Anda di halaman 1dari 7

TENTANG KAJIAN

“HUKUM DALAM MASYARAKAT”


(SEBUAH PENGENALAN)
Soetandyo Wignjosoebroto

‘Hukum Dalam Masyarakat’ yang di dalam kepustakaan berbahasa Inggris diistilahi ‘Law
in Society’, dan yang di dalam kurikulum berbagai program studi hukum di Indonesia sejak
tahun 1980an secara salah kaprah diistilahi Sosiologi Hukum, adalah salah satu cabang kajian
tentang hukum sebagaimana adanya di dalam masyarakat. Sebagian khlayak akademisi
menggolongkan kajaian ini sebagai kajian hukum yang diperluas ufuknya, sebagian lagi hendak
membilangkan cabang kajian ini ke dalam keluarga ilmu pengetahuan sosial (IPS).. Apapun
juga nomenklaturnya, kajian ini adalah suatu cabang kajian, yang seperti cabang kajian tentang
kehidupan bermasyarakat manusia pada umumnya, berperhatian kepada upaya-upaya manusia
menegakkan dan mensejahterakan diri lewat kehidupan yang tertib dan terkontrol.

Mempunyai perhatian yang lebih khusus, yang sedikit-banyak membedakan diri dari kajian
ilmu hukum yang klasik, tetapi juga membedakan diri dari cabang kajian ilmu-ilmu sosial yang
lain, kajian ‘hukum dalam masyarakat’ ini hendak berfokus pada masalah otoritas dan kontrol
yang memungkinkan kehidupan kolektif manusia itu selalu berada dalam keadaan yang relatif
tertib dan berketeraturan. Kekuatan kontrol dan otoritas pemerintah sebagai pengemban
kekuasaan negara yang mendasari kontrol itulah yang disebut ‘hukum’ atau tepatnya
diseyogyakan untuk disebut agak lengkap dengan istilah ‘hukum undang-undang nasional’..
Maka, dalam hubungan ini tidaklah keliru kalau Black mendefinisikan hukum sebagai
government’s social control.1

Dalam kehidupan masyarakat pra-modern, tatkala kehidupan itu masih berada pada
skalanya dan formatnya yang lokal, homogen dan eksklusif – yang oleh sebab itu lebih cocok
untuk diistilahi ‘komunitas’ (community) daripada ‘masyarakat’ (society) atau ‘masyarakat
negara’ (political state) -- apa yang disebut ‘hukum’ ini umumnya tidak tertulis dan eksis sebagai
asas-asas umum di dalam ingatan warga komunitas, dirawat secara turun temurun sebagai tradisi
yang dipercaya berasal dari nenek-moyang. Inilah yang disebut tradisi atau moral kehidupan

1
Donald Black, The Behavior of Law (London: Academic Press, 1976), hlm. 2-4; juga dalam tulisannya
tentang “The Boundaries of Legal Sociology”, Yale Law Review, Th. LXXXI (1981), hlm. 1086-1100.
suatu komunitas, yang di dalam kajian sosiologi hukum sering juga disebut juga ‘hukum rakyat’,
dan yang didalam ilmu hukum disebut ‘hukum kebiasaan’ atau ‘hukum adat’.2

Dalam perkembangan kehidupan yang lebih mutakhir, tatkala kehidupan bernegara bangsa
menggantikan kehidupan-kehidupan lokal yang berskala kecil dan eksklusif, apa yang disebut
hukum itu mulai menampakkan wujudnya yang tertulis. Inilah yang disebut hukum undang-
undang, yang ditulis dalam rumusan-rumusan yang lebih eksak, dibentuk atau dibuat melalui
prosedur tertentu, dan terstruktur atau terlembagakan sebagai sarana kontrol yang nyata-nyata
formal sifatnya, yang oleh sebab itu akan ditunjang oleh otoritas kekuasaan negara yang
berkewenangan untuk mendayagunakan sanksi.

Dalam sejarah Eropa Barat,bersamaan dengan kebijakan pembentukan undang-undang


nasional dalam fungsinya sebagai stándar perilaku warga bangsa. Ketentuan-ketentuan undang-
undang yang berjumlah banyak itu acapkali tidak dibiarkan terberai-berai melainkan dibukukan
dan dinyatakan berlaku sebagai stándar perilaku seluruh warga negara bangsa, dan kemjudian
daripada itu lalu difungsikan seefektif mungkin sebagai kontrol sentral. Inilah pengkitaban
hukum inilah yang di dalam kajian-kajian hukum disebut kodifikasi dan unifikasi. Dengan
pengkitaban seperti itu, para penganut paham ‘bahwa setiap ketentuan hukum harus diwujudkan
dalam bentuk undang-undang” berkeyakinan bahwa aturan-aturan berperilaku dalam masyarakat
akan dapat diniscayakan, demikian rupa sehingga apa yang disebut kepastian hukum akan
terjamin.

