Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau, garis pantai lebih dari 80.000 km
dengan mayoritas penduduk hidup di wilayah pesisir di mana sebagian besar
kegiatan ekonomi negara berlangsung. Indonesia adalah negara yang rawan
terhadap bencana alam seperti banjir, kekeringan, badai, tanah longsor, letusan
gunung berapi, dan kebakaran hutan. Di masa depan, perubahan iklim yang
ditimbulkan oleh pemanasan global diperkirakan akan menciptakan pola-pola
risiko baru dan secara umum lebih tinggi. Lampung Selatan merupakan salah satu
kabupaten pesisir yang rentan terhadap bencana tersebut.
Saat ini, beberapa Desa di Kabupaten Lampung Selatan sudah terpengaruh oleh
bencana iklim seperti banjir, kekeringan dan juga rob. Di masa depan, peristiwa-
peristiwa ekstrem dapat terjadi lebih sering dengan intensitas tinggi. Sebagian
besar Desa di Kabupaten Lampung selatan yang terkena dampak adalah yang
ditempati oleh keluarga dengan pendapatan rendah dan hidup dalam kemiskinan.
Mereka sangat rentan terhadap dampak dari masalah lingkungan. Pemerintah
Kabupaten harus menangani hal ini secara lebih serius dalam rencana
pengembangan pembangunan kota, dan segera mengambil tindakan untuk
mengatasi masalah kebutuhan mendesak masyarakat saat ini. Oleh karena itu,
Penilaian Kerentanan dan Adaptasi Perubahan Iklim di Kabupaten Lampung
Selatan telah dilaksanakan dan hasil penilaian ini disajikan dalam laporan ini.
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Perbedaan antara kerentanan dan ketahanan ....................................... 15
Tabel 2. Lima pendekatan dalam kajian perubahan iklim ................................... 17
Tabel 3 Berbagai Tingkatan Studi Kerentanan ...................................................... 18
Tabel 4 Elemen dan parameter kerentanan secara umum .................................. 29
Tabel 5 Elemen kerentanan yang berhubungan dengan kenaikan muka laut ..... 29
Tabel 6 Elemen kekuatan dan ketahanan ............................................................. 31
Tabel 7 Notasi dan level dampak untuk berbagai skenario .................................. 37
Tabel 8 Jumlah Penduduk Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2010 .................. 48
Tabel 9 Fasilitas Pendidikan yang tersedia di Kabupaten Lampung Selatan ....... 49
Tabel 10 Jumlah Penduduk miskin per kecamatan ............................................... 50
Tabel 11 Komponen Pasang Surut ....................................................................... 56
iv
Laporan Pendahuluan
BAB 1. PENDAHULUAN
Laut dan daratan adalah fluida yang berbeda dalam hal kapasitas menyimpan
panas. Peningkatan suhu air (lautan) berlangsung lebih lambat, tetapi air dapat
menyimpan panas lebih lama dibandingkan dengan daratan. Hal ini terjadi karena
air mempunyai panas spesifik yang tinggi. Panas spesifik adalah jumlah energi yang
dibutuhkan untuk meningkatkan suhu 1 gram air sebesar 1˚C. Angin yang
berhembus melewati bentangan permukaan air dapat menghambat peningkatan
atau penurunan suhu udara secara drastis pada wilayah daratan disekitarnya. Oleh
sebab itu, iklim di wilayah kepulauan atau dekat pantai akan lebih sejuk untuk
daerah tropis dan lebih hangat. Lebih lanjut perbedaan menyimpan dan
melepaskan panas tersebut akan berpengaruh terhadap sirkulasi angin dunia yang
akhirnya akan mempengaruhi sirkulasi laut.
Laut sejak dulu berperan dalam penyebaran panas melalui sirkulasi air
laut. Sirkulasi laut adalah pergerakan massa air di laut. Sirkulasi laut di permukaan
dibangkitkan oleh stres angin yang bekerja di permukaan laut dan disebut sebagai
sirkulasi laut yang dibangkitkan oleh angin (wind driven ocean circulation). Selain
itu, ada juga sirkulasi yang bukan dibangkitkan oleh angin yang disebut sebagai
sirkulasi termohalin (thermohaline circulation) dan sirkulasi akibat pasang surut
laut. Sirkulasi termohalin dibangkitkan oleh adanya perbedaan densitas air laut.
Istilah termohalin sendiri berasal dari dua kata yaitu thermo yang berarti
temperatur dan haline yang berarti salinitas. Penamaan ini diberikan karena
densitas air laut sangat dipengaruhi oleh temperatur dan salinitas. Sementara itu,
sirkulasi laut akibat pasang surut laut disebabkan oleh adanya perbedaan
distribusi tinggi muka laut akibat adanya interaksi bumi, bulan dan matahari.
Laut menjadi tempat penyimpanan panas matahari, dan arus laut global
menggerakkan energi yang tersimpan tersebut, menyebabkan adanya iklim global,
dari angin sepoi-sepoi sampai adanya badai lautan. Studi mengenai perubahan
kecerlangan matahari, memunculkan dugaan adanya kaitan dengan perubahan
iklim. Meskipun masih lebih dipercaya bahwa perubahan iklim lebih disebabkan
karena peningkatan kadar karbon dioksida di bumi, tetapi tidak tertutup
kemungkinan bahwa matahari-pun memberikan sumbangan pada perubahan
iklim.
Cuaca dan iklim merupakan dua kondisi yang hampir sama tetapi berbeda
pengertian khususnya terhadap kurun waktu. Cuaca adalah
keadaan atmosfer yang dinyatakan dengan nilai berbagai parameter, antara lain
suhu, tekanan, angin, kelembaban dan berbagai fenomena hujan, disuatu tempat
atau wilayah selama kurun waktu yang pendek (menit, jam, hari, bulan, musim,
tahun). Sementara iklim didefinisikan sebagai Peluang statistik berbagai keadaan
atmosfer, antara lain suhu, tekanan, angin kelembaban, yang terjadi disuatu
daerah selama kurun waktu yang panjang (Gibbs, 1987).
