Anda di halaman 1dari 16

TUGAS MANAJEMEN RESIKO BENCANA

“Konvergensi Penanggulangan Resiko Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim (PRB-API)”

Oleh:

MUHTADILLAH UMAR

M1B1 18 026

Ilmu Lingkungan A

JURUSAN ILMU LINGKUNGAN

FAKULTAS KEHUTANAN DAN ILMU LINGKUNGAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang senantiasa

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua sehingga makalah ini dapat

terselesaikan Dalam pembuatan makalah ini,penulis bertujuan untuk melengkapi tugas

mata kuliah Manajemen Risiko Bencana. Dalam pembuatan makalah ini, penulis

banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan kali ini

Penulis mengucapkan terimakasih kepada bapak dosen dan teman-teman yang telah

berperan serta dalam pembuatan makalah ini.

Penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna baik

dari segi materi yang penulis sajikan maupun dari segi penulisannya. Untuk itu segala

saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi

kesempurnaan makalah ini.Harapan penulis, semoga makalah ini dapat bermanfaat

bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca pada umumnya.

Kendari, Oktober 2019

Penulis
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulaumana

6.000 pulau di antaranya tidak berpenghuni, dan terletak di Asia Tenggara di antara

Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesi memiliki luas keseluruhan sebesar

5.180.053 km2, yang terdiri dari daratan seluas 1.922.570 km2 (37,1%) dan lautan

seluas 3.257.483 km2 (62,9%) dengan garis pantai sepanjang 81.000 km.Secara

geografis, terletak di rangkaian lempeng tektonik: Australasia, Pasifik, Eurasia dan

Filipina yang membuat Indonesia menjadi rentan terhadap perubahan geologis. Selain

itu, terdapat 5.590 daerah aliran sungai (DAS) yang terletak antara Sabang dan

Merauke telah yang juga berkontribusi membantu membentuk Indonesia.

Kejadian bencana di Indonesia terus meningkat sepanjang tahun. Ini

membuktikan bahwa Indonesia merupakan negara yang rapuh dalam menghadapi

ancaman bencana. Karena itu, Indonesia disebut sebagai “super market” bencana.

Istilah ini menunjukkan kondisi Indonesia rentan terhadap bencana. Keterpautan

kemampuan dalam mengenali karakteristik bahaya membuat besara resiko yang

mengena pada situasi bencana juga akan berbeda. Semakin mampu untuk mengenali

dan memahami fenomena bahaya itu dengan baik, maka manusia akan semakin dapat

mensikapinya dengan lebih baik.

UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, ancaman bencana

ialah suatu kejadian atau peristiwa yang bisa menimbulkan bencana. Ancaman

bencana merupakan suatu peristiwa besar yang jarang terjadi, dalam lingkungan alam

atau lingkungan binaan, yang mempengaruhi kehidupan, harta atau kegiatan manusia,
sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan bencana. Hal lain yang dapat

dikategorikan sebagai ancaman benacana adalah suatu fenomena alam atau buatan

manusia yang dapat menimbulkan kerugian fisik dan ekonomi atau mengancam jiwa

manusia dan kesejahteraannya, bila terjadi di suatu lingkungan permukiman, kegiatan

budi daya atau industry.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah pada makalah ini ialah sebagai berikut:

a. Bagaimana pengertian pengurangan resiko bencana?

b. Apa saja komponen-komponen perubahan iklim?

c. Bagaiama upaya kovergensi PRB dan API?

C. Tujuan

Adapun tujuan pada makalah ini ialah:

a. Untuk mengetahui pengertian dari Pengurangan Resiko Bencana

b. Untuk mengetahui komponen-komponen Perubahan Iklim

c. Untuk mengetahui Konvergensi PRB dsn API

D. Manfaat

Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini, adalah sebagai berikut:


1. Sebagai informasi pengetahuan dan wawasan pembaca dalam memanajemen
resiko dari bencana.
2. Pembaca dapat mengetahui tahapan-tahapan resiko bencana
3. Diharapkan konsep-konsep dasar adaptasi perubahan lingkungan dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Pengurangan Resiko Bencana (PRB)

Bencana bukan merupakan istilah yang asing bagi masyarakat Indonesia.

