Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

MODEL PENELITIAN

2.1 TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1 Pemeriksaan Antenatal

Pemeriksaan antenatal adalah pemeriksaan pada ibu hamil yang dilakukan

oleh dokter, bidan atau perawat agar ibu dan janin sehat secara optimal sejak

kehamilan sampai pada masa nifas (Depkes RI, 2007. Manuaba, 2008).

Pelayanan antenatal merupakan pelayanan kesehatan yang dilakukan pada

ibu hamil sejak awal kehamilan sampai akhir kehamilan dengan menerapkan

standar pelayanan kebidanan (SPK) yang meliputi anamnesis, pemeriksaan dari

ujung kepala sampai ujung kaki, pemeriksaan darah dan urin atau pemeriksaan

laboratorium lainnya sesuai dengan gejala, penatalaksanaan umum maupun secara

khusus bila menemukan risiko dalam pemeriksaan (Depkes RI, 2011).

Menurut Farrer (2001) pemeriksaan antenatal meliputi pengawasan yang

dilakukan selama kehamilan untuk mengetahui apakah kehamilannya berjalan

normal, deteksi dini penanganan setiap komplikasi yang timbul dan juga sebagai

usaha untuk mengantisipasi masalah yang timbul selama kehamilan, persalinan

dan periode masa nifas, serta penyuluhan mengenai kehamilan, perawatan bayi

dan dukungan terhadap masalah sosial dan psikologis.

2.1.2 Jadwal Kunjungan Pemeriksaan Antenatal

Ibu hamil sebaiknya melakukan kunjungan kehamilan ke tenaga kesehatan

profesional secara rutin dan teratur agar mendapatkan pelayanan kebidanan yang
sesuai dengan standar. Ibu hamil dapat melakukan kunjungan pada usia kehamilan

1-12 minggu minimal satu kali, usia kehamilan 16-24 minggu minimal 1 kali dan

usia kehamilan 28-40 minggu minimal dua kali (Kemenkes, 2015).

Standar pelayanan kebidanan dalam penerapannya terdiri dari 10 ”T” yaitu

1) timbang berat badan (BB) dan ukur tinggi badan (TB). 2) mengukur tekanan

darah dilakukan setiap kali ibu hamil melakukan pemeriksaan antenatal., 3) nilai

status gizi, 4) ukur tinggi fundus uteri, 5) tentukan letak janin dan menghitung

denyut jantung janin (DJJ), 6) tentukan status imunisasi tetanus, 7) beri tablet

tambah darah (tablet besi), 8) pemeriksaan laboratorium (rutin dan khusus), 9)

tatalaksana/penanganan kasus, apabila ditemukan adanya kelainan maka harus

mendapatkan penatalaksanaan sesuai dengan standar, 10) temu wicara atau

konseling dilakukan pada ibu hamil setiap melakukan pemeriksaan kehamilan

(Kemenkes RI, 2015).

Kunjungan pada ibu hamil bukan saja kunjungan yang dilakukan ibu hamil

ke fasilitas kesehatan akan tetapi setiap kontak dengan tenaga kesehatan baik

diposyandu, pondok bersalin, kunjungan rumah serta mendapatkan pelayanan

antenatal sesuai dengan standar yang telah ditentukan maka bisa dikatakan

sebagai kunjungan ibu hamil (Depkes RI, 2001).

Pemeriksaan kehamilan akan lebih baik dilakukan sedini mungkin atau

segera setelah ada tanda-tanda kehamilan. Berdasarkan peraturan menteri

kesehatan tahun 2014 menetapkan kunjungan kehamilan dilakukan minimal 4 kali

selama kehamilan, yang dilakukan minimal 1 kali pada trimester pertama

(sebelum usia kehamilan 14 minggu), 1 kali pada trimester ke 2 (usia kehamilan

antara 14 sampai 28 minggu) dan 2 kali pada trimester 3 (usia kehamilan 28


sampai 40 minggu). Pemeriksaan kehamilan dapat dilakukan diluar standar yang

telah ditentukan bila ditemukan kelainan/penyulit atau komplikasi pada masa

kehamilan (Menteri Kesehatan RI, 2014).

2.1.3 Tujuan Pemeriksaan Antenatal

Pelayanan antenatal atau pemeriksaan kehamilan bertujuan untuk

memenuhi setiap hak ibu hamil agar mendapatkan pelayanan pemeriksaan

kehamilan yang sesuai standar dan berkualitas, sehingga kehamilan ibu berjalan

sehat, melahirkan dengan aman dan selamat serta melahirkan bayi dengan aman,

sehat dan berkualitas (Kemenkes, 2015).