(Trewartha, et al., 1995) mengatakan bahwa iklim merupakan suatu konsep yang
abstrak, dimana iklim merupakan komposit dari keadaan cuaca hari ke hari dan
elemen-elemen atmosfer di dalam suatu kawasan tertentu dalam jangka waktu
yang panjang. Iklim bukan hanya sekedar cuaca rata-rata, karena tidak ada konsep
iklim yang cukup memadai tanpa ada apresiasi atas perubahan cuaca harian dan
perubahan cuaca musiman serta suksesi episode cuaca yang ditimbulkan oleh
gangguan atmosfer yang bersifat selalu berubah, meski dalam studi tentang iklim
penekanan diberikan pada nilai rata-rata, namun penyimpangan, variasi dan
keadaan atau nilai-nilai yang ekstrim juga mempunyai arti penting. Indonesia
mempunyai karakteristik khusus, baik dilihat dari posisi, maupun keberadaanya,
sehingga mempunyai karakteristik iklim yang spesifik.
Perubahan iklim merupakan sesuatu yang sulit untuk dihindari dan memberikan
dampak terhadap berbagai segi kehidupan. Dampak ekstrem dari perubahan iklim
terutama adalah terjadinya kenaikan temperatur serta pergeseran musim.
Kenaikan temperatur menyebabkan es dan gletser di Kutub Utara dan Selatan
mencair. Peristiwa ini menyebabkan terjadinya pemuaian massa air laut dan
kenaikan permukaan air laut.
Berbagai hasil kajian ilmiah menunjukkan bahwa perubahan iklim tidak hanya
memberikan fluktuasi (naik-turun) yang signifikan tetapi juga perubahan
(tren) yang sangat cepat yang mengindikasikan pemanasan permukaan bumi,
atmosfer dan laut yang terjadi secara global. Bukti-bukti tentang hal itu telah
dilaporkan secara sistematis oleh sumber-sumber resmi, diantaranya:
Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) dan The United Nations
Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Sebagai contoh laporan
dari (IPCC, 2007) menyimpulkan bahwa : “Adanya bukti yang baru dan lebih kuat
bahwa pemanasan global yang terjadi 50 tahun terakhir adalah akibat dari
kegiatan manusia“.
zona pesisir. Kenaikan muka air laut secara umum akan mengakibatkan dampak
sebagai berikut :
a. Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir
b. Perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove
c. Meluasnya intrusi air laut
d. Ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi
e. Berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil
Potensi dampak yang timbul oleh ancaman ini sangat tergantung pada tingkat
bahaya serta tingkat kerentanan di suatu wilayah, yang mana hal ini, sangat
terkait dengan kondisi pemanfaatan wilayah pesisir, fisiografi, morfologi,
demografi dan sosial-ekonominya, termasuk kemampuan manusia untuk
beradaptasi terhadap bahaya tersebut.
Untuk mengetahui seberapa besar potensi dampak yang akan timbul akibat
ancaman tersebut, maka penting kiranya untuk mengkaji seberapa besar
tingkat kerentanan wilayah tersebut. Setelah diketahui tingkat kerentanan dan
potensi dampak yang ditimbulkannya, maka perlu dilakukan langkah- langkah
strategi adaptasi untuk menghadapi ancaman-ancaman tersebut.
Sebagai langkah awal dari kajian dampak perubahan iklim terhadap sektor pesisir
dan laut maka dikembangkan suatu metoda kajian beserta contoh
implementasinya sesuai dengan data serta sumber daya kajian yang tersedia.
Sebagai studi kasus, dipilih Kabupaten Lampung Selatan sebagai lokasi contoh
kajian, dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Lampung Selatan khususnya
Kecamatan Raja Basa Desa Way Muli dan Desa Kunjir dapat mewakili kondisi
daerah yang berukuran sedang, dengan maksud bahwa metoda yang
dikembangkan ini, kelak dapat diaplikasikan untuk pulau-pulau baik yang
berukuran besar maupun yang berukuran kecil.
Berkaitan dengan perubahan iklim dan sektor pesisir dan laut di Propinsi
Lampung, terdapat sejumlah pertanyaan yang menjadi latar belakang kajian ini,
yaitu:
(1) Apakah perubahan iklim akan memberikan dampak yang berarti bagi
sektor wilayah pesisir dan laut di Propinsi Lampung pada umumnya?
(2) Bahaya apa saja yang ditimbulkan oleh perubahan iklim berkaitan
dengan sektor wilayah pesisir dan laut, dan seberapa besar kerentanan dan
risiko yang dihadapi sektor pesisir dan laut terhadap bahaya tersebut
di Propinsi Lampung? serta;
(3) Strategi adaptasi seperti apa yang diperlukan guna meminimalkan
dampak perubahan iklim terhadap sektor pesisir tersebut di Propinsi
Lampung?
(4) Pertanyaan-pertanyaan di atas akan dicoba untuk dijawab dalam studi ini.
1.2.1 Maksud
Kajian dampak perubahan iklim di wilayah pesisir dan lautan ini merupakan
tahapan pengumpulan dan analisa data kerentanan dampak perubahan iklim yang
akan menjadi dasar dalam penentuan kebijakan penanganan dampak perubahan
iklim di Propinsi Lampung pada umumnya.
1.2.2 Tujuan
Tujuan kajian kerentanan dampak perubahan iklim ini adalah:
1) Mengembangkan suatu metoda kajian kerentanan dan risiko di wilayah
pesisir dan laut secara regional dengan wilayah studi Kabupaten Lampung
Selatan di Kecamatan Raja Basa Desa Way Muli dan Desa Kunjir, yang
selanjutnya dapat digunakan untuk mengidentifikasi, dan memfasilitasi
dalam bentuk formulasi strategi adaptasi yang sesuai untuk diterapkan
dengan kondisi wilayah serta ketersediaan data khususnya di Kabupaten
Lampung Selatan dan Umumnya di Propinsi Lampung.
2) Memperoleh informasi tentang bahaya, kerentanan dan risiko di wilayah
pesisir dan laut terhadap perubahan iklim dengan pendekatan meso-level,
skenario perubahan iklim (SRES : Special Report on Emissions Scenarios) SRB1,
SRA1B, dan SRA2 dari IPCC dalam periode 2030- an, 2080-an dan 2100 an dan
1.3 Sasaran
Dengan periode, skenario proyeksi dan pendekatan yang digunakan dalam kajian
seperti yang telah disebutkan di atas, maka sasaran kajian ini adalah:
1) Merumuskan suatu model konsep atau alur pikir, metode pengumpulan data
dan seleksi data, serta metode analisis kajian kerentanan dan risiko di wilayah
pesisir terhadap perubahan iklim dalam kerangka kerja adaptasi bencana
dengan pendekatan meso-level untuk kondisi wilayah dan ketersediaan data
seperti kasus Desa Way Muli dan Desa Kunjir.
