BAB I
PENDAHULUAN
1
2
2
3
BAB II
PEMBAHASAN
Peraturan Tutorial :
1. Semua anggota tutorial harus mengeluarkan pendapat.
2. Mengacungkan tangan jika ingin memberipendapat.
3. Berbicara dengan sopan dan penuh tata krama.
4. Izin bila ingin keluar ruangan.
3
4
4
5
(Dorland, 2012)
2.4 Identifikasi Masalah
1. Tn. Tua, usia 75 tahun, dibawa keluarga ke IGD RSMP karena meracau
sejak 1 hari yang lalu. Tiga hari yang lalu pasien tidak mau makan dan
cenderung lebih baik banyak tidur.
2. Menurut keluarganya, Tn. Tua mengeluh batuk yang tidak terlalu sering
kadang-kadang berdahak berwarna kuning yang susah dikeluarkan,
demam yang tidak terlalu tinggi dan tidak mengeluh sesak.
3. Tn. Tua sebelumnya masih dapat melakukan aktivitas mandiri, namun
terkadang lupa dimana telah meletakkan barang seperti kaca mata dan
kunci rumah. Tn. Tua juga lupa mengingat hal-hal yang baru terjadi.
Keluhan ini dirasakan sejak 2 tahun dan makin sering dirasakan sejak 1
tahun terakhir.
5
6
4. Satu tahun terakhir, Tn. Tua sering mengeluh BAK tidak lampias dan
didiagnosis Dokter mengalami pembesaran prostat. Dokter
menyarankan untuk dilakukan operasi, namun Tn. Tua menolak. Enam
bulan terakhir, Tn. Tua sering mengeluh tidak bisa BAK dan dibawa ke
UGD untuk dilakukan pemasangan kateter. Tn.Tua merasa lega setelah
pemasangan kateter. Tn.Tua merasa lega setelah pemasangan kateter.
Tn. Tua mengeluh BAK keluar sendiri sehingga celana Tn. Tua sering
basah
5. Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum: delirium
Vital sign: TD: 130/80 mmHg; RR: 26 x/menit, Temp: 37,6oC, HR: 96
x/menit reguler
Pemeriksaan khusus:
Kepala: konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Thoraks: Simetris, retraksi tidak ada, batas jantung kiri 3 jari mid
clavicula sinistra ICS V dan terdengar ronki basah di basal paru kanan,
slem (-)
Abdomen: Datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba
Genital: terpasang kateter
Ekstremitas: kekuatan motorik (5)
6. Pemeriksaan Laboratorium:
Hb : 11 gr% Leukosit: 12.000/mm3
Diff Count : 0/1/2/75/20/2
Urin rutin : Leukosit 1-2, eritrosit (-)
Kimia darah : GDS 132 mg/dl, albumin 2,8 gr/dl, ureum 20
mg/dl, creatinin 0.8 mg/dl, asam urat 4 mg/dl
7. Pemeriksaan Rontgen Thorak: Terdapat infiltrat di basal pulmo dextra.
8. Pemeriksaan MMSE (Mini Mental Stase Examination) : 2
MMSE setelah kondisi pasien membaik: 26
Skor indikator Malnutrisi: Skor Mini Nutritional Assesment (MNA): 16
ADL saat ini: 5
6
7
7
8
8
9
Sintesis :
Delirium didefinisikan sebagai penyebab disfungsi mental
yang sementara, biasanya reversibel, dan bermanifestasi secara
klinis dengan berbagai kelainan neuropsikiatrik. Penyakit ini
dapat terjadi pada semua usia, tetapi lebih sering terjadi pada
pasien yang sudah lanjut usia dan memiliki status mental yang
sebelumnya terganggu.
Berbagai gejala dan tanda pada sindrom delirium akan
berfluktuasi dari waktu ke waktu. Pasien dengan sindrom
delirium bisa muncul dengan gejala seperti psikosis yakni
terdapat delusi, halusinasi, serta pola pikir yang tidak
teorganisasi.
