Anda di halaman 1dari 21

Referensi Artikel

HUBUNGAN KEJADIAN KARIES PADA


PASIEN DENGAN CEREBRAL PALSY

DISUSUN OLEH:

Dinannisya Fajri S. G991903013

PEMBIMBING:

Dr. Risya Cilmiaty AR, drg., MSi, Sp.KG

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR. MOEWARDI
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Referensi artikel ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan


Klinik/Program Studi Profesi Bagian Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret/RSUD Dr. Moewardi dengan judul:
Hubungan Kejadian Karies pada Pasien dengan Cerebral Palsy

Tanggal: Oktober 2019

Oleh:

Dinannisya Fajri S. G991903013

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Presentasi

Dr. Risya Cilmiaty AR, drg., MSi, Sp.KG


ii
BAB I
PENDAHULUAN

Cerebral palsy (CP) adalah kondisi gangguan perkembangan saraf yaitu


berupa gangguan gerakan dan postur permanen yang dikaitkan dengan gangguan
perkembangan non-progresif otak. Cerebral palsy dapat menyebabkan masalah
neuromuskuler dan dapat mempengaruhi kesehatan mulut dalam beberapa cara
seperti perubahan struktur orofasial, masalah makan, dan kesulitan dalam
mempertahankan kebersihan mulut. Selain itu, orang dengan CP dapat mengalami
hambatan dalam mengakses perawatan kesehatan mulut.
Beberapa penelitian terkait karies telah dilakukan pada individu yang
memiliki CP. Namun, sebagian besar studi tersebut dilakukan pada anak-anak yang
sangat terpilih (mis. anak-anak yang menghadiri klinik atau pusat rehabilitasi) dan
di negara-negara berpenghasilan tinggi. Tidak ada studi berbasis populasi terkait
karies di antara anak-anak dengan CP pada keluarga berpenghasilan rendah. Sebuah
studi dari England tidak menemukan perbedaan yang signifikan di tingkat gigi yang
lapuk, hilang, dan terisi antara anak-anak yang memiliki CP dan kelompok kontrol
anak-anak tanpa cacat. Mereka menemukan, bagaimanapun, bahwa anak-anak
dengan CP lebih banyak mengalami pembusukan daripada anak-anak tanpa cacat.
Namun, hingga saat ini, tidak ada penelitian yang berbasis populasi yang
mendefinisikan faktor risiko CP sebagai penyebab menurunnya kesehatan mulut.
Kebersihan mulut yang buruk sering disebut sebagai masalah yang
mempengaruhi status kesehatan mulut individu dengan CP. Pada penderita CP
mengalami disfungsi motorik orofacial, yang dapat menghambat kebersihan mulut
dan meningkatkan retensi biofilm pada gigi.
Faktor-faktor seperti konsistensi makanan dan disfungsi oromotor telah
dilaporkan berkontribusi pada tingginya insiden karies dan penyakit periodontal
yang ditemukan pada orang-orang dengan CP. Tingkat kerusakan motoric pada
anak-anak dengan CP diklasifikasikan oleh Gross Motor Functional Sistem
Klasifikasi (GMFCS) dan hubungannya dengan kejadian karies belum dijelaskan.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan status kesehatan
mulut dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengalaman karies gigi dari suatu
kelompok anak-anak dengan CP di pedesaan Bangladesh.

3
BAB II
ISI
KARIES
A. Definisi
Karies gigi adalah penyakit dalam rongga mulut yang diakibatkan oleh
aktivitas perusakan bakteri terhadap jaringan keras gigi (email, dentin dan
sementum) (Willems et al, 2016). Karies gigi melibatkan interaksi antara struktur
gigi, biofilm mikroba yang terbentuk pada permukaan gigi, dan gula, serta
pengaruh saliva dan genetik. Dinamika proses karies terdiri dari demineralisasi
dan remineralisasi yang terus berulang, yang apabila proses demineralisasi terjadi
dalam jangka waktu tertentu dapat membentuk lesi karies pada lokasi anatomi
tertentu pada gigi. Penting untuk menjaga keseimbangan antara faktor patologi
dan faktor protektif yang memengaruhi inisiasi dan progresi karies gigi. Faktor
protektif mendukung terjadinya remineralisasi dan berhentinya progresi lesi,
sedangkan faktor patologi menggeser keseimbangan ke arah karies dan progresi
penyakit (Pitts et al., 2017).