2) Mengenali bahaya-bahaya terhadap sektor pesisir dan laut akibat perubahan
iklim dan komponen kerentanan dan risiko akibat bahaya-bahaya tersebut di
Kabupaten Lampung Selatan.
3) Mengetahui tingkat kerentanan dan risiko yang dihadapi oleh sektor pesisir
dan laut di Kabupaten Lampung Selatan akibat perubahan iklim dalam unit
wilayah administrasi tingkat desa.
4) Mengetahui kerentanan dan risiko terhadap bahaya kenaikan muka laut di
Kabupaten Lampung Selatan akibat perubahan iklim dalam unit wilayah
analisis berupa batas adminstrasi desa.
Kabupaten Lampung Selatan Khususnya Desa Way Muli dan Desa Kunjir dipilih
sebagai wilayah kajian karena pulau ini cukup rentan terhadap perubahan iklim
khsususnya terhadap kenaikan muka laut karena sebaran penduduk serta aktifitas
ekonomi umumnya berada di wilayah pesisir. Disamping itu pemilihan lokasi ini
diharapkan dapat mewakili studi-studi untuk daerah yang juga mengalami gejala
dampak perubahan iklim dengan luasan sedang, sehingga metoda yang
dikembangkan dapat dimodifikasi untuk daerah dengan luasan besar dan pulau
berukuran kecil atau pulau-pulau kecil.
Ruang lingkup wilayah yang dikaji adalah seluruh pesisir dan laut Lampung
Selatan dengan unit terkecil dari wilayah yang dianalisis adalah batas administrasi
kecamatan. Melihat ketersedian data khususnya yang terkait dengan data-data
kerentanan, maka wilayah kajian lebih difokuskan pada Desa Way Muli dan Desa
Kunjir, karena wilayah tersebut yang mengalami dampak perubahan iklim yang
cukup besar di wilayah pesisir dan lautnya.
Dewasa ini belum dibuat Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang secara
langsung mengatur hak dan kewajiban dari warga negara dan pemerintah dalam
menghadapi bencana Perubahan Iklim serta bencana ikutannya. Berikut ini
dijelaskan keterkaitan dari Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang
sudah dibuat terhadap mitigasi dan adaptasi suatu bencana secara umum yang
dapat dikaitkan dengan bencana yang ditimbulkan akibat perubahan iklim.
Undang-Undang:
lain dalam hal tanggung jawab dan wewenang pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dalam penyelenggarakan penanggulangan bencana,
mengatur fungsi dan tugas dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB), mengatur hak dan kewajiban dari masyarakat dan peran serta
lembaga usaha dan lembaga internasional dalam penangulangan
bencana.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang.
Keterkaitannya antara lain dalam hal pemanfaatan ruang. Undang- undang
ini menjadi dasar dibuatnya Peraturan Pemerintah dan Peraturan
Daerah Provinsi serta Kabupaten/Kota tentang Tata Ruang.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup Keterkaitannya antara lain dalam hal penataan,
pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan
dan pengendaliaannya.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Permukiman. Keterkaitannya antara lain dalam hal pengaturan
pemukiman kembali korban bencana dan pengaturan pembangunan
perumahan dan permukiman yang terkait daerah yang berpotensi
rawan bencana.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam dan Ekosistemnya. Keterkaitannya antara lain dalam hal
perlindungan dan rehabilitasi wilayah sistem penyangga kehidupan yang
rusak akibat bencana.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025. Keterkaitannya antara lain
dalam hal penyusunan rencana pembangunan dengan memanfaatkan
ruang yang ada dan telah dipersiapkan sesuai peruntukannya.
Peraturan Pemerintah:
1.6. Metodelogi
Kajian bahaya, kerentanan dan risiko untuk sektor pesisir dan laut terhadap
perubahan iklim dengan studi kasus di Desa Way Muli dan Desa Kunjir dilakukan
dalam pendekatan adaptasi berupa pendekatan strategi respon atau reaksi dalam
upaya meminimalkan dampak yang akan timbul akibat perubahan iklim. Pada
bab ini diuraikan prinsip adaptasi terhadap dampak perubahan iklim, pendekatan
dan kerangka kerja serta metoda analisis bahaya, kerentanan dan risiko terhadap
bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim
Istilah adaptasi dalam arti luas adalah setiap upaya manusia dalam memodifikasi
sistem alami atau buatan dalam bereaksi terhadap pengaruh perubahan iklim saat
ini dan proyeksi perubahan iklim di masa depan dalam rangka mengurangi
kerusakan atau meningkatkan peluang untuk mendapatkan keuntungan dari
perubahan iklim (Stern, 2008).
komitmen mitigasi yang kuat, biaya adaptasi akan meningkat, serta kapasitas
adaptasi akan berkurang baik individu maupun pemerintah.
(Manyena, 2006) menekankan bahwa ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam
mengelola risiko hubungannya dengan kerentanan (vulnerability) dan
ketahanan/kelenturan (resilience). Pertama adalah pengelolaan kerentanan yang
bertujuan untuk mengurangi kerentanan terhadap bahaya yang dipicu oleh
perubahan iklim dengan metoda top-down yang sifatnya digerakkan oleh
kebijakan (policy driven), yang bertujuan untuk melakukan perlawanan, terkait
dengan usaha yang lebih mengutamakan pada keselamatan, melalui usaha
pencegahan, sehingga diperlukan suatu kelembagaan, sistem dan rekayasa,
berlandaskan kajian risiko, yang berorentasi hasil atau pemecahan masalah,
melalui prosedur standar operasional (SOP). Sedangkan yang kedua adalah
meningkatkan ketahanan terhadap bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim,
melalui cara buttom-up, yang bertujuan untuk pemulihan, proses ini memerlukan
waktu dalam menghalau dan mengembalikan ke keadaan yang dapat diterima,
dengan cara adaptasi, yang berbasis masyarakat, melalui jaringan atau net-
working, dengan pendekatan budaya dan kearifan lokal, berlandaskan analisis
kerentanan dan kapasitas, yang berorentasi kepada proses.
