Anda di halaman 1dari 9

1.

Aliran dalam matematika

A. Formalisme
Formalis seperti David Hilbert (1642 –1943) berpendapat bahwa matematika adalah
tidak lebih atau tidak kurang sebagai bahasa matematika. Hal ini disederhanakan sebagai
deretan permainan dengan rangkaian tanda –tanda lingistik, seperti huruf-huruf dalam
alpabet Bahasa Inggeris. Bilangan dua ditandai oleh beberapa tanda seperti 2, II atau SS0.
Pada saat kita membaca kadang-kadang kita memaknai bacaan secara matematika, tetapi
sebaliknya istilah matematika tidak memiliki sebarang perluasan makna. Formalis
memandang matematika sebagai suatu permainan formal yang tak bermakna (meaningless)
dengan tulisan pada kertas, yang mengikuti aturan. Menurut Ernest (1991) formalis memiliki
dua dua tesis, yaitu:
a. Matematika dapat dinyatakan sebagai sistem formal yang tidak dapat ditafsirkan sebarangan,
kebenaran matematika disajikan melalui teorema-teorema formal.
b. Keamanan dari sistem formal ini dapat didemostrasikan dengan terbebasnya dari ketidak
konsistenan.
Ada bermacam keberatan terhadap formalisme, antara lain; (1) formalis dalam
memahami obyek matematika seperti lingkaran, sebagai sesuatu yang kongkrit, padahal tidak
bergantung pada obyek fisik; (2) formalis tidak dapat menjamin permainan matematika itu
konsisten. Keberatan tersebut dijawab formalis bahwa (1) lingkaran dan yang lainnya adalah
obyek yang bersifat material dan (2) meskipun beberapa permainan itu tidak konsisten dan
kadang-kadang trivial, tetapi yang lainnya tidak demikian.

Intuisionisme
Intuisionisme seperti Immanuel Kant (1724-1804) berpendapat bahwa matematika
merupakan pengetahuan yang bersifat sintetik a priori dimana eksistensi matematika
tergantung dari pengindraan. Intuisi matematika murni yang meletakkan pada dasar dari
semua kognisi dan penilaian yang muncul sekaligus apodiktis dan diperlukan adalah Ruang
dan Waktu, karena matematika harus terlebih dahulu memiliki semua konsep dalam intuisi,
dan matematika murni intuisi murni, maka matematika harus membangun mereka. Menurut
Kant, Geometri didasarkan pada intuisi murni ruang, dan, aritmatika menyelesaikan konsep
angka dengan penambahan berurutan dari unit dalam waktu. Ia menyimpulkan bahwa
matematika murni, sebagai kognisi apriori, hanya mungkin dengan mengacu ada benda selain
yang indra, di mana, di dasar intuisi empiris mereka terletak sebuah intuisi murni (ruang dan
waktu) yang apriori. Kant selanjutnya menyimpulkan bahwa dasar matematika sebenarnya
intuisi murni, sedangkan deduksi transendental tentang konsep-konsep ruang dan waktu
menjelaskan, pada saat yang sama, kemungkinan matematika murni.
L.E.J. Brouwer (1882-1966), berpendapat bahwa matematika suatu kreasi akal budi
manusia. Bilangan, seperti cerita bohong adalah hanya entitas mental, tidak akan ada apabila
tidak ada akal budi manusia memikirkannya. Selanjutnya intuisionis menyatakan bahwa
obyek segala sesuatu termasuk matematika, keberadaannya hanya terdapat pada pikiran kita,
sedangkan secara eksternal dianggap tidak ada. Kebenaran pernyataan p tidak diperoleh
melalui kaitan dengan obyek realitas, oleh karena itu intusionisme tidak menerima kebenaran
logika bahwa yang benar itu p atau bukan p. Intuisionisme mengaku memberikan suatu dasar
untuk kebenaran matematika menurut versinya, dengan menurunkannya (secara mental) dari
aksima-aksioma intuitif tertentu, penggunaan intuitif merupakan metode yang aman dalam
pembuktian. Pandangan ini berdasarkan pengetahuan yang eksklusifpada keyakinan yang
subyektif. Tetapi kebenaran absolut (yang diakui diberikan intusionisme) tidak dapat
didasarkan pada padangan yang subyektif semata. Ada berbagai macam keberatan terhadap
intusionisme, antara lain; (1) intusionisme tidak dapat mempertanggung jawabkan bahwa
obyek matematika bebas, jika tidak ada manusia apakah 2 + 2 masih tetap 4; (2) matematisi
intusionisme adalah manusi timpang yang buruk dengan menolak hukum logika p atau bukan
p dan mengingkari ketakhinggaan, bahwa mereka hanya memiliki sedikit pecahan pada
matematika masa kini. Intusionisme, menjawab keberata tersebut seperti berikut; tidak ada
dapat diperbuat untuk manusia untuk mencoba membayangkansuatu dunia tanpa manusia;
(2) Lebih baik memiliki sejumlah sejumlah kecil matematika yang kokoh dan ajeg dari pada
memiliki sejumlah besar matematika yang kebanyakan omong kosong.
