Singkatnya, ikhlas adalah seseorang beribadah dengan niat mendekatkan diri kepada Allah,
mengharapkan pahala-Nya, takut terhadap siksa-Nya dan ingin mencari ridha-Nya. Dzun Nun al-
Mishriy rahimahullah berkata: “Tiga tanda keikhlasan adalah: (1) Seimbangnya pujian dan
celaan orang-orang terhadapnya, (2) Lupa melihat amal dalam beramal, (3) Dan mengharapkan
pahala amalnya di akhirat.” (Redaksi, www.khotbahjumat.com)
***
Mari kita tingkatkan ketakwaan kepada Allah Ta’ala dengan ketakwaan yang sebenar-benarnya,
yaitu mengamalkan apa yang diperintahkan oleh-Nya dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam serta menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi kita Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, kemudia keluarga, sahabat-sahabatnya, serta pengikutnya sampai akhir zaman.
Sesungguhnya tujuan utama agama Islam adalah agar manusia beribadah kepada Allah Ta’ala
dengan ikhlas. Allah Ta’ala berfirman:
َو َمآ أ ُ ِم ُر ْوآ ِإالَّ ِليَ ْعبُد ُْوهللااَ ُم ْخ ِل ِص ْي َن لَهُ ال ِ ِّد ْي َن
Dan mereka tidaklah diperintahkan kecuali agar beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan
ketaatan kepada-Nya (QS. Al Bayyinah: 5).
Lalu apa yang dimaksud dengan keikhlasan.
Ikhlas secara bahasa artinya memurnikan sesuatu dan membersihkannya dari campuran. Secara
istilah, ada beberapa ta’rif, di antaranya adalah:
Ikhlas adalah penyucian niat dari seluruh noda dalam mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Noda di sini misalnya mencari perhatian makhluk dan pujian mereka.
Ikhlas adalah pengesaan Allah Ta’ala dalam niat dan ketaatan.
Ikhlas adalah melupakan perhatian makhluk dan selalu mencari llah Ta’ala. antaranya
adalah: ya dari campuran. perhatian al-Khaliq.
Ikhlas adalah seorang berniat mendekatkan diri kepada Allah dalam ibadahnya.
Ikhlas adalah samanya perbuatan seorang hamba antara yang nampak dan yang tersembunyi.
Singkatnya, ikhlas adalah seseorang beribadah dengan niat mendekatkan diri kepada Allah,
mengharapkan pahala-Nya, takut terhadap siksa-Nya dan ingin mencari ridha-Nya.
Dzun Nun al-Mishriy rahimahullah berkata: “Tiga tanda keikhlasan adalah: (1) Seimbangnya
pujian dan celaan orang-orang terhadapnya, (2) Lupa melihat amal dalam beramal, (3) Dan
mengharapkan pahala amalnya di akhirat.”
Kedudukan Ikhlas
Ikhlas adalah asas keberhasilan dan keberuntungan di dunia dan akhirat. Ikhlas bagi amal ibarat
pondasi bagi sebuah bangunan dan ibarat ruh bagi sebuah jasad, di mana sebuah bangunan tidak
akan dapat berdiri kokoh tanpa pondasi, demikian juga jasad tidak akan dapat hidup tanpa ruh.
Oleh karena itu, amal shalih yang kosong dari keikhlasan akan menjadikannya mati, tidak
bernilai serta tidak membuahkan apa-apa, atau dengan kata lain “wujuuduhaa ka’adamihaa”
(keberadaannya sama seperti ketidakadaannya).
Ikhlas juga merupakan syarat diterimanya amal di samping sesuai dengan sunah. Allah ‘Azza wa
Jalla berfirman dalam hadis Qudsi:
َ ع َمالً أَش َْر َك فِي ِه َم ِعى
غ ْي ِرى َ ش ِّْر ِك َم ْن ع َِم َل ِ أَنَا أ َ ْغنَى الش َُّرك
ِ َاء ع َِن ال
ُش ْر َكه
ِ ت َ َر ْكتُهُ َو
“Aku sangat tidak butuh sekutu, siapa saja yang beramal menyekutukan sesuatu dengan-Ku,
maka Aku akan meninggalkan dia dan syirknya.” (HR. Muslim).