Kajian ini juga melibatkan dua tingkat adaptasi, yaitu: penguatan kapasitas
adaptasi dan implementasi aksi adaptasi. Tingkat yang pertama meliputi
penyediaan informasi tentang bahaya, kerentanan dan risiko akibat perubahan
iklim. Sedangkan implementasi adaptasi meliputi langkah aksi pengurangan
kerentanan serta peningkatan ketahanan sehingga dapat mengurangi risiko di
wilayah pesisir dan laut terhadap perubahan iklim.
Hasil pengumpulan data kemudian dielaborasi dalam bentuk daftar dan jenis serta
jumlah data, kemudian dilakukan penilaian dan penseleksian data, meliputi
kualitas dan relevansi data dengan tingkat ketelitian yang ditentukan, kemudian
digunakan sebagai input dalam kajian. Hasil dari eleborasi data ini disajikan dalam
bentuk tabel atau gambar. Data bahaya dan elemen kerentanan yang akan
dijadikan input dalam analisis risiko harus dipilih sesuai dengan tujuan serta
kemudahan dan ketersediaan data. Secara prinsip, makin banyak data bahaya
dan elemen kerentanan yang dijadikan input dan semakin komplit data tersebut
maka tentu hasilnya akan semakin baik. Pada studi analisis risiko di masa
datang, sebaiknya input data demografi, bangunan fisik, infrastruktur
termasuk sarana dan fasilitas penunjang kehidupan memiliki sifat yang selalu
berubah bersamaan waktu. Karena itu basis data kerentanan ini perlu
diperbaharui atau direvisi secara berkala dalam jangka waktu yang dianggap paling
optimal.
Dalam analisis dan penyajian data bahaya, kerentanan dan risiko digunakan suatu
alat bantu SIG (Sistem Informasi Geografis) untuk memudahkan manajemen data,
pengeplotan lokasi geografis dari data tersebut sehingga dapat digambarkan peta
bahaya, kerentanan dan risiko, serta dapat dihitung luasan dan nilai serta tingkat
bahaya, kerentanan dan risiko suatu wilayah.
Gambar 2 Keterkaitan antara satu bahaya dengan bahaya lain yang dipicu oleh
perubahan iklim terhadap sektor pesisir dan laut
Pacific Oscillation (IPO) dalam fasa negative. Pada saat sekarang kita berada
dalam fasa IPO negatif yang berawal di tahun 1998 dan kemungkinan berakhir di
tahun 2020 sampai 2030. Efek dari IPO ini dapat meningkatkan MSL dalam jangka
waktu yang cukup lama yaitu dalam periode 20 sampai 30 tahun.
Pasang Surut
Tinggi pasut dapat menyebabkan rendaman yang mirip dengan rendaman
gelombang badai (storm surge) atau banjir sungai. Arus pasut pada muara sungai
memainkan peranan penting dalam suplai sedimen ke muara dan pantai. Batas
atas dari nilai MHWS (Mean High Water Springs) biasanya digunakan sebagai nilai
kuantifikasi tinggi bahaya rendaman.
Badai
Badai menimbulkan bahaya utama, yaitu :
Gelombang dan swell yang menyebabkan ketidakstabilan kuantitas
suplai sedimen, erosi dan menyebabkan rendaman wilayah pesisir bahkan
menimbulkan kerusakan pada bangunan pantai.
Storm surge (gelombang badai), yang menimbulkan tekanan rendah dalam
jangka waktu tertentu yang dapat menaikan level muka laut di atas level
pasut yang diperkirakan.
Level pasut saat badai adalah penjumlahan dari tinggi MHWS, storm surge, dan
gelombang set-up. gelombang set up adalah peningkatan level muka laut di
daerah surf ( daerah gelombang pecah) relatif terhadap muka laut akibat badai
di lepas pantai. Run-up (rayapan) gelombang adalah tambahan tinggi yang dapat
dicapai di atas level pasut, yang timbul akibat gelombang pecah. Rayapan
gelombang dihitung secara terpisah dari level pasut akibat badai karena rayapan
gelombang bervariasi di sepanjang pantai bahkan pada daerah yang sama,
tergantung kepada perbedaan kemiringan pantai dan tipe alamiah dari struktur
pesisir.
Tsunami & subsidence/uplift
Pasang surut di laut dalam tidak akan terpengaruh langsung oleh perubahan iklim
tetapi tenggang pasut di perairan dangkal seperti: teluk, estuari, muara sungai dan
pelabuhan dapat dipengaruhi oleh perubahan iklim melalui mekanisme
penguatan angin, gelombang, arus di pesisir, debit sungai akibat perubahan curah
hujan dan sedimentasi di muara.
Perubahan Iklim mempengaruhi suplai sedimen di pantai
Perubahan iklim akan mempengaruhi struktur dan faktor-faktor pembangun
suplai sedimen ke pantai, beberapa faktor dapat memberikan tambahan dan yang
lain memberikan pengurangan suplai sedimen. Dampak perubahan iklim
terhadap suplai sedimen di masa datang belum diteliti secara saksama. Oleh sebab
itu, untuk daerah-daerah yang rentan terhadap suplai sedimen perlu dilakukan
penyelidikan yang lebih rinci termasuk suplai sedimen dari sungai dan daerah
tangkapannya (catchment area), serta angkutan sedimen
sejajar pantai.
Efek Perubahan Iklim pada Tsunami
Penyebab geologis tsunami tidak akan dipengaruhi langsung oleh perubahan iklim.
Tetapi efek tsunami di pesisir akan berubah oleh kenaikan muka laut, yang tentu
saja meningkatkan risiko rendaman tsunami. Faktor yang lebih penting dalam
kajian risiko yaitu tinggi pasut pada saat tsunami mencapai pantai
Dari sekian banyak bahaya yang terkait dengan perubah iklim yang diuraikan di
atas, kenaikan muka laut merupakan topik yang banyak dikaji dalam isu perubahan
iklim, akibat dari dua variabel utama, yaitu ekspansi atau kontraksi termal di
laut (efek sterik) dan pencairan sejumlah massa air yang terkandung atau
terperangkap dalam gunung es dan lapisan salju di sekitar kutub.
Kenaikan muka laut ini dibedakan dengan fluktuasi (naik turunnya) muka laut pada
skala waktu yang bervariasi, seperti gelombang laut (ombak dan alun) yang terjadi
akibat angin permukaan laut, pasang surut (pasut) yang disebabkan oleh gaya
tarik bulan dan matahari, gelombang badai dan gelombang pasang yang muncul
akibat terjadinya siklon atau badai di laut, akibat variabilitas iklim El-Nino dan La-
Nina.