B. Epidemiologi Karies
Menurut WHO, karies merupakan salah satu malasah kesehatan utama
namun masih sering diabaikan, dimana 60-90% anak dan sebagian besar orang
dewasa mengalami karies gigi. Karies gigi merupakan penyakit kronis yang paling
umum terjadi pada masa kanak-kanak, dan prevalensinya diperkirakan meningkat
pada anak berusia 2-5 tahun (Pitts et al., 2017).
Penyakit mulut memiiki prevalensi yang tinggi, memengaruhi sekitar 3.9
miliar orang di seluruh dunia. Menurut hasil Riskesdas 2018, 57,6% orang
Indonesia mengalami masalah gigi dan mulut. Karies pada gigi permanen yang
tidak mendapatkan perawatan merupakan kondisi yang paling banyak terjadi
diantara semua kondisi medis, dengan prevalensi 35% pada semua usia, dengan
2,4 miliar orang yang mengalaminya. Sedangkan karies pada gigi primer yang tiak
mendapatkan perawatan pada anak menempati posisi ke 10 dair segi prevalensi,
memepengaruhi 621 juta anak di seluruh dunia (Pitts et al., 2017). Di Indonesia
karies gigi memiliki prevalensi sebesar 50–70% dengan penderita terbesar adalah
golongan balita (Departemen Kesehatan RI, 2010).

4
C. Mekanisme/ Patofisiologi Karies
Mekanisme dan patofisiologi yang mendasari terbentuknya karies gigi
dapat dipandang dari aspek yang berkaitan dengan jaringan keras (karena karies
memengaruhi jaringan gigi yang terkalsifikasi) dan juga aspek mikrobiologi
(biofilm) yang menyebabkan terjadinya proses karies apabila terjadi
ketidakseimbangan homeostatis.jaringan keras gigi yang terpajan ke lingkungan
rongga mulut. Mahkota dan akar (apabila terdapat resesi ginggiva) merupakan
target dari proses karies, dan seluruh permukaan gigi rentan mengalami karies
selama masa hidup individu. Karies merupakan penyakit yang berkaitan dengan
diet dan mikroba. Karies tidak akan terjadi apabila tidak terdapat biofilm gigi
kariogenik (patogenik) dan seringnya pajanan karbohidrat dalam diet, terutama
gula bebas. Selain itu, faktor kebiasaan, sosial, dan psikologis juga memengaruhi
penyakit ini. Karies gigi sebagian besar berkaitan dengan kebiasaan memakan
karbohidrat yang dapat difermentasi (gula seperti glukosa, fruktosa, sukrosa,
maltosa) dan higien yang buruk serta pajanan floride yang tidak adekuat (Pitts et
al., 2017)

Demineralisasi dan Reminelarisasi


Karies gigi biasanya bermula pada dan di bawah lapisan enamel, dan
merupakan akibat dari proses demineralisasi sruktur mineral kristalin dari gigi
oleh karena asam organik yang diproduksi oleh bakteri biofilm dari metablisme
karbohidrat yang dapat mengalami fermentasi dalam diet, utamanya gula.
Terdapat berbagai macam asam organik yang dapat dibentuk oleh
mikroorganisme biofilm gigi, namun yang paling predominan adalah asam laktat
sebagai produk akhir metabolisme gula, dan merupakan asam utama yang
berperan dalam proses terjadinya karies. Asam terbentuk pada biofilm, dan pH
menjadi turun hingga ke titik dimana permukaan biofilm-enamel menjadi kurang
tersaturasi, dan asam mulai mendemineralisasi lapisan permukaan gigi.
Kehilangan mineral meningkatkan porosity (kemempuan merembes), melebarkan
jarak antara kristal enamel dan melunakkan lapisan, sehingga asam dapat berfusi
lebih dalam lagi ke dalam gigi, mengakibatkan demineralisasi mineral di bawah

5
permukaan (subsurface demineralization) (Pitts et al., 2017)

Gambar 1. Anatomi gigi normal dan biofilm dental

Produk dari reaksi demineralisasi ini terutama adalah kalsium dan fosfat,
yang berasal dari disolusi atau larutnya permukaan dan subpermukaan yang
kemudian akan meningkatkan saturasi dan dapat melindungi lapisan permukaan
dari demineralisasi lebih lanjut. Selain itu, adanya fluoride dapat menghambat
terjadinya demineralisasi dari lapisan permukaan (Pitts et al., 2017)
Ketika gula telah dibersihkan dari mulut dengan cara menelan dan adanya
dilusi dari saliva, asam biofilm dapat dinetralisasi oleh sistem buffering saliva. pH
cairan biofilm kembali menjadi netral dan menjadi cukup tersaturasi oleh kalsium,
fosfat dan ion fluoride, sehingga proses demineralisasi dapat terhenti dan dapat
terjadi redeposisi mineral (remineralisasi). Karena adanya dinamika pada proses
penyakit ini, stadium awal (subklinis) dari karies dapat dikembalikan atau
dihentikan, terutama dengan keberadaan fluoride (Pitts et al., 2017)
Demineralisasi dapat berlanjut hingga subpermukaan enamel dan dentin-
pada kasus karies akar gigi. Apabila asam terus terbentuk dan pH terus menurun,
proses kehilangan mineral menjadi lebih besar terjadi pada subpermukaan
daripada di permukaan, mengakibatkan terbentuknya lesi subpermukaan. Ketika
kehilangan mineral telah mencapai jumlah tertentu, lesi akan tampak secara klinis
dapat bentuk bintik putih (white spot), yang merupakan stadium yang penting
secara klinis dalam proses karies, karna lesi ini masih dapat diperbaiki atau
dihentikan dengan memodifikasi faktor penyebab atau mengaplikasikan faktor
pelindung. Namun, proses perbaikan sebagian besar hanya terbatas pada lapisan

