Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Skabies adalah penyakit kulit pada manusia yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei var.
hominis (Habif et al., 2011). Penyakit ini menular dari manusia ke manusia melalui kontak
langsung dengan kulit dan melalui tempat tidur serta pakaian (Cook & Zumla, 2009).

Skabies ditemukan disemua Negara berkembang dengan prevalensi yang bervariasi.


Dibeberapa negara yang sedang berkembang prevalensi skabies sekitar 6% - 27% dari populasi
umum dan cenderung tinggi pada anak-anak serta remaja. Berdasarkan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, prevalensi penyakit skabies dalam masyarakat diseluruh Indonesia pada
tahun 1996 adalah 4,6% - 12,95% dan skabies menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit
tersering. Skabies atau kudis adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh infestasi
tungau Sarcoptes scabiei.
Penyakit ini telah dikenal sejak lama, yaitu ketika Bonomo dan Cestoni mampu
mengilustrasikan sebuah tungau sebagai penyebab skabies pada tahun 1689 (Montesu dan
Cottoni, 1991) . Literatur lain menyebutkan bahwa skabies diteliti pertama kali oleh Aristotle
dan Cicero sekitar tiga ribu tahun yang lalu dan menyebutnya sebagai "lice in the flesh"
(Alexander, 1984) . Tungau ini mampu menyerang manusia dan ternak termasuk hewan
kesayangan (pet animal) maupun hewan liar (wild animal) (Pence dan Ueckermann, 2002) .

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan penyakit scabies?
2. Apa epidemiologi scabies?
3. Apa etiologi dari penyakit scabies?
4. Apa daur hidup sarcoptes scabies?
5. Apa manifestasi penyakit scabies?
6. Apa pathogenesis scabies?
7. Bagaimana pencegahan penyakit scabies?
8. Bagaimana pengobatan tradisional dan pengobatan medis scabies?

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui mengenai definisi penyakit scabies.
2. Untuk mengetahui mengetahui epidemiologi penyakit scabies.
3. Agar memahami tentang etiologi penyakit scabies.
4. Dapat memahami daur hidup sarcoptes scabies.
5. Dapat memahami pathogenesis scabies.
6. Dapat mengetahui upaya pencegahan penyakit scabies.
7. Dapat mengetahui pengobatan tradisonal dan pengobatan medis penyakit scabies.

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Definisi Skabies

Sinonim atau nama lain skabies adalah kudis, the itch, gudig, budukan, dan gatal agogo.
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap Sarcoptes
scabiei varian hominis dan hasil produknya (Handoko dkk, 2005). Skabies terjadi baik pada laki-
laki maupun perempuan, di semua geografi daerah, semua kelompok usia, ras dan kelas sosial.
Namun menjadi masalah utama pada daerah yang padat dengan gangguan sosial, sanitasi yang
buruk, dan negara dengan keadaan perekonomian yang kurang. Skabies ditularkan melalui
kontak fisik langsung (skin-to-skin) maupun tak langsung (pakaian, tempat tidur, yang dipakai
bersama) (Handoko dkk, 2005).

Gejala utama adalah pruritus intensif yang memburuk di malam hari atau kondisi dimana
suhu tubuh meningkat. Lesi kulit yang khas berupa terowongan, papul, ekskoriasi dan kadang-
kadang vesikel. Tungau penyebab skabies merupakan parasit obligat yang seluruh siklus
hidupnya berlangsung di tubuh manusia. Tungau tersebut tidak dapat terbang atau meloncat
namun merayap dengan kecepatan 2.5 cm per menit pada kulit yang hangat (Chosidow, 2006).
Penyakit scabies banyak berjangkit di: (1) lingkungan yang padat penduduknya, (2) lingkungan
kumuh, (3) lingkungan dengan tingkat kebersihan kurankg. Skabies cenderung tinggi pada anak-
anak usia sekolah, remaja bahkan orang dewasa (Siregar, 2005).

