Anda di halaman 1dari 7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. LEUKIMIA

2.1.1 Definisi

Leukimia atau kanker darah adalah penyakit neoplastik yang beragam,

ditandai oleh produksi secara tak normal (transformasi maligna) dari sel-sel

pembentuk darah di sumsum tulang dan jaringan limfoid. Sel-sel normal di dalam

sumsum tulang belakang digantikan oleh sel abnormal ( Ellya M, 2016).

Leukimia dibagi menjadi empat tipe utama yaitu leukimia mieloid akut

(LMA), leukimia limfositik akut (LLA), leukimia mieistik kronik (LKM), serta

leukimia limfositik kronik (LLK) ( Bayu R, dkk, 2018).

Acute Myeoloid Leukemia (AML) merupakan kelainan kolon heterogen yang

ditandai dengan infiltrasi pada bone marrow (sumsum tulang), darah dan jaringan

lainnya oleh sel proliferatife, klonal dan tidak normal dari sistem hematopoietic.

Pertumbuhan sel darah putih yang tidak normal tersebut mempengaruhi sel darah

normal pada bone marrow ( Aryo dan Chastine, 2017).

Leukimia mieloid akut sama dengan leukimia monositik akut, leukimia

monoblastik akut, leukimia mieloid akut, leukimia non-limfositik akut (ANLL)

(Arnauld c, 2004).

4
2.1.2 Etiologi

Penyebab leukimia masih belum diketahui secara pasti hingga kini. Menurut

hasil penelitian, orang dengan faktor risiko tertentu lebih meningkatkan risiko

timbulnya penyakit leukimia.

a. Host

- Faktor Genetik

Leukimia pada anak-anak penderita sindrom down adalah 20 kali lebih banyak

dari pada normal. Kelainan pada kromosom 21 dapat menyebabkan leukimia akut.

Leukimia akut juga meningkat pada penderita dengan kelainan congenital. Pada

sebagian penderita dengan leukimia, insiden leukimia meningkat dalam keluarga.

Kemungkinan untuk mendapat leukimia pada saudara kandung penderita naik 2-4

kali.

b. Agent

- Virus

Pada manusia, terdapat bukti kuat bahwa virus merupakan etiologi terjadinya

leukimia. HTLV (virus leukimia T manusia) dan retrovirus jenis cRNA, telah

ditunjukkan oleh mikroskop elektron dan kultur pada sel pasien dengan jenis khusus

leukimia/limfoma sel T.

- Sinar Radioaktif

Sinar radioaktif merupakan faktor eksternal yang paling jelas dapat menyebabkan

leukimia. Angka kejadian LMA jelas sekali meningkat setelah sinar radioaktif

digunakan.

5
- Zat Kimia

Zat-zat kimia (misal benzene, arsen, pestisida, kloramfenikol, fenilbutazon)

diduga dapat meningkatkan risiko terkena leukimia. Benzena telah lama dikenal

sebagai karsinogen sifat karsinogeniknya menyebabkan leukimia. Benzena diketahui

merupakan zat leukomogenik untuk AML. Paparan benzene kadar tinggi dapat

menyebabkan aplasia sumsum tulang, kerusakan kromosom dan leukimia.

- Merokok

Merokok merupakan salah satu faktor resiko untuk berkembangnya leukimia.

Rokok mengandung leukemogen yang potensial untuk menderita leukimia terutama

AML.

c. Lingkungan (pekerjaan)

Banyak penelitian menyatakan adanya hubungan antara pekerjaan yaitu petani

dan peternak terhadap kejadian leukimia.

2.1.3 Epidemiologi

Kejadian AML berbeda dari satu Negara dengan Negara lainnya, hal ini

berkaitan dengan cara diagnosis dan pelaporannya. AML mengenai semua kelompok

usia, tetapi kejadiannya meningkat dengan bertambahnya usia. Di AS, diperkirakan

ada sekitar 19.950 kasus baru AML dan sekitar 10.430 kematian karena AML pada

tahun 2016, sebagian besar pada dewasa. Di Australia setiap tahunnya terdapat

kurang lebih 3.200 orang dewasa dan 250 anak-anak yang didiagnosis dengan

leukimia. Dari total tersebut 900 orang dewasa diantaranya dan 50 anak terdiagnosis

dengan AML. Jumlah insiden terjadinya AML meningkat terutama pada orang-orang

yang berusia 60 tahun ( Cindy A dan Made, 2017).