Tujuan dari pemeriksaan antenatal adalah 1) memonitor perkembangan

kesehatan ibu dan tumbuh kembang janin di dalam rahim, 2) meningkatkan

kondisi ibu secara fisik dan psikososial untuk kesehatan janin yang optimal, 3)

deteksi dini adanya penyulit atau komplikasi yang terjadi dimasa kehamilan, 4)

mempersiapkan ibu hamil agar kehamilannya cukup bulan atau aterm serta

persalinan yang aman, 5) mempersiapkan ibu agar kondisi fisik dan psikologisnya

berjalan normal serta merencanakan ASI eksklusif pada masa nifas, 6)

menyiapkan tumbuh kembang yang optimal untuk janin dengan membantu ibu

dan keluarga agar mempersiakan persalinan yang aman dan sehat, 7) mengurangi

bayi lahir kurang bulan, kematian janin dalam rahim dan kematian bayi usia 0-28

hari (Depkes RI, 2009).

2.1.4 Faktor yang Memengaruhi Kunjungan Antenatal

Kunjungan antenatal pada ibu hamil dapat di pengaruhi oleh beberapa

faktor yaitu: 1) kurangnya pengetahuan, masih kurangnya pengetahuan ibu hamil,

suami, keluarga dan masyarakat tentang kehamilan, persalinan dan nifas dapat
memengaruhi kunjungan ibu hamil ketenaga kesehatan. Hasil penelitian Hafidz

(2007) menunjukkan hasil yang signifikan antara peran suami dan keluarga

terhadap perilaku ibu hamil dalam melakukan kunjungan untuk mendapatkan

pelayanan antenatal.

2) Dukungan keluarga, menurut Ohashi dkk (2014) menyatakan bahwa

suami memiliki peran penting dalam mendorong ibu melakukan kunjungan

kehamilan ke tenaga kesehatan, 3) Pengambilan keputusan, temuan Ganle dkk

(2015) pengambilan keputusan mengenai akses dan penggunaan layanan

kesehatan untuk ibu hamil sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan pendapat dari

suami, ibu mertua, dukun bayi dan lainnya.

4) Jangkauan pelayanan kesehatan, jarak dan geografis tempat tinggal

dengan tempat pelayanan ANC. Lokasi pelayanan yang tidak strategis akan

menyebabkan ibu hamil kurang memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan

meskipun pelayanan kesehatan tersebut memadai, selain itu informasi menjadi

salah satu aksesibilitas masyarakat untuk menggunakan pelayanan kesehatan

(Erlina, 2013). Aksesibilitas ke fasilitas kesehatan di wilayah kerja Puskesmas

Kapala Pitu merupakan penghambat untuk memanfaatkan pelayanan antenatal

seperti alat transportasi umum, keadaan geografis yang tidak mendukung, waktu

tempuh yang lama dan jarak antara tempat pelayanan kesehatan dengan tempat

tinggal masyarakat dapat memengaruhi frekuensi kunjungan ibu hamil

(Pongsibidang dkk, 2013).

5) angka abortus yang cukup tinggi dibeberapa daerah menyebabkan

rendahnya K4 hal ini disebabkan ibu tidak lagi melakukan pemeriksaan

kehamilan. Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Vitriyani (2012)
menunjukkan ibu hamil dengan pengalaman abortus mempunyai minat yang lebih

tinggi dibandingkan yang tidak memiliki riwayat abortus, hal ini dipengaruhi oleh

rasa cemas ibu hamil terhadap kandungan dan janinnya sehingga ibu lebih rutin

memeriksakan kehamilannya, 6) belum semua petugas melakukan pelayanan

antenatal berkualitas yang sesuai standar. Menurut penelitian Wulandari dan

Yanuaria (2013) ibu hamil yang mendapatkan pelayanan kehamilan yang

menyeluruh akan lebih sering melakukan pelayanan ANC dibandingkan ibu hamil

yang tidak mendapatkan pelayanan secara menyeluruh, 7) dukungan keluarga,

hasil penelitian Sumiati (2012) membuktikan terdapat hubungan yang signifikan

antara dukungan suami yang baik memiliki peluang bagi ibu hamil melakukan

kunjungan kehamilan sesuai dengan waktu yang ditetapkan.

2.1.5 Upaya Peningkatan Cakupan K4

Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan cakupan K4 adalah 1)

meningkatkan pelayanan ANC terpadu kepada wilayah provinsi dengan kematian

ibu yang masih tinggi, 2) melakukan evaluasi pelayanan PMTCT pada daerah

dengan kasus HIV yang tinggi, 3) meningkatkan dan mengembangkan program

kelas ibu hamil pada daerah yang memiliki cakupan K4 yang masih di bawah

standar, 4) meningkatkan pelayanan ANC terpadu dan kelas ibu hamil melalui

peningkatan koordinasi dan kerjasama baik dengan lintas sektoral dan lintas

program, 5) meningkatkan kerjasama dengan organisasi profesi dan lembaga

swadaya masyarakat untuk penyediaan fasilitas, advokasi, supervisi dan

bimbingan teknis ke daerah tentang peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan

antenatal (Kemenkes RI, 2013).


Berbagai upaya yang telah dilaksanakan kementerian kesehatan untuk

meningkatkan cakupan K4 melalui pelaksanaan program dan kegiatan guna

meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan bagi ibu hamil yang berkualitas

dilakukan hingga kepada masyarakat di pelosok desa, termasuk didalamnya

adalah meningkatkan cakupan kunjungan ibu hamil agar sesuai dengan standar

waktu kunjungan yang telah ditetapkan (Kemenkes RI, 2013).

Pengembangan kelas ibu hamil merupakan salah satu upaya meningkatkan

cakupan K4. Kelas ibu hamil juga dapat meningkatkan pelayanan kesehatan bagi

ibu hamil dan keluarga karena dengan kelas ibu hamil maka akan meningkatkan

pengetahuan ibu hamil dan keluarga tentang kesehatan ibu hamil yang dapat

berdampak kepada sikap dan perilaku ibu hamil untuk memanfaatkan tempat

pelayanan kesehatan khususnya dalam memeriksakan kehamilan. Pemanfaatan

bantuan oprasional kesehatan (BOK) di luar gedung seperti pendataan, pelayanan

di posyandu, sweeping kasus DO dan menjalin kemitraan dengan dukun. Faktor

pendukung keberhasilan K4 adalah 1) adanya pengenalan ANC terpadu kepada

petugas kesehatan di puskesmas, 2) peningkatan sarana dan prasana pelayanan

ANC terpadu, 3) surveilans melalui pemantauan wilayah setempat (Kemenkes RI,

2013).

2.2 Konsep Penelitian

2.2.1 Pengertian Persepsi

Persepsi adalah suatu proses yang didahului oleh penginderaan, yaitu

merupakan proses yang berwujud diterima stimulus oleh individu melalui alat

reseptornya. Namun proses itu tidak berhenti sampai disitu saja, melainkan

stimulus di teruskan ke pusat susunan syaraf yaitu otak dan terjadilah proses
psikologis, sehingga individu menyadari apa yang ia lihat, apa yang ia dengar, dan

sebagainya individu mengalami persepsi (Fitriyah dan Jauhar, 2014).

Persepsi adalah proses dimana individu mengatur dan menginterpretasikan

kesan-kesan sensorik mereka guna memberikan arti bagi lingkungan mereka.

Namun, apa yang diterima seseorang pada dasarnya bisa berbeda dari realitas

objektif. Walaupun seharusnya tidak perlu ada perbedaan tersebut sering timbul

(Robbins dan Judge, 2008).

2.2.2 Proses Pembentukan Persepsi dan Faktor yang Mempengaruhi


Pembentukan Persepsi

Persepsi seseorang tidaklah timbul begitu saja, ada tahapan-tahapan atau

proses tertentu yang harus dilalui oleh seseorang untuk bisa berpersepsi.

Menentukan persepsi seseorang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu,

proses belajar, lingkungan, rangsangan dan hal-hal yang lain. Hal ini didukung

menurut Sunaryo (2004) menyatakan bahwa proses pembentukan persepsi

melewati tiga proses, yaitu : proses fisik, proses fisiologi dan proses psikologi.

Dalam hal ini terjadilah adanya proses persepsi yaitu suatu proses di mana

individu mengetahui dan menyadari suatu obyek berdasarkan stimulus yang

mengenai alat inderanya.

Menurut (Robbins dan Judge, 2008) Proses pembentukan persepsi dimulai

dengan penerimaan rangsangan dari berbagai sumber. Dapat juga di pengaruhi

faktor-faktor personal, yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli,

tetapi karakteristik orang yang memberi respon terhadap stimuli. Sejalan dengan

hal tersebut, maka persepsi seseorang ditentukan oleh dua faktor utama yaitu

pengalaman masa lalu dan faktor pribadi yang di dapat melalui proses belajar dan
pengalaman masa lalu. Menurut Robbins dan Judge (2008) terdapat 3 faktor yang

mempengaruhi persepsi seseorang sebagai berikut.

1) Individu yang bersangkutan (pemersepsi)

Apabila seseorang melihat sesuatu dan berusaha memberikan interpretasi tentang apa

yang dilihatnya itu, ia akan dipengaruhi oleh karakterisktik individual yang

dimilikinnya seperti sikap, motif, kepentingan, minat, pengalaman, pengetahuan, dan

harapannya.

2) Sasaran dari persepsi

Sasaran dari persepsi dapat berupa orang, benda, ataupun peristiwa. Sifat-sifat itu

biasanya berpengaruh terhadap persepsi orang yang melihatnya. Persepsi terhadap

sasaran bukan merupakan sesuatu yangdilihat secara teori melainkan dalam kaitannya

dengan orang lain yang terlibat. Hal tersebut yang menyebabkan seseorang cenderung

mengelompokkan orang, benda, ataupun peristiwa sejenis dan memisahkannya dari

kelompok lain yang tidak serupa.

3) Situasi

Persepsi harus dilihat secara kontekstual yang berarti situasi dimana persepsi tersebut

timbul, harus mendapat perhatian. Situasi merupakan faktor yang turut berperan

dalam proses pembentukan persepsi seseorang.

2.2.3 Health Belief Model

Health belief model (HBM) juga dapat diartikan sebagai sebuah konstruk

teoritis mengenai kepercayaan individu dalam berperilaku sehat. HBM adalah

model kepercayaan kesehatan individu dalam menentukan sikap melakukan atau

tidak melakukan perilaku kesehatan (Conner dan Norman, 2003).

Pada pertengahan tahun 20-an para peneliti kesehatan di Amerika Serikat

mulai memfokuskan bagaimana cara yang paling efektif melakukan intervensi


pendidikan kesehatan. Para peneliti ini tertarik untuk mengidentifikasi faktor-

faktor yang dapat memprediksi keputusan untuk berperilaku sehat. HBM ini

berfokus pada persepsi ancaman dan evaluasi perilaku terkait kesehatan sebagai

aspek primer untuk memahami bagaimana seseorang mempresentasikan perilaku

sehat (Strecher dan Rosenstock,1997 dalam Conner dan Norman, 2003).

Beberapa faktor HBM berbasis kognitif seperti keyakinan dan sikap yang

dapat memengaruhi proses berpikir sehingga dapat memengaruhi pengambilan

keputusan individu dalam berperilaku.

2.2.4 Indikator Akses Pemeriksaan Antenatal

Indikator pelayanan antenatal yang menggambarkan jangkauan ibu hamil

ke tenaga kehatan adalah cakupan kunjungan pertama (K1) dan kunjungan

keempat (K4) merupakan pelayanan antenatal yang diberikan oleh tenaga

kesehatan sesuai dengan distribusi waktu yang ditentukan (Kemenkes RI, 2015).

2.2.5 Kunjungan Pertama (K1)

Kunjungan pertama merupakan kunjungan ibu hamil pertama kali dengan

usia kehamilan 1-12 minggu ke tenaga kesehatan untuk melakukan pemeriksaan

sesuai dengan standar pelayanan kebidanan dengan kunjungan minimal satu kali

pada trimester satu (Kemenkes RI, 2015).

Pentingnya melakukan K1 yaitu membina hubungan saling percaya antara

petugas kesehatan dengan ibu hamil, deteksi dini risiko tinggi dan komplikasi

yang mungkin timbul pada masa kehamilan, melakukan skrining dan pencegahan

seperti tetanus, anemia defisiensi zat besi serta menghindari ibu dari praktik

tradisional yang merugikan ibu hamil seperti praktik dukun, memberikan

pendidikan kesehatan dan gizi untuk ibu hamil, membahas kekhawatiran ibu saat
ini atau dalam menjalani kehamilannya, selain itu K1 juga berperan sebagai

indikator program untuk mengetahui jangkauan ibu hamil terhadap pelayanan

kesehatan dan kemampuan tenaga kesehatan dalam menggerakkan masyarakat ke

tenaga kesehatan (Depkes RI, 2009).

2.2.6 Kunjungan Keempat (K4)

Kunjungan keempat (K4) adalah ibu hamil yang telah mendapatkan pelayanan

pemeriksaan kehamilan dari tenaga kesehatan sesuai standar pelayanan kesehatan

bagi ibu hamil dan distribusi waktu yang telah ditentukan yaitu 1 kali pada terimester

satu, 1 kali pada trimester 2, dan 2 kali pada trimester 3. Indikator K4 dapat

menggambarkan jangkauan pelayanan kesehatan ibu selama kehamilan dan

kepatuhan ibu hamil dalam memeriksakan kehamilannya sesuai standar waktu

yang telah ditetapkan (Kemenkes RI, 2013).

Pentingnya kunjungan keempat (K4) adalah deteksi dini risiko tinggi pada

masa kehamilan terutama trimester ketiga, penentuan letak janin di dalam rahim,

ibu hamil dapat melakukan perencanaan kehamilan dan persalinannya dengan

baik serta memantapkan keputusan ibu hamil dan keluarganya untuk melahirkan

ditolong tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan. Selain menjadi indikator kinerja

kegiatan (IKK) direktorat bina kesehatan ibu, indikator cakupan K4 juga

merupakan suatu program dalam upaya menurunkan angka kematian ibu

sebagaimana yang tercantum dalam MDGs. Beberapa penyebab belum

tercapainya K4 yaitu 1) masih ada ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya

pertama kali tidak pada trimester pertama, sehingga syarat frekuensi minimal

untuk mencapai kunjungan antenatal lengkap sesuai standar tidak tercapai, 2)

belum optimalnya pendataan ibu hamil dan penentuan sasaran ibu hamil yang
digunakan, 3) sistem pencatatan dan pelaporan yang belum optimal sehingga

masih ada pelayanan kesehatan swasta yang dilakukan belum terlapor

(kemungkinan data under reported) (Kemenkes RI, 2013).

2.3 Landasan Teori

2.3.1 Komponen HBM

Beberapa komponen HBM menurut Conner dan Norman (2003) sebagai berikut.

1. Perceived susceptibility atau persepsi kerentanan. Seseorang akan mempunyai

persepsi kerentanan akan risiko yang dirasakan dalam suatu perilaku yang tidak

sehat. Semakin besar ia merasa rentan maka akan mendorong atau memotivasi

seorang untuk berperilaku pencegahan. Persepsi kerentanan akan mendorong

orang untuk melakukan pencegahan, ibu hamil akan melakukan pemeriksaan

atau kunjungan antental apabila ia merasa memiliki risiko untuk terjadinya

komplikasi pada masa kehamilan.

2. Perceived severity atau persepsi keparahan akan suatu penyakit yang timbul.

Persepsi akan keparahan seseorang akan sering didasarkan pada informasi dan

pengetahuan yang didapatkan, hal ini juga berasal dari keyakinan seseorang

yang didapatkan dari pengalaman, tentang kerentanan seseorang akan suatu

penyakit akan berdampak pada kehidupannya. Sebagai contoh ibu hamil bisa

saja menganggap kehamilan suatu yang biasa. Akan berbeda halnya dengan ibu

hamil yang memiliki riwayat kehamilan pernah mengalami komplikasi ketika

kehamilan sehingga ibu hamil akan lebih rutin untuk memeriksakan

kehamilannya.

3. Perceived benefits merupakan seseorang yang merasakan akan manfaat atau

kegunaan dari suatu tindakan atau perilaku pencegahan. Orang-orang


cenderung akan berperilaku sehat ketika mereka percaya perilaku yang mereka

lakukan menurunkan risiko mereka terkena penyakit, contohnya ibu hamil akan

rutin melakukan pemeriksaan kehamilan karena ia sudah dapat merasakan

manfaat dari pemeriksaan kehamilan, misalnya pada kasus ibu hamil dengan

anemia, ibu hamil anemia bisa saja mengeluh lemah, letih, lesu begitu dia

memeriksakan diri ke puskesmas ia diberikan tablet tambah darah dan setelah

meminum tablet tambah darah untuk beberapa hari ibu sudah tidak lagi merasa

lemah, letih, lesu hal inilah yang akan mendorong seseorang untuk melakukan

pemeriksaan kehamilan kembali.

4. Perceived barriers atau hambatan yang dirasakan. Perubahan perilaku

seseorang menjadi berperilaku sehat bukanlah hal yang mudah. Hambatan

tersebut sebenarnya adalah evaluasi pribadi itu sendiri, contohnya rasa takut,

malu dan ragu untuk melakukan tes kesehatan (Hayden, 2014).

5. Cues to action adalah peristiwa yang terjadi pada seseorang atau hal-hal yang

dapat menggerakkan seseorang untuk merubah perilakunya. Cues to action

juga berarti dukungan atau dorongan dari lingkungan terahadap individu untuk

berperilaku sehat. Peringatan kesehatan pada label atau produk, kampanye,

media masa menjadi dorongan seseorang untuk berperilaku sehat seperti

melakukan kunjungan kehamilan secara lengkap.

Faktor yang memengaruhi HBM yaitu faktor demografis, karakteristik

psikologis, variabel struktural seperti ilmu pengetahuan. Salah satu faktor

demografi yang dapat memengaruhi HBM adalah status sosial ekonomi.

Seseorang yang berada pada sosial ekonomi menengah kebawah cenderung

memiliki pengetahuan yang kurang akan faktor risiko terjadinya suatu penyakit.
Faktor demografis, karakteristik psikologis, dan struktural variabel, pada akhirnya

memengaruhi HBM pada individu. Aspek-aspek pokok perilaku kesehatan

menurut (Rosenstock, 1974 dalam Conner dan Norman, 2003) adalah sebagai

berikut.

a. Ancaman, persepsi seseorang mengenai kerentanan terhadap bahaya penyakit

atau persepsi seseorang akan keparahan sakit atau kondisi kesehatannya.

b. Harapan, merupakan persepsi mengenai keuntungan seseorang terhadap

tindakan dan hambatannya dalam berperilaku.

c. Pencetus tindakan, merupakan sesuatu yang mendorong seseorang untuk

bertindak seperti pengaruh dari orang lain atau dari media.

d. Faktor sosiodemografi, status sosiodemografi seperti pendidikan, umur, jenis

kelamin, suku bangsa akan berpengaruh terhadap perilaku seseorang.

e. Penilaian diri, seseorang akan memiliki penilaian terhadap dirinya akan

kemapuan dalam melakukan tindakan.


2.4 Model Penelitian

Persepsi Faktor Pemodifikasi Kemungkinan


Individu untuk bertindak

Umur, pengetahuan Perceived benifits


,pendidikan, status Perceived barriers
perkawinan, jumlah Persepsi ibu tentang
anak keuntungan dan hambatan
ibu jika melakukan
pemeriksaan antenatal
1. Jarak
Perceived Perceived severity 2. Takut
susceptibility (persepsi keparahan) 3. Malu
Persepsi ibu Persepsi keparahan bila 4. Ketidakhadiran bidan
terhadap ibu tidak melakukan
kerentanan pemeriksaan antenatal
dirinya saat hamil 1. Pendarahan
Tidak berisiko 2. Bayi sesak
Umur terlalu kecil 3. Meninggal Pemeriksaan antenatal
Jarak kehamilan 4. Dirujuk
terlalu dekat 5. Dioprasi
Riwayat oprasi

Cues to action
Motivasi yang di dapatkan dari:
1. Keluarga
2. Tenaga kesehatan
3. Penggalaman
4. Tetangga/linggkunggan

Gambar 2.4 Model Penelitian Sumber: Stretcher,V.,&Rosenstock I.M. (1997)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam tentang faktor

pemodifikasi seperti pendidikan, umur, status perkawinan, pengetahuan, jumlah

anak, persepsi individu, persepsi yang memungkinkan ibu untuk melakukan atau

pemeriksaan antenatal di wilayah kerja Puskesmas Darek. Persepsi yang

didapatkan dari informan dikaitkan dengan persepsi ibu hamil tentang kerentanan
ibu terhadap faktor risiko seperti umur ibu terlalu muda atau terlalu tua, jarak

kehamilan yang dekat, kehamilan yang terlalu sering dapat berisiko untuk

terjadinya komplikasi pada masa kehamilan. Persepsi keparahan ibu karena

komplikasi yang bisa timbul pada kehamilan seperti perdarahan, KPD, hipertensi

dan infeksi. Persepsi tentang manfaat dan hambatan yang dirasakan ibu seperti

jarak, biaya, waku dan keluarga dalam melakukan kunjungan antenatal. Cues to

action yang didapatkan dari lingkungan yang mendorong ibu melakukan antenatal

seperti keluarga dan bidan.

Anda mungkin juga menyukai