Logisisme
Logisisme memandang bahwa matematika sebagai bagian dari logika. Penganutnya
antara lain G. Leibniz, G. Frege (1893), B. Russell (1919), A.N. Whitehead dan R.
Carnap(1931). Pengakuan Bertrand Russell menerima logisime adalah yang paling jelas dan
dalam rumusan yang sangat ekspilisit. Dua pernyataan penting yang dikemukakannya, yaitu
(1) semua konsep matematika secara mutlak dapat disederhanakan pada konsep logika; (2)
semua kebenaran matematika dapat dibuktikan dari aksioma dan aturan melalui penarikan
kesimpulan secara logika semata. Menurut Ernest (1991), ada beberapa keberatan terhadap
logisisme antara lain:
a. Bahwa pernyataan matematika sebagai impilikasi pernyataan sebelumnya, dengan demikian
kebenaran-kebenaran aksioma sebelumnya memerlukan eksplorasi tanpa menyatakan benar
atau salah. Hal ini mengarah pada kekeliruan karena tidak semua kebenaran matematika
dapat dinyatakan sebagai pernyataan implikasi.
b. Teorema Ketiddaksempurnaan Godel menyatakan bahwa bukti deduktif tidak cukup untuk
mendemonstrasikan semua kebenaran matematika. Oleh karena itu reduksi yang sukses
mengenai aksioma matematika melalui logika belum cukup untuik menurunkan semua
kebenaran matematika.
c. Kepastian dan keajegan logika bergantung kepada asumsi-asumsi yang tidak teruji dan tidak
dijustifikasi. Program logisis mengurangi kepastian pengetahuan matematika dan merupakan
kegagalan prinsip dari logisisme. Logika tidak menyediakan suatu dasar tertentu untuk
pengetahuan matematika.

2. Perkembangan matematika
Ditinjau dari perkembangannya maka ilmu dapat dibagi dalam tiga tahap yakni tahap
sistematika, komparatif, dan kuantitatif . Pada tahap sistematika maka ilmu mulai
menggolong-golongkan objek empiris ke dalam kategori-kategori tertentu. Pengosongan ini
memungkinkan kita untuk menemukan ciri-ciri yang bersifat umum dari anggota-anggota
yang menjadi kelompok tertentu. Ciri-ciri yang bersifat umum ini merupakan pengetahuan
bagi manusia dalam mengenali dunia fisik. Dalam tahap yang kedua ini kita mulai melakukan
perbandingan antara objek yang satu dengan objek yang lain, kategori yang satu dengan
kategori yang lain, dan seterusnya. Kita mulai mencari hubungan yang didasarkan pada
perbandingan antara di berbagai objek yang kita kaji. Tahap selanjutnya adalah tahap
kuantitatif dimana kita mencari hubungan sebab akibat tidak lagi berdasarkan perbandingan
melainkan berdasarkan pengukuran yang eksak dari objek yang sedang kita selidiki. Bahasa
verbal berfungsi dengan baik dalam kedua tahap yang pertama, namun pada tahap yang ketiga
maka pengetahuan membutuhkan matematika. Lambang-lambang matematika bukan saja
jelas namun juga eksak dengan mengandung informasi tentang objek tertentu dalam dimensi-
dimensi pengukuran.
