Kita ketahui bersama bahwa pada era reformasi sampai
sekarang ini tidak ada orang pada masa kini tidak mengenal psikologi. Dimana psikologi menurut mereka telah menyentuh semua aspek kehidupan kita. Contoh yang sering kita dapatkan seperti Mulai dari bagaimana dosen mengajar kepada mahasiswanya, bagaimana cara dosen mempengaruhi mahasiswanya selain itu dalam dunia psikologi kesehatan banyak hal yang kita pelajari mulai dari apa saja yang menyebabkan gejala kejiwaan seperti gangguan stres dan gangguan kecemasan, normal dan abnormal, serta bagaimana kita berperilaku sehat dan sakit.
Singkatnya psikologi penting bagi mereka yang dalam
kehidupannya selalu berhubungan dan bersama orang lain, tentang sebab-sebab mengapa misalnya orang berfikir dan bertindak dan memberikan pandangan untuk menilai sikap dan reaksi yang anda lakukan sendiri.
Dalam psikologi kesehatan seseorang dalam berperilaku
selalu mencari bahan atau sumber demi meningkatnya kemapuan seseorang untuk dapat memperoleh, memproses dan memahami dasar informasi kesehatan sebgai contoh seseorang dalam berperilaku sehat dan sakit maka ketika dia sakit makan dia akan selalu mencari informasi pengobatan apa yang bagus nah inilah yang di katakan literasi kesehatan (health literacy). Sehingga dalam pengaplikasiannya bukan hanya pada bidang ilmu sosiologi, antropologi, biologi, ilmu alam, ilmu komunikasi, tetapi juga pada bidang ilmu kesehatan masyarakat. A. Definisi Health Literacy
Menurut (Hazana, 2017) istilah literacy atau literasi
dikenalkan sebagai kemampuan individu dalam mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, membuat, berkomunikasi, menghitung dan menggunakan bahan-bahan cetak dan tertulis terkait dengan berbagai konteks (UNESCO, 2006). Terdapat banyak definisi untuk literasi kesehatan yang sampai sekarang konsep ini masih terus berkembang. Menurut Institute of Medicine (2004) konsep literasi kesehatan adalah tingkat kemampuan individu dalam memperoleh, memproses dan mengerti suatu dasar informasi kesehatan dan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan untuk membuat suatu keputusan tepat terkait kesehatannya. Definisi tersebut menggambarkan literasi kesehatan yang menekankan pada ketrampilan masyarakat yang akan berpengaruh dalam upaya meningkatkan kesehatannya, yakni kemampuan untuk mengakses, memahami, membuat keputusan terkait penatalaksanaan kesehatan, pemilihan gaya hidup sehat, melakukan pencegahan terhadap suatu penyakit dan mencari informasi mengenai penanganan serta perawatan medis yang tepat untuk suatu penyakit. Menurut (Soemitro, 2014) health literacy diartikan sebagai sejauh mana individu dapat memperoleh, memproses, dan memahami dasar informasi kesehatan dan layanan yang mereka butuhkan untuk membuat keputusan yang tepat untuk kesehatan mereka. Health literacy merupakan hal yang mendasari pengetahuan kesehatan yang baik dan sangat berpengaruh pada perilaku pasien dalam menjalani pengobatan. Seseorang dengan health literacy yang rendah mempunyai pengetahuan yang sedikit tentang penyakit yang dideritanya serta cara pencegahan dan pengobatannya. Seseorang dengan health literacy yang tinggi mempunyai pengetahuan yang baik sehingga dimungkinkan untuk mempunyai self-care yang baik pula (Andrus dan Roth, 2002). B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Health Literacy Menurut (Hazana, 2017) faktor-faktor yang mempengaruhi health literacy adalah : 1. Usia Literasi kesehatan dapat menurun seiring dengan bertambahnya usia.Keadaan ini dikarenakan adanya penurunan kemampuan berfikir, rentang waktu yang lama sejak pendidikan terakhir dan penurunan sensoris. Penurunan fungsi kognitif tersebut akan memengaruhi pemahaman akan informasi kesehatan (Shah dkk., 2010). Penurunan kemampuan berfikir ini dapat memengaruhi pemahaman seseorang dalam membaca dan memahami informasi (Ng & Omaariba, 2010). Menurut penelitian di Isfahan Iran, seseorang dengan literasi kesehatan yang terbatas pada umumnya adalah orang dewasa yang lebih tua, imigran, buta huruf, orang-orang dengan pendapatan rendah, orang-orang dengan kesehatan mental yang rendah dan dan orang yang menderita penyakit kronis seperti diabetes tipe II dan hipertensi (Hasanzade, 2012). 