Dispepsia pada Lansia

Waktu itu lagi jaga malam. Datang pasien 60-an tahun. Keluhannya cuma perut nggak nyaman, disertai
badan lemas. Punya riwayat gastritis kronik. Selalu sedia antasida, jaga-jaga kalau tiba-tiba keluhannya
kambuh.

Benar, malam itu pasien mengeluh perut nggak nyaman, sudah dikasih antasida tidak membaik. Akhirnya
pasien datang ke IGD.

Anamnesis... pemeriksaan fisik... tidak ada tanda-tanda mengarah ke sindroma koroner akut (SKA). Lebih
mengarah ke dispepsia. Pasien nggak ada riwayat penyakit jantung, cuma ada dispepsia dan diabetes
mellitus kronik.

Buat jaga-jaga, memastikan kalau pasien nggak SKA, akhirnya kita EKG. Waktu itu hasil EKG memang
abnormal, kelihatan ada LBBB. Nggak ada sama sekali tanda ST Elevasi.

Akhirnya diagnosisnya cuma dispepsia. Sambil diwork-up untuk kemungkinan yang lain. Sama sekali
nggak mempertimbangkan SKA.

Saat dirawat, beberapa jam kemudian tekanan darah pasien "ndlosor" drop, 80/60. Diresusitasi, tapi tetap
tidak tertolong. Pasien dinyatakan meninggal kira-kira subuh. Pasien meninggal karena Dispepsia?

Tidak. Pagi harinya dipresentasikan kasus di depan konsulen. Ternyata menurut konsulen, pasien
kemungkinan besar STEMI. Dan syok kardiogenik sebelum meninggal. Ternyata aku baru tahu kalau
pasien nyeri dada dengan LBBB ada kemungkinan STEMI, walau nggak kelihatan ada ST Elevasi.

LBBB meski ada kemungkinan onset lama, mestinya dihitung lagi dengan SGARBOSSA CRITERIA
untuk membedakan LBBB lama atau LBBB baru. Kalau ketahuan LBBB baru, pertimbangan kuat pasien
STEMI. Ikut algoritma ACLS untuk pasien STEMI. Kalau sudah jago sih tinggal lihat klinis, tapi kalau
masih belajar ya pakai aja kriteria Sgarbossa.

Memang pasien tadi punya diabetes lama, sehingga kemungkinan klinisnya tidak spesifik seperti
ANGINA PEKTORIS. Cuma rasa nggak nyaman diperut kayak Dispepsia. Sejak saat itu, supaya aman,
setiap ada pasien dengan dispepsia di-EKG. Apalahi pasien Dispepsia dengan dada yang berdebar atau
riwayat lemas/pingsan, EKG is a Must!