6
permukaan (Pitts et al., 2017)
Apabila proses karies terus berlanjut, maka dapat terbentuk mikrokavitas
pada email gigi atau pada karies akar gigi dapat terjadi perlunakan permukaan
dentin. Lesi pada permukaan mahkota gigi dapat kolaps dan menyebabkan
terbentuknya kavitas makroskopik. Bila proses karies terus berlanjut lagi, pulpa
dental dapat terganggu dan kemungkinan memerlukan tindakan berupa perawatan
saluran akar maupun ekstraksi gigi (Pitts et al., 2017)
Untuk kesehatan gigi yang optimal, penting untuk menjaga homeostasis
mineral pada permukaan gigi. Karena gigi seringkali terpajan kondisi asam dari
biofilm maupun asam dari diet, kemampuan untuk remineralisasi gigi sangatlah
penting untuk menjaga integritas gigi. Saliva juga sangat penting untuk menjaga
kesehatan gigi dngan menyediakan mineral yang diperlukan untuk remineralisasi.
Level flourida juga sangat mempengaruhi proses karies, dimana fluorida diketahui
efektif untuk mengurangi karies gigi (Pitts et al., 2017)
Karies merupaan proses penyakit yang dinamis yang melibatkan proses
demineralisasi dan remineralisasi yang berulang sepanjang hari. Gigi paling
rentan mengalami karies ketika mereka telah mengalami erupsi ke rongga mulur
dan seiring berjalannya waktu mereka menjadi lebih resisten terhadap asam. Oleh
karena itu, perlu perhatian yang lebih tinggi untuk memonitoring status karies
pada gigi dan melakukan perawatan preventif dalam periode erupsi gigi

7
Gambar 2. Peran keseimbangan faktor patologis dan protektif pada karies gigi

Gambar 3. Stadium penyakit pada survey epidemiologi

CEREBRAL PALSY
A. Definisi
Cerebral palsy adalah kerusakan jaringan otak yang kekal dan tidak progresif,
terjadi pada waktu masih muda (sejak dilahirkan) serta merintangi perkembangan
otak normal dengan gambaran klinik dapat berubah selama hidup dan menunjukkan
kelainan dalam sikap dan pergerakan, disertai kelainan neurologis berupa
kelumpuhan spastis, gangguan ganglia basal dan sebelum juga kelainan mental.
B. Klasifikasi
Cerebral Palsy dibagi menjadi 4 kelompok:
1. Tipe Spastik Atau Piramidal

8
50% dari semua kasus CP, otot-otot menjadi kaku dan lemah. Pada tipe ini
gejala yang hampir selalu ada adalah:
a. Hipertoni (fenomena pisau lipat)
b. Hiperrefleksi yang disertai klonus.
c. Kecenderungan timbul kontraktur.
d. Reflex patologis.
Secara topografi distribusi tipe ini adalah sebagai berikut:
a. Hemiplegia apabila mengenai anggota gerak sisi yang sama.
b. Spastik diplegia, mengenai keempat anggota gerak, anggota gerak atas
sedikit lebih berat.
c. Kuadriplegi, mengenai keempat anggota gerak, anggota gerak atas
sedikit lebih berat.
d. Monopologi, bila hanya satu anggota gerak.
e. Triplegi apabila mengenai satu anggota gerak atas dan dua anggota
gerak bawah, biasanya merupakan varian dan kuadriplegi.
2. Tipe Disginetik
Koreatetoid, terjadi pada 20% dari semua kasus CP, otot lengan, tungkai dan
badan secara spontan bergerak perlahan, menggeliat dan tak terkendali, tetapi
bisa juga timbul gerakan yang kasar dan mengejang. Luapan emosi
menyebabkan keadaan semakin memburuk, gerakan akan menghilang jika anak
tidur.
3. Tipe Ataksik
Terjadi pada 10% dari semua kasus CP, terdiri dari tremor, langkah yang goyah
dengan kedua tungkai terpisah jauh, gangguan koordinasi dan gerakan
abnormal.
4. Tipe Hipotonik
Terjadi hipotonis pada otot diseluruh tubuh dengan reflex yang normal atau
meningkat. Pasien mengalami kekurangan koordinasi dan ataksia, serta dapat
mengalami reatardasi mental yang berat.
5. Tipe campuran
Terjadi pada 20% dari semua kasus CP, merupakan gabungan dari 2 jenis diatas,
yang sering ditemukan adalah gabungan dari tipe spastik dan koreoatetoid.