2. Jenis kelamin Jenis kelamin menyatakan perbedaan pria dan wanita secara biologis,namun yang sebenarnya berperan sebagai determinan literasi kesehatan adalah karakteristik, peran, tanggung jawab dan atribut antara pria dan wanita yang dibangun secara sosial yang dikenal dengan istilah gender (WHO, 2012). Faktor-faktor yang memengaruhi perbedaan gender dalam hal risiko kesehatan adalah perbedaan biologis dan fisiologis antara pria dan wanita, perbedaan umur harapan hidup, perbedaan akses wanita dalam memperoleh mekanisme perlindungan sosial (asuransi kesehatan dan sosial), norma budaya, kepercayaan religius dan aturan keluarga serta perilaku yang menentukan peran- peran serta posisi pria dan wanita dalam masyarakat, perbedaan gender dalam tingkat pendidikan, perbedaan pendapatan antara pria dan wanita dan interaksi antara etnis, pendapatan dan gender (Buvinic, 2006). 3. Pendidikan Pendidikan dapat memengaruhi literasi kesehatan baik secara langsung maupun tak langsung. Jika dilihat secara langsung, pendidikan memengaruhi kemampuan dalam menguasai berbagai bidang dan juga memengaruhi kemampuan dalam mengumpulkan serta mengintepretasikan berbagai informasi khususnya informasi kesehatan. Kemampuan kemampuan ini pada akhirnya akan memengaruhi preferensi seseorang dalam bergaya hidup. Selain berdampak pada pembentukan pengetahuan kesehatan, pendidikan juga membentuk keahlian atau kompetensi yang dibutuhkan untuk pembelajaran kesehatan. Secara tidak langsung, pendidikan dapat memengaruhi pekerjaan serta pendapatan seseorang sehingga hal ini akan memengaruhi literasi kesehatan (Canadian Council on Learning, 2008). 4. Pekerjaan Status pekerjaan memengaruhi kemampuan ekonomi seseorang,sehingga menentukan pula kemampuan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Selain itu, dengan bekerja maka lebih besar kemungkinan bagi seseorang untuk mendapatkan jaminan kesehatan dari tempat bekerjanya. Hal ini akan memperbesar aksesnya untuk mendapatkan informasi dan pelayanan kesehatan. 5. Pendapatan Faktor ekonomi memengaruhi kemampuan seseorang untuk mendapatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan, sehingga akan memengaruhi tingkat kemampuan dalam mengakses, memahami, menilai dan mengaplikasikan informasi kesehatan (Pawlak, 2005). Penelitian yang dilakukan di beberapa negara menunjukkan keterkaitan antara pendapatan yang rendah dengan tingkat literasi kesehatan yang rendah pula (Ng & Omariba, 2010). 6. Pelayanan Informasi Obat Pelayanan kefarmasian merupakan bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (Menkes RI, 2004). Tujuan lain dari pelayanan kefarmasian adalah untuk mencegah atau mengidentifikasi dan memecahkan masalah produk obat dan masalah lain yang terkait kesehatan, yang merupakan proses perbaikan kualitas yang terus-menerus dalam penggunaan produk obat. 7. Akses Informasi Kesehatan Dalam sistem kesehatan saat ini, teknologi informasi merupakan salah satu faktor penting yang memiliki peran dalam menentukan literasi kesehatan seseorang karena setiap orang dapat mengakses berbagai informasi terutama sumber informasi kesehatan. Pada era ini teknologi informasipun berkembang secara pesat sehingga dapat memudahkan setiap orang untuk mendapatkan informasi tanpa mengenal tempat dan waktu. Internet dan media seperti televisi, radiodan majalah merupakan media yang dapat berdampak baik bagi pemahaman kesehatan namun juga terdapat bahaya yakni informasi yang diberikan tidak tepat atau berkualitas rendah karena informasi di internet tidak disaring.
