Anda di halaman 1dari 2

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan serologi darah (serum)

Pemeriksaan serologi dari darah tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis neurosifilis.
Kegunaannya hanya sebagai screening pada pasien-pasien yang kita duga menderita sifilis. Jika serologi
darah positif, disertai dengan tanda dan gejala klinis dari neurosifilis, hal ini akan semakin menguatkan
indikasi untuk melakukan pemeriksaan lumbal pungsi. Saat tubuh kita terinfeksi oleh mikroorganisme
Treponema Pallidum yang bermanifestasi sbagai sifilis, 2 kelompok antibodi akan terbentuk, yaitu
antibodi yang akan bereaksi dengan antigen non treponema dan antibodi yang akan bereaksi dengan
antigen spesifik dari Treponema Pallidum. Antibodi yang bereaksi dengan antigen non treponema dapat
ditemukan pada bentuk penyakit yang aktif dan biasanya kadar nya akan menurun seiring dengan
keberhasilan penyakit ataupun perjalanan penyakit (masuk fase laten), sedangkan antibodi terhadap
antigen spesifik treponema pallidum akan bertahan untuk waktu yang sangat panjang bahkan dapat
menetap seumur hidup walaupun infeksi sudah berhasil diobati.7,8,9

Oleh sebab itu tes serologi yang dapat digunakan sebagai screening atau penapisan adalah treponema
tes dan non treponema tes. Non treponema tes akan mengukur respon tubuh yang terinfeksi terhadap
antigen non-treponema seperti cardiolipin dan lechitin yang dilepaskan dari sel yang rusak ataupun
material lepoprotein yang langsung terlepas dari treponema pallidum. Sedangkan Treponema test
mengukur respon tubuh atau antibodi yang langsung bereaksi langsung terhadap treponema
pallidum.7,8

Pemeriksaan Serologi LCS

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan pemeriksaan CSS pada pasien
dengan gejala / tanda neurologis dan oftalmikus, kejadian Stadium III aktif (misalnya aortitis, guma,
iritis), kegagalan terapi, infeksi HIV dengan sifilis laten atau sifilis dengan durasi yang tidak diketahui (PL
dilakukan sebelum terapi penisilin). Pungsi lumbal juga diindikasikan untuk semua pasien dengan sifilis
laten dan tes serologi non-treponemal ≥1:32 dan CD4 kurang dari atau sama dengan 350. Jika hasil
pemeriksaan CSS menunjukan abnormalitas yang sesuai neurosifilis, terapi untuk neurosifilis
direkomendasikan. Pada pasien terinfeksi HIV terjadi peningkatan risiko neurosifilis, kegagalan terapi dan
relaps, namun angka prevalensi yang pasti masih belum diketahui. Diagnosis neurosifilis pada pasien
infeksi HIV sulit, karena pengaruh sifilis dan HIV terhadap CSS menyebabkan abnormalitas CSS.14,23

Cairan serebrospinal (CSS) dengan pleiositosis >5 sel/μL dan peningkatan kadar protein mendukung
neurosifilis. Namun, infeksi HIV sendiri dapat menyebabkan pleiositosis dan peningkatan konsentrasi
protein yang mungkin tidak dapat dibedakan dengan neurosifilis. Pleiositosis >20 sel/μL lebih mungkin
disebabkan oleh infeksi spirochaeta dari pada infeksi HIV.14,15,16
7. Matthews HM, Yang TK, Jenking HM. Lipid compositionof Treponema pallidum(Nichols virulent strain)
Infect Immun. 1979;24:713–9. [PMC free article] [PubMed]

8. Larsen SA, Steiner BM, Rudolph AH. Laboratory diagnosis and interpretation of tests for syphilis. Clin
Microbiol Rev. 1995;8:1–21. [PMC free article] [PubMed]

9. Reiner BS, Mann LM, Tholcken CA, Waite RT, Woods GL. Use of the Treponema pallidum-specific captia
syphilis IgG assay in conjuction with the rapid plasma regain to test for syphilis. J Clin Microbiol.
1997;35:1141–3. [PMC free article] [PubMed]

14. Chan DJ. Syphilis and HIV co-infection: when is lumbar puncture indicated ?. Current HIV Research
2005; 3: 95-98.

15. AIDS Education & Training Centers National Resource Center. Clinical manual for management of the
HIV-infected adult, 2005 edition. Terakhir diperbarui 2006. Tersedia dari: http://www.aidsetc.or

16. Marra CM, Tantalo LC, Maxwell CL, Dougherty K, Wood B. Alternative serebropinal fluid tests to
diagnose neurosyphilis in HIV-infected individuals. American Academy of Neurology 2004; 63: 110-14

23. Workowski KA, Berman S, Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Sexually transmitted
diseases treatment guidelines, 2010. MMWR Recomm Rep. 2010;59(RR-12):1–110.

Anda mungkin juga menyukai