Namun, bencana sebagai sistem pengetahuan (epistimologi) tidak mudah dipahami

secara menyeluruh (komprehensif). Dalam kamus pengetahuan, istilah bencana begitu

semarak dan mengemuka saat beberapa peristiwa bencana melanda wilayah Indonesia.

Bencana gempa yang terjadi di Yogyakarta dan sekitarnya, menjadi momentum bagi

masyarakat dalam menumbuhkan kesadaran pengetahuannya tentang hal ihwal seputar

bencana. Di samping istilah bencana begitu lekat di benak pikiran masyarakat, terlebih

masyarakat yang secara langsung mengalami musibah itu, pengetahuan tentang

bencana ini diliput secara luas oleh media massa, baik cetak maupun elektronik.

Dengan demikian, secara epistimologis, bencana kiranya dapat dimaknai secara luas

sebagai suatu kajian mendalam tentang peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba dan

berakibat terhadap kerusakan material maupun immaterial baik ditinjau dari aspek

sosial, budaya, politik, dan seterusnya.

1. Makna Bencana

Disaster atau bencana dapat dipahami sebagai peristiwa atau rangkaian

peristiwa yang disebabkan oleh alam, manusia dan/atau keduanya yang mengakibatkan

korban penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, kerusakan

sarana prasarana dan fasilitas umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata

kehidupan dan penghidupan. Pengertian yang kurang lebih sama juga dijelaskan

menurut stándar pemerintah se perti yang tertuang dalam UU No. 24 tahun 2007

tentang Penanggulangan Bencana. Pendapat yang agak berbeda dikemukankan oleh

ICRC, bahwa bencana adalah krisis (akibat kegagalan interaksi manusia dengan
lingkungan fisik & sosial) yang melampaui kapasitas individu & masyarakat untuk

menanggulangi dampaknya yang merugikan. Menurut The Center for Research on the

Epidemiology of Disasters (CRED) in Brussels, Belgium, disaster (bencana) diartikan

sebagai; “A disaster is a situation or event which overwhelms lokal capacity,

necessitating a request to a national or international level for external assistance.”

Suatu situasi atau kejadian yang diluar kapasitas masyakarat lokal, yang

memerlukan perhatian nasional maupun internasional untuk menanganinya. Bencana

dapat juga dipahami sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh

alam, manusia dan/atau keduanya yang mengakibatkan korban penderitaan manusia,

kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, kerusakan sarana prasarana dan fasilitas

umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan. Oleh

karena itu, maka tidak semua peristiwa/kejadian alam dikatakan sebagai bencana alam.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “bencana” adalah, sesuatu yang

menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian, atau penderitaan. Dari berbagai

pengertian para pakar diatas akhirnya disempurnakan dan dibakukan oleh pemerintah

Indonesia melalui UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, sebagai

berikut; ”Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu

kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam

dan/atau faktor non alam maupun manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban

jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Bencana merupakan fenomena yang terjadi karena beberapa komponen pemicu;

ancaman dan kerentanan secara bersamaan. Faktor ancaman kerentanan menyebabkan

terjadinya resiko pada komunitas. Bencana secara sederhana didefiniskan suatu

gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat sehingga menyebabkan

kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi, lingkungan
dan yang melampaui kemampuan masyarakat tersebut untuk mengatasi dengan

menggunakan sumberdaya-sumberdaya mereka sendiri. Dalam skala luas, bencana

dapat berupa perang, kekeringan, kelaparan, badai, banjir, tsunami, tanah longsor,

erosi, gempa bumi, ledakan nuklir, wabah penyakit, kerusakan fisik, kehilangan harta,

cacat, kerusakan mental maupun kerusakan pada struktur dan sistem sosial. Sementara

itu, Hewit, mengklasifikan bencana dalam 3 (tiga) kategori; (1) Bencana alam;

atmosfir, hidrologi, geologi, dan biologi, (2) Bencana teknologis; barang yang

berbahaya, proses destruktif, mekanis, dan produktif, (3) Bencana sosial; perang,

terorisme, konflik sipil, dan penggunaan barang, proses, dan teknologi yang berbahaya.