Tentang Pengertian Hukum

Apakah gerangan yang diartikan dan didefiniskan dalam kajaian-kajian tentang hukum?
Dalam kehidupan bernegara modern yang disebut kehidupan negara bangsa, sebagaimana yang
telah dibentangkan di muka, hukum itu selalu atau hampir selalu diartikan sebagai seluruh norma
sosial yang telah diformalkan oleh institusi-institusi kekuasaan negara. Menilik keterangan di
muka, tak salah kiranya apabila dikatakan bahwa hukum dalam modelnya sebagai undang-
undang adalah invensi negara bangsa yang terjadi di kawasan negeri-negeri Eropa Barat dalam
kurun sejarah yang mengabarkan pula bangkitnya kesadaran berbangsa penduduk negeri di
wilayah itu, yang kemudian daripada itu mengakhiri sejarah Eropa sebagai sejarah raja-raja.
Itulah kurun waktu yuang mengatakan betapa “the making of Europe is the making of Kings and
Queens no more, but the making of nations”.

2
Sekalipun dalam perbincangan teori apa yang dinamakan ‘hukum rakyat’ atau ‘hukum kebiasaan’ ini
disebut dengan satu istilah, namun sesungguhnya pengertian hukum jenis ini cukup beragam. Dikatakan bahwa “---
it seems impossible to determine anything more precise than a wide ‘zone of transition’..”, oleh G.C.J.J. van den
Bergh, “The Concept of Folklaw in Historical Context: A Brief Outline”, dalam Keebet von Benda-Beckman dan
Fons Strijbosch (ed.), Anthropology of Law In The Netherlands (Dordrecht: Foris Publications,1986), hlm. 67.:
Tumbuhkembangnya negara-negara bangsa -- yang secara cepat atau lambat mengakhiri
era negara-negara kerajaan -- telah berkonsekuensi pada kebutuhan akan suatu perangkat hukum
baru, ialah hukum nasional. Apabila hukum raja-raja dipandang sebagai hukum kaum elit-
otokrat yang berbasis pada titah-titah sepihak para penguasa, hukum nasional dibenarkan sebagai
hukum yang lahir dari paradigma baru, bahwa ‘suara rakyat (yang yang disatukan secara rasional
lewat kesepakatan) adalah suara Tuhan’. Vox Populi Vox Dei. Hasil kesepakatan rakyat inilah –
secara langsung atau melalui wakil-wakilnya, yang kelak diinstitusionalkan lewat lembaga
legislatif atau referéndum – akan dipositifkan sebagai hukum yang akan menjamin kepastian
secara adil dan benar.

Sebagai hukum nasional, hukum invensi Eropa -- yang di kelak kemudian hari menyebar
ke seluruh penjuru bumi – ini tertengarai (menurut doktrinnya!) bercirikan sejumlah ciri
karakteristik, antara lain yang tersebut berikut ini.3 Pertama-tama, hukum itu agar terakui
sebagai hukum formal -- yang penegakannya dapat dilakukan oleh aparat-aparat nasional –
haruslah ditegaskan dalam rumusan-rumusan yang tertulis, yang oleh sebab itu lalu memiliki
wujudnya yang positif sebagai hukum undang-undang. Ciri yang kedua, hukum undang-undang
ini (menurut doktrinnya yang disebut ‘doktrin supremasi hukum’) haruslah diterima sebagai
pengganti mutlak berlakunya semua norma sosial macam apapun yang lain, yang ada di dalam
masyarakat. Dalam statausnya seperti itu, hukum undang-undang akan berlaku sebagai hukum
tertinggi, mengatasi norma sosial macam apapun, juga yang dipercaya sebagai hukum “yang
diwahyukan dari langit sebagaimana diajarkan oleh para Rasul dan Nabi”.

Tercatat sebagai ciri karakteristik yang ketiga adalah kenyataan bahwa hukum nasional ini
adalah hukum hasil kinerja manusia, yang oleh sebab itu memiliki ciri karakteristik khusus yang
disebut ‘historisitas’. Hukum nasional adalah hukum produk kesejarahan manusia, yang oleh
sebab itu – walau dididoktrinkan dan diindoktrinasikan sebagai hukum yang konon akan dapat
menjamin kepastian -- akan selalu saja disifati oleh ciri relativitas, yang oleh sebab itu pula akan
mengalami perubahan dari masa ke masa, dan akan berbeda-beda pula dari tempat ke tempat
yang bersebab dari progresi sejarah yang beragam.

Ciri berikutnya, yang keempat, ialah bahwa hukum yang telah diformalkan sebagai hukum
positif yang juga hukum undang-undang nasional ini pun harus dikelola secara eksklusif oleh
para ahlinya. Para ahli hukum ini, di jabatan yuridis manapun mereka itu duduk, haruslah
sanggup bekerja secara kolektif di bawah kontrol suatu kode etik. Keahlian tinggi yang
terkontrol oleh seperangkat norma etik yang telah dikitabkan ini akan serta merta menjadikan
mereka yang berkeahlian hukum ini terbilang ke dalam golongan profesional. Keahlian dan
etika inilah yang akan menjadikan para ahli hukum itu terpercaya untuk merawat dan menjaga

3
Harold Berman dalam bukunya Law and Revolution: The Formation of Western Legal Tradition
(Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1983). Baca juga: Marc Galanter, “Moderrn Law”, dalam buku
Myron Weiner, ed. , Modernization : The Dynamics of Growth (Washington, DC: Voice of America Forum
Lectures, 1966), hlm. 167-180).
kewibawaan hukum yang berkedudukan supremasi itu dalam menegakkan ketertiban dalam
kehidupan.

Konsekuen dengan soal profesionalisme tersebut di muka, sebagai ciri yang kelima, hukum
dalam eksistensinya sebagai suatu institusi kehidupan bernegara nasional yang modern itu tak
pelak lagi akan memerlukan bantuan logistik dari dunia pendidikan universiter. Tak ada hukum
nasional modern, yang harus berfungsi melayani kehidupan bernegara dan berbangsa, yang tidak
dirawat dan dikelola serta dikontrol perkembangannya oleh para professional yang memperoleh
keahliannya dari lembaga-lembaga pendidilkan akademik. Profesionalisme hukum dan
pendidikan hukum adalah dua entitas yang saling melengkapi, dan dengan demikian memberikan
karakteristik tersendiri kepada hukum nasional modern sebagaimana yang semula berkembang di
negeri-negeri Eropa Barat.

Law is Society Ataukah Law Is Not (Always) Society?

Di negeri-negeri yang dibangun di atas fondasi suatu bangsa yang berbudaya homogen –
sepertiyang terjadi pada awal mulanya di Eropa kawasan Katolik Barat sebagaimana di
bentangkan di muka -- upaya untuk membuat stándar perilaku yang tunggal lewat kerja
pengkodifikasian hukum itu tidaklah terlalu sulit. Indoktrinasinya pun tak dapat dibilang sulit.
Kodifikasi dikerjakan dengan cara mempositifkan norma-norma yang telah berlaku sebagai
moral dan tradisi masyarakat ke dalam bentuknya yang formal dan baru sebagai teks-teks
undang-undang untuk kemudian dikitabkan. Dari proses kerja seperti inilah datangnya istilah
‘hukum yang telah dipositifkan’ atau ‘hukum positif, atau pula istilah ‘ius constitutum’ yang
berarti ‘norma hukum yang telah dibentuk’. Maka, dengan demikian, tidaklah keliru dan salah
apabila orang berkeyakinan bahwa materi hukum yang telah berlaku selama ini di dalam
masyarakat pada hakikatnya sama saja dengan norma substantif yang termuat dalam setiap
undang-undang.

Karena pada awalnya undang-undang negara bangsa itu “hanya” merupakan formalisasi
saja dari apa yang telah berlaku secara nyata dalam masyarakat, maka lahirlah doktrin dalam
ilmu hukum bahwa kodifikasi itu pada hakikatnya adalah sebuah gambaran normatif suatu
masyarakat yang benar-benar “bulat, lengkap dan tuntas”. Dari keyakinan doktrinal seperti ini
pulalah lahirnya doktrin berikutnya yang dikenal dengan adagium berbahasa Latin ‘ignoratio
iuris’; ialah, bahwa tak seorangpun dalam sidang pengadilan boleh menolak diberlakukannya
undang-undang terhadap dirinya dengan dalih bahwa dia tidak pernah membaca dan mengetahui
adanya undang-undang itu. Kalaupun orang tak pernah membaca dan mengetahui adanya
undang-undang yang mengatur perbuatannya yang terlarang, sebagai anggota masyarakat
bukankah dia telah sejak awal mengetahui moral atau tradisi sosial yang melarangnya?
Dalam kajian-kajian sosiologik, keyakinan seperti itu disebut keyakinan yang menyamakan
hukum dengan masyarakatnya. Inilah keyakinan fiktif bahwa apa yang telah dihukumkan dalam
undang-undang (the law) tidaklah berbeda dengan apa yang berlaku dalam masyarakatnya (the
society). Inilah yang dari sudut pandang sosiologik atau antropologik merupakan suatu fiksi
bahwa law is society. Dikatakan suatu fiksi karena dari kajian ilmu-ilmu sosial – yang
ekonomik, politik, sosial maupun budaya – law is not always society, atau bahkan law is not
society. Hukum undang-undang sebagai teks tidaklah selamanya sama dan sebangun dengan
realitasnya dalam konteks sosial-kultural.

Adalah kenyataan bahwa kehidupan bermasyarakat di dunia yang fana ini cenderung
berubah, dan dalam abad-abad terakhir ini kian berubah cepat. Komuniats-komunitas lokal
dengan cepat lebur dan terintegrasi ke dalam kehidupan urban-industrial yang berskala dan
berformat nasional. Inilah perkembangan yang – disebut perkembangan from old societies to a
new state -- terjadi sepanjang abad 18-19 di Eropa Barat dan seterusnya sepanjang abad 20 di
Asia dan Afrika, dengan segala permasalahan yang berkaitan dengan persoalan tertib kehidupan
bermasyarakat negara, serta ihwal sarana kontrol berikut segala aspek hukumnya.

Demikianlah, manakala ‘Ilmu Hukum’ sebagai kajian law in books berkonsentrasi pada
ihwal hukum undang-undang yang tengah berlaku, yang demi kepastian akan dijadikan dasar
hukum untuk mengadili perkara-perkara, ‘Hukum Dalam Masyarakat’ adalah kajian tentang
ihwal kebermaknaan sosial hukum undang-undang itu. Adapun yang dimaksudkan dengan ‘the
social significance of law’ ini tak lain ialah fakta actual yang hendak mengabarkan sejauh mana
hukum undang-undang yang berstatus formal itu ditaati dan terealisasi menjadi perilaku warga
masyarakat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan demikian, hukum undang-undang tak
hanya tersimak sebagai bacaan tentang perintah-perintah yang harus ditaati akan tetapi juga
tersimak secara indrawi sebagai pola perilaku yang faktual. Semakin sering hukum undang-
undang itu tampak dipatuhi dan terwujud secara nyata dalam perilaku para waraga dalam
kehidupan sehari-hari akan boleh dikatakan bahwa hukum undang-undang itu semakin bermakna
secara sosial dan kultural.

Kajian ‘Hukum Dalam Masyarakat’.

Mengakui adanya ciri historisitas yang melekat pada eksistensi hukum undang-undang,
orang sebenarnya akan bisa segera tersadar bahwa hukum nasional itu tak akan berkepastian
tinggi sebagaimana yang diperlihatkan hukum-hukum empirik di wilayah kajian sains fisika.
Adagium kepastian hukum yang menurut doktrinnya dilekatkan pada eksistensi hukum undang-
undang yang positif itu sebenarnya hanyalah suatu pernyataan yang hanya akan bisa diterima
dalam makananya yang relatif. Sepanjang sejarah, hukum akan berubah sejalan dengan
perubahan jaman. Dari kajian hukum positif ini pulalah lahirnya kajian ‘hukum dalam
masyarakat’ yang berfokus pada kajian text in context.
Kajian-kajian tekstual terhadap hukum berkembang dengan sebutan jurisprudentia
sepanjang abad 18-19 di negeri-negeri kelahirannya. Kajian ini banyak berseluk beluk dengan
upaya mensistematisasi berbagai produk perundang-undangan berikut prosedur-prosedur
pendayagunaananya serta ajaran-ajaran yang menjadikan preskripsi-preskripsi undang-undang
yang bertebaran itu terorganaisasi ke dalam suatu sistem yang logis dengan koherensinya pada
tarafnya yang tinggi. Tetapi, sudah pada belahan kedua abad 19 yang bersiterus ke abad 20,
tatkala industrialisasi dan urbanisasi telah serta merta menyebabkan terjadinya perubahan
masyarakat yang sungguh eksponensial, dorongan untuk juga mempelajari teks-teks itu -- ialah
sehubungan dengan perubahan konteks-konteksnya – dengan segera saja menguat.

Meningkatnya migrasi dan urbanisasi yang kian membikin komplek secara drastik
heterogenitas dan pluralitas kehidupan, atau pula maraknya kekumuhan dan kemiskinan yang
berseiring dengan terjadinya massa pekerja pabrik dan kejahatan yang merebak di kota-kota,
adalah dua-tiga contoh saja dari sekian banyak perkembangan sosial-ekonomi yang menuntut
terwujudnya sistem normatif baru guna menjamin terwujudnya tertib kehidupan yang baru pula.
Sebelum datangnya masa krisis dengan segenap kerisauannya itu, para pemikir besar di bidang
filsafat sosial amatlah berkeyakinan akan kebenaran paham progresisme.4 Ialah paham yang
bertolak dari suatu paradigma saintisme yang empirik dan positif, bahwa perubahan macam
apapun yang terjadi dalam sejarah kehidupan manusia, jejak langkahnya sudahlah pasti akan
selalu berarah ke bentuk dan substansi yang secara kodrati akan lebih baik daripada yang sudah-
sudah.

Adalah kenyataan bahwa transisi-transisi transformatif yang pesat dan tertampak sebagai
kenyataan sosiologis itu tak bisa secara cepat diimbangi oleh pembaharuan dalam seluruh tatanan
perundang-undangan yang ada itu. Syahdan, ketertiban lama yang mendasarkan diri pada
ketentuan-ketentuan preskripsi yang lama nyata kalau sudah tidak lagi dapat memberikan
jawaban kepada berbagai permasalahan baru yang bermunculan. sedangkan norma-norma baru
belum juga kunjung juga dapat menjawabnya. Merespons kenyataan seperti ini, sosiologi – dan
demikian pula cabang-cabang spesialisasinya yang segera berkembang kemudian, antara lain
sosiologi hukum – segera saja marak sebagai hasil pemikiran mereka ÿÿng risau dengan
permasalahan yang tak segera terjawab oleh hukum dan ilmu hukum.

Pendayagunaan kajian sosilogik inilah yang kemudian memperkuat daya kerja ilmu
hukum, dari kajian-kajiannya yang terlalu murni -- yang mengkaji hukum dengan keyakinannya
yang doktrinal namun sempit akan eksistensi ilmu hukum sebagai ilmu yang tersendiri, sui
generis – menjadi suatu studi yang lebih berufuk luas. Membuka diri untuk memanfaatkan hasil
kajian-kajian ilmu sosial yang marak sejak belahan akhir abad 19, sudah pada pertengahan abad

4
Tentang progresisme yang amat mempengaruhi perkembangan pemikiran filsafat dalam permasalahan ekonomi,
sosial-politik dan hukum ini dapatlah dibaca lebih lanjut dalam Scott Gordon, The History of Philosophy anad
Social Science, (London: Routledge, 1991), Bab 8, hlm. 148-167.
20 ilmu hukum telah memiliki karakternya yang baru sebagai apa yang disebut ‘in-between
jurisprudence’.5

Istilah ‘in-between jurisprudence’ ini memang sering mengundang kontroversi, apakah


kajian ‘hukum dalam masyarakat’ itu sesungguhnya terbilang ilmu hukum (jurisprudence)
ataukah sudah bergeser menjadi kajian yang sudah lebih masuk ke ranah ilmu-ilmu sosial yang
lebih empirik (dengan fokus kajiannya yang berarah ke persoalan ‘apa yang terjadi’ dan
‘mengapa sampai terjadi’) daripada yang normatif dan/atau preskriptif (dengan fokus kajiannya
yang berarah ke persoalan ‘bagaimana seharusnya bertindak’). Pendapat yang menolak kajian
‘in-between jurisprudence’ sebagai kajian hukum menyebut kajian yang berada di wilayah abu-
abu ini sebagai kajian sosiologi hukum yang tak ada gunanya bagi praktik hukum kaum
profesional. Sementara itu, mereka yang mau menerima kajian yang satu ini sebagai kajian ilmu
tentang hukum menyebutnya dengan istilah ‘hukum dalam masyarakat’. [***]

5
Dragan Milovanovich, A Premier in The`Sociology of Law (New York: Harrow and Heston, 1994).

Anda mungkin juga menyukai