Diagnostik dan Statistik Manual Gangguan Mental, Edisi
Kelima (DSM-5) kriteria diagnostik untuk delirium adalah
sebagai berikut:
1. Gangguan dalam perhatian (yaitu, kemampuan yang
berkurang untuk fokus, mempertahankan, dan mengalihkan
perhatian) dan kesadaran.
2. Perubahan kognisi (misalnya, defisit memori, disorientasi,
gangguan bahasa, gangguan persepsi) yang tidak lebih baik
dicatat oleh demensia yang sudah ada sebelumnya, mapan,
atau berkembang.
3. Gangguan berkembang dalam waktu yang singkat (biasanya
jam hingga hari) dan cenderung berfluktuasi selama hari.
4. terdapat riwayat, pemeriksaan fisik, atau temuan
laboratorium bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh
konsekuensi fisiologis langsung dari kondisi medis umum,
zat memabukkan, penggunaan obat-obatan, atau lebih dari
satu penyebab (Budiman, 2013).
9
10
Ketidakseimbangan
neurotransmitter,
gangguan komunikasi
di sinaps
Delirium
Meracau
10
11
Sintesis:
Delirium merupakan fenomena kompleks, multifaktorial, dan
mempengaruhi berbagai bagian sistem saraf pusat. Hingga saat
ini, patofisiologi terjadinya delirium masih belum diketahui
dengan jelas. Setidaknya ada enam mekanisme yang
diperkirakan terlibat.
1. Neuroinflamasi
Inflamasi perifer (akibat infeksi, operasi, atau trauma)
dapat menginduksi sel parenkim otak untuk melepaskan
sitokin inflamasi. Akibatnya, terjadi disfungsi neuron dan
sinaps. Pada pasien delirium, ditemukan peningkatan
kadar CRP, IL-6, TNF-α, IL-1RA, IL-10, dan IL-8.
2. Neuronal Aging
Proses penuaan menyebabkan berbagai perubahan pada
otak, yaitu penurunan aliran darah dan densitas vaskular;
berkurangnya neuron; perubahan pada sistem transduksi
sinyal; serta perubahan neurotransmiter pengatur stres
(stress-regulating neurotransmitters). Perubahan ini dapat
menyebabkan defisit kognitif, termasuk delirium.
Hipotesis ini juga menjelaskan kerentanan kelompok
lansia mengalami delirium saat mengalami distres.
3. Stres Oksidatif
Distres pada tubuh (misalnya: infeksi, sakit berat, atau
kerusakan jaringan) akan meningkatkan konsumsi oksigen
sehingga ketersediaan oksigen dalam darah menurun.
Tubuh melakukan kompensasi dengan menurunkan
metabolisme oksidatif di otak. Akibatnya, terjadi disfungsi
otak yang menimbulkan gejala delirium. Kondisi ini juga
memicu terbentuknya oksigen dan nitrogen reaktif yang
memperparah kerusakan jaringan otak. Kerusakan ini
bersifat menetap dan menyebabkan komplikasi berupa
penurunan kognitif permanen.
11
12
4. Perubahan Neurotransmiter
Hipotesis ini menyatakan bahwa delirium disebabkan oleh
ketidakseimbangan neurotransmiter, terutama asetilkolin
dan dopamin.
A. Asetilkolin
Kadar asetilkolin ditemukan menurun pada pasien
delirium. Kadar ini kembali normal setelah pasien
tidak lagi delirium. Selain itu, obat-obatan
antikolinergik (penghambat asetilkolin) terbukti
dapat menyebabkan delirium.
B. Dopamin
Dopamin dan asetilkolin memiliki hubungan
resiprokal (berlawanan). Terjadi peningkatan kadar
dopamin pada delirium. Pemberian obat golongan
penghambat dopamin juga dapat mengurangi
gejala delirium..