B. Epidemiologi Skabies

Skabies ditemukan di semua negara dengan prevalensi yang bervariasi. Daerah endemic
skabies adalah di daerah tropis dan subtropis seperti Afrika, Mesir, Amerika Tengah, Amerika
Selatan, Amerika Utara, Australia, Kepulauan Karibia, India, dan Asia Tenggara. Diperkirakan
lebih dari 300 juta orang di seluruh dunia terkena skabies. Prevalensi cenderung lebih tinggi di

3
daerah perkotaan terutama di daerah yang padat penduduk. Skabies mengenai semua kelas sosial
ekonomi, perempuan dan anak-anak mengalami prevalensi lebih tinggi.

Prevalensi meningkat di daerah perkotaan dan padat penduduk. Pada musim dingin
prevalensi juga cenderung lebih meningkat dibandingkan musim panas (Stone et al., 2008). Di
Brazil Amerika Selatan prevalensi skabies mencapai 18 % (Strina et al., 2013), di Benin Afrika
Barat 28,33 % (Salifou et al., 2013), di kota Enugu Nigeria 13,55 % (Emodiet al., 2013), di
Pulau Pinang Malaysia 31 % (Zayyid et al., 2013). Di indonesia prevalensi skabies masih cukup
tinggi. Menurut Departemen Kesehatan RI 2008 prevalensi skabies di Indonesia sebesar 5,60-
12,95 % dan skabies menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit. Tiyakusuma dalam
penelitiannya di Pondok Pesantren As-Salam Surakarta, menemukan prevalensi skabies 56,67 %
pada tahun 2010.

C. Etiologi Skabies

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap
Sarcoptesscabiei varian hominis. Sarcoptes scabiei adalah parasit manusia obligat yang termasuk
filum Arthopoda, kelas Arachnida, ordo Ackarima, superfamili Sarcoptes. Bentuknya lonjong,
bagian chepal depan kecil dan bagian belakang torakoabdominal dengan penonjolan seperti
rambut yang keluar dari dasar kaki (Burns, 2004).

Tungau skabies mempunyai empat kaki dan diameternya berukuran 0,3 mm. Sehingga
tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Tungau ini tidak dapat terbang atau melompat dan
hanya dapat hidup selama 30 hari di lapisan epidermis (Mitolin et al, 2008). Skabies betina
dewasa berukuran sekitar 0,4 mm dengan luas 0,3 mm , dan jantan dewasa lebih kecil 0,2 mm
panjang dengan luas 0,15 mm. Tubuhnya berwarna putih susu dan ditandai dengan garis

4
melintang yang bergelombang dan pada permukaan punggung terdapat bulu dan dentikel (Burns,
2004).

Penularan penyakit skabies dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung, adapun
cara penularanya adalah :
1) Kontak langsung (kulit dengan kulit)

Penularan skabies terutama melalui kontak langsung seperti berjabat tangan, tidur
bersama dan hubungan seksual. Pada orang dewasa hubungan seksual merupakan cara tersering,
sedangkan pada anak-anak penularan didapat dari orang tua atau temannya.

2) Kontak tak langsung (melalui benda)

Penularan melalui kontak tidak langsung, misalnya melalui perlengkapan tidur, pakaian
atau handuk dahulu dikatakan mempunyai peran kecil pada penularan. Namun demikian,
penelitian terakhir menunjukkan bahwa hal tersebut memegang peranan penting dalam penularan
skabies dan dinyatakan bahwa sumber penularan utama adalah selimut, pakaian dalam bagi
penderita perempuan. Skabies Norwegia, merupakan sumber utama terjadinya wabah skabies
pada rumah sakit, panti jompo, pemondokan/asrama dan rumah sakit jiwa karena banyak
mengandung tungau (Djuanda, 2006).

