jantung.Analisis gas darah arteri, serum elektrolit, level etanol, pemeriksaa
n urin biasanya dilakukan. Cervical spine imaging, radiografi dada, CT scan
dilakukan jika dicurigai adanya trauma. Pasien yang sudah terlihat
membaik dapat dipulangkan setelah dilakukan monitoring selama 7 sampai 12
jam. Pasien dengan distres respiratori berat dan perubahan status mental
diperlukan intubasi dan ventilasi mekanik.
e. Perawatan rawat inap
Tujuan dari penatalaksanaan di rumah sakit ialah untuk mencegah cedera
neurologi sekunder, iskemia yang menetap, hipoksemia, edema serebral,
asidosis, dan abnormalitas elektrolit. Pasien dengan hipotermia diperlukan
resusitasi sampai suhu mencapai 32 atau 35 ℃. Pasien dengan hipotensi dilakukan
resusitasi cairan dan diberikan obat inotropik bila perlu. Radiografi dadabiasanya
menunjukkan gambaran normal sampai edema pulmonar yang menyebar.
Pneumonia pada pasien diobati dengan antibiotik spektrum luas.
10.1.8 Komplikasi
Menurut Flags (2008) dan Szpilman (2012), setelah kejadian near drowing, pasien
beresiko terjadinya komplikasi seperti :
1. Hipoksia atau iskemik injuri cerebral
2. ARDS (acute respiratory distress syndrome)
3. Kerusakan pulmonal sekunder akibat respirasi
4. Cardiak arrest
5. Anoksia
6. Shock
7. Myoglubinuria
8. Insufisiensi ginjal
9. Infeksi sistemik dan intravaskuler koagulasi juga dapat terjadi selama 72 jam
Pertama setelah resusitasi.
Ada juga komplikasi lain dari drowing yaitu :
a. Neurplogc injury
b. Pulmonary edema and ARDS
c. Secondary pulmonary infection
d. Multiple organ system failure
e. Acute tubular necrosis (secondary to hypoxemia)
f. Myoglibinuria
g. Hemoglobinuria
10.1.9 Prognosis
Prognosis pasien dengan neardrowning dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain (Raoof, 2008) :
a. Durasi tenggelam > 10 menit
b. Usia pasien < 3 tahun
c. Hipotermia < 33℃
d. GCS < 5
e. pH darah arteri < 7,1
Prognosis drowning berdasarkan sumber lain juga dipengaruhi oleh yaitu :
1. Pasien yang sadar atau sadar secara ringan pada presentasi mempunyai
kesempatan yang baik untuk bisa pulih sempurna.
2. Pasien yang komatose, mereka yang mendapatkan CPR di ED, atau mereka
yang telah jelas dan dilatasi pupil dan tidak adanya respirasi spontan mempunyai
prognosis yang buruk. Dalam beberapa studi, 35-60% individu
yang membutuhkan CPR terus menerus dalam perjalanan menuju ED
meninggal, dan 60-100% yang selamat dalam kelompok ini mengalami sekuele
neurologis jangka panjang. Studi Pediatric mengindikasikan bahwa anak-
anak yang membutuhkan penanganan
spesialisasi karena tenggelam di pediatric intensive care unit (PICU) sedikitnya
mempunyai angka mortalitas 30 % dan penambahan 10-30% mengalami kerusakan
otak yang berat.
1. Pengkajian
a. Identitas klien : meliputi nama, umur, pekerjaan, jenis kelamin, alamat.
b. Keluhan Gtama : Kaji hal yang dirasakan klien saat itu, biasanya klien
mengeluh sesak nafas.
c. Riwayat Penyakit Sekarang : Bagaimana awal mula klien dibawa ke pelayanan
kesehatan sampai munculnya keluhan yang dirasakan klien.
d. Riwayat Penyakit Dahulu : Kaji apakah sebelumnya klien pernah tenggelam,dan
kaji apakah klien mempunyai penyakit asma.
e. Primary Survey
Airway : kaji adanya sumbatan jalan nafas akibat paru-paru yang terisi
cairan. Manajemen : Kontrol servikal, bebaskan jalan nafas.
Breathing : Periksa adanya peningkatan frekuensi nafas, nafas dangkal dan
cepat, klien sulit bernafas. Manajemen : Berikan bantuan ventilasi.
Circulation : Kaji penurunan curah jantung. Manajemen : Lakukan
kompresi dada.
Disability :
Cek kesadaran klien, apakah terjadi penurunan kesadaran.Manajemen :
Kaji GCS, periksa pupil dan gerakan ektremitas.
Exposure : kaji apakah terdapat jejas.
f. Pengkajian fisik
Keadaan Umum : Klien biasanya tampak lemah, pucat, sesak, dan
kesulitan bernafas .Pemeriksaan per – system B1-B6 :
B-1 : Klien mengeluh sesak dan sulit bernafas, pernafasan cepat dan dangkal, RR
meningkat.
B-2 : Tekanan darah klien menurun, klien tampak pucat, sianosis dan nadi
meningkat (takikardi).
B-3 : Klien mengalami penurunan kesadaran, GCS menurun.
B-4 : Tidak ditemukan kelainan.
B-5 : Tidak ditemukan kelainan.