Fluktuasi muka laut ini berpotensi menimbulkan dampak yang disebabkan oleh
hantaman energi gelombang dan genangan air laut di pantai. Tinggi hantaman
dan genangan air laut di pantai akan semakin bertambah secara signifikan, bila
fenomena bahaya-bahaya di atas bekerja sekaligus dalam kurung waktu
tertentu sehingga menimbulkan fluktuasi muka laut yang sangat ekstrim,
Disamping itu perlu dicermati adanya terminologi “kenaikan relatif muka air
laut” merujuk pada perubahan muka laut terhadap permukaan tanah yang
bersifat lokal pada lokasi tertentu. Permukaan tanah pun dapat mengalami
gerakan karena pembalikan isostatik, penurunan muka tanah, kompaksi dan
settling karena penumpukan sedimen aluvial di delta estuari, penurunan muka
tanah dari ekstraksi air dan minyak bumi, serta aktifitas tektonik (gempa bumi).
Hasil atau luaran (output) dari analisis bahaya ini utamanya adalah berupa:
1 Tabulasi data dari potensi-potensi bahaya di pesisir dan laut seperti :
Laju kenaikan temperatur air laut
dimana:
Eksposur (exposure) atau keterpaparan mengacu pada penerimaan
manusia dan infrastruktur terhadap terpaan suatu bahaya menurut
lokasi serta pertahanan fisiknya.
Sensitivitas (sensitivity) adalah komponen yang mengacu pada tingkat
sensitivitas kerugian seseorang atau kelompok atau kegetasan suatu
infrastruktur atau lingkungan terhadap terpaan suatu bahaya.
Kapasitas adaptasi (adaptive capacity) adalah komponen yang
mengacu pada kemampuan seseorang atau kelompok untuk beraksi dan
dapat berubah sesuai tingkat bahaya, tingkat eksposur, tingkat sensitivitas, tingkat
kesiapan dan kemampuan dalam beradaptasi terhadap bahaya tersebut.
Hasil atau luaran dari kajian kerentanan ini utamanya adalah berupa:
Tabulasi data dari elemen-elemen dasar kerentanan seperti : data
demografi, data topgrafi, data infrastruktur dan fasiltas vital penunjang
kehidupan, tata guna lahan , kesejahteraan dan sebagainya
Tabulasi dan peta-peta dari kuantifikasi elemen-elemen kerentanan
Kemudian output dari kajian kerentanan ini bersama-sama dengan output dari
hasil kajian bahaya alam dijadikan sebagai data input untuk analisis risiko
rendaman
Analisis risiko adalah bagian dari suatu kerangka besar dalam kajian risiko.
Kerangka kajian risiko secara umum dilakukan dengan mengintegrasikan antara
bahaya, kerentanan, dalam suatu hubungan tertentu yang saling terkait dan
saling mempengaruhi sebagaimana yang disajikan oleh (NZCCO , 2005) dalam
Gambar 4 berikut:
Gambar 4 Model proses kajian risiko (New Zealand Climate Change Office, 2004)
Spesifikasi luaran dari proses penilaian risiko dan bagaimana luaran ini
akan dipakai dalam perencanaan dan pengambilan keputusan.
Penilaian risiko harus dilakukan oleh orang yang memiliki spesialisasi dalam ilmu
kepantaian dan kelautan (pejabat instansi terkait atau konsultan spesialis)
diamping itu sangat penting untuk mengkaji data historis secara saksama dan
detil. Penilain risiko ini meliputi:
Menilai dampak/risiko dari bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim,
berupa perubahan lingkungan pesisir, lingkungan bangunan, lingkungan
manusia untuk tiap skenario bahaya dengan cara mengelompokkan
tingkat dampak, pada suatu rskala seperti dijabarkan pada Tabel
7.
Proses evaluasi harus dilakukan dalam dua skenario; pertama, evaluasi yang
mengabaikan efek-efek perubahan iklim, ENSO, rob, dan gelombang badai, dan
kedua, evaluasi yang memperhitungkan efek-efek dari fenomena alam tersebut.
Hal ini mungkin menghasilkan tingkat risiko yang berbeda untuk kedua jenis
skenario tersebut. Dengan pendekatan ini, risiko dapat diprioritaskan dan
perbedaan risiko dapat diperbandingkan.
Di samping itu, risiko akan berubah bergantung pada sejauh mana penilaian risiko
mempertimbangkan skenario-skenario masa datang. Keputusan perencanaan
perlu didasarkan pada risiko dengan memperkirakan perkembangan wiayah dan
pertumbuhan msayarkat di masa yang akan datang.
Hasil atau luaran dari analisis risiko ini utamanya adalah berupa:
Tabulasi hasil analisis risiko hasil overlay antara bahaya dengan elemen-
elemen dasar kerentanan
Tabulasi dan peta-peta dari kuantifikasi risiko dan potensi dampak
yang ditimbulkannya. Jenis estimasi kehilangan dapat juga ditabulasikan
dalam bentuk berikut:
Kehilangan perumahan (bangunan, kepemilikan pribadi,
persediaan makanan, dsb.)
Kehilangan komersial (pertokoan, bank, pasar, hotel, produk
makanan dan pasar, dsb.)
Kehilangan pemakaian (jaringan listrik, air, telepon, fasilitas
irigasi, jalan desa, dsb.)
Kehilangan sarana dan prasarana transportasi (permukaan jalan,
dermaga, bandara, jembatan, kendaraan, dsb.)
Kehilangan bangunan publik (kehilangan kantor pemerintah,
bangunan ibadah, dsb)
Luaran dari kajian risiko ini dianalisis tingkat risikonya yang kemudian dijadikan
bahan untuk melakukan langkah-langkah penyusunan strategi adaptasi di
wilayah pesisir dan laut.
BAB II: Bab ini memberikan perspektif mengenai gambaran umum, posisi
geografis dan kondisi geologis, sosio-ekonomi dan demografi serta kondisi fisik
atmosfer-laut di wilayah pesisir dan laut di sekitar Lokasi kegiatan.
BAB III: Memuat uraian tentang hasil analisis bahaya, kerentanan dan risiko
bencana yang akan ditimbulkan oleh perubahan iklim di Kabupaten Lampung
Selatan.