5. Neuroendokrin
Hipotesis ini menyatakan bahwa delirium merupakan
reaksi stres akut akibat kadar kortisol yang tinggi. Hormon
ini berhubungan dengan peningkatan sitokin proinflamasi
di otak dan kerusakan neuron. Hipotesis neuroendokrin
juga menjelaskan timbulnya delirium pada pasien yang
mendapat glukokortikoid eksogen.
6. Disregulasi Diurnal
Gangguan siklus sirkadian dapat memengaruhi kualitas
dan fisiologi tidur. Kekurangan tidur dapat memicu
munculnya delirium, defisit memori, dan psikosis.
(Inouye, 2014; Alagiakrishnan, 2017).
12
13
e. Apa makna 3 hari yang lalu pasien tidak mau makan dan
cenderung lebih baik banyak tidur?
Jawab:
Tidak mau makan, maknanya pasien mengalami inanisi
yang merupakan salah satu bagian dari sindrom geriatri
yang dapat menyebabkan pasien kekurangan asupan nutrisi
yang akan berdampak malnutrisi.
Cenderung lebih baik banyak tidur, maknanya pasien
mengalami imobilisasi yang merupakan salah satu bagian
dari sindrom geriatri.
Sintesis:
Imobilisasi didefinisikan sebagai keadaan tidak
bergerak/tirah baring selama 3 hari atau lebih, dengan gerak
anatomi tubuh menghilang akibat perubahan fungsi
fisiologis. Berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan
dapat menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut. Penyebab
utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah,
kekakuan otot, ketidakseimbangan, dan masalah psikologis
(Kane, 2008).
13
14
14
15
Sintesis:
Penyebab pasien lansia tidak mau makan, yaitu :
1. Jumlah Gigi
Kehilangan gigi dapat mengganggu usila ketika makan
sehingga mengurangi selera makan
2. Penggunaan Obat
Penggunaan berbagai macam obat mengakibatkan besar
kemungkinan efek samping seperti kelemahan, pusing,
diare, perubahan rasa, dan nafsu makan, mual, serta
sembelit
3. Kurangnya Dukungan Sosial
Dukungan sosial berkaitan dengan kesendirian yang
mempunyai efek negative pada semangat kerja,
kesejateraan, selera makan
4. Depresi
Konflik dengan keluarga atau anak dan tidak mempunyai
keturunan yang dapat memicu terjadinya depresi.
Penelitian diketahui bahwa usia lanjut yang mempunyai
depresi berat memiliki penurunan asupan makan
5. Delirium
Suatu kondisi gelisah disertai dengan gangguan kesadaran.
Biasanya pasien yang mengalami delirium tidak
menyadari apa yang terjadi dan apa yang dilakukan.
Faktor pencetus paling sering adalah infeksi terutama
infeksi pada paru dan seluran kemih, kekurangan cairan,
gangguan elektrolit, dan perubahan lingkungan.
(Harimurti. & Roosheroe, 2014)
16
Sintesis:
Terdapat beberapa faktor predisposisi terjadinya
pneumonia yaitu kebiasaan merokok, pasca infeksi virus,
diabetes melitus (DM), payah jantung, penyakit arteri
koroner, keganasan, kelainan atau kelemahan struktur
organ dada dan penurunan kesadaran juga adanya
tindakan invasif seperti infus, intubasi, trakeostomi, atau
pemasangan ventilator. Perlu diperhatikan juga faktor
lingkungan misalnya rumah jompo, penggunaan
antibiotik (AB) dan obat suntik IV, serta keadaan
alkoholik yang meningkatkan kemungkinan terinfeksi
kuman gram negatif. Pada masa kini terlihat perubahan
pola mikroorganisme penyebab infeksi saluran nafas
bawah akut (ISNBA) akibat adanya perubahan keadaan
pasien seperti gangguan kekebalan dan penyakit kronik,
polusi lingkungan dan penggunaan antibiotik yang tidak
tepat yang menimbulkan karakteristik kuman (Dahlan,
2014).