B-6 : Kaji adanya fraktur karena terbentur benda keras.
2. Diagnosa Keperawatan
Gangguan pertukaran gas
Bersihan jalan nafas tidak efektif
Perubahan perfusi jaringan otak
Pola nafas tidak efektif
Penurunan curah jantung
Kelebihan volume cairan
Resiko tinggi cedera
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Intervensi Keperawatan
Buat dan pertahankan jalan napas yang paten.
a. Hisap dan jalan napas seperlunya
b. Pasang selang nasogastrik (untuk mencegah aspirasi muntahan)
Pantau dan catat respons anak terhadap terapi oksigen.
a. Lakukan pengkajian pernapasan (frekuensinya tergantung pada keadaan)
b. Pantau penggunaan ventilator dan alat respirasi lainnya.
c. Pantau tekanan vena sentral (CVP) dan jalur arteri
d. Pantau penggunaan pernapasan tekanan positif intermiten (IPPB)
atautekanan akhir ekspiratori posisti (PEEP)
Pantau dan catat tingkat fungsi neurologik anak
a. Lakukan pengkajian neurologik (frekuensinya tergantung status)
b. Observasi dan catat tanda-tanda TIK (letargi,peningkatan tekanan
darah,penurunan frekuensi napas, peningkatan denyut apeks, pupil dilatasi)
Pantau dan pertahankan keseimbangan cairan
a. Catat asupan dan haluaran
b. Jaga kepatenan dan lakukan perawatan kateter Foley
c. Pertahankan restriksi cairan dengan adanya edema serebri
Pantau dan pertahankan pengaturan suhu homeostatik (penurunan
dankebutuhan oksigen)
a. Pantau suhu
b. Sediakan kasur pendingin (mencegah menggigil)
c. Berikan antipiretik
Berikan dan pertahankan asupan nutrisi yang adekuat
a. Kaji kemampuan anak untuk mendapatkan asupan nutrisi melalui
selangnasogastrik atau oral (NG po)
b. Kaji kapasitas anak untuk mentolerir makanan melalui selang
nasogastrikatau per-oral ( periksa adanya sisa dan muntah )
c. Naikkan jumlah dan jenis asupan nutrisi
Observasi dan catat tanda-tanda komplikasi
a. Pantau respons anak terhadap tata cara terapi fisik
b. Pantau respons terapeutik anak dan efek samping dari pengobatan
KOMENTAR
Dolinak, D., Matshes, E. & Lew, E. O., (2005) . Forensic Pathology: Principles and
Practice.s.l.:Elsevier.
McCance, K. L., Huether, S. E., Brashers, V. L. & Rote, N. S., (2014).
Pathophsysiology,The Biologic Basis for Disease in Adults andChildren, Seventh
Edition. Canada: Mosby.
Onyekwelu, E., (2008) . Drowning and Near Drowning Internal Journal of Health
8 Volume 2.
Putra, A. A. G. A., 2014. Kematian Akibat Tenggelam : Laporan kasus,Denpasar :
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RSUP Sanglah .
Raoof, Suhail. (2008) .Manual of Critical Care. New York: Brooklyn.
Rastogi, P. & Rao, J., (2011).Accidental Mechanical Asphyxia At Work Site
by Mud. J Punjab Acad Forensic Med Toxicol,Volume 11, pp. 52-54.
Santoso, Bhetaria, (2010). Perbedaan Kadar Magnesium Serum antara Tikus Putih
(Rattus Norvegicus) yang mati Tenggelam di Air Tawar dengan di Air Laut,
Skripsi,Surakarta, Universitas Sebelas Maret
Sorrentino, S., (2010) . Mosby’s Textbok for Long-Term Care Nursing Assistants.
6th penyunt. s.l.:Mosby.
Tasmono, (2008) .Distribusi Kasus Kematian Akibat Asfiksia di Malang Raya yang
Diperiksa di Instalasi Kedokteran Forensik RSSA Tahun 2006-2007. pp. 36-39.
Wilianto, W., (2012) . Pemeriksaan Diatom pada korban DidugaTenggelam. Jurnal
Kedokteran Forensik Indonesia, Volume 14 pp.39-46.
Wilkinson & Ahern. (2011) .Buku Saku Diagnosis Keperawatan :
Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC . Ed. 9. Jakarta: EGC
World Health Organization. Global Report on Drowning: Preventing A
LeadingKiller. Geneva: World Health Organization; 2014.
Cantwell GP. Drowning. Updated on [May 18, 2017]; accessed on [Dec 14,
2017].Available
URL: https://emedicine.medscape.com/article/772753overview Bierens JJLM
(eds.). Drowning: Prevention, Rescue, Treatment. 2nd edition. NewYork: Springer;
2014
Howell, et al. (2018). Hyperbaric Oxygen Therapy: Indications, Contraindications,
and Use at a Tertiary Care Center. AORN Journal, 107 (4), pp. 442-453.
Mayo Clinic (2018). Tests and Procedures. Hyperbaric Oxygen Therapy.
Latham, E. Medscape (2017). Hyperbaric Oxygen Therapy.
Nall, R. Healthline (2016). Speeding Healing : Hyperbaric Oxygen (HBO) Therapy.