Tempat Ikhlas
Ikhlas tempatnya di hati. Saat hati seseorang menjadi baik dengan ikhlas, maka anggota badan
yang lain ikut menjadi baik. Sebaliknya, jika hatinya rusak, misalnya oleh riya’, sum’ah,
hubbusy syuhrah (agar dikenal), mengharapkan dunia dalam amalnya, ‘ujub (bangga diri) dsb.
maka akan rusaklah seluruh jasadnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َ َسدَتْ ف
َ س َد ا ْل َج
ُس ُد ُكلُّه َ َ َو ِإذَا ف، ُس ُد ُكلُّه
َ صلَ َح ا ْل َج َ ِإذَا.
َ ْصلَ َحت
“Apabila hati menjadi baik, maka akan baik pula seluruh jasadnya, dan apabila hati menjadi
rusak, maka akan rusak seluruh jasadnya.” (HR. Bukhari-Muslim)
Seseorang dituntut untuk berniat ikhlas dalam seluruh amal shalihnya, baik shalatnya, zakatnya,
puasanya, jihadnya, amar ma’ruf dan nahi munkarnya, serta amal shalih lainnya, termasuk
belajarnya. Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Janganlah kalian belajar agama karena tiga
hal; agar dapat mengalahkan orang-orang tidak tahu, agar dapat mendebat para fuqaha’ dan agar
perhatian orang-orang beralih kepada kalian. Niatkanlah dalam kata-kata dan perbuatan kalian
untuk memperoleh apa yang ada di sisi Allah, karena hal itu akan kekal, adapun selainnya akan
hilang.”
laa ilaaha illallah, maka Allah akan mengharamkan neraka baginya. Seorang yang mengikuti
ucapan muadzin dengan ikhlas, maka Allah akan memasukkannya ke surga. Seorang yang
menuntut ilmu agama dengan ikhlas, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.
Seorang yang ikhlas menjalankan puasa, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah
lalu. Bahkan perbuatan mubah akan menjadi berpahala dengan keikhlasan. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Allah, kecuali kamu akan diberikan pahala terhadapnya sampai dalam suapan yang kamu
HR. Bukhari-Muslim)( ”.masukkan ke dalam mulut istrimu
Perhatikanlah kisah tiga orang yang bermalam di sebuah gua, lalu jatuh sebuah batu
besar menutupi gua tersebut, sehingga mereka tidak bisa keluar. Masing-masing mereka berdoa
kepada Allah dengan menyebutkan amal shalih yang mereka kerjakan dengan ikhlas, akhirnya
Allah menyingkirkan batu tersebut dari gua, hingga mereka semua bisa keluar. Ini sebuah contoh
buah dari keikhlasan.
Sebaliknya, jika amal shalih dikerjakan atas dasar niat yang tidak ikhlas, bukan mendapatkan
pahala, bahkan mendapatkan siksa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya orang yang pertama kali diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati
syahid. Ia pun dihadapkan, lalu Allah mengingatkan kepadanya nikmat-nikmat-Nya, ia pun
mengingatnya, kemudian ditanya, “Kamu gunakan untuk apa nikmat itu?” Ia menjawab, “Aku
(gunakan untuk) berperang di jalan-Mu hingga aku mati syahid”, Allah berfirman, “Kamu
dusta, sebenarnya kamu berperang agar dikatakan sebagai pemberani dan sudah dikatakan
demikian”, kemudian Allah memerintahkan orang itu agar dibawa, lalu ia diseret dalam
keadaan telungkup kemudian dilempar ke neraka. (Kedua) seorang yang belajar agama,
apa nikmat itu?” Ia menjawab, “Aku (gunakan untuk) mempelajari agama, mengajarkannya dan
membaca Alquran karena Engkau”, Allah berfirman: “Kamu dusta, sebenarnya kamu belajar
agama agar dikatakan orang alim, dan membaca Alquran agar dikatakan qaari’, dan sudah
dikatakan”, kemudian Allah memerintahkan orang itu agar dibawa, lalu ia diseret dalam
rezekinya dan diberikan kepadanya berbagai jenis harta, ia pun dihadapkan, lalu Allah
gunakan untuk apa nikmat itu?” Ia menjawab, “Tidak ada satu pun jalan, di mana Engkau suka
dikeluarkan infak di sana kecuali aku keluarkan karena Engkau”. Allah berfirman, “Kamu
dusta, sebenarnya kamu lakukan hal itu agar dikatakan sebagai orang yang dermawan dan
sudah dikatakan”, kemudian Allah memerintahkan orang itu agar dibawa, lalu ia diseret dalam
keadaan telungkup kemudian dilempar ke neraka.” (HR. Muslim).
Seorang menambahkan lagi ketaatannya ketika dipuji, atau mengurangi bahkan meninggalkan ketaatan ketika
dicela.
Seseorang beramal shalih dan berakhlak mulia agar dicintai orang-orang, diperlakukan secara baik dan mendapat
tempat di hati mereka. Jika hal itu tidak tercapai, ia pun berat sekali melakukannya.
Seseorang bersedekah karena ingin dilihat orang, jika tidak ada yang melihatnya, ia tidak mau bersedekah.
Ibnu Rajab berkata, “Dan termasuk penyakit riya’ yang tersembunyi adalah bahwa seseorang terkadang
merendahkan dirinya, di hadapan manusia, mengharap dengan itu agar manusia melihat bahwa dirinya adalah
seorang tawadhu’, sehingga terangkat kedudukannya di sisi mereka dan mendapat pujian dari mereka..”
Seorang yang berjihad agar ia terbiasa perang.
علَى َ أ َ ْح َم ُد ُه تَعَالَى،الر ِح ْي ِم الغَفَّ ِار َ ،اح ِد القَ َّه ِار َ ِاَل َح ْم ُد ِ ِّلِل
ِ الو
ش َه ُد أ َ ْن َّال إِلَهَ إِ َّالْ َ َوأ،علَى نِعَ ِم ِه ال ِغ َز ِار َ ُشك ُُره ْ َ َوأ،المد َْر ِار
ِ ض ِل ِه ْ َف
ً ش َه ُد أ َ َّن نَ ِبيَّنَا ُم َح َّمدا
ْ َ َوأ،ارُ َّهللاا َو ْح َدهُ َال ش َِر ْي َك لَهُ العَ ِز ْي ُز ال َجب
علَى آ ِل ِه َ علَ ْي ِه َو َ ُصلَّى هللاا َ ،ص َطفَى ال ُم ْختَار ْ س ْولُهُ ال ُم ُ ع ْب ُدهُ َو َر َ
َو َم ْن،ص َحابُهُ األ َ ْخيَ ِار ْ َ َوأ، َو ِإ ْخ َو ِن ِه األ َ ْب َر ِار،ال َط ِيِّ ِب ْي َن األ َ ْط َهار
ب اللَ ْي َل َوالنَّ َهار ُ ِان َما تُعَاق ٍ س َ ت َ ِبعَ ُه ْم ِب ِإ ْح
Jamaah Jumat yang dirahmati Allah
Manusia ketika beramal shalih memiliki motivasi yang beragam, hal ini perlu kita ketahui bukan
untuk mengoreksi pribadi orang lain, akan tetapi kita muhasabah, kita koreksi diri kita masing-
masing.
Ada yang beramal shalih, niatnya murni riya’, seperti orang-orang munafik. Di mana, amal yang dilakukan tidak
lain agar mendapatkan perhatian dari orang lain. Amalan ini sia-sia.
Seorang yang beramal shalih, niat asalnya karena Allah bercampur riya’ dari awal hingga akhirnya. Nas-nas yang
shahih menunjukkan bahwa amalnya juga sia-sia.
Seorang yang beramal shalih, niat asalnya ikhlas lillah, namun kedatangan riya’ di tengah-tengahnya. maka dalam
hal ini ada dua keadaan:
1. Awal ibadah dan akhirnya terpisah, maka yang awalnya sah dan yang terakhirnya sia-sia.
10.000, yang pertama ikhlas lillah, namun 10.000,- sisanya karena riya’. Maka yang pertama
sah, sedangkan yang kedua sia-sia.
2. Awal ibadah dengan akhirnya menyatu. Dalam hal ini ada dua keadaan juga:
1. Riya’ yang datang tiba-tiba dilawannya, kemudian berhasil disingkirkan. Maka amal shalihnya tetap sah.
b. Riya’ yang datang tiba-tiba dibiarkannya, akhirnya dirinya terbawa oleh riya’ tersebut. Maka
dalam hal ini amalnya sia-sia.
Obat Riya’
Di antara sebab timbulnya riya’ adalah karena lemahnya keimanan dan karena kebodohan. Oleh
karena itu, ketika iman lemah, seseorang mudah berbuat maksiat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
َ ب ا ْل َخ ْم َر ِح
ين ُ َوالَ يَش َْر، ين يَ ْز ِنى َو ْه َو ُم ْؤ ِم ٌن
َ الزا ِنى ِح َّ الَ يَ ْز ِنى
ب َو ْه َو ُم ْؤ ِم ٌن
ُ يَش َْر،
“Tidaklah berzina seorang pezina ketika dia sedang berzina sedang dia seorang mukmin, dan
tidaklah ia meminum khamr ketika dia sedang meminumnya sedang dia mukmin.” (HR. Bukhari)
Demikian juga, seseorang tidaklah berbuat kemaksiatan kecuali karena ia jahil (bodoh), Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Segala maksiat itu bersumber pada kebodohan, dan seandainya
manusia mengetahui ilmu yang bermanfaat niscaya ia tidak melakukan maksiat.” Selanjutnya
beliau berkata ketika menafsirkan ayat:
إِنَّ َما يَ ْخشَى هللااَ ِم ْن ِعبَا ِد ِه ا ْلعُلَ َماؤُا
Sesungguhnya hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah ulama (QS. Al Fathir: 28).
“Setiap orang takut kepada Allah dan taat kepada-Nya serta tidak memaksiati-Nya maka dia
adalah alim/berilmu.”
Obat lemahnya iman dan kebodohan adalah dengan belajar dan beramal.
Termasuk sebab timbulnya riya’ juga adalah karena menyukai pujian, takut celaan dan
menyukai pemberian. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Tidak mungkin berkumpul bersama
antara ikhlas dengan mencintai pujian, sanjungan serta tamak (rakus) terhadap harta manusia
kecuali seperti berkumpulnya air dengan api, binatang dhab (mirip biawak namun kecil) dengan
ikan besar (pemangsanya).”
Cara agar kita tidak cinta terhadap pujian manusia adalah dengan mengetahui bahwa pujian
seseorang tidaklah bermanfaat apa-apa, demikian juga celaannya tidaklah berbahaya, yang
bermanfaat adalah pujian Allah Subhanahu wa Ta’ala dan yang berbahaya adalah celaan-Nya.
Sedangkan cara agar kita tidak tamak terhadap harta manusia adalah dengan mengetahui bahwa
harta yang kita inginkan tersebut di tangan Allah-lah perbendaharaan.