18
Sintesis :
Patogenesis Pneumonia
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan
mikroorganisme di paru. Keadaan ini disebabkankan oleh
mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh,
mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan
penyakit. Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada
kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak
permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara
mikroorganisme mencapai permukaan :
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah
secara Kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada infeksi
virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur.
Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui
udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol dan
20
Sintesis:
Proses menua menyebabkan individu menjadi lebih rentah
terhadap berbagai penyakit. Salah satu hal yang berkontribusi
terhadap peningkatan risiko infeksi, yaitu imunosenesens,
terjadinya disregulasi sistem imun yang terjadi seiring proses
menua. Pengaruh proses menua pada sistem imun terutama
berupa penurunan respon imun spesifik dengan perubahan yang
minimal pada sistem imun non spesifik. Secara umum terjadi
21
Sintesis :
Activity of Daily Living (ADL) ada 2 yaitu, ADL standar
dan ADL instrumental. ADL standar meliputi kemampuan
merawat diri seperti makan, berpakaian, buang air besar/kecil,
dan mandi. Sedangkan ADL instrumental meliputi aktivitas yang
kompleks seperti memasak, mencuci, menggunakan telepon, dan
22
Sintesis:
Mild Cognitive Impairment (MCI) merupakan stadium
gangguan kognitif yang melebihi perubahan normal yang terkait
dengan penambahan usia, akan tetapi aktivitas fungsional masih
normal dan belum memenuhi kriteria demensia dimana defisit
kognitif pada demensia lebih parah dan luas serta berdampak
besar pada aktivitas harian.
Mild Cognitive Impairment (MCI) yang Berdampak pada
Memori disebut Amnestic MCI, penderita amnestic MCI,
biasanya melupakan informasi penting yang seharusnya dapat
diingat dengan mudah, seperti pertemuan, percakapan, dan
kejadian yang baru berlalu. Namun, kapasitas kognitif lainnya
seperti fungsi eksekutif, bahasa, dan kemampuan visuospasial
masih baik, dan aktivitas fungsional masih normal. Amnestic
MCI mungkin pertanda penyakit Alzheimer, karena banyak
23
Sintesis:
Kebanyakan pasien MCI dapat menjalani hidup normal. Secara
umum tidak ada kesulitan dalam berpikir dan dapat
berkomunikasi dengan normal. Keluhan paling umum adalah
mudah lupa. Keluhan yang lebih jarang termasuk gangguan
berbahasa (kesulitan menemu kan kata-kata), gangguan perhatian
(kesulitan untuk memfokuskan percakapan), penurunan
kemampuan visuospasial (disorientasi keadaan lingkungan yang
familiar). Tidak semua penderita MCI mengalami perburukan,
sebagian dapat mengalami perbaikan. Akan tetapi, dari seluruh
pasien MCI, 80 % akan berkembang menjadi demensia dalam
waktu 6 tahun diketahui bahwa individu dengan MCI memiliki
peningkatan risiko untuk menjadi Alzheimer, terutama jika
masalah utama adalah memori (Anderson, 2014).
24
Sintesis:
Menurut Mila (2010) secara anatomi, disfungsi memori pada MCI
berkaitan dengan deteriorasi, disfungsi atau atrofi struktural
mikro &/ makrodiantaranya (yang banyak dilaporkan) di lobus
temporal medial (regio yang terkait dengan pembentukan dan
konsolidasi memori jangka panjang), area midbrain (hipokampus
dan parahipokampus), lobus parietal (terutama bagian inferior dan
medial), serta frontolimbik termasuk frontal, insular, amigdala,
singulat (dikaitkan dengan agresi dan agitasi). Terdapat salah satu
model patofisiologi yaitu adalah kombinasi berbagai faktor yang
mengakibatkan akumulasi amiloid β (Aβ) di otak, mengakibatkan
disfungsi sinaps, pembentukan tangle, dan kematian sel. Proses
ini berlangsung bertahun–tahun sampai beberapa dekade, dimana
stadium preklinis Alzheimer dapat terlihat sebagai MCI. .Menurut
hipotesis ini, gangguan kognitif disebabkan deposisi amiloid–β
yang pelan-pelan menghancurkan neuron secara difus.
Pembentukan plak amiloid mencetuskan inflamasi, aktivasi
25
Sintesis :
Masalah-masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia berbeda
dari orang dewasa, yang sering disebut dengan sindroma geriatri yaitu
kumpulan gejala-gejala mengenai kesehatan yang sering dikeluhkan
oleh para lanjut usia dan atau keluarganya (istilah 14 I), yaitu:
1. Immobility 11. Iatrogenesis
2. Instability (falls) 12. Insomnia
3. Intelectual impairment 13. Impairment of ;
(demensia) Vision
4. Isolation (depresion) Hearing
5. Incontinence Taste
6. Impotence Smell
7. Immuno-deficiency Comunication
8. Infection Convalescense
9. Inanition (malnutrition) Skin integrity
10.Impaction(constipation) 14. Infortunity
(Kemenkes, 2018)
28
4 Satu tahun terakhir, Tn. Tua sering mengeluh BAK tidak lampias
dan didiagnosis Dokter mengalami pembesaran prostat. Dokter
menyarankan untuk dilakukan operasi, namun Tn. Tua menolak.
Enam bulan terakhir, Tn. Tua sering mengeluh tidak bisa BAK dan
dibawa ke UGD untuk dilakukan pemasangan kateter. Tn.Tua
merasa lega setelah pemasangan kateter. Tn.Tua merasa lega setelah
pemasangan kateter. Tn. Tua mengeluh BAK keluar sendiri sehingga
celana Tn. Tua sering basah
Perubahan Fisiologis
Kapasitas menurun
Kemampuan menahan miksi menurun
Kontraksi involunter meningkat
Volume residu pasca berkemihmeningkat
Perubahan Fisiologis
Tekanan penutupan menurun
Tekanan akhiran keluar menurun
Prostat Hiperplasia dan membesar
Vagina Komponen seluler menurun
Mukosa Atrofi
Dasar Panggul Deposit Kolagen Meningkat
Rasio Jaringan Ikat Otot Meningkat
Otot Melemah
(Setiati, 2014).
Sintesis
1. Inkontinensia Urine Akut (Transient incontinence)
Inkontinensia Urin Transien ini sering disingkat DIAPPERS, yaitu:
Delirium atau kebingungan - pada kondisi berkurangnya
kesadaran baik karena pengaruh dari obat atau operasi,
kejadian inkontinensia dapat dihilangkan dengan
mengidentifikasi dan menterapi penyebab delirium.
Infection – infeksi saluran kemih seperti urethritis dapat
menyebabkan iritasi kandung kemih dan timbul frekuensi,
disuria dan urgensi yang menyebabkan seseorang tidak
mampu mencapai toilet untuk berkemih.
Atrophic Uretritis atau Vaginitis – jaringan teriritasi dapat
menyebabkan timbulnya urgensi yang sangat berespon
terhadap pemberian terapi estrogen.
Pharmaceuticals –dapat karena obat-obatan, seperti terapi
diuretik yang meningkatkan pembebanan urin di kandung
kemih.
Psychological Disorder – seperti stres, depresi, dan anxietas.
Excessive Urin Output– karena intake cairan, alkoholisme
diuretik, pengaruh kafein.
Restricted Mobility – dapat penurunan kondisi fisik lain yang
mengganggu mobilitas untuk mencapai toilet.
Stool Impaction – dapat pengaruh tekanan feses pada kondisi
konstipasi akan mengubah posisi pada kandung kemih dan
menekan saraf.
2. Inkontinensia urin kronik (persisten)
Inkontinensia urin kronik (persisten) yaitu: menurunnya kapasitas
kandung kemih akibat hiperaktif dan karena kegagalan
pengosongan kandung kemih akibat lemahnya kontraksi otot
detrusor.
Inkontinensia urin tipe urgensi :tipe ini disebut juga overaktif
vesika Urinaria. Inkontinensia urin tipe Urgensi dicirikan
Sintesis:
Inkontinensia urin bisa terjadi karena adanya gangguan atau
malfungsi dari setiap komponen yang terlibat pada proses miksi.
Secara patogenesis salah satu penyebab dari inkontinensia yaitu
penyebab secara anatomi (Bhagwath, 2001). Pada titik ini, proses
miksi akan berhenti meskipun vesica urinaria masih penuh (Vogel,
2001). Selain itu, obstruksi sphincter urethra dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intravesikular yang terlalu berlebihan pada
vesica urinaria dimana salah satu penyebab dari obstruksi tersebut
adalah hipertrofi dari prostat seperti yang terjadi pada kasus
ini.Inkontinensia tipe overflow biasanya berhubungan dengan
obstruksi sphincter urethra atau kontraktilitas musculus detrusor
yang buruk serta pengosongan vesica urinaria yang tidak optimal.
Pada pria, benign prostate hyperplasia (BPH) dapat menyebabkan
obstruksi dari sphincter urethra dan menyebabkan inkontinensia
tipe overflow (Griebling, 2009).
g. Apa makna Tn. Tua sering mengeluh BAK tidak lampias dan
didiagnosis Dokter mengalami pembesaran prostat?
Jawab:
Terdapat obstruksi pada leher kandung kemih karena
pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra
prostatika dan menghambat aliran urin
Sintesis:
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra
prostatika dan menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine,
buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu.
Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomi
buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya
selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada
buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada
j. Apa makna keluhan BAK keluar sendiri sehingga celana Tn. Tua
sering basah?
Jawab:
Mengalami inkontinensia urin
Sintesis:
Inkontinensia urin merupakan salah satu keluhan utama pada
penderita lanjut usia. Batasan inkontinensia adalah pengeluaran
urin tanpa disadari, dalam jumlah dan frekuensi yang cukup
sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan sosial.
Variasi dari inkontinensia urin meliputi dari kadang-kadang keluar
hanya beberapa tetes urin saja, sampai benar-benar banyak
(Pranarka, 2014).
5. Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum: delirium
Vital sign: TD: 130/80 mmHg; RR: 26 x/menit, Temp: 37,6oC, HR: 96
x/menit reguler
Pemeriksaan khusus:
Kepala: konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Thoraks: Simetris, retraksi tidak ada, batas jantung kiri 3 jari mid
clavicula sinistra ICS V dan terdengar ronki basah di basal paru kanan,
slem (-)
Abdomen: Datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba
Genital: terpasang kateter
tubuh (misal
ekstremitas) sesuai
perintah
6. Pemeriksaan Laboratorium:
Hb : 11 gr%
Leukosit: 12.000/mm3
Diff Count : 0/1/2/75/20/2
Urin rutin : Leukosit 1-2, eritrosit (-)
Kimia darah : GDS 132 mg/dl, albumin 2,8 gr/dl, ureum 20
mg/dl, creatinin 0,8 mg/dl, asam urat 4 mg/dl
Leukositosis :
Ketika agen infeksi masuk ke dalam tubuh → peradangan
makrofag yang berasal dari monosit di jaringan yang terinfeksi
→Infiltrasi neutrofil dan monosit → Peningkatan produksi
granulosit dan monosit oleh sumsum tulang dan →leukositosis
Hipoalbumin :
Menurut Kurniawan, et al (2014), hipoalbuminemia pada kasus
ini kemungkinan disebabkan oleh infeksi dan malnutrisi.
1. Infeksi
Pada kondisi infeksi terjadi penurunan kadar albumin serum
yang dimediasi oleh sitokin-sitokin seperti IL-2, IFN-alfa, dan
IL-6. Faktor-faktor yang berkontribusi dalam penurunan
konsentrasi albumin serum masih menjadi kontroversi.
Terdapat beberapa teori yang berusaha menjelaskan proses
terjadi hipoalbuminemia pada kondisi infeksi seperti adanya
gangguan sintesis albumin saat inflamasi, sekuestrasi albumin
ke ruang ekstravaskular, dan peningkatan katabolisme
albumin.
2. Malnutrisi
Albumin juga merupakan penanda biokimia yang paling sering
digunakan untuk kondisi malnutrisi. Pada keadaan malnutrisi
energi protein yang ringan, terjadi adaptasi tubuh untuk
mempertahankan kadar albumin serum yang normal dengan
jalan mengurangi proses katabolisme dan kembalinya albumin
di jaringan interstisial ke ruang intravaskular. Pada malnutrisi
energi protein yang sudah lanjut, proses adaptasi ini dapat
Sintesis:
MMSE didesain untuk mendeteksi dan menjajaki
kemungkinan gangguan kognitif yang terkait dengan
gangguan neurodegeneratif.
Tabel. 2.2 Interpretasi MMSE
Metode Skor Interpretasi
Penilaian < 24 Abnormal
cepat
Range < 21 Increased odds of dementia
> 25 Decreased odds of dementia
Pendidikan 21 Abnormal untuk tingkat pendidikan
SMP ke bawah
< 23 Abnormal untuk tingkat pendidikan
SMA
< 24 Abnormal untuk tingkat pendidikan
tinggi (D3/S1/S2/S3)
Tingkat 24-30 Tidak ada gangguan kognitif
Keparahan 18-23 Gangguan kognitif ringan
0-17 Gangguan kognitif berat
2.6 Kesimpulan
Tn. Tua, usia 75 tahun, dengan keluhan meracau, batuk berdahak, demam
yang tidak terlalu tinggi dan tidak mengeluh sesak, terkadang lupa dan BAK
keluar sendiri karena mengalami sindroma geriatri.
Penurunan
Penurunan
Mudah Gangguan Fungsi
Traktus
terkena Saluran Otak
Urinarius
Infeksi Gastrointestinal
Mild
Inanition
Pneumonia Cognitive
(Malnutrisi) Impairment
(Infeksi) (MCI)
Inkontinensia
Urin Tipe
Delirium Overflow
Sindrom Geriatri
DAFTAR PUSTAKA
Price, A. Sylvia, Lorraine Mc. Carty Wilson, 2006, Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit, Edisi 6, (terjemahan), Peter Anugrah. Jakarta:
EGC.
Pranarka., K. 2014. Inkontinensia. Dalam; Darmojo .Geriatri Ilmu Kesehatan
Usia Lanjut.Edisi 5.Jakarta : FKUI
Purnomo., B. 2011. Dasar-Dasar Urologi. Jakarta: CV.Sagung Seto.
Rahmatullah., P. 2015. Penyakit Paru Pada Usia Lanjut. Dalam: Martono, H &
Pranaka, K(Eds), Buku Ajar Boedhidarmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan
Usia Lanjut).Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Setiati.,S. 2014. Inkontinensia Urin. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Edisi Iv. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Snell.,R.. 2014. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6.
Jakarta: EGC.Sadock.,B.,J Dan Alcott.V., 2010. Buku Ajar Psikiatri
Klinis. Ed Ke- 2. Egc :Jakarta.
Vogel, S.L. 2001. Urinary Incontinence in the Elderly. The Ochsner Journal. 3(4):
215-6.
Wibisono.,H.,B dan Hadisaputro.,S. 2015. Dalam Darmojo.,B. Buku Ajar
Geriatri. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
.