Berdasarkan derajat kemampuan fungsional:


9
a. Ringan
Penderita masih bisa melakukan pekerjaan / aktivitas sehari-hari sehingga
sama sekali tidak atau hanya sedikit sekali membutuhkan bantuan khusus.
b. Sedang
Aktivitas sangat terbatas, penderita membutuhkan bermacam macam
bantuan khusus atau pendidikan khusus agar dapat mengurus dirinya
sendiri, dapat bergerak dan berbicara. Dengan pertolongan secara khusus,
diharapkan penderita dapat mengurus diri sendiri, berjalan atau berbicara
sehingga dapat bergerak, bergaul, hidup di tengah masyarakat dengan baik.
c. Berat
Penderita sama sekali tidak bisa melakukan aktifitas fisik dan tidak mungkin
dapat hidup tanpa pertolongan orang lain. Pertolongan atau pendidikan
khusus yang diberikan sangat sedikit hasilnya. Sebaiknya penderita seperti
ini ditampung dengan retardasi mental berat, atau yang akan menimbulkan
gangguan social-emosional baik bagi keluarganya maupun lingkungannya.

Gross Motor Function Classification System (GMFCS)


a. Derajat I
Berjalan tanpa hambatan, keterbatasan terjadi pada gerakan motorik kasar
yang lebih rumit.
b. Derajat II
Berjalan tanpa alat bantu, keterbatasan dalam berjalan di luar rumah dan di
lingkungan
c. Derajat III
Berjalan dengan alat bantu mobilitas, keterbatasan dalam berjalan di luar
rumah dan di lingkungan.
d. Derajat IV
Kemampuan bergerak sendiri terbatas, menggunakan alat bantu gerak yang
cukup canggih untuk berada di luar rumah dan di lingkungan masyarakat.
e. Derajat V
Kemampuan bergerak sendiri sangat terbatas, walaupun sudah
menggunakan alat bantu yang canggih.
C. Patofisiologi

10
Adanya malformasi pada otak, penyumbatan pada vaskuler, atropi,
hilangnya neuron dan degenerasi laminar akan menimbulkan narrower gry, saluran
sulci dan berat otak rendah. Anoxia merupakan penyebab yang berarti dengan
kerusakan otak, atau sekunder dari penyebab mekanisme yang lain. CP (Cerebral
Palsy) dapat dikaitkan dengan premature yaitu spastic displegia yang disebabkan
oleh hypoxic infarction atau hemorrhage dalam ventrikel.
Tipe athetoid / dyskenetik disebabkan oleh kernicterus dan penyakit
hemolitik pada bayi baru lahir, adanya pigmen berdeposit dalam basal ganglia dan
beberapa saraf nuclei cranial. Selain itu juga dapat terjadi bila gangsal banglia
mengalami injury yang ditandai dengan idak terkontrol; pergerakan yang tidak
dosadari dan lambat. Type CP himepharetic, karena trauma pada kortek atau CVA
pada arteri cerebral tengah. Cerebral hypoplasia; hipoglicemia neonatal
dihubungkan dengan ataxia CP.
Spastic CP yang paling sering dan melibatkan kerusakan pada motor korteks
yang paling ditandai dengan ketegangan otot dan hiperresponsif. Refleks tendon
yang dalam akan meningkatkan dan menstimulasi yang dapat menyebabkan
pergerakan sentakan yang tiba-tiba pada sedikit atau semua ektermitas. Ataxic CP
adanya injury dari serebelum yang mana mengatur koordinasi, keseimbangan dan
kinestik. Akan tampak pergerakan yang tidak terkoordinasi pada ekstremitas aras
bila anak memegang / menggapai benda. Ada pergerakan berulang dan cepat
namun minimal. Rigid / tremor / atonic CP ditandai dengan kekakuan pada kedua
otot fleksor dan ekstensor. Type ini mempunyai prognosis yang buruk karena ada
deformitas multiple yang terkait dengan kurangnya pergerakan aktif. Secara umum
cortical dan antropy cerebral menyebabkan beratnya kuadriparesis dengan
retardasi mental dan microcephaly.
D. Gejala
Gejala biasanya timbul sebelum anak berumur 2 tahun dan pada kasus yang
berat,bisa muncul pada saat anak berumur 3 bulan.
Gejalanya bervariasi,mulai dari kejanggalan yang tidak tampak nyata sampai
kekakuan yang berat,yang menyebabkan bentuk lengan dan tungkai sehingga anak
harus memakai kursi roda. Gejalanya selalu mengiringi tipe dari cerebral palsy.
Gejala lain yang mungkin muncul adalah :
• Kecerdasan dibawah normal
• Keterbelakangan mental
11
• Kejang/epilepsy (trauma pada tipe spastik)
• Gangguan menghisap atau makan
• Pernafasan yang tidak teratur
• Gangguan perkembangan kemampauan motorik (misalnya menggapai
sesuatu, duduk , berguling ,merangkak , berjalan)
• Gangguan berbicara (disatria)
• Gangguan penglihatan
• Gangguan pendengaran
• Kontraktur persendian
• Gerakan menjadi terbatas