D. Daur Hidup Sarcoptes Scabies


Setelah kopulasi yang terjadi di atas kulit, yang jantan akan mati, kadang-kadang masih
dapat hidup beberapa hari di dalam terowongan yang di gali oleh tungau betina, tungau betina
yang telah dibuahi menggali terowongan dan dapat tinggal selama hidupnya yaitu kurang lebih
30 hari.

daur hidup Sarcoptes scabiei dari telur hingga dewasa berlangsung selama satu bulan. Sarcoptes
scabei memiliki empat fase kehidupan yaitu telur, larva, nimfa dan dewasa. Berikut ini siklus
hidup Sarcoptes scabiei :

a) Betina bertelur pada interval 2-3 hari setelah menembus kulit .


b) Telur berbentuk oval dengan panjang 0,1-0,15 mm

5
c) Masa inkubasi selama 3-8 hari. Setelah telur menetas, terbentuk larva yang kemudian
bermigrasi ke stratum korneum untuk membuat lubang molting pouches. Stadium larva
memiliki 3 pasang kaki.
d) Stadium larva terjadi selama 2-3 hari. Setelah stadium larva berakhir, terbentuklah
nimfa yang memiliki 4 pasang kaki.
e) Bentuk ini berubah menjadi nimfa yang lebih besar sebelum berubah menjadi dewasa.
Larva dan nimfa banyak ditemukan di molting pouches atau di folikel rambut dan
bentuknya seperti tungau dewasa tapi ukurannya lebih kecil.
f) Tungau betina memperluas molting pouches untuk menyimpan telurnya. Tungau betina
mempenetrasi kulit dan menghabiskan waktu sekitar 2 bulan di lubang pada
permukaan.

E. Manifestasi Klinik

Gejala seseorang terkena skabies adalah kulit penderita gatal-gatal penuh bintik-bintik
kecil sampai besar, berwarna kemerahan yang disebabkan garukan keras. Bintik-bintik itu akan
menjadi bernanah jika terinfeksi (Djuanda, 2006)
a. Gejala utama
Gejala utama adalah pruritus (gatal pada malam hari) karena aktivitas tungau lebih tinggi pada
suhu yang lebih lembab dan panas. Rasa gatal karena pembuatan terowongan oleh Sarcoptes
Scabies di Startum Korneum, yang pada malam hari temperatur tubuh lebih tinggi sehingga
aktivitas kutu meningkat (Goldstein, 2001). Gatal merupakan gejala utama sebelum gejala
klinis lainnya muncul. Rasa gatal hanya pada lesi, tetapi pada skabies kronis gatal dapat
terasa pada seluruh tubuh.

b. Erupsi kulit
Erupsi kulit tergantung pada derajat sensitasi, lama infestasi, hygiene perorangan,
dan pengobatan sebelumnya, erupsi kulit Batognomatik berupa terowongan halu dengan
ukuran 0,3-0,5 milimeter, sedikit meninggi, berkelok-kelok, putih keabuan dengan panjang
10 milimeter sampai 3 centimeter dan bergelombang (Goldstain, 2001).

6
c. Lesi kulit
Lokasi lesi kulit terdapat pada sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian
dalam, lipatan aksila bagian depan, perut sekitar umbilikus dan pantat. Pada wanita juga
terdapat pada areola mamae dan bagian bawah mamae, sedangkan pada laki-laki lesi kulit
ditemukan sekitar genetalia eksterna. Pada bayi distribusinya sampai mengenai seluruh tubuh
termasuk punggung, kepala, leher bahkan sampai wajah, orang dewasa tidak sampai
mengenai wajah (Goldstein, 2001)

Bentuk Klinis

Selain bentuk Scabies yang klasik, terdapat pula bentuk-bentuk yang tidak khas,
meskipun jarang ditemukan. Kelainan ini dapat menimbulkan kesalahan diagnostik yang dapat
berakibat gagalnya pengobatan Bentuk-bentuk Scabies antara lain (Stephen et al, 2011):

1) Scabies pada orang bersih

Klinis ditandai dengan lesi berupa papula dan kanalikuli dengan jumlah yang sangat
sedikit, kutu biasanya hilang akibat mandi secara teratur. Namun bentuk ini seringkali salah
diagnosis karena lesi jarang ditemukan dan sulit mendapatkan terowongan tungau.

7
Gambar 1. Scabies pada orang bersih (Scabies of cultivated)

2) Scabies nodular

Scabies nodular memperlihatkan lesi berupa nodul merah kecoklatan berukuran 2-20 mm
yang gatal. Umumnya terdapat pada daerah yang tertutup terutama pada genitalia, inguinal dan
aksila. Pada nodus yang lama tungau sukar ditemukan, dan dapat menetap selama beberapa
minggu hingga beberapa bulan walaupun telah mendapat pengobatan anti Scabies.

Gambar 2. Scabies Nodular

3) Scabies incognito

Penggunaan obat steroid topikal atau sistemik dapat menyamarkan gejala dan tanda pada
penderita apabila penderita mengalami Scabies. Sehingga penderita dapat memperlihatkan
perubahan lesi secara klinis. Akan tetapi 12 dengan penggunaan steroid, keluhan gatal tidak
hilang dan dalam waktu singkat setelah penghentian penggunaan steroid lesi dapat kambuh
kembali bahkan lebih buruk. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena penurunan respon imun
seluler.

8
Gambar 3. Scabies incognito

4) Scabies yang ditularkan oleh hewan

Sarcoptes scabiei varian canis bisa menyerang manusia yang pekerjaannya berhubungan
erat dengan hewan tersebut, misalnya anjing, kucing dan gembala. Lesi tidak pada daerah
predileksi Scabies tipe humanus tetapi pada daerah yang sering berkontak dengan hewan
peliharaan tersebut, seperti dada, perut, lengan. Masa inkubasi jenis ini lebih pendek dan sembuh
sendiri bila menjauhi hewan tersebut dan mandi bersih-bersih oleh karena varietas hewan tidak
dapat melanjutkan siklus hidupnya pada manusia.

Gambar 4. Scabies caninum

5) Scabies Norwegia (Scabies berkrusta)

Kondisi yang jarang ini sangat mudah menular karena tungau berada dalam jumlah yang
banyak dan diperkirakan lebih dari sejuta tungau berkembang di kulit, sehingga dapat menjadi
sumber wabah di tempat pelayanan kesehatan. Kadar IgE yang tinggi, eosinofil perifer, dan
perkembangan krusta di kulit yang hiperkeratotik dengan skuama dan penebalan menjadi
karakteristik penyakit ini. Plak hiperkeratotik tersebar pada daerah palmar dan plantar dengan
penebalan dan distrofi kuku jari kaki dan tangan. Lesi tersebut menyebar secara generalisata

9
seperti daerah leher dan kulit kepala, telinga, bokong, siku, dan lutut. Kulit yang lain biasanya
terlihat xerotik. Pruritus dapat bervariasi dan dapat pula tidak ditemukan pada bentuk penyakit
ini (Amirudin, 2003).

Gambar 5. Scabies norwegian pada plantar

Bentuk ini ditemukan pada penderita yang mengalami gangguan fungsi imunologik
misalnya penderita HIV/AIDS, lepra, penderita infeksi virus leukemia type 1, pasien yang
menggunakan pengobatan imunosupresi, penderita gangguan neurologik dan retardasi mental.

6) Scabies pada bayi dan anak

Pada anak yang kurang dari dua tahun, infestasi bisa terjadi di wajah dan kulit kepala
sedangkan pada orang dewasa jarang terjadi. Lesi Scabies pada anak dapat mengenai seluruh
tubuh, termasuk seluruh kepala, leher, telapak tangan, telapak kaki dan sering terjadi infeksi
sekunder berupa impetigo, ektima, sehingga terowongan jarang ditemukan. Pada bayi, lesi
terdapat di wajah. Nodul pruritis erithematos keunguan dapat ditemukan pada axilla dan daerah
lateral badan pada anak-anak. Nodul-nodul ini bisa timbul berminggu-minggu setelah eradikasi
infeksi tungau dilakukan. Vesikel dan bulla bisa timbul terutama pada telapak tangan dan jari.

10
Gambar 10. Scabies pada anak

F. Patogenesis Scabies

Penyakit Scabies ini merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh kutu Sarcoptes
scabei. Faktor yang berperan dalam penularan penyakit ini adalah sosial ekonomi yang rendah,
higiene perorangan yang jelek, lingkungan yang tidak saniter, perilaku yang tidak mendukung
kesehatan, serta kepadatan penduduk. Penyakit Scabies dapat ditularkan melalui kontak langsung
maupun kontak tak langsung. Yang paling sering adalah kontak langsung dan erat atau dapat
pula melalui alat-alat seperti tempat tidur, handuk, dan pakaian. Bahkan penyakit ini dapat pula
ditularkan melalui hubungan seksual antara penderita dengan orang yang sehat. Di Amerika
Serikat dilaporkan, bahwa Scabies dapat ditularkan melalui hubungan seksual meskipun bukan
merupakan akibat utama.

Siklus hidup tungau ini sebagai berikut. Setelah kopulasi (perkawinan) yang terjadi di
atas kulit, yang jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup dalam terowongan yang
digali oleh yang betina. Tungau betina yang telah dibuahi menggali terowongan dalam stratum
korneum, dengan kecepatan 2 -3 milimeter sehari dan sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir
sehari sampai mencapai jumlah 40 atau 50 . Bentuk betina yang telah dibuahi ini dapat hidup
sebulan lamanya. Telurnya akan menetas, biasanya dalam waktu 3-5 hari, dan menjadi larva
yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat tinggal dalam terowongan, tetapi dapat juga
keluar. Setelah 2 -3 hari larva akan menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina,
dengan 4 pasang kaki. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa
memerlukan waktu antara 8 – 12 hari (Handoko, R, 2001).

11
Telur menetas menjadi larva dalam waktu 3 – 4 hari, kemudian larva meninggalkan
terowongan dan masuk ke dalam folikel rambut. Selanjutnya larva berubah menjadi nimfa yang
akan menjadi parasit dewasa. Tungau betina akan mati setelah meninggalkan telur, sedangkan
tungau jantan mati setelah kopulasi. ( 6 Mulyono, 1986). Sarcoptes scabiei betina dapat hidup
diluar pada suhu kamar selama lebih kurang 7 – 14 hari. Yang diserang adalah bagian kulit yang
tipis dan lembab, contohnya lipatan kulit pada orang dewasa. Pada bayi, karena seluruh kulitnya
masih tipis, maka seluruh badan dapat terserang. (Andrianto dan Tang Eng Tie, 1989).

Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau Scabies, tetapi juga oleh
penderita sendiri akibat garukan. Dan karena bersalaman atau bergandengan sehingga terjadi
kontak kulit yang kuat, menyebabkan kulit timbul pada pergelangan tangan. Gatal yang terjadi
disebabkan oleh sensitisasi terhadap sekret dan ekskret tungau yang memerlukan waktu kira-kira
sebulan setelah infestasi. Pada saat itu kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan
ditemukannya papul, vesikel, urtika dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi,
krusta dan infeksi sekunder. Kelainan kulit dan gatal yang terjadi dapat lebih luas dari lokasi
tungau.(Handoko, R, 2001). Reaksi alergi yang sensitif terhadap tungau dan produknya
memperlihatkan peran yang penting dalam perkembangan lesi dan terhadap timbulnya gatal.
Sarcoptes scabiei melepaskan substansi sebagai respon hubungan antara tungau dengan
keratinosit dan sel-sel langerhans ketika melakukan penetrasi ke dalam kulit. (Hickz and Elston,
2009).

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan keterlibatan reaksi hipersensitivitas tipe IV


dan tipe I (Burns, 2004). Pada reaksi tipe I, pertemuan antigen tungau dengan Imunoglobulin-E
pada sel mast yang berlangsung di epidermis menyebabkan degranulasi sel-sel mast. Sehingga
terjadi peningkatan antibodi IgE. Keterlibatan reaksi hipersensitivitas tipe IV akan
memperlihatkan gejala sekitar 10-30 hari setelah sensitisasi tungau dan akan memproduksi
papul-papul dan nodul inflamasi yang dapat terlihat dari perubahan histologik dan jumlah sel
limfosit T yang banyak pada infiltrat kutaneus. Kelainan kulit yang menyerupai dermatitis
tersebut sering terjadi lebih luas dibandingkan lokasi tungau dengan efloresensi dapat berupa
papul, nodul, vesikel, urtika dan lainnya. Akibat garukan yang dilakukan oleh pasien dapat
timbul erosi, ekskoriasi, krusta hingga terjadinya infeksi sekunder (Harahab, 2000).