6
Data di Indonesia sangat terbatas, pernah dilaporkan insidens AML di

Jogjakarta adalah 8 per satu juta populasi. Penyakit ini meningkat progresif sesuai

usia, puncaknya pada usia ≥ 65 tahun. Usia rata-rata pasien saat didiagnosis AML

sekitar 67 tahun. AML sedikit lebih sering dijumpai pada pria. AML yang lebih

banyak terjadi pada orang dewasa. Namun AML juga merupakan jenis leukimia yang

sering ditemukan pada anak-anak. Risiko terjadinya. AML meningkat 10 kali lipat

dari usia 30-34 tahun sampai dengan usia 65-69 tahun. Pada orang yang berusia lebih

dari 70 tahun insidennya jarang meningkat ( Cindy A dan Made, 2017).

2.1.4 Manifestasi Klinis

Manifestasi perdarahan yang paling sering ditemukan berupa petekie yaitu

suatu kondisi keluarnya sel darah merah ke kulit dan selaput lendir, purpura atau

ekimosis, yang terjadi pada 40 – 70% penderita leukimia akut pada saat didiagnosis.

Lokasi perdarahan yang paling sering adalah pada kulit, mata, membran mukosa

hidung, ginggiva dan saluran cerna. Perdarahan yang mengancam jiwa biasanya

terjadi pada saluran cerna dan sistem saraf pusat, selain itu juga pada paru, uterus dan

ovarium. 4 Manifestasi perdarahan ini muncul sebagai akibat dari berbagai kelainan

hemostasis. Leukimia yang paling sering dihubungkan dengan perdarahan yang

mengancam jiwa adalah Leukimia Promielositik Akut (AML-M3 atau APL) yaitu

suatu subtipe leukemia mielositik akut yang ditandai dengan translokasi resiprokal

kromosom 15 dan 17(9). Perdarahan yang terjadi pada Leukimia Promielositik Akut

tersebut dihubungkan dengan koagulasi intravaskuler diseminata, hiperfibrinolisis

dan aktifitas protease non-spesifik (Zelly Dia Rofinda, 2012).

7
Manifestasi oral (pembengkakan gingival dan perdarahan gingival dan oral)

disebabkan oleh leukimia. Pembengkakan gingival merupakan tanda oral yang paling

sering ditemukan pada pasien yang tidak ditangani. Namun, Hou dkk menemukan

bahwa perdarahan gingival merupakan tanda oral awal pada leukimia akut dan

kronik. Sel mukosa oral merupakan indeks mitotiknya yang tinggi, sering mengalami

kerusakan karena kerentanannya terhadap agen kemoterapi, menyebabkan pasien

mudah terkena mucositis dan xerostomia. Selain itu, infeksi oportunistik yang

disebabkan oleh penurunan granulosit normal. Diantara infeksi oportunistik yang ada

pada kavitas oral, yang paling sering ialah candidiasis oleh karena penggunaan anti

biotik spectrum luas, kemoterapi, kebersihan mulut yang jelek, malnutrisi, dan

keadaan kesehatan umum yang buruk. Infeksi viral yang paling sering pada leukimia

ialah herpes simpleks, yang memperlihatkan evolusi atipikal dan lama, dan biasanya

berlokasi pada bibir, palatum dan lidah. Infeksi bakterial yang disebabkan oleh

kontaminasi sekunder dari lesi yang ada biasanya disebabkan oleh organisme gram

negatif. Pasien dengan leukimia sering memperlihatkan perdarahan mukosa oral,

terutama pada gingival, khususnya selama fase berat leukopenia, thrombositopenia

dan immunosupresi. Perdarahan seperti itu bersifat spontan, khususnya jika pasien

juga terkena gingivitis (Roy R. B. Tangka et al. 2015).

2.1.5 Diagnosis

Acute Myeloid Leukimia (AML) merupakan kanker darah akut pada

sumsum tulang. Proses pendiagnosisan AML didasarkan pada hasil hitung darah

lengkap. Proses pendiagnosisan dapat dengan memanfaatkan teknik dilakukan

pengolahan citra yang didasarkan pada bentuk morfologi sel darah putih. Penelitian

8
ini bertujuan untuk membantu proses identifikasi AML M1 dan AML M2 sebagai

diagnosis awal. Metode pengolahan citra yang digunakan meliputi YCbCr color

space, thresholding, operasi morfologi, chain code, dan bounding box, sedangkan

identifikasi menggunakan Naïve Bayes Classifier. Proses pengujian menggunakan 30

citra AML M1 dan 30 citra AML M2. Identifikasi tipe AML menunjukkan tingkat

akurasi sebesar 73.33%. Sedangkan akurasi identifikasi jenis sel sebesar 54.92%.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah metode Naïve Bayes Classifier dapat

digunakan untuk membantu proses identifikasi jenis sel dominan pada AML M1 dan

AML M2 (myeloblast, promyelocyte, myelocyte, dan metamyelocyte) berdasarkan

morfologi sel darah putih. (Adi P, 2017).

2.1.6 Penatalaksanaan Pasien

Pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah tepi lengkap, aspirasi sumsum tulang

dikerjakan pada semua pasien. Diagnosis dan klasifikasi LMA ditegakkan

berdasarkan gambaran morfologi dari aspirasi sumsum tulang dan memakai

klasifikasi French-American-British (FAB). Protokol pengobatan yang digunakan

adalah protokol kemoterapi LMA yang terdiri dari fase induksi, fase konsolidasi dan

fase intensifikasi mengikuti protokol dari Emma Kinder Ziekenhuis/ Academisch

Medisch Centrum (EKZ/AMC) 1987 yang dimodifikasi. Fase induksi menggunakan 1

blok protokol berupa metotreksat intratekal, sitosin arabinos, daunorubisin dan

etoposid, diikuti fase konsolidasi selama 42 minggu dan 2 blok fase intensifikasi

dengan sitosin arabinos dosis tinggi. Interval antara fase adalah 4 minggu. Pasien

dianggap remisi apabila hasil aspirasi sumsum tulang setelah menjalani 1 blok fase

9
induksi, jumlah sel blas menunjukkan kurang dari 5%. Apabila sel blas >5%

dianggap gagal remisi. Angka remisi yang rendah kemungkinan terkait dengan jenis

protokol yang diberikan, faktor prognostik, dan pemberian kemoterapi yang tidak

sesuai jadwal. Faktor prognostik untuk menilai kemungkinan gagal remisi pada LMA

adalah pasien yang saat didiagnosis memiliki jumlah trombosit <20.000/μL, jenis

kelamin laki-laki, LMA M5, hepatomegali, dan sel blast >15% pada 14 hari pasca

kemoterapi fase induksi (Hikari Ambara Sjakti, 2012).

Pengobatan LMA digunakan dua protokol yang berbasis pada cytarabine dan

anthracycline. Perbedaannya adalah penggunaan 6-mercaptopurin, methotrexate, dan

L-asparaginase pada protokol yang diadaptasi dari protokol NOPHO yang

dimodifikasi, dan lama pengobatannya. Protokol ADE yang digunakan, sejak tahun

1999 sampai pertengahan 2005. Semua pasien yang menggunakan protokol ini

meninggal dengan waktu pengamatan paling lama 1,4 tahun. Dengan berbagai

macam pertimbangan sejak pertengahan tahun 2005, mulai diterapkan m-NOPHO.

Sembilan puluh satu pasien menggunakan protokol ini. Pengamatan yang dilakukan

selama hampir 5 tahun terhadap 88 pasien yang masuk kriteria inklusi menghasilkan

EFS sebesar 3,7%. Secara statistik p=0,005, terdapat perbedaan yang bermakna di

antara 2 protokol yang diterapkan. Penyebab kematian tahun pertama tersebut bisa

terjadi karena efek samping dari penggunaan kemoterapi (toxic-related death)

ataupun kematian yang berhubungan dengan penyakitnya sendiri (disease-related

death) serta kualitas dari pelayanan pendukung (supportive care) termasuk

pengendalian infeksi (infection control)(Eddy Supriyadi et all. 2013).

10

Anda mungkin juga menyukai