Termasuk cara agar dapat menghindarkan diri dari riya’ adalah dengan menyembunyikan amal
shalih. Hal ini telah diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya
tentang tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan
sedekahnya sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dikeluarkan oleh tangan
kanannya.“ (Sebagaimana dalam hadis riwayat Bukhari-Muslim)
Termasuk obat pernyakit riya’ adalah:
Seseorang mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mendengar dan Melihat serta mengetahui apa
saja yang kita sembunyikan dan kita tampakkan.
Meyakini bahwa pahala hanya milik Allah, selain-Nya tidak memiliki pahala.
Mengetahui bahwa dunia ini tidak ada apa-apanya dibanding akhirat.
Berdoa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
علَى ش َْيءٍ ِإذَا َ سأ َ ُدلُّ َك َ َو،ب النَّ ْم ِل ِ ش ِّْركُ فِ ْي ُك ْم أ َ ْخفَى ِم ْن َد ِب ْي
ِ اَل
اَللَّ ُه َّم ِإنِِّ ْي: تَقُ ْو ُل،ار ُه ُ َش ِّْر ِك َو ِكب ِ ار ال ُ َُ ع ْن َك ِص َغ َ ب َ فَعَ ْلتَهُ أ ُ ْذ ِه
ست َ ْغ ِف ُر َك ِل َما َال أ َ ْعلَ ُمْ َ َوأ،أَع ُْوذُ بِ َك أ َ ْن أُش ِْر َك بِ َك َوأَنَا أ َ ْعلَ ُم
“Syirk yang menimpamu lebih halus daripada rayapan semut. Maukah kamu aku tunjukkan
sesuatu yang jika kamu lakukan, niscaya akan dihilangkan darimu syirk yang besar maupun yang
kecil. Yaitu kamu berkata: “Allaahumma innii a’uudzu bika an usyrika bika wa ana a’lamu wa
astaghfiruka limaa laa a’lamu” (artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu
dari menyekutukan-Mu sedangkan aku mengetahui, dan aku meminta ampun kepada-Mu
terhadap hal yang tidak aku ketahui.” (Shahihul Jami’: 3625)
Kesimpulannya, bahwa amalan yang didasari motivasi mencari pujian dan sanjungan manusia
atau mengharapkan imbalan dari mereka merupakan amalan tercela meskipun zhahirnya
kelihatan sebagai amal shalih. Namun demikian, tidaklah mengurangi keikhlasan jika ternyata
ada orang lain yang memuji amalnya, asalkan niatnya tetap ikhlas lillah berdasarkan hadis
riwayat Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seseorang
yang beramal karena cinta kepada Allah, lalu orang-orang memujinya, maka Beliau menjawab:
dalam setiap amalan kita, kemudian memberi petunjuk kepada kita untuk istiqomah di jalan
tersebut.
عذَ َ
اب النَّ ِار. سنَةً َوقِنَا َ سنَةً َوفِي ْاْل ِخ َر ِة َح َ َربَّنَا آتِنَا فِي ال ُّد ْنيَا َح َ
اف َوا ْل ِغنَى .اللهم ِإنَّا نَعُ ْوذُ بِ َك سأَلُ َك ا ْل ُهدَى َوالتُّقَى َوا ْلعَفَ َ اللهم ِإنَّا نَ ْ
ِم ْن َز َوا ِل نِ ْع َم ِت َك َوت َ َح ُّو ِل عَا ِفيَ ِت َك َوفُ َجا َء ِة ِن ْق َم ِت َك َو َج ِم ْي ِع
آخ ُر َدع َْوانَا س َخ ِط َكَ .و ِ َ
علَى
علَى نَبِيِِّنَا ُم َح َّم ٍد َو َ ب ا ْلعَالَ ِم ْي َنَ .و َ
صلى هللاا َ أ َ ِن ا ْل َح ْم ُد هلل َر ِّ ِ
سلَّ َم
ص ْحبِ ِه َو َ .آ ِل ِه َو َ