Dalam perspektif ekologi, bencana dapat didefinisikan sebagai suatu proses fenomena

alam yang terjadi dalam kerangka kausalitas ilmiah, contoh bencana ini misalnya

gempa bumi, tanah longsor, letusan gunung, dan tsunami. Sedangkan dalam perspektif

teologi, bencana adalah suatu kemutlakan kekuasaan Tuhan menjadi dasar dalam

memahami bencana. Dalam konteks ini orang memahami bencana sebagai: musibah,

ujian keimanan, teguran dan azab.

2. Resiko Bencana; Konstruksi antara Ancaman, Kerentanan dan

Kapasitas

Untuk mengetahui kapan bencana alam akan terjadi merupakan pekerjaan yang

sulit. Hal ini dikarenakan bencana alam dapat terjadi secara tiba-tiba di mana pun dan

kapan pun. Oleh karena itu, penting dilakukan pemantauan resiko bencana dan sistem

peringatan dini (early warning system) yang berfungsi sebagai “alarm” darurat

sewaktu-waktu bencana alam datang secara tidak terduga. Untuk itu, penting dilakukan

usaha pengurangan resiko bencana dengan melibatkan anak usia sekolah agar pada

situasi bencana, anak-anak memahami terhadap apa yang harus dilakukan.


B. Komponen Adaptasi Perubahan Iklim

Menurut Inter-government Panel on Climate Change (IPCC), terdapat lima

komponen utama kegiatan adaptasi perubahan iklim, yakni:

a. Atribusi komponen perubahan iklim terhadap kegiatan sosial ekonomi

dan biosfer

Atribusi menyangkut masalah komponen yang memberi kontibusi terhadap

perubahan, baik dalam konteks pemanasan global, perubahan iklim, maupun

dampaknya. Terkait pemanasan global, masalah atribusi menyangkut komponen iklim

dan noniklim yang berkontribusi terhadap peningkatan suhu muka Bumi seperti

letusan gunung api, sinar kosmis, dan perubahan radiasi Matahari. Dalam hal

perubahan iklim, masalah atribusi utama menyangkut kontribusi perubahan

lingkungan dan tutupan lahan terhadap faktor iklim. Terkait dengan dampak, atribusi

menyangkut kontribusi perubahan parameter iklim atau gas rumah kaca (GRK) yang

terjadi terhadap dampak yang ditimbulkan seperti banjir, kekeringan, kebakaran

hutan, perubahan populasi hewan, perubahan migrasi burung, dan lain sebagainya.

b. Kajian dan studi dampak

Dampak dari perubahan iklim selalu dihubungkan dengan upaya adaptasi.

Beberapa unsur pendukung upaya adaptasi sangat tergantung pada pengenalan

dampak yang ditimbulkan pada objek perubahan iklim. Dampak yang terjadi dapat

berupa langsung terlihat atau tidak langsung tetapi menunjukkan akibat secara

perlahan. Contoh dari dampak langsung adalah perubahan pola hujan, kekeringan,

banjir, kebakaran hutan, gelombang panas, angin puting beliung, dan lain-lain.

Dengan memahami bahwa perubahan iklim adalah proses yang dimulai secara lambat
dan laju yang pelan, saat ini semakin banyak dampak tidak langsung yang mulai

dikenali. Contoh dampak tidak langsung adalah dampak sektoral seperti pola penyakit

pada manusia dan tanaman, gangguan pariwisata, infrastruktur, transportasi, dan lain

sebagainya. Salah satu kesulitan terbesar dalam melihat dampak perubahan iklim

adalah melakukan kajian atribusi faktor perubahan iklim terhadap dampaknya dan

memisahkan pada penyebab noniklim.

c. Kerentanan terhadap perubahan iklim Dalam beradaptasi, ternyata

upaya yang sama tidak selalu menghasilkan hasil serupa pada masyarakat.

Hal ini terutama disebabkan oleh dua faktor, yakni kerentanan dan kapasitas

adaptasi. Kerentanan adalah ukuran ketidakberdayaan masyarakat atau komunitas

terhadap upaya adaptasi karena faktor paparan atau hamparan bencana yang dihadapi

dan dikombinasikan dengan faktor kesiapan komunitas tersebut untuk beradaptasi

(kapasitas adaptasi). Ada kondisi dimana masyarakat siap tetapi bencana yang

dihadapi sangat besar sehingga tingkat kerentanannya tinggi. Sementara itu, ada

kondisi dimana kerentanan kecil karena paparan bencana yang kecil dengan kesiapan

masyarakat yang tinggi. Paparan bencana yang dimaksud adalah bencana iklim akibat

dari perubahan iklim yang ditandai dengan bencana yang berhubungan dengan

parameter iklim seperti curah hujan, angin, suhu, tekanan, kelembaban, dan tutupan

awan. Sebagai contoh wilayah yang berubah dengan tutupan awan yang semakin

tinggi menjadi rentan untuk budidaya tembakau.


d. Kapasitas adaptasi dan kajian ketahanan terhadap perubahan iklim

Kapasitas adaptasi berhubungan erat dengan daya tahan terhadap perubahan

iklim dan merupakan ukuran kelenturan masyarakat dalam melakukan upaya adaptasi.

Tidak ada ukuran yang universal dari kapasitas adaptasi sehingga ukuran kerentanan

juga menjadi tidak seragam. Hal ini sangat berbeda dengan ukuran paparan bencana

yang dapat diukur dalam satuan ilmiah. Kapasitas adaptasi menyangkut masalah

sosial, ekonomi, dan budaya dengan jumlah faktor yang tidak terbatas berhubungan

dengan aktivitas yang dilakukan. Sebagai contoh dalam mengkaji kerentanan

perubahan iklim terhadap pertanian di Jawa, faktor irigasi merupakan salah satu faktor

dominan yang menentukan. Namun hal ini tidak berlaku di Pulau Bali karena irigasi

lokal yang disebut Subak itu sudah menjadi bagian sosial budaya masyarakat yang

melekat. Karena itu irigasi di Bali yang sudah melekat erat dalam adat itu bukan lagi

dianggap hambatan dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim.

e. Risiko iklim

Risiko iklim adalah faktor yang diperoleh akibat peluang terjadinya bencana

iklim dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh kejadian iklim tersebut. Bencana iklim

yang dimaksudkan dapat berhubungan dengan kondisi iklim ekstrem akibat

perubahan iklim. Besarnya konsekuensi yang ditimbulkan oleh peluang terjadinya

iklim ekstrem tersebut dapat dinyatakan dalam satuan keekonomian atau faktor

kerugian seperti risiko hilangnya jiwa, harta benda, dan infrastruktur. Sebagai contoh,

peningkatan peluang udara dengan kelembaban tinggi dapat meningkatkan risiko

penurunan jam kerja buruh. Pada kasus ini, terjadi risiko iklim yang dapat dihitung

dalam satuan kehilangan potensi ekonomi akibat faktor iklim. Kasus lain adalah

peningkatan peluang kejadian demam berdarah akibat meningkatnya peluang faktor


iklim yang mendukung kondisi tersebut. Hal ini mengakibatkan peningkatan risiko

iklim untuk kasus demam berdarah. Contoh lainnya adalah peluang terjadinya banjir

yang menyebabkan puso dan kehilangan hasil panen pertanian akibat risiko kejadian

iklim ekstrem.

Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap dampak

perubahan iklim. Dengan status sebagai negara berkembang, kemampuan Indonesia

dalam melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim belumlah sebaik negara-negara

maju. Oleh karena itu dikhawatirkan pembangunan yang sedang dilaksanakan

pemerintah bisa terhambat karena dampak perubahan iklim. Golongan yang paling

rentan terhadap dampak perubahan iklim adalah masyarakat miskin. Mereka juga

merupakan golongan yang paling terkena dampak terhambatnya pembangunan

nasional. Dengan demikian, respon terhadap perubahan iklim harus mengikutsertakan

program pengentasan kemiskinan. Adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan

aspek kunci yang harus menjadi agenda pembangunan nasional dalam rangka

mengembangkan pola pembangunan yang tahan terhadap dampak perubahan iklim

dan gangguan anomali cuaca yang terjadi saat ini serta antisipasi dampaknya ke

depan. Tujuan jangka panjang dari agenda adaptasi perubahan iklim di Indonesia

adalah terintegrasinya adaptasi perubahan iklim ke dalam perencanaan pembangunan

nasional.
C. Keterkaitan Pengurangan Resiko Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim

(PRB-API)

UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup (PPLH) merupakan salah satu UU yang secara eksplisit maupun implisit

berkaitan dengan perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana. UU PPLH ini

sangat menekankan pengaruh perubahan iklim terhadap lingkungan. Termuat dalam

konsideran pertimbangan poin huruf e disebutkan; bahwa pemanasan global yang

semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah

penurunan kualitas lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup. Walau secara eksplisit UU PPLH tidak memuat atau

memberikan terminologi mengenai pengurangan risiko bencana, namun secara

general menyebutkan kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sebelum melakukan penyusunan RTRW.

KLHS itu sendiri difungsikan sebagai penyusunan dan evaluasi terhadap kebijakan,

rencana atau program yang berpotensi menimbulkan dampak dan atau risiko

lingkungan hidup.

Kebijakan-kebijakan yang telah ada dapat menjadi landasan operasional, baik

berupa kebijakan teknis, program maupun pendanaan. Untuk tindak lanjut dibutuhkan

penyamaan persepsi pada pengambil kebijakan tentang nilai strategis maupun taktis

terkait API dan PRB serta integrasinya. Belum adanya kesamaan persepsi

menjadi tantangan tersendiri, baik bagi pemerintah, pemerintah daerah maupun para

praktisi dan pelaku adaptasi perubahan iklim maupun pengurangan risiko bencana.

Belum adanya kesamaan persepsi tersebut berimplikasi pada pemborosan sumberdaya


dan ketidaksinergisan maupun tumpang tindih dilapangan antara praktek-praktek API

dan PRB, yang bahkan pada banyak kasus, terjadi saling merendahkan pada tataran

skala prioritas atau nilai penting dari keduanya.

Pada tahap perencanaan, adanya kegiatan penilaian kerentanan dan risiko iklim

pada sebuah wilayah menjadi sangat penting. Keluaran kegiatan penilaian kerentanan

adalah kajian dan peta bencana dan risiko iklim yang didalamnya terdapat strategi

adaptasi perubahan iklim yang mampu meningkatkan resiliensi dan di sisi lain,

mampu untuk menurunkan kerentanan. Pilihan adaptasi akan memunculkan 3 (tiga)

kebutuhan, yaitu kebutuhan pendanaan, kebutuhan teknologi dan kebutuhan kegiatan

peningkatan kapasitas. Informasi masing-masing kebutuhan akan membantu

mengidentifikasi tantangan dan peluang untuk mendapatkan sumbersumber

pendanaan dan teknologi (jika tidak dapat dipenuhi oleh sumber dalam negeri) dan

kebutuhan peningkatan kapasitas yang sesuai dengan tantangan yang ditemukan.

Periode perencanaan dibagi dalam jangka pendek dan panjang. Jangka pendek dapat

dimaknai juga sebagai kegiatan yang mendesak dan prioritas sisi ancaman bencana,

kerentanan maupun kapasitas terhadap ancaman bencana.

Pada sisi pelaksanaan, tantangan yang juga perlu diperhatikan adalah bagaimana

memastikan adanya keterlibatan yang bermakna (meaningful participation) dari

berbagai kelompok di masyarakat. Proses menjamin partisipasi publik pada tahapan

pelaksanaan ini seringkali dihadapkan pada berbagai kendala, mulai dari akses

informasi yang tidak merata, hingga keterlibatan yang sifatnya terkesan elitis karena

hanya mewadahi keterlibatan tokoh, dan bukan warga biasa. Tantangan dalam proses

pelaksanaan menjelaskan hambatan baik yang bersifat teknis maupun non teknis,

yang menjadikan belum terjaminnya ruang dan kesempatan bagi setiap warga

masyarakat -apapun suku, agama, ras, jenis kelamin, kondisi fisik dan juga afiliasi
sosial dan politik untuk terlibat dan memberi warna dalam proses pelaksanaan upaya

konvergensi. Tantangan yang juga perlu diperhatikan adalah bagaimana memastikan

adanya keterlibatan yang bermakna (meaningful participation) dari berbagai

kelompok di masyarakat.

Pada proses pemantauan (monitoring), rangkaian kegiatan yang harus

diperhatikan adalah aktifitas dan rangkaiannya (proses), perkembangan atau kemajuan

kegiatan, capaian/hasil yang diperoleh serta aspek manajemen dan sumberdaya yang

mendukung implementasi kegiatan. Tujuan pemantauan secara menyeluruh ini untuk

mengantisipasi tantangan atau hambatan pada saat rangkaian kegiatan dilaksanakan.

Tahap evaluasi, sebagai aktifitas yang melekat pada setiap kegiatan

pemantauan dimaksudkan untuk menilai sejauh mana masukan (input) sesuai dengan

keluaran (output) dan hasil yang didapatkan. Efesiensi dan efektifitas sebagai tujuan

konvergensi API-PRB menjadi indikator utama pada penilaian evaluasi ini.

Pemantauan dan evaluasi membutuhkan kondisi obyektif sebelum intervensi dari

program/proyek dilakukan. Kondisi obyektif ini akan menjadi dasar untuk melihat

perubahan-perubahan yang terjadi sebelum dan sesudah program/proyek dilakukan.

Dengan demikian, pada konteks evaluasi dan monitoring maka dibutuhkan indikator

yang relevan dengan karakteristik wilayah dan indikator yang menggambarkan

ketangguhan sebuah wilayah dari bencana..


BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

PRB merupakan usaha sadar dan terencana dalam proses pembelajaran untuk

memberdayakan peserta didik dalam upaya untuk pengurangan resiko bencana dan

membangun budaya budaya aman serta tangguh terhadap bencana. PRB direalisasikan

dengan mengembangkan motivasi, keterampilan, dan pengetahuan agar dapat

bertindak dan mengambil bagian dari upaya untuk pengurangan resiko bencana

Indonesia berperan dalam mengatasi adaptasi perubahan iklim bukan hanya

sebagai kontribusi nasional untuk tingkat Internasional tetapi juga sebagai bentuk

warisan untuk generasi mendatang sebagai bentuk survival sebagai bangsa. Hal ini

dikarenakan dampak perubahan iklim akan menggerus kapasitas dukung lingkungan

sehingga terus menurun dan pada akhirnya mengancam kesinambungan pembangunan

berkelanjutan. Beberapa ancaman yang terlihat adalah peningkatan suhu permukaan,

peningkatan paras muka laut, cuaca ekstrim, polutan udara yang meningkat.

B. Saran

Dalam mengatasi PRB dan API diharapkan adanya dukungan penuh dari tiap

lapisan masyarakat dalam upaya penanggulangan bencana dan isu-isu tentang

kerusakan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA

Mochamad, A., A. 2013. Membangun Model Modal Sosial dalam Rangka Penyusunan

Kebijakan Perubahan Iklim. Disertasi pada Program Studi Ilmu Lingkungan

Universitas Indonesia. Jakarta.

Aldrian, Edvin.,Karmini., Mimin.,Budiman.2016. Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim

di Indonesia.Jakarta

Napytupul,Andry.,Erawan.,Andrys.2017.Konvergensi Adaptasi Perubahan Iklim dan

Pengurangan Resiko Bencana. Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai