Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Meningitis bakteri merupakan infeksi sistem saraf pusat (SSP), terutama

menyerang anak usia < 2 tahun, dengan puncak angka kejadian pada usia 6-18

bulan (Novariani et al., 2008). Penyakit ini diperkirakan mencapai 1,2 juta kasus

tiap tahunnya dengan tingkat mortalitas pasien berkisar antara 2% - 30% di

seluruh dunia. Kasus meningitis bakteri di Indonesia mencapai 158/100.000 kasus

per tahun, dengan etiologi Haemophilus influenza tipe b (Hib) 16/100.000 dan

bakteri lain 67/100.000 (Gessner et al., 2005). Pasien dengan meningitis bakteri

yang bertahan hidup berisiko mengalami komplikasi. Komplikasi utama

meningitis bakteri terjadi karena adanya kerusakan pada area tertentu di otak.

Secara umum, 30% - 50% pasien yang bertahan hidup dari meningitis dapat

mengalami gangguan saraf (Hermsen dan Rotschafer, 2005). Oleh karena itu,

pasien meningitis bakteri khususnya pada anak perlu mendapat terapi antibiotik

yang optimal.

Ketersediaan antibiotik saat ini telah terjamin, namun meningitis bakteri tetap

memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi (Hermsen dan Rotschafer,

2005). Angka mortalitas pada pasien yang diobati adalah sekitar 10% dari jumlah

kasus yang dilaporkan. Pada suatu studi klinik memperlihatkan kejadian sekuel

neurologis pada lebih dari 50% kasus orang dewasa dan lebih 30% pada anak-

anak, 10% dari kasus anak-anak tersebut mengalami gangguan pendengaran yang

permanen. Angka kematian pada kasus yang tidak diobati adalah 50-90%
2

(Japardi, 2002). Mengacu pada angka morbiditas dan mortalitas yang cukup

tinggi, maka diperlukan terapi yang tepat, efektif, rasional dan cepat bagi pasien.

Penelitian ini difokuskan pada pasien anak dikarenakan kejadian meningitis

bakteri pada anak lebih tinggi daripada orang dewasa. Oleh karena itu, perlu

dilakukan analisis terhadap pengobatan meningitis bakteri pada anak.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah sebagai

berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan Meningitis?

2. Apa Penyebab Meningitis ?

3. Apa Patofisiologi menngitis ?

4. Bagaimana Diagnosis pasien dengan Meningitis?

5. Bagaimana Penatalaksanaan medis pasien dengan Meningitis?

1.3 Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui

1. Pengertian meningitis.

2. Penyebab meningitis.

3. Patofisiologi meningitis.

4. Diagnosis pasien meningitis.

5. Penatalaksanaan medis pasien dengan meningitis.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian

Meningitis adalah inflamasi yang terjadi pada meninges, suatu membran yang

menyelimuti otak dan spinal cord (sumsum tulang belakang). Meningitis dapat

terjadi karena infeksi bakteri, virus, fungi, juga karena kejadian noninfeksi seperti

inflamasi karena pengobatan, cochlear implant, atau keganasan (Mehlhorn dan

Sucher, 2005). Meningitis bakteri adalah penyakit infeksi parah yang disebabkan

oleh bakteri pada selaput otak dan sumsum tulang belakang (Van de Beek et al.,

2002; Brouwer et al., 2010).

2.2 Etiologi

Banyak faktor yang mempengaruhi etiologi penyakit meningitis bakteri.

Beberapa faktor yang mempengaruhi, antara lain usia, faktor-faktor risiko (seperti

gangguan imunitas, sinusitis, trauma kepala, dan sickle cell disease), serta variasi

musim dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya meningitis bakteri. Hal ini

penting diketahui untuk pengambilan keputusan dalam terapi empirik.

Keberhasilan penggunaan vaksin Haemophilus influenza tipe b (Hib) secara

luas selama beberapa tahun terakhir telah merubah epidemiologi bakteri meningitis

secara signifikan. Haemophilus influenza merupakan organisme penyebab

meningitis bakteri yang paling banyak ditemukan pada seluruh kelompok umur dan

secara signifikan telah mengalami penurunan dari 48% menjadi 7% dari seluruh

kasus. Pada kasus yang disebabkan oleh bakteri Neisseria meningitidis masih

menunjukkan persentase kejadian yang konstan yaitu pada 14% – 25%, pada

beberapa kasus terjadi antara umur 2-18 tahun. Staphyloccocus pneumonia menjadi

penyebab paling sering pada seluruh kelompok umur (Swartz, 2007; Tolan, 2009).

Organisme penyebab meningitis bakteri pada anak terbagi atas beberapa

golongan umur, yaitu:


1) Neonatus: Escherichia coli, Streptococcus beta hemolitikus, Listeria

monocytogenesis.

2) Anak di bawah 4 tahun: Haemophilus influenza, Meningococcus,

Pneumococcus.

3) Anak di atas 4 tahun dan orang dewasa: Meningococc, Pneumococcus.(Japardi,

2002)

2.3 Patofisiologi

Bakteri yang umumnya menyebabkan meningitis adalah patogen di

nasofaring, dimana faktor predisposisi seperti infeksi saluran nafas bagian atas

harus ada sebelum bakteri beredar dalam darah. Meningitis bakteri juga dapat

muncul akibat infeksi telinga, gigi, atau paraspinal (akibat trauma atau

neurosurgery yang merusak barrier anatomis) (McCance dan Hueter, 2006).

Pada saat patogen memasuki sistem saraf pusat melalui plexus choroideus

atau area dengan perubahan sawar darah otak, terjadi peristiwa yang bertahap,

diawali dengan bermultiplikasinya bakteri di ruang subarachnoid (McCance dan

Hueter, 2006). Adanya komponen dinding sel bakteri memicu produksi sitokin

termasuk interleukin-1, tumor nekrosis faktor, dan prostaglandin E2, yang memicu

peningkatan aliran darah ke otak. Sitokin juga mengubah permeabilitas sawar

darah otak dengan cara mengganggu integritas tight junction sehingga

menyebabkan terjadinya edema cerebral. Peningkatan tekanan intrakranial

menyebabkan peningkatan aliran darah dan edema sehingga terjadi penurunan

perfusi serebral. Proses inflamasi menyebabkan terjadinya vaskulitis dan trombotik

yang berkontribusi pada terjadinya iskemia serebral (Pfeiffer dan Avery, 2000).

2.4 Diagnosis
Penegakan diagnosis meningitis bakteri akut, tidak cukup hanya
berdasarkan tanda dan gejala yang mengarah ke proses patologis dari meningeal atau
intrakranial. Hal ini disebabkan adanya penyakit dengan tanda dan gejala yang serupa
sehingga dalam penegakan diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan penunjang, seperti
pemeriksaan cairan serebrospinal (lumbal pungsi) (Feigin dan Cutrer, 2004).
Diagnosis dini dan pemberian antibiotik sesegera mungkin, dapat mengurangi angka
kematian dan kecacatan bila dibandingkan memperpanjang durasi terapi. Kematian
dan sekuel jangka panjang merupakan akibat inflamasi dan kerusakan neural akibat
iskemi, yang sering terjadi pada tahap sebelum dan awal pemberian antibiotik
(Anonim, 2012). Oleh karena itu, ahli medis harus segera melakukan lumbal pungsi
pada anak yang memiliki riwayat anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mendukung
kearah diagnosis, kecuali jika terdapat kontraindikasi terhadap tindakan tersebut,
seperti peningkatan tekanan intrakranial, uncorrected coagulopathy, dan terdapat
gangguan kardiopulmoner (Anonim, 2008).
Pasien yang memiliki tanda peningkatan tekanan intrakranial, lumbal pungsi
haruS ditunda hingga dilakukan pemeriksaan CT Scan. Hasil dari CT Scan yang
normal belum tentu menyingkirkan adanya peningkatan tekanan intrakranial dan bila
hasil CT scan terdapat kelainan, maka lumbal pungsi ditunda dan terapi antibiotik
dapat langsung dimulai (Anonim, 2008).
Diagnosis meningitis bakteri biasanya dikonfirmasi dengan melakukan analisis
bakteriologis menggunakan mikroskop dan kultur bakteri dari cairan serebrospinal
(CSS). Jika analisis kultur bakteri dari cairan serebrospinal sulit/tidak dapat
dilakukan, maka diagnosis dapat dilakukan dengan melihat hasil CT scan kepala dan
adanya abnormalitas secara biokimiawi pada cairan serebrospinal. Pasien dengan
meningitis bakteri biasanya ditunjukkan dengan hasil uji laboratorium, seperti jumlah
3
sel lebih besar dari 32/mm , tingkat protein lebih dari 150 mg/dL, tingkat glukosa
kurang dari 1 mmol/L (Ogunlesi dan Odigwe, 2013).
Protein pada cairan serebrospinal harus diukur karena pada meningitis bakteri
nilai protein biasanya meningkat dan konsentrasi glukosa pada cairan serebrospinal
harus dibandingkan dengan konsentrasi glukosa dalam darah. Pada pasien dengan
meningitis bakteri yang menjadi tolak ukur adalah penurunan glukosa cairan
serebrospinal dan rasio antara serebrospinal dengan glukosa darah (sekitar 66%)
(Anonim, 2008). Metode serologi seperti Polymerase Chain Reaction (PCR) juga
dapat mendeteksi antigen dari organisme bakteri pada cairan serebrospinal (Ogunlesi
dan Odigwe, 2013).
Serum elektrolit perlu diukur karena Syndrome of Inappropriate Antidiuretic
Hormone (SIADH) sering terjadi pada meningitis bakteri walaupun hiponatremia
tercatat hanya terjadi pada 35% kasus. Leukopenia, trombositopenia dan koagulopati
dapat terjadi di infeksi meningokokal. Pemeriksaan leukosit periferal pada
pneumokokal meningitis dan viral meningitis biasanya masih dalam kisaran normal
namun pada beberapa kasus, terdapat peningkatan (Prober dan Dyner, 2011).
2.5 Penatalaksanaan Meningitis Bakteri

Prinsip terapi meningitis bakteri adalah pemberian terapi antibiotik secara

tepat dan cepat. Hal ini dapat menurunkan angka kematian dan neurologic squeleae.

Beberapa ahli mengatakan bahwa terapi antibiotik harus dimulai dalam 30 menit

setelah dilakukannya evaluasi medik (Reese et al., 2000). Analisis terhadap 156

pasien dengan pneumokokal meningitis di 56 ruang rawat intensif di Perancis

menunjukkan bahwa keterlambatan pemberian antibiotik lebih dari 3 jam dari sejak

saat masuk berhubungan dengan terjadinya kematian Odds Ratio (OR) 14,1 (95%CI

3,93-50,9). Hasil serupa juga diperoleh pada penelitian di Kanada yang menunjukkan

bahwa keterlambatan pemberian antibiotik lebih dari 6 jam dari saat masuk RS

berhubungan dengan mortalitas dengan OR 8,4 (95% CI 1,7-40,9 p<0,01) dan

penelitian di Denmark menunjukkan bahwa terjadi peningkatan risiko kematian per

jam keterlambatan pemberian antibiotik dengan OR 1.09 (95% CI 1.01–1.19)

(Stockdale et al., 2011).

Terapi awal pada pasien yang diduga mengalami meningitis bakteri akut

tergantung pada gejala-gejala awal yang diketahui, analisis diagnosis cepat, serta

ketersediaan antimikroba dan terapi adjuvan (Tunkel et al, 2004). Terapi suportif

dengan pemberian cairan, elektrolit, analgesik, dan antipiretik diindikasikan pada

pasien yang mengalami meningitis bakteri akut (Hermsen dan Rotschafer, 2005).

Algoritma penatalaksanaan terapi meningitis bakteri pada bayi dan anak-anak

dapat dilihat pada gambar 1.

Pemberian terapi empirik antibiotik pada meningitis harus diberikan sampai

48-72 jam atau sampai patogen dapat diidentifikasikan (Hermsen dan Rotschafer,

2005). Antibiotik yang direkomendasikan untuk terapi empirik meningitis purulen


berdasarkan faktor predisposisi usia menurut Tunkel et al. pada tahun 2004 dapat

dilihat pada Tabel I.

Diduga mengalami
meningitis bakteri

a
Gangguan imunologi, riwayat penyakit, sistem saraf pusat ,
b
papilledema, atau focalneurological deficit , atau
penundaan diagnosis dengan lumbar puncture

Tidak Ya

Kultur darah dan lumbar Kultur darah STAT*


puncture STAT*

Deksametason + terapi
Deksametason + terapi cd
empirik antibiotik
cd
empirik antibiotik

CT Scan kepala negatif


Hasil pemeriksaan cairan
serebrospinal menunjukkan
meningitis bakteri Lakukan lumbar puncture

Lanjutkan terapi

Gambar 1. Algoritma penatalaksanaan meningitis bakteri pada bayi dan anak-anak


(Tunkel et al., 2004). STAT menunjukkan bahwa intervensi harus segera
dilakukan; atermasuk yang berhubungan dengan CSF shunt, hydrocephalus,
trauma dan terapi, atau pasca bedah saraf; bkelumpuhan saraf cranial VI atau
VI bukan indikasi untuk menunda lumbar puncture; clihat tabel I;
d
deksametason dan terapi antibiotik diberikan segera setelah cairan
serebrospinal diambil.
* STAT: Special Tertiary Admissions Test
Tabel I. Antibiotik yang direkomendasikan untuk terapi empirik
meningitis purulen berdasarkan faktor predisposisi (usia)
(Tunkel et al., 2004)

Faktor
Bakteri Yang Diduga Antibiotik
Predisposisi
(usia)
< 1 bulan Streptococcus agalactiae, E. coli, Ampisilin +
Listeria monocytogenesis, spesies Sefotaksim atau
Klebsiella ampisilin +
aminoglikosida

1-23 bulan Streptococcus pneumoniae, Neisseria Vankomisin +


meningitidis, S.agalactiae, sefalosporin
ab
Haemophilus influenza, E.coli generasi ketiga

2-50 tahun Neisseria meningitidis, S.pneumoniae Vankomisin +


sefalosporin
ab
generasi ketiga

>50 tahun S.pneumoniae, Neisseria meningitides, Vankomisin +


L.monocytogenesis, basil gram negatif ampisilin +
aerob sefalosporin
ab
generasi ketiga
Keterangan: aseftriakson atau sefotaksim;
b
beberapa ahli menambah rifampin jika deksametason juga diberikan

Durasi yang optimal pada pemberian antibiotik meningitis bakteri masih

sulit untuk ditentukan. Penghentian terapi biasanya tergantung pada respon

terhadap terapi, adanya faktor komplikasi dan bakteri penyebab (Dudas dan

Flaherty, 2001). Berikut merupakan Tabel II tentang durasi terapi yang

direkomendasikan pada kasus meningitis bakteri uncomplicated berdasarkan

bakteri penyebab.

Tabel II. Durasi terapi pada meningitis bakteri berdasarkan bakteri


yang diisolasi (Tunkel et al., 2004)
Bakteri Penyebab Durasi Terapi (Hari)
Neisseria Meningitidis 7
Haemophilus influenza 7
S. pneumonia 10-14
Streptococci grup B(S.agalactiae) 14-21
Basil gram negatif aerob 21
L. monocytogenesis ≥21
*Durasi pada neonatus 2 minggu setelah kultur cairan serebrospinal pertama negatif
atau ≥ 3 minggu mana yang lebih panjang

Penderita meningitis bakteri pada pasien bayi dan anak-anak 5% - 30% mengalami

kehilangan pendengaran. Hal ini terjadi akibat inflamasi sistem saraf pusat. Risiko tersebut

dapat diminimalkan dengan pemberian deksametason. Deksametason direkomendasikan bagi

bayi dan anak-anak (umur ≥ 6 minggu) didiagnosa atau diduga kuat mengalami meningitis

bakteri berdasarkan pemeriksaan cairan serebrospinal, dengan mempertimbangkan manfaat

dan risiko, sebelum etiologi dipastikan (Resee et al., 2000).

Antibiotika sesuai penyebab

a) Meningitis bakteri:

(1) Neonatus

Pilihan I : sefalosporin (sefotaksim, seftazidin)

Sefotaksim : 100 – 150 mg/kg bb/hari, iv, dibagi 2 dosis

Seftazidin : 60 – 90 mg/kg bb/hari, iv, dibagi 2 dosis

Pilihan II : kombinasi ampisilin +aminoglikosida

Ampisilin : 100 – 200 mg/kg bb/hari, iv, dibagi 2 dosis

Gentamisin : 5 mg/kg bb/hari, iv, dibagi 2 dosis

(2) Bayi umur lebih dari 1 bulan dan anak diatas 1 tahun

Pilihan I : kombinasi ampisilin +kloramfenikol

Ampisilin : 200 – 400 mg/kg bb/hari, iv, dibagi 3 dosis

Kloramfenikol : 100 mg/kg bb/hari, iv, dibagi 3 dosis

Bila respon bagus diberikan dalam 14 hari

Pilihan II : sefalosporin (sefuroksim, sefotaksim, sefalosporin,


dan seftriakson)

Sefuroksim : 240 mg/kg bb/hari, iv, dibagi 3 dosis

Sefotaksim : 200 mg/kg bb/hari, iv, dibagi 4 dosis

Sefalosporin : 200 – 400 mg/kg bb/hari, iv, dibagi 3 dosis

Seftriakson : 100 mg/kg bb/hari, iv, dibagi 2 dosis

Pada keadaan tertentu/berat bisa dikombinasi dengan aminoglikosida

atau kloramfenikol tergantung kuman penyebabnya.

Catatan : lama pengobatan 1 -2 minggu


b) Meningitis TBC

Kombinasi INH+Rifampisin+Pirazinamid

INH : 20 mg/kg bb/hari dosis tunggal per os

Rifampisin : 20 mg/kg bb/hari dosis tunggal per os

Pirazinamid : 10 – 15 mg/kg bb/ hari, terbagi 3 dosis

atau

Kombinasi INH+Ethambutol+Pirazinamid

INH : 20 mg/kg bb/hari dosis tunggal per os

Ethambutol : 20 mg/kg bb/hari dosis tunggal per os

Pirazinamid : 10 – 15 mg/kg bb/ hari, terbagi 3 dosis

Catatan : lama pengobatan 12 bulan

4) Antikonvulsan

5) Kortikosteroid; untuk mengurangi edema serebri, pada

meningitis TBC untuk mencegah perlengketan.

Deksametason : 1 mg/kg bb/hari, terbagi 3 dosis

Pada meningitis bakteri akut, deksametason diberikan 30 menit

sebelum pemberian antibiotik,

6) Diet

7) Fisioterapi dan terapi bicara (kalau perlu)

8) Konsultasi ke THT ( kalau ada kelainan THT seperti tuli)

9) Konsultasi ke mata (kalau ada kelainan seperti buta) dan


funduskopi

10) Konsultasi ke bedah saraf (kalau ada hidrosefalus).


2. Antibiotik

Antibiotik adalah zat-zat yang dihasilkan dari fungi atau bakteri


yang

memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan mikroba

lain, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil (Tjay dan

Rahardja, 2002). Berdasarkan spektrum atau kisaran kerjanya

antibiotik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Spektrum sempit, hanya mampu menghambat segolongan jenis

bakteri saja, contohnya hanya mampu menghambat atau

membunuh bakteri Gram positif atau Gram negatif saja.

b. Spektrum luas, dapat menghambat atau membunuh bakteri dari

golongan Gram positif maupun Gram negatif (Pratiwi, 2008).

Sedangkan, berdasarkan daya kerjanya terhadap mikroba, antibiotik

dapat digolongkan sebagai:

a. Bakterisid, yaitu antibiotik yang memiliki kemampuan untuk

membunuh bakteri.

b. Bakteriostatik, yaitu antibiotik yang memiliki kemampuan untuk

menghambat pertumbuhan bakteri (Dzen, 2003).

Adapun antibiotik-antibiotik yang memenuhi syarat, terutama

dapat menembus sawar darah otak, untuk digunakan dalam terapi

meningitis bakteri ini berdasarkan guideline dari Infectious Diseases

Society of America (IDSA) adalah (Tunkel et al., 2004):

a. Golongan Penisilin
Penisilin bekerja dengan cara menghambat sintesis dari

dinding sel bakteri. Antibiotik yang termasuk golongan ini antara

lain penisilin G, ampisilin, dan beberapa antibiotik semisintetik

seperti nafsilin, oxasilin, dan metilsilin (Narrayan, 1996).

Penisilin-G adalah salah satu antibiotika yang dihasilkan oleh

Penicillium chrysogeum. Semula berkhasiat kuat terhadap

(Staphylococci, Meningococci, Streptococci, Pneumococci), tetapi

kini 80% dari kedua kuman pertama sudah menjadi resisten.

Penisilin-G merupakan pilihan pertama pada infeksi Pneumococci:

radang paru-paru (pneumonia) dan radang otak (meningitis) (Tjay

dan Rahardja, 2002). Adapun penisilin-G sangat aktif membunuh

bakteri S. pneumonia, N. meningitidis dan streptococcus kecuali

enterococus. Daya penetrasi penisilin ke dalam CSF sangat buruk,

dengan kadar maksimum di dalam CSF hanya 1-2 mikrogram/ml

dengan dosis tinggi yang diberikan secara intravena (24mU/hr

pada dewasa dan 300.000-400.000/U/kg/hr pada anak-anak).

Beberapa toksisitas yang dapat disebabkan oleh penisilin adalah

reaksi alergi, skin rash dan reaksi anafilaksis (Narrayan, 1996).

Ampisilin tidak efektif pada S. pneumonia, N. meningitidis

namun dapat membunuh Enterococus sp. Dosis ampisilin yang

diberikan pada infeksi Central Nervous System (CNS) adalah

150mg/kg/hr dalam dosis terbagi (Narrayan, 1996).


Antibiotik semisintetik dari golongan penisilin yang

merupakan anti staphylococus seperti nafsilin, oxasilin dan

metilsilin dapat membunuh S. aureus. Dosis nafsilin yang

digunakan 150-200mg/kg/hr dalam dosis terbagi. Dosis tinggi

metilsilin dapat menyebabkan nefritis, sistitis, dan hemoragik

(Narrayan, 1996).

b. Sefalosporin Generasi Ketiga

Golongan sefalosporin yang dapat digunakan untuk terapi

mengitis bakteri hanya beberapa antibiotik yang termasuk dalam

generasi III dan IV saja (Tjay dan Rahardja, 2002). Sefalosporin

generasi ketiga (sefotaksim, seftriakson, seftazidin) sangat ampuh

membunuh bakteri gram negatif dan juga dapat menembus CSF

dengan baik. Efek samping yang dimiliki serupa dengan penisilin,

yang paling terjadi adalah alergi dan neutropenia. Sefalosporin

generasi ketiga telah menjadi drug of choice untuk membunuh

bakteri gram negatif penyebab meningitis (Narrayan, 1996).

Sefotaksim merupakan salah satu antibiotik golongan

sefalosporin generasi ketiga yang pertama. Obat ini resisten

terhadap beberapa bakteri β-laktamase dan aktivitasnya sangat

baik terhadap bakteri aerobik gram positif dan negatif. Waktu

paruhnya dalam plasma sekitar 1 jam. Obat ini dapat diberikan

setiap 4-8 jam. Jenis ini sangat efektif untuk mengatasi meningitis
karena H. influenzae, S. pneumonia, dan N. meningitidis (Mandell

dan Petri, 1996).

Seftriakson termasuk dalam golongan sefalosporin generasi

ketiga. Seftriakson diindikasikan sama seperti sefotaksim dan

waktu paruhnya dalam plasma sekitar 8 jam. Pemberian obat ini

dapat satu kali sehari atau dua kali sehari. Lima puluh persen

diekskresi melalui urin dan biasanya dieliminasi sebagai sekret

kandung empedu (Mandell dan Petri, 1996). Berdasarkan

penelitian Schaad et al. yang membandingkan terapi seftriakson

dan sefuroksim pada anak-anak, menyatakan bahwa seftriakson

memiliki hasil terapi yang lebih baik daripada sefuroksim pada

kasus meningitis bakteri pada anak-anak, selain itu efek

seftriakson dalam mensterilisasi cairan serebrospinal lebih cepat

dibandingkan sefuroksim. Setelah 24 jam terapi menggunakan

seftriakson, dijumpai kultur bakteri yang positif hanya pada 1

kasus (sebelumnya kultur terapi positif terdapat 51 kasus) dan

pada kelompok sefuroksim dijumpai 6 kasus kultur positif

(sebelumnya kultur terapi positif terdapat 49 kasus). Seluruh

penderita terobati dan tidak terjadi relaps. Pada total time

pemberian secara intravena, seftriakson (1 kali sehari) signifikan

lebih pendek daripada sefuroksim (4 kali sehari) (Schaad et al.,

1990).

Seftazidin termasuk antibiotik berspektrum luas (in vitro).

Seftazidin bekerja dengan menghambat biosintesis peptidoglikan


dinding sel bakteri, sehingga dapat menghambat pertumbuhan

bakteri ataupun sel lisis dan mati. Secara in vitro, obat ini juga

efektif melawan bakteri patogen aerob nosokomonial, meliputi E.

coli, H. influenzae, Klebsiella pneumonia, dan P. vulgaris., spesies

gram negatif lainnya antara lain Salmonella, Shigella, dan

Neisseri2a, serta dikenal efektif terhadap Pseudomonas

aeruginosa dengan nilai MIC90 antara 0,5-128 mg/L (Rains et al.,

1995). Obat ini mirip aktivitasnya melawan Enterobacteriaceae

dengan aktivitas sefotaksim dan mempunyai efek yang baik

terhadap Pseudomonas. Waktu paruhnya dalam plasma 1,5 jam.

Obat ini tidak dimetabolisme (Mandell dan Petri, 1996) dan

dieksresi melalui urin hingga 95% (Rains et al., 1995).

c. Antibiotik beta laktam

1. Aztreonam

Aztreonam diindikasikan untuk infeksi Gram-negatif,


termasuk

Pseudomonas aeruginosa, H. Influenza dan N. Meningitidis.

Bekerja dengan mekanisme mengganggu biosintesis dinding

sel bakteri dengan mengikat protein pengikat penisilin.

Aztreonam merupakan alternatif rasional untuk terapi infeksi

bakteri gram negatif pada pasien yang alergi terhadap

penisilin maupun sefalosporin. Aztreonam mempunyai

absorbsi yang buruk pada penggunaan secara peroral sehingga

diberikan secara intravena atau intramuskular (Reese et al,


2000). Akan tetapi, difusinya ke CSF baik, terutama bila

terdapat meningitis (Tjay dan Rahardja, 2002).

2. Meropenem

Meropenem merupakan carbapenem jenis baru yang

digunakan secara intravena. Meropenem sangat mirip dengan

imipenem, namun meropenem stabil terhadap

dehidropeptidase renal sehingga dapat diberikan tanpa

penambahan cilastin. Meropenem merupakan antibiotika

dengan aktivitas spektrum luas dan aktif terhadap S.

pneumoniae yang resisten terhadap penisilin. Jika

dibandingkan dengan imipenem, meropenem memiliki

aktivitas yang lebih baik terhadap bakteri gram negatif (Reese

et al., 2000).

d. Golongan Kuinolon

Merupakan antibiotik spektrum luas dan bersifat bakterisidal.


Golongan

ini efektif membunuh bakteri gram negatif. Antibiotik dari

golongan ini yang dapat berpenetrasi ke dalam CSF dan jaringan

otak diantaranya adalah siprofloksasin, gatilofloksasin,

moxifloksasin (Narrayan, 1996).

Siprofloksasin aktif terhadap bakteri gram negatif termasuk

salmonella, shigella, kampilobakter, neiseria, dan pseudomonas.

Selain itu siprofloksasin juga aktif terhadap beberapa bakteri gram

positif seperti Str. Pnemoniae dan Str. Faecalis, tetapi bukan


merupakan drugs of choice untuk Pneumonia streptococcus.

Siprofloksasin terutama digunakan untuk infeksi saluran nafas

(bukan pnemonia pneumokokus), saluran kemih, saluran cerna

dan gonore serta septikemia oleh bakteri yang sensitif. Efek

sampingnya antara lain pernah dilaporkan reaksi anafilaksis,

disfagia, meteorismus, tremor, konvulsi, ikterus dan hepatitis

dengan nekrosis, vaskulitis, urtikaria, eritema nodusum, sindrom

Steves-Johnson, sindrom Lyell, ptechiae, bula hemoragik, dan

takikardi (Anonim, 2000).

e. Aminoglikosida

Mekanisme kerja obat golongan ini adalah dengan berpenetrasi


melalui

dinding sel dan membran, kemudian berikatan secara ireversibel

dengan ribosom 30S bakteri. Aminoglikosida yang paling umum

digunakan adalah gentamisin, tobramisin, dan amikasin.

Aminoglikosida mempunyai aktivitas yang sangat baik terhadap

hampir semua bakteri gram negatif aerob. Aminoglikosida

merupakan drugs of choice untuk patogen spesifik seperti

Pseudomonas aeruginosa (Reese et al., 2000).

Aminoglikosida merupakan adjunctive therapy untuk infeksi

CNS, karena dengan adanya inflamasi meningeal mengakibatkan

penetrasinya ke dalam CNS sangat terbatas. Penggunaannya harus

diberikan secara intratekal (gentamisin/tobramisin 4-8 mg atau


amikasin 10-15 mg). Efek sampingnya adalah nekrosis tubular

akut serta toksisitas pada vestibular dan telinga (Narrayan, 1996).

f. Kloramfenikol

Kloramfenikol merupakan antibiotik dengan spektrum luas,


namun

bersifat toksik. Oleh karena itu, penggunaan obat ini hanya

diindikasikan untuk infeksi berat akibat Haemophilus influenza,

demam tifoid, meningitis dan abses otak (Anonim, 2000).

Dikarenakan sifatnya yang toksik, selama penggunaan obat

ini pemeriksaan sel darah secara berseri dan pemantauan level

serum perlu dilakukan untuk meminimalkan toksisitas. Toksisitas

yang terjadi berkaitan dengan penggunaan kloramfenikol antara

lain: supresi sumsum tulang belakang, anemia aplastik, grey baby

syndrome, dan defisiensi glucose-6-phosphate dehydrogenase

(Reese et al., 2000).

Kloramfenikol merupakan antibiotik yang larut lemak

sehingga hanya dapat menembus CSF pada saat tidak terjadi

inflamasi. Kloramfenikol digunakan sebagai adjunctive therapy

pada abses otak tanpa trauma dan subdural empiema yang diawali

dengan sinusitis (Narrayan, 1996).

g. Vankomisin

Vankomisin merupakan bakterisidal yang aktif membunuh gram


positif.
Cara kerjanya adalah menghambat sintesis dinding sel dan

mengganggu sistesis RNA. Vankomisin merupakan drug of choice

dari infeksi yang disebabkan oleh S. epidermidis (Narrayan,

1996).

Absorbsi vankomisin pada penggunaan peroral tidak baik,

tetapi memiliki konsentrasi sangat tinggi di feses sehingga sangat

berguna untuk terapi diare karena infeksi C. difficile dan

enterokolitis staphylococcal. Penggunaan vankomisin biasanya

diindikasikan pada pasien yang alergi atau pada pasien dengan

resistensi bakteri tertentu. Bila vankomisin digunakan bersama

agen lain yang potensial nefrotoksik atau ototoksik secara

simultan, terdapat risiko yang signifikan terjadi toksisitas, antara

lain: ototoksisitas, nefrotoksisitas, red man syndrome, rash,

phlebitis, demam, dan neutropenia (Reese et al., 2000).

h. Trimetoprim-Sulfametoksazol

Kombinasi dari sulfametoksazol dan trimetoprim dalam


perbandingan

5:1 ini bersifat bakterisid dengan spektrum kerja lebih besar

dibandingkan sulfonamida. Kombinasi ini jarang menimbulkan

resistensi, sehingga banyak digunkan untuk berbagai infeksi ,

antara lain infeksi saluran kemih, alat kelamin (prostatitis), saluran

cerna (salmonellosis), dan pernafasan (bronkitis). Kotrimoksazol

juga digunakan untuk pengobatan dan pencegahan radang paru-

paru dan penderita AIDS (dalam dosis tinggi). Resorpsinya baik


dan cepat, setelah lebih kurang 4 jam sudah mencapai puncaknya

dalam darah (Reese et al., 2000). Kombinasi sulfametoksazol dan

trimetoprim dapat mencapai CSF dan jaringan otak (Narrayan,

1996).

BAB III

TINJAUAN KASUS DAN PEMBAHASAN

3.1 Kasus

Nn. D berusia 22 tahun, pekerjaan karyawan swasta masuk rumah sakit


pada tanggal 03 Mei 2018 dengan keluhan utama nyeri kepala hebat, mual
dan rasa ingin muntah. Riwayat penyakit sekarang, 1 minggu sebelum
masuk rumah sakit pasien merasa lemah, tidak nafsu makan, demam
38,8oC. Pasien berobat ke dokter dan diberi obat untuk menurunkan panas
tetapi tidak membantu dan berobat kembali lalu dilakukan pemeriksaan
laboratorium. Hasil pemeriksaan laboratorium Haemoglobin: 10,8 mg/dl,
Hematokrit: 29%, Leukosit 11.200/μl, Laju Endap Darah 48/63. Pasien
mendapatkan terapi antibiotik dan antipiretik. Tiga hari kemudian pasien
dirujuk ke Rumah Sakit Hasan Sadikin dan dilakukan pemeriksaan PPD
test hasilnya (+) dan foto thorak suspect TB. Riwayat penyakit dahulu
pasien belum pernah dirawat dan tidak pernah mengalami peyakit seperti
ini.
3.2 Asuhan Keperawatan pada pasien

1. Pengkajian

a. Identitas klien

Nama : Nn. D

Umur : 22 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Status perkawinan : Belum Kawin

Pekerjaan : Karyawam swasta

Tanggal masuk : 03 Mei 2018

Diagnosa medis : Meningitis TB

b. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama

Nyeri kepala hebat

b. Riwayat kesehatan sekarang

Satu minggu sebelum masuk rumah sakit pasien merasa lemah,


tidak nafsu makan, demam 38,8oC. Pasien berobat ke dokter
dan diberi obat untuk menurunkan panas tetapi tidak membantu
dan berobat kembali lalu dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Hasil pemeriksaan laboratorium Haemoglobin: 10,8 mg/dl,
Hematokrit: 29%, Leukosit 11.200/μl, Laju Endap Darah
48/63. Pasien mendapatkan terapi antibiotik dan antipiretik.

c. Riwayat kesehatan dahulu:

Riwayat penyakit dahulu pasien belum pernah dirawat dan


tidak pernah mengalami peyakit seperti
d. Riwayat kesehatan keluarga:

Tidak terkaji

c. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
 Kesadaran : Compos Mentis

GCS 15 (E:4 M:6 V:5)

 Tanda-tanda vital

Tekanan darah : Tidak terkaji

Nadi : Tidak terkaji

Respirasi : Tidak terkaji

Suhu : 38,8 °C

Berat badan/ Tinggi Badan :-

 Sistem pencernaan

Pasien mengeluh mual dan rasa ingin muntah

 Sistem integument

Tidak terkaji

 Sistem kardiovaskuler

Pasien nyeri kepala hebat.

 Sistem pernapasan

Tidak terkaji

 Sistem perkemihan

Tidak terkaji

 Sistem persyarafan

Tidak terkaji

 Sitem musculoskeletal
Pasien merasa lemah

 Sistem endokrin

Tidak terkaji

 Sistem reproduksi

Tidak terkaji

d. Data Psikologis
a. Status Emosional

Tidak terkaji

b. Kecemasan

Tidak terkaji

c. Pola Koping

Tidak terkaji

d. Gaya Komunikasi

Tidak terkaji

e. Data Sosial

Tidak terkaji

f. Data Spiritual

Tidak terkaji

g. Data Penunjang
 Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Haemoglobin 10,8 mg/dl 13,5 – 17,5 mg/dl

Hematokrit 29% 40 – 45 %

Leukosit 11.200/μl 4.50-11.00/μl

Laju Endap Darah 48/63 L = <10

P = <20

 Hasil Radiologi

Foto thorak suspect TB

 Hasil penunjang lainnya

Pemeriksaan PPD test hasilnya (+)

h. Terapi Pengobatan

Terapi antibiotik dan antipiretik

2. Analisa data

Data Fokus Etiologi Masalah


Edema Nyeri
Ds :
↓ acute
 Nyeri Peningkatan masa intra kranial

kepala ↓

hebat Meningkatkan tekanan intra


kranial
Do:

 LED Merangsang nosisseptor (reseptor
48/63 Nyeri)

Dihantarkan serabut tipe AQ
Serabut tpe C

Medulla spinalis

Otak
(korteks Somatosensorik)

Persepsi Nyeri

Nyeri Acute

Inflamasi di meningen Hipertermi


Ds :

 Pasien
Akumulasi monosit makrofag, sel
mengeluh
T helper dan fibroblast
demam
sejak 1 ↓
minggu Pelepasan piropen endogen
yang lalu (sitokin)
dan tidak

kunjung
turun Interleukin-1
setelah interleukin-6
berobat

ke dokter
 Pasien Merangsang saraf vagus
mengeluh

nyeri
Sinyal mencapai system saraf pusat
kepala
hebat ↓

Pembentukan prostaglandin otak


Do: ↓

 Suhu Merangsang hipotalamus


38,8oC meningkatkan titik patokan suhu
(sel point)
 Leukosit
11.200/μl ↓

 LED Menggigil meningkatkan suhu


48/63 basal

Hipertermi
Edema Mual
DS:

 Pasien Peningkatan masa intra kranial

mengeluh ↓

mual rasa Meningkatkan tekanan intra

ingin kranial

muntah ↓
Merangsang saraf simpatis
 Pasien ↓
mengeluh mual
tidak
nafsu
makan

3. Diagnosa yang muncul

1. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan intra kranial

2. Hipertermi berhubungan dengan inflamasi di meningen

3. Mual berhubungan dengan Peningkatan tekanan intra kranial


4. Nursing care planning

Diagnosa NOC NIC

Nyeri acute berhubungan Selama dilakukan tindakan 2x24 jam Pain managemen
dengan peningkatan tekanan diharapkan pasien mampu memilih 1. Lakukan pengkajian nyeri
intra kranial tindakan pribadi mengatasi nyeri dengan secara komperhensif yang
indicator : meliputi lokasi, karakteristik,
Pain control on site atau durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas, atau
Indikator Awal Target
beratnya nyeri dan factor
Mengenali 1 5 pencetus
kapan nyeri
2. Gunakan metode penilaian
terjadi
yang sesuai dengan tahapan
Menggambark 2 4 perkembangan yang
an factor memungkinkan untuk
penyebab memonitor perubahan nyeri
Melaporkan 1 5 dan dapat membantu
nyeri yang mengidentifikasi factor
terkontrol pencetus actual dan potensial

3. Ajarkan tehnik non


farmakologi (seperti tehnik
relaksasi, pijatan)

4. Dukung istirahat atau tidur


yang adekuat untuk membantu
penurunan nyeri

5. Kolaborasi dengan dokter


untuk penanganan nyeri

Hipertermi berhubungan Selama dilakukan tindakan keperawatan Perawatan demam


dengan Inflamasi di meningen selama 1x24 jam diharapkan peningkatan 1. Pantau suhu dan tanda-tanda
suhu tubuh diatas kisaran normal dengan vital lainnya
indicator
2. Monitor warna kulit dan suhu
Termoregulasi
3. Dorong konsumsi cairan
Indicator Awal Target 4. Tingkatkan sirkulasi udara
Peningkata 2 4 5. Pantau komplikasi-komplikasi
n suhu kulit yang berhubungan dengan
demam serta tanda dan geajala
Hipertermi 1 5
kondisi penyebab demam
a

sakit kepala 1 5

Mual berhubungan dnegan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen mual


Peningkatan tekanan intra selama 1x24 jam diharapkan ada 1. Dorong pasien untuk
kranial keinginan untuk makan dengan indicator: memantau pengalaman diri
Nafsu makan terhadap mual

2. Dorong pasien untuk belajar


indicator Awal Target
strategi mengatasi mual sendiri
Hasrat/ 1 4
3. Lakukan penilaian lengkap
keinginan
terhadap mual, termasuk
untuk
frekuensi, durasi, tingkat
makan
keparahan dan factor pencetus
Menyenan 2 4
gi 4. Dapatkan riwayat diet
(makanan) yang disukai dan
makanan tidak disukai

Merasaka 2 4 5. Tingkatkan istirahat dan tidur


n yang cukup untuk
makanan memfasilitasi pengurangan
mual
3.3 Pembahasan

Dari kasus Nn. D tersebut, maka kelompok kami menyimpulkan beberapa masalah
keperawatan yang mungkin muncul pada kasus tersebut di antaranya: Nyeri akut
berhubungan dengan peningkatan tekanan intra kranial, Hipertermi berhubungan
dengan inflamasi di meningen Mual berhubungan dengan Peningkatan tekanan intra
kranial akan tetapi pada pada penegakan diagnosa keperawatan, masih banyak data-
data yang perlu di kaji sehingga diagnose lebih kuat untuk ditegakan.

Anda mungkin juga menyukai