C. Contoh Penerapan Health literacy
1) Health Literacy ( literasi kesehatan) a. Aplikasi penerapan health literacy menurut (Soemitro, 2014) yaitu : Sebagai contoh ada seorang pasien dari penelitian ini yang mengatakan “saya telah berhenti mengkonsumsi kopi karena setelah beberapa kali mengkonsumsi kopi saya merasa sakit kepala yang berlebihan dan ketika saya periksakan keadaan saya ke puskesmas saya mendapatkan hasil bahwa tekanan darah saya meningkat. Setelah itu saya mencoba untuk berhenti minum kopi dan hasilnya saya tidak pernah merasakan sakit kepala yang berlebihan lagi. Saya menyimpulkan sendiri bahwa kopi dapat meningkatkan tekanan darah” dan ada juga yang mengatakan “saya mendapatkan infomasi tetapi menurut saya informasi tersebut kurang benar, seperti harus minum obatnya rutin karena untuk apa kita minum obat kalau tekanan darah kita sudah normal (sembuh) atau sudah tidak merasakan pusing lagi”. b. Aplikasi penerapan health literacy menurut(Prasanti & Fuady, 2017) yaitu: Berdasarkan data yang dilansir dari www.unicef.org, penyakit diare masih merupakan penyebab utama kematian anak berusia di bawah lima tahun di Indonesia. Laporan Riskesdas 2007 menunjukkan diare sebagai penyebab 31 persen kematian anak usia antara 1 bulan hingga satu tahun, dan 25 persen kematian anak usia antara satu sampai empat tahun. Angka diare pada anak- anak dari rumah tangga yang menggunakan sumur terbuka untuk air minum tercatat 34 persen lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak dari rumah tangga yang menggunakan air ledeng, Selain itu, angka diare lebih tinggi sebesar 66 persen pada anak-anak dari keluarga yang melakukan buang air besar di sungai atau selokan dibandingkan mereka pada rumah tangga dengan fasilitas toilet pribadi. Sanitasi dan kebersihan lingkungan di Indonesia masih memprihatinkan, khususnya di kawasan desa Cimanggu yang dekat lokasinya dengan kaki gunung Burangrang. Sebagai daerah yang rawan bencana alam, masyarakat di kawasan desa Cimanggu harus memiliki literasi informasi kesehatan yang baik dalam meningkatkan kualitas sanitasi dan kebersihan lingkungannya. Berdasarkan data yang dilansir dari Riskesdas, belum optimalnya sanitasi di Indonesia ini ditandai dengan masih tingginya angka kejadian penyakit infeksi dan penyakit menular di masyarakat. Pada saat negara lain pola penyakit sudah bergeser menjadi penyakit degeneratif, Indonesia masih direpotkan oleh kasus demam berdarah, Diare, Kusta, serta Hepatitis A (Depkes RI: 2013). Menurut World Health Organization (WHO), kondisi dan perilaku sanitasi yang baik dan perbaikan kualitas air minum dapat menurunkan kasus diare yang akan mengurangi jumlah hari tidak masuk sekolah dan tidak masuk kerja hingga 8 hari pertahun atau meningkat 17% yang tentunya berdampak pada kesempatan meningkatkan pendapatan (WHO: 2013). D. Definisi Perilaku Sehat Dan Sakit Menurut (Irwan, 2017) perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang(organisme) terhadap stimulus atau obyektif yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta lingkungan (Notoatmodjo, 2007). Perilaku sehat adalah tindakan yang dilakukan individu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk pencegahan penyakit, perawatan kebersihan diri, penjagaan kebugaran melalui olah raga dan makanan bergizi. Perilaku sehat ini diperlihatkan oleh individu yang merasa dirinya sehat meskipun secara medis belum tentu mereka betul-betul sehat (Notoatmodjo, 2007; 2010), Perilaku sehat adalah suatu respon seseorang terhadap rangsangan dari luar untuk menjaga kesehatan secara utuh. Terbentuknya perilaku sehat disebabkan oleh tiga aspek antara lain yaitu:Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia yang melalui proses belajar atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimiliki. Blum menyebutkan terdapat empat pilar yang mempengaruhi derajat kesehatan seseorang, diantaranya adalah keturunan, lingkungan, pelayanan kesehatan, dan perilaku. Faktor yang paling besar pengaruhnya adalah lingkungan dan perilaku. Contoh perilaku yang dapat mempengaruhi kesehatan adalah gaya hidup dan personal