BAHAN DAN METODE PENELITIAN


1. Desain studi
Studi ini adalah bagian dari studi Bangladesh CP Register (BCPR). BCPR
adalah salah satu lembaga berbasis populasi pertama dalam LMIC dan telah
beroperasi sejak Januari 2015. BCPR membawahi daerah di bagian utara
Bangladesh (mis. Kecamatan Shahjadpur) dengan total populasi 561.076 (populasi
anak sekitar 226.114) dan diperkirakan terdapat 70.998 rumah tangga. Rincian
populasi penelitian dan strategi perekrutan telah dijelaskan sebelumnya. Untuk
subjek penelitian adalah anak-anak dengan CP yang berusia kurang dari 18 tahun.
Selama Januari sampai Juni 2015, sebanyak 299 anak-anak dengan CP terdaftar
dalam BCPR. Metode pengambilan sampel diterapkan secara acak dan sistematis
dalam pemilihan subyek. Langkah-langkah berikut digunakan dalam memilih
sampel:
(1) Menentukan populasi: anak-anak dengan CP terdaftar dengan berbasis
populasi pada BCPR (n = 299).
(2) Memilih ukuran sampel: 90 anak-anak dengan CP dipilih untuk studi
kesehatan mulut karena keterbatasan anggaran dan juga untuk penilaian
kesehatan mulut yang lebih terperinci. Apalagi karena terdapat kekurangan
data kesehatan mulut anak-anak dengan CP dari LMIC, ukuran sampel (n
= 90) setidaknya dapat mencerminkan pola penyakit pada populasi
tersebut.
(3) Menghasilkan sampel secara acak: perangkat lunak MS Excel (Microsoft,
Redmond, WA, USA) digunakan untuk menghasilkan daftar sampel yang
12
dipilih secara acak (n = 90) dari pengambilan sampel (mis. BCPR, n = 299).

Studi ini disetujui oleh Australia by the Cerebral Palsy Alliance NHMRC
Human Research Ethics Committee (Ref no. 2015–03–02), dan oleh Bangladesh by
the Asian Institute of Disability and Development (AIDD) Human Research Ethics
(southasia-irb-2014-l-01) dan Bangladesh Medical Research Council (BMRC)
HREC (BMRC / NREC / 2013-2016 / 1267). Informed consent diperoleh dari wali
dewasa dan atau pengasuh utama anak-anak dengan CP.

2. Asesmen Klinis
Data pada variabel penilaian klinis (mis. Klasifikasi neurologis, keparahan
motorik) didapat dari basis data oleh BCPR. Anak-anak dengan CP diidentifikasi
dari masyarakat menggunakan Metode Kunci Informan, dan pemeriksaan
neurologis dilakukan oleh dokter anak yang terlatih.
Dilakukan juga pendataan tipologis dan GMFCS pasien. GMFCS hanya
mencerminkan kemampuan motoric dan kapasitas fungsional anak, sedangkan
klasifikasi topologi memberikan informasi lebih rinci mengenai defisit neurologis.
Klasifikasi neurologis pada CP dilakukan oleh dokter anak dengan klasifikasi
berupa spastik, diskinetik atau ataksik. Spastisitas selanjutnya diklasifikasikan
menjadi mono/hemiplegia, diplegia, triplegia, dan quadriplegia. Fungsi motorik
anak-anak dinilai menggunakan system klasifikasi lima tingkat yaitu GMFCS.
Anak-anak yang mandiri diklasifikasikan dalam GMFCS level I atau II,
anak-anak yang membutuhkan alat bantu mobilitas untuk berjalan diklasifikasikan
dalam GMFCS level III, dan anak yang menggunakan kursi roda diklasifikasikan
pada GMFCS level IV dan V. Usia kehamilan pasien saat lahir diklasifikasikan
sebagai bayi yang lahir aterm (≥37 minggu) dan bayi lahir prematur (<37 minggu).
Bayi lahir prematur selanjutnya dimasukan ke subkategori sesuai usia kehamilan:
35 hingga 36 minggu; 30 hingga 34 minggu; dan kurang dari 30 minggu.Usia
kehamilan dicatat sebagai bagian dari penilaian / pendaftaran BCPR karena
prematuritas adalah satu dari penyebab yang umum dari CP.
3. Asesmen Kesehatan Mulut
Proses kalibrasi melibatkan dua tahap: satu teoretis dan satu klinis. Dua
dokter gigi umum (RA dan RR) berpartisipasi dalam tahap teoritis untuk
mendiagnosis karies gigi (dmft / DMFT) dan kesehatan periodontal (Indeks
13
Periodontal Komunitas, CPI), dan dokter gigi penguji (RR) dilatih untuk melakukan
penilaian kesehatan mulut. Penelitian itu kemudian dilakukan dalam dua fase:
dalam fase 1, pemeriksa terlatih (RR) memeriksa 10 anak yang dipilih secara acak
dengan CP (kurang-lebih sepersepuluh dari sampel lengkap) dan melakukan
penilaian dmft / DMFT Pada fase 2, 1 bulan kemudian, pemeriksa kembali
memeriksa 10 anak yang sama dan kembali mencatat dmft / DMFT. Kuisioner yang
lengkap dan reliabilitas intra-pemeriksa dihitung dengan weighted kappa. Kekuatan
kesepakatan sangat baik dan nilai numerik kappa adalah 0,90. Pemeriksaan
dilakukan di sekolah dasar setempat atau LSM. Untuk melakukan pemeriksaan
lisan, dokter gigi menggunakan lampu kepala LED 250-lumen, cermin gigi datar,
probe periodontal (CPI), pembuka mulut, spatula kayu, dan kain kasa.
Status kesehatan mulut dievaluasi menggunakan 2013 Kriteria WHO untuk
karies dan mengidentifikasi gigi desidua yang rusak, hilang, dan tambalan (dmft)
serta gigi permanen yang rusak, hilang, dan tambal (DMFT). Nilai keseluruhan
dmft dan DMFT dievaluasi secara terpisah dan bersama-sama dengan jumlah d +
m + f + D + M + F. Keparahan karies gigi dinyatakan berdasarkan klasifikasi yaitu
dmft + DMFT = 0 yang berarti 'bebas karies' dan dmft + DMFT> 0 yang berarti
‘terdapat karies'. Dalam pemeriksaan klinis intraoral, data berikut juga
dikumpulkan: CPI untuk enam indeks gigi diklasifikasikan sebagai CPI 0 = sehat;
CPI 1 = perdarahan; CPI 2 = kalkulus; CPI 3 = kedalaman poket 3–5mm; dan CPI
4 = kedalaman saku> 5mm.

4. Prosedur
Formulir pengumpulan data berisi demografi (misal usia, jenis kelamin, BMI,
tingkat pendidikan pengasuh), diet (mis. konsistensi makanan, jumlah camilan dll.),
dan perilaku kebersihan mulut (mis. frekuensi menyikat gigi, penggunaan
pembersihan gigi perangkat dan bahan, jumlah kunjungan gigi, dll.). BMI dihitung
dari tinggi dan berat badan anak. Tinggi dan berat dikumpulkan sebagai bagian dari
penilaian / pendaftaran BCPR untuk mengevaluasi status gizi anak-anak. Untuk
menilai konsistensi diet (mis. Padat, semi padat, dan cair) untuk anak dengan CP,
setiap pengasuh diminta mengidentifikasi mana dari tiga konsistensi diberikan
sebagai diet utama.

5. Analisis statistik
14
Data diolah menggunakan SPSS (Paket Statistik untuk Ilmu Sosial, versi 22.0 untuk
windows; SPSS Inc., Chicago, IL, AS). Ukuran kecenderungan sentral (Rata-rata)
dan dispersi (SD) digunakan untuk DMFT dan dmft untuk menandai pengalaman
karies setiap peserta. Hubungan antara kejadian karies (dmft + DMFT> 0) dan
faktor lain (usia, jenis kelamin, IMT, pendidikan), tingkat gangguan motorik, CPI,
kebersihan mulut, kemampuan pengunyahan, dan camilan di antara waktu makan
dinilai menggunakan tes chi square. Analisis regresi logistik biner digunakan dan
disesuaikan berdasarkan usia dan jenis kelamin. Odds ratios (ORs) dan interval
kepercayaan 95% (CI) dihitung dari model. Tingkat signifikansi ditetapkan pada p
<0,050.

HASIL
Sebanyak 90 anak-anak dengan CP terdaftar dalam penelitian ini (usia rata-rata 9
tahun 7 bulan, kisaran 2-17 tahun), di antaranya 37,8% perempuan dan 62,2% adalah laki-
laki. Hasil menunjukkan bahwa proporsi anak-anak dengan kejadian karies (dmft +
DMFT> 0) meningkat sekitar 35% pada usia 2-6 tahun hingga sekitar 70% pada anak usia
7 hingga 11 tahun (p = 0,014), dan turun menjadi sekitar 42% pada usia 12-17 tahun (Tabel
I).

15
Tabel 1.
Dalam analisis bivariat, seorang anak yang memiliki ayah dengan pendidikan dasar
sebagai pengasuh mengakibatkan kejadian karies anak yang lebih tinggi bila dibandingkan
dengan anak-anak dari pengasuh yang memiliki pendidikan menengah keatas.
Menggunakan tes chi square, perbedaan signifikan secara statistic (p = 0,001) untuk
kejadian karies (dmft + DMFT> 0) dengan frekuensi pembersihan (kurang dari satu kali /
hari), penggunaan alat pembersih gigi (jari atau miswak [mengunyah ranting dari pohon
kurma]), bahan pembersih gigi (serbuk atau arang), kemampuan pengunyahan sesuai
dengan konsistensi diet (hanya diet cair), camilan di antara waktu makan (satu kali atau
lebih / hari), dan memiliki CPI 1 - 2.
Tabel SI (online supporting information) merangkum nilai rata-rata (SD) dmft /
DMFT pada anak dengan CP. Rata-rata skor kejadian karies pada gigi susu dan gigi (dmft
16
dan DMFT) untuk anak-anak adalah 2,46 (3,75) dan 0,72 (1,79). Nilai rata-rata (standar
deviasi [SD]) dari gabungan kejadian karies (dmft + DMFT) adalah 3,18 (4,58).
Individu dengan quadriplegia spastik menunjukkan kejadian karies yang lebih
tinggi dibandingkan dengan sub-tipe lainnya (92,9% dan 45,3%, p = 0,011 masing-masing,
Tabel II). Data disajikan untuk kelima level GMFCS; Namun, dikarenakan jumlah anak di
level IV dan V kecil, data kemudian dikelompokkan untuk penggabungan hasil analisis
dari level I, II, dan III menjadi satu kelompok, dan level IV dan V. Analisis bivariat
menunjukkan secara statistik perbedaan signifikan (p = 0,001) antara kedua kelompok
Level GMFCS (I-III dan IV-V) dengan pengalaman karies (41,8% dan 82,6% masing-
masing). Tidak ada perbedaan signifikan diamati antara usia kehamilan anak-anak dan
Pengalaman karies dalam penelitian ini.

Tabel 2.
Analisis regresi logistik menunjukkan klasifikasi GMFCS level IV dan V memiliki
kejadian karies yang lebih tinggi (atau 5,81, p = 0,035; Tabel SII, informasi pendukung
online). Prevalensi kejadian karies lebih tinggi pada individu yang membersihkan giginya
kurang dari satu kali per hari dari pada mereka yang membersihkan gigi mereka setidaknya
satu kali / hari (p = 0,016). Kejadian karies sekitar 6,4 kali lebih tinggi pada individu yang

17
menggunakan alat bantu kebersihan mulut seperti bubuk atau arang dibandingkan dengan
mereka yang menggunakan fluoride pasta gigi (p = 0,015), dan kira-kira 6,0 kali lebih besar
pada individu yang ngemil setidaknya satu kali / hari antara waktu makan (p = 0,012)
dibandingkan pada mereka yang tidak ngemil di antara waktu makan.

DISKUSI
Studi ini mengevaluasi prevalensi dan faktor yang terkait dengan kejadian karies
pada anak-anak Bangladesh dengan CP. Penelitian ini adalah penelitian pertama yang
menunjukkan pengaruh kebersihan mulut dan faktor-faktor lain seperti diet dan
kemampuan mengunyah dengan kejadian karies gigi pada anak-anak dengan CP. Penelitian
ini menunjukkan bahwa anak-anak dengan kekurangan fungsional (yaitu mereka yang
berada di GMFCS level IV-V) memiliki kejadian karies yang lebih besar, jika
dibandingkan dengan mereka yang memiliki CP lebih fungsional (GMFCS level I-III).
Dalam penelitian ini, kejadian karies (dmft + DMFT> 0) yang ditemukan di antara
anak-anak dengan CP di Bangladesh memiliki rata-rata (mean) 3,18. Studi sebelumnya di
Bangladesh menunjukkan bahwa rata-rata skor kejadian karies (dmft) untuk anak-anak
tanpa penyakit sistemik adalah 1,1 untuk anak-anak berusia 6 tahun dan 1,72 untuk anak-
anak berusia 8-12 tahun, sedangkan anak-anak dengan CP mengalami skor yang lebih
tinggi yaitu rata-rata 2,46 (3,75). Hasil penelitian ini juga menunjukkan frekuensi karies
lebih tinggi bila dibandingkan dengan data dari survei epidemiologi di Brasil.
Persentase kejadian karies pada kelompok spastik quadriplegia lebih tinggi
daripada mereka dengan sub-tipe spastik lainnya (92,9% vs 45,3%). Di dalam penelitian,
anak-anak dengan GMFCS level IV hingga V menunjukkan 5,81 kali kejadian karies gigi
yang lebih tinggi daripada anak-anak dengan GMFCS level I hingga III. Nielsen
menemukan skor yang lebih rendah pada permukaan gigi yang lapuk, hilang, dan terisi di
Denmark pada anak-anak yang memiliki CP dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Sebaliknya, penelitian di Brasil ditemukan skor yang lebih tinggi secara signifikan pada
permukaan gigi yang lapuk, hilang, dan terisi pada anak-anak yang menderita CP jika
dibandingkan dengan kelompok kontrol anak-anak yang tidak memiliki disabilitas.
Penelitian dari studi lain menyatakan bahwa anak-anak dengan CP memiliki insidensi
kejadian plak, sisa makanan yang lebih tinggi daripada kelompok kontrol, yang dapat
menjelaskan semakin tinggi tingkat kejadian karies.
Kariogenisitas makanan dikaitkan dengan keberadaan karbohidrat terfermentasi
dan gula. Penelitian ini menemukan adanya hubungan frekuensi ngemil lebih dari satu
18
waktu / hari dengan kejadian karies gigi. Asupan gula adalah faktor risiko penting untuk
terjadinya karies gigi. Lebih dari seperempat pasien (42,2%) dalam penelitian ini memiliki
diet non-padat sebagai makanan utama mereka, dan sebagian besar pengasuh tidak dapat
mengidentifikasi adanya gula dalam makanan ini. Asupan gula tinggi dengan kebutuhan
khusus pasien telah dilaporkan di Brazil dan studi internasional lainnya. Frekuensi paparan
dibedakan dengan masing-masing diet; misalnya, diet cair lebih cepat dicerna dan
kemungkinan akan diberikan lebih sering.
Hubungan yang signifikan antara kejadian karies dan frekuensi pembersihan gigi
menunjukkan bahwa peserta yang membersihkan giginya kurang dari satu kali / hari
mengalami lebih banyak karies daripada mereka yang membersihkan setidaknya satu kali
/ hari. Menyikat dua kali sehari ditemukan hanya dalam 19 dari 90 anak-anak dari
kelompok CP. De Camargo dan Antunes menemukan bahwa kebersihan mulut dilakukan
oleh pengasuh kurang dari tiga kali sehari dan 85% tidak membersihkan gigi anak-anak
mereka di malam hari. Menjaga kebersihan mulut pada individu dengan CP setiap harinya
sangat sulit bagi pengasuh, terutama jika anak mereka memiliki patologis refleks menggigit
yang persisten.
Menurut hasil analisis regresi logistic (OR 6,4, p = 0,015), faktor risiko penting
penyebab karies pada anak-anak dengan CP adalah penggunaan bubuk atau arang sebagai
bahan pembersih gigi daripada pasta gigi fluoride. Dalam penelitian kami, hanya 36,8%
dari peserta sering menggunakan sikat gigi, 78,8% menggunakan jari mereka atau
membersihkan gigi. Temuan ini menekankan pada pentingnya perawatan gigi profesional
untuk pasien dengan CP dan pelatihan untuk pengasuh mereka. Idealnya, menjaga
kebersihan mulut seorang individu harus dirancang untuk setiap pasien termasuk
memodifikasi perilaku kebersihan mulut dalam hal frekuensi, teknik penentuan posisi
alternatif, dan penggunaan alat bantu, seperti alat peraga mulut, penahan benang, sikat gigi
engan gagang besar, atau sikat gigi listrik dan penggunaan pasta gigi fluoride.

19
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Data kami menunjukkan bahwa anak-anak dengan populasi yang memiliki
gangguan motorik fungsional yang lebih parah mungkin memiliki risiko lebih
tinggi mengalami karies gigi, yang bisa jadi dikaitkan dengan kesulitan dalam
melakukan kebersihan mulut yang memadai. Upaya harus dilakukan untuk
meningkatkan pelatihan dan organisasi perawatan gigi preventif serta
memilih diet yang tepat, memodifikasi perilaku kebersihan mulut, dan
mempromosikan kesehatan gigi dari populasi yang ditantang ini.

B. SARAN

20
DAFTAR PUSTAKA

Akhter, Rahena et al. 2016. Risk factors for dental caries among children with cerebral
palsy in a low-resource setting. Correspondence to Rahena Akhter at Faculty of
Dentistry, The University of Sydney, C24 Westmead Hospital, Level 1 WCOH,
Westmead, NSW 2145, Australia.
Departemen Kesehatan RI. 2010. Profil Kesehatan Indonesia 2010.
http://www.depkes.go.id/downloads/PROFIL_KESEHATAN_INDONESIA_201
0.pdf
Ngastiyah, 2000, Keperawatan anak sakit, Jakarta : EGC
Pitts NB, Zero DT, Marsh PD, Ekstrand K, Weintraub JA, Ramos-Gomez F, Tagami J, et
al. 2017. Dental Caries. Nat. rev. Dis. Primers 3, 17030.

21

Anda mungkin juga menyukai