BAB IV: Memuat tentang konsep strategi adaptasi dan usulan program dan skala
prioritasnya.
BAB V : Penutup
Laporan ini juga dilengkapi dengan Daftar Pustaka serta Lampiran yang memuat
Tabel-Tabel hasil analisis potensi rendaman, kerentanan dan risiko di wilayah
pesisir Kabupaten Lampung Selatan.
Pulau – pulau yang terdapat di Kabupaten Lampung Selatan antara lain pulau
Krakatau, pulau Sebesi, pulau Sebuku, pulau Legundi, pulau Siuncal, pulau Rimau
dan pulau Kandang. Wilayah Kabupaten Lampung Selatan dapat dilihat pada
Gambar 5, lokasi kajian dampak perubahan iklim disajikan pada Gambar 6.
Secara topografis wilayah ini dapat dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu wilayah
dengan relatif datar yang sebagian besar berada di sepanjang pesisir, wilayah
berbukit dan gunung yang merupakan wilayah pegunungan Rajabasa.
2.2 Geologi
Dari segi geologi daerah Kabupaten Lampung Selatan terdiri dari bagian-bagian
sebagai berikut:
a. Sebagian besar berbatuan endesit, ditutupi turfazam. Batuan endapan
meluas ke timur sampai sekitar jalan kereta api arah menuju Kotabumi,
keadaan tanah bergelombang sampai berbukit.
b. Pegunungan vulkanis muda.
c. Daratan bagian timur yang termasuk wilayah Kabupaten Lampung Selatan
tidak begitu luas, berbatuan endesit ditutupi turfazam.
d. Dataran alluvial berawa-rawa dengan pohon Bakau.
Wilayah pesisir merupakan pertemuan antara wilayah laut dan wilayah darat,
dimana daerah ini merupakan daerah interaksi antara ekosistem darat dan
ekosistem laut yang sangat dinamis dan saling mempengaruhi. Wilayah pesisir
sangat rentan terhadap dampak dari trend perubahan iklim yang dapat
memicu bahaya seperti: kenaikan muka laut (Sea Level Rise, SLR) dan variabilitas
musiman (ENSO, gelombang badai, dan kejadian ekstrim laut lainnya), demikian
juga sangat rentan terhadap aktivitas manusia baik di darat maupun di laut,
sehingga dalam pengelolaannya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Pasang surut didefinisikan sebagai proses naik turunnya muka laut yang hampir
teratur, dibangkitkan terutama oleh gaya tarik bulan dan matahari. Karena posisi
bulan dan matahari terhadap bumi selalu berubah secara hampir teratur, maka
2.4 Kependudukan
Jumlah penduduk di Kabupaten Lampung Selatan setiap tahunnya mengalami
peningkatan.Pada tahun 2010 jumlah penduduk di Kabupaten Lampung Selatan
adalah 985.075 jiwa, sedangkan Jumlah penduduk terbesar terdapat di Kecamatan
Natar dan yang terkecil di Kecamatan Bakauheni, yaitu 179.552 jiwa dan 21.188,
dengan demikian konsentrasi penduduk terbesar terdapat di Kecamatan Natar.
Hal ini di karenakan Kecamatan Natar memiliki akses yang mudah, dekat dengan
Kota Bandar Lampung dan memiliki prasarana dan sarana yang cukup memadai,
sehingga asumsi pertumbuhan penduduk selalu meningkat setiap tahunnya dan
memiliki jumlah penduduk terbanyak. Sedangkan di kecamatan lain di Kabupaten
Lampung Selatan kurang begitu strategis lokasinya dan jauh dari pusat Kota
Bandar Lampung, sehingga masyarakat banyak ingin tinggal di dekat pusat kota.
Tabel 8 Jumlah Penduduk Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2010
No Kecamatan Jumlah Penduduk (Jiwa)
1 Natar 179.552
2 Jati Agung 99.650
3 Tanjung Bintang 71.750
4 Tajung Sari 29.787
5 Katibung 65.305
6 Way Sulan 25.936
7 Merbau Mataram 53.448
8 Sidomulyo 66.238
9 Candipuro 55.121
10 Way Panji 17.434
11 Kalianda 86.876
12 Rajabasa 26.073
13 Palas 59.357
14 Sragi 35.749
15 Penengahan 42.044
16 Ketapang 49.568
17 Bakauheni 21.188
Jumlah 985.075
Sumber : Lampung Selatan Dalam Angka, 2010
Dalam hal ini digunakan asumsi penggunaan lahan sawah tadah hujan pada
umumnya tanpa melihat faktor irigasi sebelumnya.
Provinsi Lampung secara umum beriklim tropis. Pada bagian barat Lampung
bertipe A dan B sedangkan bagian timur lampung bertipe C,D dan E ( tipe iklim
Oldeman ) untuk pola musimnya pada umumnya berpola monsunal, dimana
terdapat perbedaan yang nyata antara musim penghujan dan kemarau serta
mempunyai 1 (satu) puncak musim.
Gambar 7. Pola Curah Hujan Rata-rata Dalam Kurun Waktu Yang Berbeda
Secara umum, perubahan pola curah hujan dan limpasan air tawar dapat
mengakibatkan beberapa dampak penting antara lain:
a. Perubahan siklus hidrologi (penguapan, presipitasi, aliran)
b. Pengaruh pada ketersediaan air di pesisir dan Pulau-Pulau kecil
c. Perubahan ekosistem dan komunitas di pesisir dalam berbagai cara
d. Perubahan transpor sedimen, nutrien, dan zat-zat yang terkontaminasi
(polutan)
e. Perubahan sirkulasi dan perlapisan massa air estuari, lahan basah, dan
paparan benua
Gambar 8. Distribusi dan frekuensi arah dan kecepatan angin dalam kurun waktu
10 tahun (2001 – 2011).
Arah angin masukan pada bulan Januari angin bertiup dominan dari arah
barat, bulan Februari – Mei dominan dari arah barat laut, sedangkan pada bulan
Juli dan Agustus angin dominan dari arah tenggara. Pola angin dominan di Teluk
Lampung adalah dari Barat (Nopember- Januari), dari Utara (Maret-Mei), Timur
(Juni – Agustus), dan Selatan (September – Oktober). Pariwono (1998)
menyebutkan arah angin dominan pada Bulan Desember – Februari adalah dari
Barat – Barat laut – Utara, pada Bulan Maret Mei dari Barat Laut, Bulan Juni –
Agustus dari Tenggara dan Bulan September – Nopember dari Tenggara hingga ke
Timur.
Gambar 9. Pola sebaran Suhu permukaan Laut selama Kurun Waktu Yang Berbeda
Gambar 10. Pola Arus dan Tinggi Muka Laut Pada Musim Barat Saat Menjelang
Pasang dan Menjelang Surut.
Gambar 11. Pola Arus dan Tinggi Muka Laut Pada Musim Timur Saat Menjelang
Pasang (atas) dan Menjelang Surut (Bawah).
Pola arus (Gambar 10 dan 11) lebih dominan bergerak ke arah barat-timur
atau utara-selatan daripada ke arah dasar-permukaan kolom air. Magnitudo arus
maksimum terjadi pada bulan Januari sedangkan magnitudo arus minimum terjadi
pada bulan Mei. Secara umum arus memasuki wilayah teluk di bagian barat teluk
di sekitar daerah Tanjung Tikus dan sebagian keluar lagi dari bagian timur di sekitar
daerah Canti. Sebagian arus juga masuk dan keluar melalui bagian tengah mulut
teluk, dan cenderung berputar berlawanan arah jarum jam ketika mendekati
kepala teluk di sekitar Pulau Tegal. Pola arus ini menyebabkan sebagian besar
material daratan yang terbawa aliran sungai yang berada di kepala teluk
cenderung berputar-putar disekitar kepala teluk, sedangkan material dari daratan
di sekitar Pelabuhan Panjang akan terbawa keluar teluk sepanjang sisi timur teluk
(Efendi, 2011).
(Koropitan, 2003) menyatakan bahwa magnitudo arus pasut pada saat menuju
surut mencapai ~0.1 m/s pada pasang purnama dan ~0.06 m/s pada saat pasang
perbani, sedangkan hasil simulasi yang dilakukan oleh (Miharja, et al., 1995)
menujukan pola arus yang sama dengan magnitudo maksimum mencapai 0.05 m/s
untuk semua kondisi pasut. Sementara (Widhi, et al., 2012) menyatakan
Kecepatan massa air yang berasal dari Selat Sunda berkisar antara 0.09 – 0.02
meter/detik, masuk kedalam Teluk Lampung kecepatan arus kisaran 0.021 - 0.018
meter/detik. Semakin masuk menjauh kearah utara kecepatan arus semakin
berkurang hingga mencapai ujung utara Teluk Lampung memiliki kisaran
kecepatan 0.0028 meter/detik.
Analisis data pasang surut dilakukan dari hasil pengamatan selama 15 hari yang
berlokasi di Pelabuhan Panjang (Gambar 12) dilakukan menggunakan metode
analisis harmonik. Dari hasil analisis data pasang surut didapatkan komponen
pasang surut yang disajikan dalam Tabel 11. Komponen pasang surut yang telah
didapatkan digunakan untuk mengetahui tipe pasang surut yang terjadi dengan
menghitung bilangan Formzahl. Pengolahan data pasang surut Perairan Teluk
Lampung diperoleh bilangan Formzahl sebesar 0.625, dengan nilai bilangan
Formzahl tersebut maka tipe pasang surut di perairan Teluk Lampung masuk
dalam kisaran 0.25 < F < 1.5, maka dikategorikan memiliki tipe pasang surut
Campuran dominan Ganda.
Gambar 12. Analisis Pasang Surut selama 15 Hari Pengamatan (Widhi, et al., 2012)
Pusat prakiraan iklim Amerika (Climate Prediction Center) mencatat bahwa sejak
tahun 1950, telah terjadi setidaknya 22 kali fenomena el-nino, 6 kejadian di
antaranya berlangsung dengan intensitas kuat yaitu 1957/1958, 1965/1966,
1972/1973, 1982/1983, 1987/1988 dan 1997/1998. Intensitas el-nino secara
numerik ditentukan berdasarkan besarnya penyimpangan suhu permukaan laut di
samudra pasifik equator bagian tengah. Jika menghangat lebih dari 1.5 oC, maka
el-nino dikategorikan kuat.
Sebagian besar kejadian-kejadian el-nino itu, mulai berlangsung pada akhir musim
hujan atau awal hingga pertengahan musim kemarau yaitu Bulan Mei, Juni dan
Juli. El-nino tahun 1982/1983 dan tahun 1997/1998 adalah dua kejadian el-nino
terhebat yang pernah terjadi di era modern dengan dampak yang dirasakan secara
global. Disebut berdampak global karena pengaruhnya melanda banyak kawasan
di dunia. Amerika dan Eropa misalnya, mengalami peningkatan curah hujan
Gambar 13. South Oscilation Index dan Dipole Mode Index yang menggambarkan
kejadian El Nino, La Nina dan IOD+ serta IOD-
Sementara pada kejadian el-nino kuat, kejadian curah hujan di bawah normal
melanda wilayah yang lebih luas. Wilayah-wilayah yang tidak terdampak oleh el-
nino lemah-sedang seperti Sumbar, Bengkulu dan Kalbar, akan terkena pengaruh
el-nino kuat. Di beberapa wilayah seperti Sumsel, Babel, Lampung, Jateng, Jatim,
Bali-NTB-NTT, Kalsel, Sulsel, Sultra, Maluku dan sebagian Papua bahkan curah
hujan hanya turun dalam kisaran 10-30 % dibanding normalnya, terutama pada
Bulan September dan Oktober (Gambar 14).
Gambar 15. Daerah terdampak jika terjadi el-nino kuat, dinyatakan dalam
prosentasi hujan terhadap normalnya (sumber: Global Precipitation
Climatology Center – GPCC).
Sementara hasil penelitian (Efendi, et al., 2013) dari analisis transformasi wavelet
kontinu, koherensi maupun transformasi silang diperoleh kesimpulan bahwa pola
curah hujan di wilayah lampung sangat dipengaruhi oleh pengaruh musiman atau
adanya pengaruh WNPMI dibandingkan dengan pengaruh DMI dan SOI, akan
tetapi arah fase yang berlawanan menunjukkan adanya pola pergantian pengaruh
yang terjadi. DMI berpengaruh pada periode 6 bulanan, sedangakan SOI (El-Nino
atau La Nina) berpengaruh pada fase 12 bulanan.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 16. Sebaran Tinggi Gelombang Signifikan Pada Tahun 2014 Periode (a)
Januari-Maret, (b) April-Juni,(c) Juli-September, dan (d) Oktober –
Desember.
pantai lebih kuat terjadi pada bulan Agustus – Oktober. Sebaran gesekan angin
komponen tegak lurus pantai di perairan ini memiliki variasi sebaran barat laut –
tenggara inilah yang bertanggung jawab terhadap pembangkitan gelombang.
Vegetasi pantai memiliki peran yang sangat penting sebagai pencegah abrasi.
Tumbuhan pantai umumnya memiliki akar yang panjang dan kuat sehingga
mampu menahan substrat dari hempasan gelombang ( (Desai, 2000). Demikian
pula saat timbulnya tsunami, vegetasi pantai memiliki kemampuan untuk
meredam energi gelombang yang sangat besar. Efektifitas peredaman energi
gelombang oleh vegetasi pantai sifatnya relatif dan ditentukan oleh banyak faktor.
Kerapatan vegetasi, ketebalan vegetasi dari pantai ke arah darat, topografi pantai,
karakteristik substrat serta kondisi ekosistem terumbu karang dan lamun sangat
menentukan efektifitas vegetasi pantai dalam meredam gelombang. Efektifitas
peredaman energi gelombang oleh vegetasi pantai umumnya berkisar antara 0 –
30 % . Namun pada daerah pantai yang sama sekali tidak terjamah oleh manusia
(alami) dengan kondisi ekosistem terumbu karang, lamun dan tutupan vegetasi
pantai yang sangat baik maka efektifitas peredaman energi gelombang dapat
mencapai 90 %. Efektifitas peredaman energi gelombang oleh vegetasi pantai juga
bergantung pada kemampuan vegetasi pantai untuk mereduksi energi angin. Pada
kondisi alami, zonasi yang utuh dari vegetasi pantai memiliki kemampuan untuk
membelokkan arah angin ke atas, sehingga mencegah tumbangnya pohon besar
yang berada di tengah pulau. Dengan demikian, bentuk zonasi vegetasi pantai
yang utuh juga memiliki peran secara tidak langsung dalam mencegah abrasi
(Desai, 2000). Selain sebagai peredam abrasi, vegetasi pantai juga memiliki fungsi
sebagai penahan intrusi air laut, penjebak zat hara, mereduksi energi angin dan
badai
2.6.6. Tsunami
menyebabkan disposisi air secara vertikal dalam jumlah besar. Istilah Tsunami
berasal dari Bahasa Jepang, yaitu tsu yang berarti pelabuhan dan nami yang berarti
gelombang, yang mulai digunakan sejak Tahun 1963. Pada masa lampau, istilah
tsunami sering digunakan untuk menyebut fenomena alam pasang-surut. Namun
demikian, arti ini dirasakan tidak lagi cocok karena fenomena pasang-surut
(astronomical tide) disebabkan oleh gaya traksi antara Bumi dan benda-benda di
angkasa terutama Bulan dan Matahari.
(Naryanto, 2003) membagi wilayah selat sunda menjadi lima kawasan rawan
tsunami yaitu zona I (merak), zona II ( Anyer-Carita), Zona III (Bandar Lampung),
Zona IV (Kalianda, dan Zona V (Labuan). Sumber utama pembangkit tsunami di
kawasan Selat Sunda adalah gempa bumi, Letusan Anak gunung Krakatau, dan
Longsoran bawah laut.Kondisi eluk Lampung yang menyempit akan mempercepat
penjalaran gelombang tsunami, sehingga dampaknya akan lebih merusak.
Sementara menurut Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral, Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, membagi kawanan di perairan Teluk
Lampung menjadi tiga zona, yaitu zona kerawanan rendah, sedang dan tinggi.
Sementar untuk daerah kajian di Kalianda dan sekitarnya merupakan daerah yang
juga cukup rawan terhadap bahaya tsunami (Gambar 17).
DAFTAR ACUAN
Allen Consulting Group. (2005). Climate Change Risk and Vulnerability, Promoting
an efficient adaptation responsein Australia. Australian Greenhouse Office,
Department of the Environment and Heritage .
Desai, K. N. (2000). Dune vegetation : need for reappraisal. Coastin. A Coastal
Policy Research Newsletter.
Diposaptono, S., & Budiman, F. A. (2009). Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Bogor: Buku Ilmiah Populer.
Efendi, E. (2011). Simulasi Numerik Model Hidrodinamika 3 Dimensi di Perairan
Teluk Lampung. 9(2).
Efendi, E., & Purwandani, A. (2013). Korelasi Asian Monsoon , El Nino South
Oscilation Dan Indian Ocean Dipole Terhadap Variabilitas Curah Hujan Di
Propinsi Lampung. 2(1).
Gibbs, W. J. (1987). Defining Climate. WMO Bulletin.
IPCC. (2007). The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the
Fourth Assessment Report of the IPCC. Cambridge University Press.
Koropitan, A. (2003). Pemodelan ekosistem perairan di Teluk Lampung. Thesis
magister Program Khusus Oseanografi, Program Studi Oseanografi dan
Sain Atmosfer. Program Pasca Sarjana, Institut Teknologi Bandung.
Manyena, S. B. (2006). The Concept of Resilience Revisited. 30(4).
Messner, T. (2005). Environmental variables and the risk of disease. 64(5).
Miharja, D. K., Rajawane, I. M., & Ali, M. (1995). Studi penyebaran air panas di
Tarahan, Lampung. . Jakarta: PT. Wiratman dan Assosiates.
Mulyana, E. (2002). Hubungan Antara ENSO dengan Variasi Curah Hujan di
Indonesia. 3(1).
Naryanto, H. S. (2003). Mitigasi Kawasan Pantai Selatan Kota Bandar Lampung
Propinsi Lampung Terhadap Bencana Tsunami. 8(2).
NZCCO . (2005). Coastal Hazards and Climate Change: A guidance manual for local
government in New Zealand. Ministry for the Environment.
Sprintall, J., Chong, J., Syamsudin, F., Morawitz, W., Hautala, S., Bray, N., & Wijffels,
S. (1999). Dynamics of the South Java Current in the Indo‐Australian Basin.
Geophysical research letters, 26(16).
Stern, N. (2008). The Economics of Climate Change. The American Economic
Review.