12
G. Pencegahan
Cara pencegahan penyakit skabies adalah dengan :
a. Mandi secara teratur dengan menggunakan sabun.
b. Mencuci pakaian, sprei, sarung bantal, selimut dan lainnya secara teratur minimal 2
kali dalam seminggu.
c. Menjemur kasur dan bantal minimal 2 minggu sekali.
d. Tidak saling bertukar pakaian dan handuk dengan orang lain.
e. Hindari kontak dengan orang-orang atau kain serta pakaian yang dicurigai terinfeksi
tungau skabies.
f. Menjaga kebersihan rumah dan berventilasi cukup.

Menjaga kebersihan tubuh sangat penting untuk menjaga infestasi parasit. Sebaiknya
mandi dua kali sehari, serta menghindari kontak langsung dengan penderita, mengingat parasit
mudah menular pada kulit. Walaupun penyakit ini hanya merupakan penyakit kulit biasa, dan
tidak membahayakan jiwa, namun penyakit ini sangat mengganggu kehidupan sehari-hari. Bila
pengobatan sudah dilakukan secara tuntas, tidak menjamin terbebas dari infeksi ulang, langkah
yang dapat diambil adalah sebagai berikut :

a. Cuci sisir, sikat rambut dan perhiasan rambut dengan cara merendam di cairan
antiseptik.
b. Cuci semua handuk, pakaian, sprei dalam air sabun hangat dan gunakan seterika panas
untuk membunuh semua telurnya, atau dicuci kering.
c. Keringkan peci yang bersih, kerudung dan jaket.
d. Hindari pemakaian bersama sisir, mukena atau jilbab (Depkes, 2007).

Departemen Kesehatan RI (2007) memberikan beberapa cara pencegahan yaitu dengan


dilakukan penyuluhan kepada masyarakat dan komunitas kesehatan tentang cara
penularan, diagnosis dini dan cara pengobatan penderita skabies dan orang-orang yang
kontak dengan penderita skabies,meliputi :
a. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya. Laporan kepada Dinas
Kesehatan setempat namun laporan resmi jarang dilakukan.

13
b. Isolasi santri yang terinfeksi dilarang masuk ke dalam pondok sampai dilakukan
pengobatan. Penderita yang dirawat di Rumah Sakit diisolasi sampai dengan 24 jam
setelah dilakukan pengobatan yang efektif. Disinfeksi serentak yaitu pakaian dalam dan
sprei yang digunakan oleh penderita dalam 48 jam pertama sebelum pengobatan dicuci
dengan menggunakan sistem pemanasan pada proses pencucian dan pengeringan, hal ini
dapat membunuh kutu dan telur.

H. Pengobatan Tradisional Dan Pengobatan Medis

Pengobatan Menurut Handoko (2008), obat-obat anti skabies yang tersedia dalam bentuk
topikal antara lain:

1. Pengobatan Tradisonal

Ada beberapa tanaman yang dapat digunakan sebagai alternatif dalam mengobati
penyakit scabies, diantaranya :
a) Daun salam
Kandungan daun salam terdapat antipruritus yang dapat mengobati penyakit scabies.
Cara pemakaian : Cuci daun, kulit batang, atau akar salam seperlunya sampai bersih, lalu
giling halus sampai menjadi adonan, seperti bubur. Balurkan ke tempat yang sakit,
kemudian di balut.
b) Biji Pinang
Pinang mempunyai beberapa sifat yang adapat menyembuhkan penyakit diantaranya,
bersifat anthelmintica, stimulansia(merangsang) dan haermostatica. Biji pinang
mengandung alkaloida seperti arekania dan arekolina.
Cara pemakaian: haluskan satu biji buah pinang campur dengan seperempat sendok teh
kapur sirih dan air secukupnya.
c) Daun srikaya
Kandungan : daun buah terdapat astringen, antiradang, antheimetik, sifatnya sedikit
dingin.

14
Cara pemakaian: cuci daun srikaya segar ( 15 lembar ) lalu giling sampai halus,
kemudian remas dengan air kapur sirih sebanyak satu sendok teh dan gunakan untuk
menggosok kulit yang terkena kudis. Lakukan sehari dua kali.

2. Pengobatan Medis
a. Belerang endap (sulfur presipitatum), dengan kadar 4-20% dalam bentuk salep atau krim.
Dapat dipakai pada bayi berumur kurang dari 2 tahun. Sulfur adalah antiskabietik tertua
yang telah lama digunakan, sejak 25 M. Secara umum sulfur bersifat aman bila
digunakan oleh anak-anak, wanita hamil dan menyusui serta efektif dalam konsentrasi
2,5% pada bayi.
Cara pemakaiannya: sangat sederhana, yakni mengoleskan salep setelah mandi ke seluruh
kulit tubuh selama 24 jam selama tiga hari berturut-turut.
Keuntungannya: harganya yang murah dan mungkin merupakan satu- satunya pilihan di
negara yang membutuhkan terapi massal.Bila kontak dengan jaringan hidup, preparat ini
akan membentuk hydrogen sulfide dan pentathionic acid (CH2S5O6) yang bersifat
germicid dan fungicid. Secara umum sulfur bersifat aman bila digunakan oleh anak-
anak, wanita hamil dan menyusui serta efektif dalam konsentrasi 2,5% pada bayi.
Efek samping: pemakaian obat ini adalah bau tidak enak, mewarnai pakaian dan kadang-
kadang menimbulkan iritasi.
b. Emulsi benzil-benzoat (20-25%) Benzil benzoat adalah ester asam benzoat dan alkohol
benzil yang merupakan bahan sintesis balsam peru.
Cara Kerja: Benzil benzoat bersifat neurotoksik pada tungau skabies.
Cara Pemakaian: Digunakan sebagai 25% emulsi dengan periode kontak 24 jam dan pada
usia dewasa muda atau anak-anak, dosis dapat dikurangi menjadi 12,5%. Benzil benzoate
sangat efektif bila digunakan dengan baik dan teratur dan secara kosmetik bisa diterima.
Efek samping dari benzil benzoate dapat menyebabkan dermatitis iritan pada wajah dan
skrotum, karena itu penderita harus diingatkan untuk tidak menggunakan secara
berlebihan. Penggunaan berulang dapat menyebabkan dermatitis alergi. Terapi ini

15
dikontraindikasikan pada wanita hamil dan menyusui, bayi, dan anak-anak kurang dari 2
tahun. Tapi benzil benzoate lebih efektif dalam pengelolaan resistant crusted scabies.
c. Gama benzena heksa klorida (gameksan=gammexane ; Lindane)
Cara Kerja: Lindane juga dikenal sebagai hexaklorida gamma benzena, adalah sebuah
insektisida yang bekerja pada sistem saraf pusat (SSP) tungau. Lindane diserap masuk ke
mukosa paru-paru, mukosa usus, dan selaput lendir kemudian keseluruh bagian tubuh
tungau dengan konsentrasi tinggi pada jaringan yang kaya lipid dan kulit yang
menyebabkan eksitasi, konvulsi, dan kematian tungau. Lindane dimetabolisme dan
diekskresikan melalui urin dan feses.
Cara Pemakaian: Lindane tersedia dalam bentuk krim, lotion, gel, tidak berbau dan tidak
berwarna. Pemakaian secara tunggal dengan mengoleskan ke seluruh tubuh dari leher ke
bawah selama 12-24 jam dalam bentuk 1% krim atau lotion. Setelah pemakaian dicuci
bersih dan dapat diaplikasikan lagi setelah 1 minggu. Hal ini untuk memusnahkan larva-
larva yang menetas dan tidak musnah oleh pengobatan sebelumnya. Beberapa penelitian
menunjukkan penggunaan Lindane selama 6 jam sudah efektif. Dianjurkan untuk tidak
mengulangi pengobatan dalam 7 hari, serta tidak menggunakan konsentrasi lain selain
1%.
Efek Samping: Efek samping lindane antara lain menyebabkan toksisitas SSP, kejang,
dan bahkan kematian pada anak atau bayi walaupun jarang terjadi. Tanda-tanda klinis
toksisitas SSP setelah keracunan lindane yaitu sakit kepala, mual, pusing, muntah,
gelisah, tremor, disorientasi, kelemahan, berkedut dari kelopak mata, kejang, kegagalan
pernapasan, koma, dan kematian. Beberapa bukti menunjukkan lindane dapat
mempengaruhi perjalanan fisiologis kelainan darah seperti anemia aplastik,
trombositopenia, dan pancytopenia.
d. Krotamiton 10% Krotamion (crotonyl-N-etil-o-toluidin) digunakan sebagai krim 10%
atau lotion. Tingkat keberhasilan bervariasi antara 50% dan 70%.
Cara pemakaian: Hasil terbaik telah diperoleh bila diaplikasikan dua kali sehari selama
lima hari berturut-turut setelah mandi dan mengganti pakaian dari leher ke bawah selama
2 malam kemudian dicuci setelah aplikasi kedua.
Efek samping yang ditimbulkan berupa iritasi bila digunakan jangka panjang.Beberapa
ahli beranggapan bahwa Krotamiton krim ini tidak memiliki efektivitas yang tinggi

16
terhadap skabies. Krotamiton 10% dalam krim atau losion, tidak mempunyai efek
sistemik dan aman digunakan pada wanita hamil, bayi dan anak kecil
e. Permetrin dengan kadar 5%
Cara kerja: Merupakan sintesa dari pyrethroid dan bekerja dengan cara mengganggu
polarisasi dinding sel saraf parasit yaitu melalui ikatan dengan natrium. Hal ini
memperlambat repolarisasi dinding sel dan akhirnya terjadi paralise parasit. Obat ini
merupakan pilihan pertama dalam pengobatan scabies karena efek toksisitasnya terhadap
mamalia sangat rendah dan kecenderungan keracunan akibat kesalahan dalam
penggunaannya sangat kecil. Hal ini disebabkan karena hanya sedikit yang terabsorpsi di
kulit dan cepat dimetabolisme yang kemudian dikeluarkan kembali melalui keringat dan
sebum, dan juga melalui urin. Belum pernah dilaporkan resistensi setelah penggunaan
obat ini.
Cara pemakaian: Permethrin tersedia dalam bentuk krim 5%, yang diaplikasikan selama
8-12 jam dan setelah itu dicuci bersih. Apabila belum sembuh bisa dilanjutkan dengan
pemberian kedua setelah 1 minggu. Permethrin jarang diberikan pada bayi-bayi yang
berumur kurang dari 2 bulan, wanita hamil dan ibu menyusui. Wanita hamil dapat
diberikan dengan aplikasi yang tidak lama sekitar 2 jam.
Efek samping: jarang ditemukan, berupa rasa terbakar, perih dan gatal, namun mungkin
hal tersebut dikarenakan kulit yang sebelumnya memang sensitive dan terekskoriasi.

17
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap
Sarcoptes scabiei varian hominis dan hasil produknya (Handoko dkk, 2005). Skabies terjadi baik
pada laki-laki maupun perempuan, di semua geografi daerah, semua kelompok usia, ras dan
kelas sosial. Namun menjadi masalah utama pada daerah yang padat dengan gangguan sosial,
sanitasi yang buruk, dan negara dengan keadaan perekonomian yang kurang. Skabies ditularkan
melalui kontak fisik langsung (skin-to-skin) maupun tak langsung (pakaian, tempat tidur, yang
dipakai bersama). Gejala utama adalah pruritus intensif yang memburuk di malam hari atau
kondisi dimana suhu tubuh meningkat. Rasa gatal karena pembuatan terowongan oleh Sarcoptes
Scabies di Startum Korneum, yang pada malam hari temperatur tubuh lebih tinggi sehingga
aktivitas kutu meningkat

18
DAFTAR PUSTAKA

Handoko R. 2008. Skabies. Dalam: Adhi D, Mochtar M, Siti A, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Edisi 5. Cetakan ke 3. Jakarta. Balai Penerbit FK UI.

digilib.unila.ac.id/2439/8/BAB II.pdf ·

eprints.ums.ac.id/27741/3/BAB_I.pdf

repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/20352/Chapter II.pdf;sequence=4

repository.ump.ac.id/3192/3/Restu Kusumaningtyas BAB II.pdf

19

Anda mungkin juga menyukai