Disamping sebagai bahasa maka matematika juga berfungsi sebagai alat pikir . ilmu
merupakan pengetahuan yang mendasarkan kepada analisis dalam menarik kesimpulan
menurut suatu pola pikir tertentu. Matematika menurut Widgestein, tak lain adalah metode
berpikir logis. [6] berdasarkan perkembangannya maka masalah yang dihadapi logika makin
lama makin rumit dan membutuhkan struktur analisis yang lebih sempurna. Dalam perspektif
inilah maka logika berkembang menjadi matematika, seperti disimpulkan oleh Bertrand
Russell “ matematika adalah masa kedewasaan logika, sedangkan logika adalah masa kecil
matematika.” [7]
Matematika pada garis besarnya merupakan pengetahuan yang disusun secara
konsisten berdasarkan logika deduktif. Betrand Russel dan whitead dalam karyanya yang
berjudul Principia Matematica mencoba membuktikan bahwa dalil-dalil matematika pada
dasarnya adalah pernyataan logika[8] . Meskipun tidak seluruhnya berhasil Pierre de Fermat
(1601-1665)mewariskan teorema yang terakhir yang merupakan teka-teki (enigma) yang
menentang pemikir-pemikir matematika dan belum terpecahkan. Dia menyatakan
bahwa xn + yn = zn dengan x, y, z dan n adalah bilangan bulat positif yang tidak mempunyai
jawaban bila n = 2. Atau dengan perkataan lain hanya bilangan 1 dan 2 yang memenuhi
persyaratan ini seperti 31 + 41 = 71 dan 32 + 42 = 52. Fermat sendiri tidak menyertakan
pembuktian rumus tersebut yang sampai sekarang tetap tantangan bagi logika deduktif
meskipun secara mudah dapat didemonstrasikan kebenarannya.
Tidak semua filsuf setuju dengan pernyataan bahwa matematika adalah pengetahuan
yang bersifat deduktif. Immanuel Kant ( l724-1804) berpendapat bahwa matematika
merupakan pengetahuan sintetik a priori di mana eksistensi matematika tergantung kepada
dunia pengetahuan kita. Namun pada dasarnya dewasa ini orang berpendapat bahwa
matematika merupakan pengetahuan yang bersifat rasional yang kebenarannya tidak
tergantung kepada pembuktian secara empiris. Perhitungan matematika bukanlah suatu
eksperimen, kata Wittgenstein, sebuah pernyataan matematika tidaklah mengekspresikan
produk pikiran (tentang obyek yang faktual). Selanjutnya Wittgenstein membuktikan bahwa
2 x 2 = 4 merupakan suatu proses deduktif[9]. Memang, menurut akal sehat sehari-hari,
kebenaran matematika tidak ditentukan oleh perbukitan secara empiris, melainkan kepada
proses penalaran deduktif. Jika seseorang memasukkan bebek dua ekor pada pagi hari,
kemudian dia memasukkan bebek dua ekor lagi pada siang hari, maka pada malam dia akan
mengharapkan jumlah bebek semuanya menjadi empat ekor. Sekiranya pada malam hari dia
melakukan “verifikasi” dan jumlahnya hanya tiga ekor, segera dia menyimpulkan ada sesuatu
yang salah secara empiris dibandingkan dengan penalaran rasionalnya, sebab apa pun yang
terjadi jumlahnya harus empat ekor. Kecuali tentu saja bebeknya ada yang lari lewat kolong
rumah; ada pencuri yang datang selagi dia tidur; atau ada bebek yang bersembunyi demikian
juga jika bebek-bebek itu beberapa bulan kemudian tidak lagi empat melainkan lima maka
masalah itu bukan lagi termasuk matematika melainkan ilmu berternak bebek dan
sebangainya.
Disamping sarana berpikir deduktif yang merupakan aspek estetik, matematika
juga merupakan kegunaan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Semua masalah kehidupan
yang membutuhkan pemecahan secara cermat dan teliti mau tidak mau harus berpaling
kepada matematika. Dan rnempelajari bintang-bintang di langit sampai mengukur panjang
papan untuk membuat rumah orang memerlukan pengukuran dan perhitungan matematik,
Dalam perkembangannya maka kedua aspek estetik dan pragmatis dari matematika ini silih
berganti mendapatkan perhatian terutama dikaitkan dengan kegiatan pendidikan .
Griffits dan Howson (l974) membagi sejarah perkembangan matematika. menjadi
empat tahap[10], Tahap yang pertama dimulai dengan matematika yang berkembang pada
peradaban Mesir Kuno dan daerah sekitarnya seperti Babylonia dan Mesopotamia. Waktu itu
matematika telah dipergunakan dalam perdagangan, pertanian, bangunan dan usaha
mengontrol alam seperti banjir. Para Pendeta Mesir Kuno mempunyai keahlian dalam bidang
matematika yang sangat dihargai dalam masyarakat yang mengaitkan aspek praktis dari
matematika dengan aspek mistik dari keagamaan. Di samping kegunaan praktis ini maka
aspek estetik juga dikembangkan dimana matematika merupakan kegiatan intelektual dalam
kegiatan berpikir yang penuh kreatif. Walaupun demikian dalam kebudayaan Mesir Kuno ini
maka aspek praktis dari matematika inilah merupakan tujuan utama, Hal yang sama juga
berlangsung dalam peradaban di Mesopotamia dan Babylonia yang turut mengembangkan
kegunaan praktis dari matematika.
Matematika mendapat momentum baru dalam peradaban Yunani yang sangat
memperhatikan aspek estetik dari matematika. Dapat dikatakan bahwa peradaban Yunani ini
yang meletakkan dasar matematika sebagai cara berpikir rasional dengan menetapkan
beberapa langkah dan definisi tertentu. Euclid pada 300 SM mengumpulkan semua
pengetahuan ilmu ukur dalam bukunya Elements dengan penyajian secara sistematis dari
berbagai ponsulat, definisi dan teorema. Kaum cendekiawan Yunani, terutama mereka yang
kaya mempunyai budak belian yang mengerjakan pekerjaan yang kasar termasuk hal-hal yang
praktis termasuk melakukan pengukuran. Dengan demikian maka kaum cendekiawan dapat
memusatkan perhatiannya pada aspek estetik dari matematika yang merupakan simbol.
Babak perkembangan matematika selanjutnya terjadi di Timur di mana pada sekitar
tahun 1000 bangsa Arab, India, dan Cina mengembangkan ilmu hitung dan aljabar. Mereka
mendapatkan angka nol dan cara penggunaan desimal serta mengembangkan kegunaan
praktis dari ilmu hitung dan aljabar tersebut. Waktu perdagangan antara Bangsa Timur dan
Bangsa Barat berkembang pada Abad Pertengahan maka ilmu hitung dan aljabar ini telah
dipergunakan dalam transaksi pertukaran. Gagasan-gagasan orang Yunani dan penemuan
ilmu hitung dan aljabar itu dikaji kembali dalam zaman Renaissance yang meletakkan dasar
bagi, kemajuan matematika modern selanjutnya. Ditemukanlah di antaranya kalkulus
differential yang memungkinkan kemajuan ilmu yang cepat di abad ke – 17 dan revolusi
industri abad ke – 18.[11]
Bagi dunia keilmuan matematika berperan sebagai bahasa simbolik yang
memungkinkan terwujudnya komunikasi yang cermat dan tepat. Matematika dalam
hubungannya dengan komunikasi ilmiah mempunyai peranan ganda, kata Fehr, yakni sebagai
ratu dan sekaligus pelayanan ilmu. Di satu pihak, sebagai ratu matematika merupakan bentuk
tertinggi dari logika, sedangkan di lain pihak, sebagai pelayan matematika memberikan bukan
saja sistem pengorganisasian ilmu yang bersifat logis namun juga pernyataan-pernyataan
dalam bentuk model matematik. Matematika bukan saja menyampaikan informasi secara
jelas dan tepat namun juga singkat. Suatu rumus yang jika ditulis dengan bahasa verbal
memerlukan kalimat yang banyak sekali, di mana makin banyak kata-kata yang dipergunakan
maka makin besar pula peluang untuk terjadinya salah informasi dan salah interprestasi,
maka dalam bahasa matematik cukup ditulis dengan model yang sederhana sekali.
Matematika sebagai bahasa mempunyai ciri, sebagaimana dikatakan Morris Kline, bersifat
ekonomis dengan kata-kata.
Sebagaimana sarana ilmiah maka matematika itu sendiri tidak mengandung
kebenaran tentang sesuatu yang bersifat faktual mengenai dunia empiris. Matematika
merupakan alat yang memungkinkan ditemukannya serta dikomunikasikannya kebenaran
ilmiah lewat berbagai disiplin keilmuan. Kriteria kebenaran dari matematika adalah
konsistensi dari berbagai postulat, definisi dan berbagai aturan permainan lainnya. Untuk itu
maka matematika sendiri tidak bersifat tunggal, seperti juga logika, melainkan bersifat jamak.
Misalnya dengan mengubah salah satu ponsulatnya maka dapat dikembangkan sistem
matematika yang baru bila dibandingkan dengan sistem sebelumnya. Semula memang
dianggap bahwa hanya terdapat Satu sistem matematika dimana perubahan-perubahan dari
postulat-postulatnya akan mengakibatkan terjadinya inkonsistensi. