Anda di halaman 1dari 12

AKUNTANSI PERBANKAN DAN LPD

MATERI 8: Sejarah Keberadaan Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Tri Hita Karana dan
Catur Purusa Harta

OLEH : KELOMPOK 4
NAMA KELOMPOK :
1. Ni Putu Sathya Darmayanti (1707532041/04)
2. Ni Nyoman Mira Miladeny (1707532043/06)
3. Made Ayu Riski Meinanda K. (1707532048/11)
4. Ida Ayu Shanti Dharmasari (1707532054/14)
5. Ida Ayu Made Sinta Widiari (1707532073/26)

PROGRAM S1 AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

2019
I. LEMBAGA PERKREDITAN DESA
A. Sejarah
Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali adalah lembaga keuangan desa yang dimiliki
oleh Desa Adat. Lembaga Perkreditan Desa (LPD) merupakan buah pikiran Gubernur Bali, Prof.
Dr. Ida Bagus Mantra. Gagasan mendirikan LPD diilhami keberadan Lumbung Pitih
Nagari (LPN) yang merupakan lembaga simpan pinjam untuk masyarakat adat yang sukses di
Padang Sumatera Barat.
Dengan mengadopsi konsep sekaa dan desa adat yang telah tumbuh sejak lama di dalam
masyarakat Bali, Gubernur Bali kemudian meluncurkan Lembaga Perkreditan Desa (LPD).
Tujuan LPD yakni membantu desa adat dan krama desa adat dalam pembangunan adat, budaya
dan agama. Keuntungan LPD direncanakan untuk membangun kehidupan sosial-budaya
masyarakat Bali, baik untuk pembangunan fisik maupun nonfisik.
Sebagai langkah awal dibuatlah pilot project satu LPD di tiap-tiap kabupaten. Kala itu,
dasar hukum pembentukan LPD hanyalah Surat Keputusan (SK) Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I Bali No. 972 tahun 1984, tanggal 19 Nopember 1984. Sebagai Implementasi dari
Kebijakan Pemerintah Daerah Tingkat I Bali tersebut di atas, maka secara resmi LPD beroperasi
mulai 1 Maret 1985. Di setiap kabupaten didirikan sebuah LPD.
Di Kabupaten Badung, LPD yang pertama kali berdiri yakni LPD Desa Adat Lukluk,
Mengwi pada 7 Maret 1985. Di Kecamatan Kuta, desa adat yang pertama kali mendirikan LPD
yakni Legian. LPD Desa Adat Kedonganan merupakan LPD kedua yang berdiri di Kecamatan
Kuta setelah LPD Desa Adat Legian.
Integrasi LPD di dalam kehidupan dan hukum adat telah menjadi sebuah kerangka yang
sangat kuat untuk mengembangkan hubungan pelanggan dan mengelola resiko. Oleh karena itu
lembaga ini sudah menerapkan aturan, norma dan nilai yang diyakini bersama. LPD di Bali
sudah ada sejak tahun 1984, perkembangan LPD di Bali sangat pesat sehingga masyarakat Desa
Adat Kuta berkeinginan mendirikan LPD. LPD Bali beroperasi tanggal 25 Nopember 1995
dengan berpedoman kepada Perda Prop. Dati I Bali No. 2 Th 1988 dan Keputusan Gubernur
KDH Tk I Bali No 619 Th 1995.
Pada awal operasi LPD Desa Adat Kuta memiliki modal awal sebesar Rp. 31.600.000
yang berasal dari Desa Adat Kuta sebesar Rp. 25.000.0000, dari bantuan APBD Pemda Tk I Bali
Rp 5.000.000, dan bantuan dari APBD Pemda Tk II Badung sebesar Rp. 1.600.000. Kantor LPD
yang berlokasi di Pasar Seni I Kuta diresmikan oleh Bapak Gubernur Bali pada tanggal 12
Januari 1996 di dukung sepenuhnya oleh 13 Banjar yang ada di Desa Adat Kuta. Pada awalnya
kantor LPD ditunjang dengan peralatan yang sederhana dengan 3 Pengurus dan 3 Pegawai.
Berkat semangat dan perjuangan Prejuru Desa Adat Kuta dan Pengurus LPD, menyakinkan
masyarakat desa dan mempromosikan LPD ke masing – masing banjar Se-Desa Adat Kuta.
Melalui semangat pengabdian, dukungan dan partisipasi masyarakat akhirnya LPD Desa
Adat Kuta dari bulan kebulan dan dari tahun ke tahun mengalami kemajuan dan peningkatan
yang pesat. Hal ini tidak terlepas dari kerjasama yang baik diantara, Pengurus Desa, Kelihan
Banjar, Pengurus LPD dan Krama Desa Adat Kuta. Bali ternyata telah membuktikan dirinya
memegang peranan yang sangat penting, tidak hanya dalam pada ajaran agama Hindu.
Sebuah desa mempunyai otonomi untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri berlandaskan awig-awig, perlu adanya usaha-usaha untuk meningkatkan kemandirian
dalam mengelola keuangan dan harta kekayaan milik desa sehingga mampu menatap
perkembangan dan kemajuan pembangunan. Untuk melestarikan dan meningkatkan kemandirian
kehidupan Bali dengan segala aspeknya perlu adanya upaya-upaya untuk memperkuat Keuangan
Desa Adat sebagai sarana penunjang melalui mendirikan suatu Badan Usaha Milik Desa Adat
berupa Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang bergerak dalam usaha simpan pinjam dengan
modal swadaya masyarakat (krama Desa) sendiri.
Lembaga keuangan binaan BPD Bali ini dikelola sepenuhnya oleh, dari, dan untuk desa
adat. Karena itu, pemberian kredit pun hanya diperuntukkan buat krama desa adat setempat, dan
umumnya tanpa agunan (jaminan). Pengawasan dari Lembaga Perkreditan Desa (LPD), atau
"Dewan Kredit Desa", adalah bank-bank kecil yang dimulai oleh Pemerintah Daerah Bali di era
tahun '80-an dengan sasaran untuk menyediakan satu alternatif dari praktek rentenir dan untuk
menciptakan dan membantu perkembangan pertumbuhan ekonomi di tingkatan pedesaan.
Dengan modal awal dan bimbingan teknis dari Pemda Bali, Perantara keuangan mikro ini
mempunyai karakteristik dan disain yang khusus, mereka dimiliki oleh Desa Adat. Pemerintah
Daerah Bali yang menyediakan modal dan menjadi penyelenggara kunci dari sistim dan laba
ditahan adalah sumber daya utama dari modal ekuitas dan kepemilikan secara de facto. LPD
hanya diijinkan untuk beroperasi di wilayah desanya sendiri dan diciptakan oleh Peraturan
Daerah (Provinsi). Yakni sebuah Peraturan Daerah (Provinsi) yang ditetapkan oleh DPRD, bukan
Pemerintah Daerah. Otoritas pengawasan didelegasikan kepada Bank Pembangunan Daerah
(BPD Bali), yang telah memulai mengembangkan suatu unit pengawasan LPD yang terpisah, di
bawah mana tugas pengawasan akan dilaksanakan oleh unit di tingkat Kantor Cabang Penilaian
atas pelaksanaan pengawasan intern LPD Pengawasan di tingkat LPD dimulai dari peran Prajuru
Desa, banyak diantaranya mengunjungi LPD setiap hari, berpartisipasi dalam persetujuan kredit,
dan juga menyelesaikan fungsi dasar kontrol dan pelaksanaan fungsi management dari waktu ke
waktu. Namun demikian, masalah yang dilaporkan adalah bahwa dewan pengawas internal pada
umumnya tidak mempunyai latar belakang yang sesuai dan atau tidak cukup dilatih untuk dapat
melaksanakan fungsi pengawasan secara baik.
Dewan Pengawas internal dari satu LPD dengan tegas meminta lebih banyak dukungan
dan satu instruksi panduan untuk lebih baik mempersiapkan diri mereka untuk menyelesaikan
kewajiban mereka. Sistem Pengawasan Dan Bimbingan LPD LPD berbeda dari lembaga
keuangan Mikro lain yang dikendalikan oleh pemerintah provinsi seperti badan kredit kecamatan
(BKK) di jawa tengah atau kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK) dijwa timur karena kepemilikan
dan pengorganisasiannya dipengarui oleh adat istiadat masyarakat Bali.
Keputusan Gubernur No. 344 / 1993 juga menyebutkan fungsi Bank BPD Bali. Dalam
pasal 2 keputusan tersebut (pemerintah Bali, 1993b) dinyatakan bahwa Bank BPD Bali memiliki
3 fungsi berkenaan dengan LPD. pertama, memberikan bimbingan teknis dalam dua cara yaitu
melalui bimbingan pasif, dan melalui bimbingan aktif yang dilakukan dengan kunjungan
langsung kelokasi LPD. Kedua, Bank BPD Bali memiliki tugas untuk mengelola koordinasi
dengan organisasi lain yang terlibat didalam proses bimbingan dan pengawasan LPD.Ketiga,
Bank BPD Bali harus menyiapkan laporan Evaluasi triwulan tentang kinerja keuangan dan
kesehatan LPD kepada gubernur. 
Tata Kelola Lembaga Perkreditan Desa Organisasi dan perencanaan Berdasarkan PERDA
Provinsi Bali No.8/2002, setiap LPD dikelola oleh sebuah komite (ketua, kasir dan petugas
administrasi). Deskripsi manajemen inti dapat dijelaskan bahwa ketua bertugas mengordinasi
kegiatan operasional harian LPD, pembuatan perjanjian kontrak dengan nasabah, bertanggung
jawab pada desa adat melalui pemimpinnya (Dewan Pengawas LPD), menyusun rencana
kegiatan dan anggaran, dan memformulasikan kebijakan LPD.
Petugas administrasi melakukan tugas-tugas administrasi, baik administasi umum
maupun tata buku, bertanggung jawab kepada ketua LPD, menyusun laporan neraca dan laporan
pendapatan, serta mengelola arsip. Sedangkan kasir adalah mencatat aliran dana. Staf LPD
membantu ketua melaksanakan tugasnya dan terlibat dalam pembuatan kegiatan dan rencana
anggaran dalam keputusan pemberian kredit. Dalam mengelola LPD, tim manajemen juga
memantau perubahan situasi makro-ekonomi, melakukan rapat formal triwulanan untuk evaluasi
internal yang melibatkan semua staf. Staf pengumpul kredit diberi pengarahan harian mengenai
tugas mereka oleh ketua LPD sebelum mereka mulai bekerja Evaluasi internal LPD dilakukan
oleh Dewan pengawas. Hal ini membenarkan pendapat bahwa struktur organisasi LPD mampu
mengimplementasikan kebijakan dan strategi LPD untuk mencapai tujuannya.
Kemampuan manajemen internal LPD memperoleh dukungan dari pengawasan dan
bimbingan yang diberikan pemerintah local pada tiap tingkatan dan oleh bank BPD Bali. Hal ini
membenarkan pendapat bahwa struktur organisasi LPD mampu mengimplementasikan kebijakan
dan strategi LPD untuk mencapai tujuannya. Kemampuan manajemen internal LPD memperoleh
dukungan dari pengawasan dan bimbingan yang diberikan pemerintah local pada tiap tingkatan
dan oleh bank BPD Bali. Prosedur Rekruitmen Tim manejemen inti direkrut dari desa adat local.
Mereka dipilih dari anggota komunitas desa dan ditetapkan dalam rapat desa untuk periode
empat tahun. Namun mereka dapat dipilih kembali apabila mampu bekerja dengan baik
(GovernmentofBali,2002,Articli11).
Komite manajemen biasanya dibantu oleh dua atau tiga staf yang bertanggung jawab
untuk mengumpulkan tabungan dan pinjaman. Prinsip Pengaturan Operasional Prinsip ini
mencakup peraturan mengenai kecakupan modal (capital adequacy), batas jumlah peminjaman
(legal lending limit), cadangan untuk kerugian pinjaman manajemen likuiditas, dan sistem
pemeringkatan LPD. LPD harus menerapkan prinsip kehati-hatian (prudential principle) dari
lembaga keuangan agar dapat menjadi lembaga keuangan yang sehat.
Mekanisme Penyaluran Pinjaman Dalam kaitannya dengan tingkat bunga, pada tahun
2002 tingkat bunga pinjaman untk pinjaman berkisar antara 27 hingga 33 persen, lebih tinggi
dari pada rata – rata tingkat bunga bank umum yang hanya 22 persen pertahun pada saat
itu.peraturan desa adat juga berlaku bagi staf LPD (Oka, 1999) yang melanggar peraturan dan
salah dalam mengelola operasional harian LPD, seperti kolusi, korupsi atau manipulasi.Sanksi
sosial dapat dikenakan pada mereka.selain itu, berdasarkan peraturan legal formal,pasal 24
peraturan Daerah No. 8 / 2002 yang menyatakan bahwa staf LPD yang melanggar peratturan dan
menyebabkan LPD menderita kerugian keuangan haruslah mengganti kerugian tersebut.pasal 26
yang menerangkan pasal 24 peraturan tersebut menekankan bahwa staf terpidana dapat
memperoleh hukuman maksimum 6 bulan penjara atau maksimum denda Rp 5 juta. Singkatnya,
gambaran ini menunjukan bahwa institusi informal ( seperti norma – norma dan sanksi sosial )
dan institusi formal ( peraturan legal formal ) digunakan bersama- sama dalam tata – kelola LPD.
Sistem Penggajian Sistem penggajian pada LPD secara umum dimaksudkan untuk
menstimulasi kinerja yang lebih baik dari stafnya, terutama dalam mengumpulkan pinjaman dan
mempromosikan dan melayani tabungan. Diantara manjemen inti LPD, ketua memperoleh gaji
paling tinggi, diikuti oleh petugas kasir dan tenaga administrasi. Prinsip penentuan gaji pokok
yang didasarkan biaya hidup di desa di mana LPD berada juga tercermin pada kuatnya hubungan
antara LPD dan lingkungan sosio-ekonominya. Kesimpulan LPD menawarkan peluang yang
sangat besar untuk menjangkau daerah-daerah dan masyarakat terpencil di Bali. Penelitian
tentang struktur kelembagaan dan manajemen LPD serta pengungkitan (leveraging) keberadaan
ketertiban sosial untuk mengelola risiko merupakan bahan pelajaran yang baik bagi industri
keuangan mikro yang lebih luas, asalkan sejumlah kondisi tertentu tersedia:
1. Menghubungkan dan menyelaraskan pengawasan internal/tradisional dengan pengawasan
eksternal
2. Mengindahkan keanekaragaman kebutuhan akan likuiditas, pelatihan dan pengawasan untuk
berbagai ukuran LPD yang berbeda
3. Menajemen keuangan dan pelaporan yang lebih mantap melalui pelatihan dan pemberian
nasehat dengan tepat
4. Peran yang jelas dan berbeda bagi instansi-instansi pengawasan
5. Adanya pilihan bagi peningkatan (graduation)/perubahan bentuk (transformasi) yang
memungkinkan LPD kecil, LPD yang sedang tumbuh dan LPD besar untuk mengakses
masukan (input) yang sesuai seperti pembiayaan ulang, dan pelayanan teknis tanpa adanya
peraturan-peraturan eksternal yang terlalu banyak.
Melalui kasus diatas kita lihat bahwa pengendalian tradisional terhadap lembaga
keuangan dapat mempunyai pengaruh yang baik dan yang buruk terutama didaerah terpencil,
dimana kunjungan pemeriksaan/pengawasan dan pengembangan kapasitas secara relatif sangat
sulit. Kurangnya keseimbangan antara struktur tata kelola internal dengan pengawasan dan
pengaturan eksternal dapat mempunyai pengaruh majemuk yang buruk bagi potensi
pertumbuhan suatu lembaga kecil yang sudah berjuang untuk mengatasi tantangan-tantangan
seperti keterpencilan, kekurangan kapasitas (kemampuan) dan likuiditas. Namun demikian,
apabila pondasi kepemilikan didalam masyarakat itu mantap, adanya keluasan jangkauan dan
kinerja keuangan yang baik, maka langkah-langkah menuju perbaikan tata kelola dan keganjilan
dari pengawasan pasti akan berguna.
Mengingat peluang yang disajikan oleh LPD untuk keluasan jangkauan dan kerangka
kelembagaan yang lengkap, maka perlu beberapa perubahan yang sangat berguna untuk
memperkuat semua lembaga ini di Bali dan bahkan ada kemungkinan meluas ke lembaga-
lembaga serupa dimanapun di dalam negeri. Secara fungsi dan tujuan LPD adalah untuk
memberikan kesempatan berusaha bagi para warga desa setempat, kemudian untuk menampung
tenaga kerja yang ada di pedesaan, serta melancarkan lalu lintas pembayaran, sekaligus
menghapuskan keberadaan lintah darat (rentenir). Keanggotaan LPD dari pemerintah sebagai
krama desa adat secara struktural, terdiri dari berbagai banjar. Semua krama banjar yang ada di
lingkungan desa, secara otomatis merupakan penopang dari keberadaan LPD.
B. Tri Hita Karana dan Catur Purusa Harta
Sebagai lembaga keuangan milik desa adat, LPD di Bali memiliki posisi strategis
dalam perspektif memperkuat ketahanan ekonomi warga masyarakat di pedesaan melalui
pengelolaan potensi yang dikemas dalam variasi aspek layanan jasa keuangan. Pada sisi lain,
lembaga desa adat dapat memanfaatkan LPD sebagai “lumbung” tempat penyimpanan kekayaan
desa yang semakin berkembang dan pada gilirannya tiap tahun memperloleh kompensasi
pembagian laba untuk mendukung aktivitas pembangunan di desa adat yang berkaitan dengan
aspek Tri Hita Karana , yakni parahyangan (hubungan manusia dengan Tuhan), pawongan
(hubungan sesama manusia) dan palemahan (hunbungan manusia dengan lingkungannya).
Aktivitas lembaga desa adat tidak bisa lepas dari ketiga aspek tersebut karena falsafah Tri Hita
Karana mengandung makna keseimbangan vertikal dan horizontal. Hal ini bisa terwujud apabila
semua pemangku kebijakan birokrasi di tingkat kabupaten/kota dan propinsi memiliki kesamaan
pandang untuk membangun kemandirian LPD dengan kebijakan yang berorientasi untuk
memperkuat kelembagaan melalui payung konstitusi.
Sejalan dengan keberadaan dan operasional LPD, tidak ada alasan untuk
“mengkerdilkan” lembaga tersebut, apalagi dengan memanfaatkan “tangan-tangan” pihak luar
Bali yang sejatinya tidak memiliki hubungan emosional dengan kemandirian LPD, baik secara
historis, sosiologis maupun ekonomis. Otoritas lembaga desa adat seharusnya diakui bukan
semata-mata dalam konteks menjadikan benteng mempertahankan keberadaan adat dan budaya,
tetapi lebih luas perlu dipahami sebagai institusi masyarakat adat untuk mengembangkan potensi
ekonomi lokal sekaligus sebagai pembelajaran wirausaha bagi warga masyarakat dalam
menghadapi persaingan ekonomi global. Sejalan dengan hal itu, LPD bisa dimanfaatkan oleh
warga desa adat secara maksimal untuk mengembangkan potensi ekonomi keluarga, kelompok-
kelompok sekeha (organisasi tradisional lokal), banjar, maupun pengembangan bisnis para
wirausahawan pemula dan pengusaha profesional lainnya.
Memang tidak mudah bagi pengurus dan kayawan LPD mengelola lembaga keuangan
milik desa adat di tengah pemahaman, status sosial dan ekonomii warga masyarakat yang
heterogen. Belum lagi adanya rambu-rambu yang wajib dipenuhi dan diikuti oleh LPD sehingga
tidak bisa mengembangkan usaha lebih luas sebagaimana lembaga keuangan lainnya. Tetapi
dibalik kendala keterbatasan pengembangan usaha, fakta empiris menunjukkan LPD yang
beroperasi di wilayah desa adat dengan tingkat perkembangan ekonomi yang cukup maju,
mampu mengemban visi dan misinya dengan membukukan capaian sisa hasil usaha
(keuntungan).
Dalam menjalankan kegiatan usahanya LPD Desa Pakraman Kikian didasari dengan
prinsip Catur Purusa Artha. Kegiatan usaha LPD merupakan kegiatan usaha yang disamping
bersifat sosial-ekonomi juga bersifat cultural - religius. Sehingga kegiatan usaha LPD memiliki
tujuan yang sejalan dengan tujuan Agama Hindu. Tujuan agama Hindu yang dirumuskan sejak
Weda mulai diwahyukan adalah "Moksartham Jagadhitaya ca iti Dharma", yang artinya bahwa
agama (dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan rohani dan kesejahteraan hidup jasmani
atau kebahagiaan secara lahir dan bathin. Tujuan ini secara rinci disebutkan di dalam Catur
Purusa Artha, yaitu empat tujuan hidup manusia, yakni Dharma, Artha, Kama dam Moksa.
Konsep Catur Purusa Artha yang dijadikan dasar Lembaga Perkreditan Desa (LPD)
Desa Pakran Kikian dalam menjalankan kegiatan usahanya bersumber atau didasari oleh hukum
Agama Hindu yang bersumber dari Kitab Suci Weda. Catur Purusa Artha terdiri dari empat
komponen yaitu: Dharma, merupakan dasar utama LPD dalam menjalankan kegiatan usahanya.
Dalam kegiatan usaha yang dilakukan oleh LPD Desa Pakraman Kikian harus selalu didasari
oleh Dharma yaitu kebaikan. Setelah mengamalkan dharma atau kebaikan dalam menjalankan
kegiatan usahanya maka Tuhan Ida Sang Hyang Widhi Wasa akan melimpahkan berkatnya
berupa Artha kepada umatnya yang telah mengamalkan ajarannya.
Artha, dalam hal ini setelah landasan yang utama dilaksanakan oleh Lembaga
Perkreditan Desa (LPD) Desa Pakraman Kikian berupa menjalankan ajaran Dharma atau
kebaikan barulah LPD Desa Pkraman Kikian menekankan kegiatan usahanya pada aspek
keuntungan dari usaha simpan- pinjam yang dilakukan terutama dalam hal pemberian kredit
kepada masyarakat yang akan memberikan keuntungan berupa bunga. Kama, Setelah aspek artha
yang menjadi tujuan yang kedua terpenuhi maka selanjutnya adalah Kama yaitu nafsu atau
keinginan atau pemenuhan kebutuhan hidup berupa sandang, pangan, dan papan. Jadi dengan
Artha tersebut maka Kama atau Keinginan akan bisa terpenuhi dengan keuntungan yang
diperoleh LPD dalam kegiatan usahanya dapat membantu masyarakat dalam hidup
bermasyarakat, seperti membantu pendanaan Desa Pakraman dalam melaksanakan pembangunan
Desa, membantu masyarakat baik masyarakat Desa Pakraman Kikian maupun masyarakat luar
Desa Pakraman Kikian dengan memberi pinjaman misalnya untuk keperluan usaha,
menyekolahkan anaknya, dan kebutuhan - kebutuhan yang lain.
Setelah ketiga tahap diatas tercapai maka yang terakhir adalah Moksa. Moksa yang
dimaksud disini adalah kebahagiaan. Jadi dengan kegiatan usaha yang dilakukan oleh LPD Desa
Pakraman Kikian yang dapat membantu perekonomian masyarakat desa sehingga dapat
meringankan beban kehidupan masyarakat desa sehingga beban hidup bermasyarakat semakin
ringan maka masyarakat akan merasa lebih senang atau bahagia karena sebagian atau seluruh
kebutuhannya telah dapat terpenuhi . Walaupun pemberian kredit kepada warga luar Desa
Pakraman melanggar Pasal 7 ayat (1) sub PERDA Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 yang
berbunyi “memberikan pinjaman hanya pada karma desa”, sampai saat ini tidak ada sanksi adat
yang mengaturnya. Karena sesuai dengan hasil Paruman Adat Desa Pakraman Kikian pemberian
Kredit kepada warga luar Desa Pakraman sebagai sesuatu yang wajar asalkan mengutamakan
debitur dari Desa Pakraman setempat.

II. LAPORAN KEUANGAN LPD


Kebijakan akuntansi LPD adalah prinsip-prinsip dasar dalam pelaporan keuangan yang
disusun berdasarkan ksepakatan bersama sesuai dengan aturan dan standar yang berlaku.
Beberapa contoh yang menyangkut kebijakan akuntansi LPD, diantaranya:
1. Dasar Penyusunan Laporan Keuangan
Laporan keuangan disusun dengan menggunakan harga perolehan.
2. Pengakuan Pendapatan dan Beban
Pencatatan pendapatan dan beban menganut metode akrual basis yaitu diakui pada
saat terjadinya transaksi dan bukan pada saat realisasi pembayaran.
Tidak dibenarkan mengantisipasi pendapatan, akan tetapi biaya-biaya yang telah
direalisasi sebelum tanggal neraca walaupun belum dapat diketahui secara pasti, jumlahnya,
harus dilaporkan dengan cara estimasi yang wajar.
Namun demikian pelaksanaan prinsip diatas harus tetap memperhatikan asas “proper
matching cost against revenue” yaitu biaya dan pendapatan dihadapkan secara tepat dalam
periode yang sama agar tidak menjadi pergeseran biaya atau pendapatan ke periode yang
lain.
3. Piutang Usaha
Piutang usaha berupa kredit yang diberikan dicatat sebesar nilai perolehan dikurangi
dengan cadangan atas kemungkinan piutang yang tidak dapat ditagih.
4. Beban Ditangguhkan (Biaya Praoperasi)
Semua beban yang dikeluarkan sebelum beroperasi komersial ditangguhkan
pembebanannya dan diamortisasi selama tahun dengan tarif amortisasi 25% setiap tahun dari
nilai saat transaksi.
5. Aktiva Tetap
Aktiva tetap dinyatakan di neraca berdasarkan harga peorlehan dikurangi dengan
akumulasi penyusutan. Aktiva tetap tidak termasuk tanah disusutkan dengan metode garis
lurus. Biaya pemeliharaan dan perbaikan dibebankan pada laba-rugi pada saat terjadinya.
Jika aktiva tetap sudah tidak dapat digunakan lagi, maka harga perolehan dan akumulasi
penyusutannya akan dihapus dalam pembukuan. Laba atau rugi atas pengalihan aktiva tetap
diakui pada periode berjalan.
6. Akuntansi Utang Usaha
Utang usaha berupa simpanan dan deposito nasabah dinyatakan secara lengkap
sehingga menggambarkan seluruh kewajiban LPD pada akhir periode. Untuk mengetahui
batas waktu pembayaran, simpanan dan deposito dilakukan pengelompokkan sesuai dengan
jatuh temponya.
Laporan Keuangan LPD Disampaikan Kepada :
a) Bendesa Adat
b) Gubernur Provinsi Bali
c) Bupati Kabupaten
d) Camat
e) Lurah
f) Badan Pengawas LPD
g) Kelian Banjar
h) Krama Desa (Melalui paruman Banjar)
Dalam rangka menuju tata kelola organisasi yang baik, LPD perlu memformalkan bahwa
budaya perusahaan dalam bentuk “Catur Dharma LPD” yang terdiri dari:
1) Menjadi milik yang bermanfaat bagi krama dan desa pakraman
2) Memberikan pelayanan yang terbaik bagi nasabah
3) Saling menghargai dan membina rasa kekeluargaan
4) Berusaha mencapai yang terbaik dengan menyediakan ruang dan waktu untuk perbaikan
berkelanjutan
Sampai saat ini LPD belum sepenuhnya menerapkan dasar pengakuan akrual dalam
laporan keuangannya. Dasar pengakuan yang digunakan kebanyakan menggunakan cash basis
yang dimodifikasi. Dengan diberlakukan IFRS, ke depan kemungkinan laporan keuangan LPD
akan menunjukkan ke arah fair value.
Referensi :
2010. Sejarah LPD . diakses pada 20 September 2019
http://www.lpdkedonganan.com/p/sejarah-lpd-kedonganan.html>
2011. LPD Penggerak Ekonomi Kerakyatan. Diakses pada 20 September 2019.
http://www.bisnisbali.com/2011/01/29/news/opini/g.html
Aprilina, Lila. 2013. Lembaga Perkreditan di Bali . diakses pada 20 September 2019.
<http://lilaaprilina.blogspot.com/2013/05/lembaga-pekreditan-di-bali.html>
Suartana, I Wayan. 2009. Arsitektur Pengelolaan Risiko Pada Lembaga Perkreditan Desa (LPD).
Udayana University Press, Denpasar

Anda mungkin juga menyukai