hygiene (Obella & Adliyani, 2015). Pengertian sakit adalah berasa tidak nyaman di tubuh atau bagian tubuh karena menderita sesuatu (demam, sakit perut, dan lain-lain). Sakit juga merupakan gangguan dalam fungsi normal individu sebagai totalitas, termasuk keadaan organisme sebagai sistem biologis dan penyesuaian sosialnya (Parson, 1972). Sakit juga dapat disebabkan oleh beberapa hal, baik itu yang berasal dari gaya hidup yang kurang sehat, lingkungan yang tidak bersih, ataupun karena menurunnya metabolisme tubuh. (Dwi, Triyono, & Herdiyanto, 2017) E. Konsep Sehat Dan Sakit Menurut (Dwi et al., 2017) Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, ditemukan faktor-faktor yang membentuk konsep sehat dan juga sakit pada responden. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konsep sehat dan juga sakit pada responden yaitu faktor biologis, psikologis, dan sosial budaya (Sarafino & Smith, 2011). 1. Pengaruh dari faktor biologis terhadap konsep sehat dan sakit Dari faktor biologis dapat dilihat bagaimana responden menyadari penyakitnya yaitu kencing batu, responden sudah menderita sakit kencing batu tersebut selama lebih dari lima tahun, bukanlah waktu yang sebentar terlebih lagi dengan penyakit kencing batunya tersebut, namun pada awalnya responden hanya mengetahui bahwa responden terkena kencing batu dari beberapa artikel yang dibaca, dan juga saat responden melakukan percakapan dengan teman-teman seprofesi. Hal ini kemudian ditambahkan oleh significant others yang mengatakan bahwa penyakit tersebut terlihat seperti penyakit biasa, hanya panas dibagian perut saja. 2. Pengaruh faktor psikologis terhadap konsep sehat dan sakit Dari faktor psikologis, kemudian juga ditemukan konsep sehat dan sakit pada responden. Menurut Sarafino dan Smith (2011) faktor psikologis dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pengaruh dari kognisi, emosi, dan motivasi. a. Pengaruh dari sisi kognisi Kognisi merupakan aktivitas mental yang mencakup cara menerima, belajar, mengingat, berpikir, menginterpretasi, mempercayai, dan menyelesaikan masalah (Sarafino & Smith, 2011). Dari kondisi kognisi dapat dilihat bahwa responden menganggap kesehatan merupakan hal yang sangat luar biasa dan juga sulit untuk mendapatkannya, responden mengatakan bahwa kesehatan merupakan segala- galanya, sehingga bagi responden kesehatan memiliki nilai yang sangat mahal, namun hal ini mungkin saja muncul setelah responden mengalami sakit kencing batunya, hal ini dikarenakan setelah melakukan operasi responden mengatakan lebih waspada terhadap kondisi kesehatannya saat ini. Di sisi lainnya, dengan perkataan dari responden yang mengungkapkan bahwa kesehatan merupakan segalanya, responden tidak terlalu baik dalam menjaga kesehatan, seperti bekerja terlalu keras sehingga sering melupakan kondisi kesehatannya. Sarafino dan Smith (2011) mengatakan bahwa kondisi sakit tidak hanya diakibatkan oleh faktor biologis saja, namun juga bisa diakibatkan oleh perilaku dari individu. b. Pengaruh dari sisi emosi Hal ini juga bisa dilihat dari sisi emosi responden, significant others yaitu istri responden mengatakan bahwa selama masih bisa ditahan, maka responden akan menahan rasa sakitnya dan tetap melakukan aktivitasnya seperti biasanya, responden juga mempercayakan kondisi tubuhnya terhadap minuman herbal yang dikonsumsi oleh responden saat sedang mengalami kondisi sakit, namun kemudian permasalahan muncul, saat mengalami sakit responden seringkali tidak memeriksakan diri ke dokter, dan lebih memilih menggunakan pengobatan tradisional saja. Seperti yang dikatakan oleh Sarafino dan Smith (2011) bahwa emosi juga bisa mempengaruhi arah pengobatan dari seseorang. Istri responden mengatakan bahwa responden menggunakan pengobatan tradisional dikarenakan memiliki kecemasan apabila pergi ke dokter, bentuk kecemasan tersebut adalah kecemasan akan diambilnya tindakan operasi ketika penyakit dari responden telah diketahui. c. Pengaruh dari sisi motivasi Kondisi ekonomi dari responden tersebutlah yang kemudian memotivasi responden untuk tetap menggunakan pengobatan tradisional yaitu pengobatan usada untuk mengobati penyakit kencing batunya. Selama kurang lebih lima tahun responden menggunakan pengobatan usada tersebut, menggunakan obat tradisional seperti loloh dan juga boreh. Tidak hanya saat itu, bahkan setelah operasi, responden tetap menggunakan pengobatan tradisional seperti memanfaatkan daun kecibling yang kemudian direbus dan dikonsumsi untuk mencegah munculnya penyakit kencing batu tersebut. Hal ini dikarenakan responden mendapat informasi bahwa penyakit kencing batu tersebut sewaktu-waktu dapat muncul kembali, sehingga cara mencegahnya menurut responden adalah dengan menggunakan daun kecibling tersebut. Responden mengatakan selama mengkonsumsi rebusan daun kecibling tersebut maka responden tidak akan terkena penyakit kencing batu lagi. F. konsep sehat dan sakit terhadap health seeking behavior Menurut (Dwi et al., 2017) Health seeking behavior dipengaruhi oleh faktor predisposisi, pendukung, dan juga pendorong, serta adanya health system model. Faktor-faktor tersebut berupa: a. Keyakinan responden berdasarkan kepercayaan terhadap suatu pengobatan, kepercayaan responden terhadap munculnya suatu penyakit, b. kemudahan akses dalam menggunakan pengobatan usada, c. kondisi ekonomi dari responden, disamping pengobatan usada tidak membutuhkan biaya yang terlalu besar, d. faktor lingkungan, yaitu berupa informasi yang diberikan masyarakat kepada responden, sehingga membantu health seeking behavior dari responden, dan e. responden terbiasa menggunakan pengobatan usada, sehingga pengobatan usada sudah menjadi suatu kebutuhan bagi responden. Konsep sehat dan sakit yang dimiliki oleh responden berkaitan dengan munculnya health seeking behavior. Responden mempercayai bahwa kondisi sehat dan juga sakitnya dipengaruhi oleh faktor keseimbangan yang ada di lingkungannya, konsep keseimbangan tersebut dipengaruhi oleh adat serta budaya di tempat tinggal responden. Health seeking behavior pada responden juga tidak terlepas dari kebudayaan yang ada di lingkungan responden, kebudayaan tersebut kemudian terenkulturasi dengan lingkungan sekitar tempat tinggal responden, dan kondisi kehidupan responden. Enkulturasi tersebut kemudian menghasilkan proses-proses psikologis yang di dalamnya terdapat belief atau kepercayaan, terhadap kondisi sehat dan juga sakit yang kemudian mempengaruhi health seeking behavior dari responden, baik dalam penggunaan pengobatan usada maupun medis. G. Health Maintenance Daftar Pustaka Dwi, S., Triyono, K., & Herdiyanto, Y. K. (2017). KONSEP SEHAT DAN SAKIT PADA INDIVIDU DENGAN UROLITHIASIS ( KENCING BATU ) DI KABUPATEN KLUNGKUNG , BALI. Psikologi Udayana, 4(2), 263–276. Dwijayanti, Y. R., & Herdiana, I. (2011). Perilaku Seksual Anak Jalanan Ditinjau dengan Teori Health Belief Model ( HBM ). Insan, 13(2), 129– 137. Hazana, B. Tingkat Literasi Kesehatan Pada Responden Rural dan Urban di Apotek Panti Afiat dan RS PKU (2017). Irwan. (2017). Etika dan Perilaku Kesehatan. Yogyakarta: CV. ABSOLUTE MEDIA Krapyak Kulon RT 03 No. 100, Panggungharjo Sewon Bantul Yogyakarta. Japarianto, E. (2006). ANALISIS PEMBENTUKAN DISONANSI KOGNITIF KONSUMEN PEMILIK MOBIL TOYOTA AVANZA. Jurnal Manajemen Pemasaran, 1(2), 81–87. Juniati, H. L. dan C. (2016). Faktor yang pengaruhi pemilihan karir sebagai akuntan publik bagi mahasiswa pts wasta dengan pendekatan. Jurnal Akuntansi, XX(2), 202–215. Obella, Z., & Adliyani, N. (2015). The Effect of Human Behavior for Healthy Life. Majority, 4(7), 109–114. Prasanti, D., & Fuady, I. (2017). Penyuluhan Program Literasi Informasi Kesehatan dalam Meningkatkan Kualitas Sanitasi Bagi Masyarakat di Kaki Gunung Burangrang Kab.Bandung Barat. Jurnal Penganbdian Dan Pemberdayaan Masyarakat, 1(2), 129–138. Pratiwi, E. D. (2016). FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NIAT MENGGUNAKAN INSTAGRAM DENGAN THE THEORY OF REASONED ACTION MENGGUNAKAN AMOS 21. Jurnal Teknik Komputer Amik BSI, 2(1), 68–77. Soemitro, D. H. (2014). Analisis Tingkat Health Literacy dan Pengetahuan Pasien Hipertensi di Puskesmas Kabupaten Malang. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, 3(1), 1–13.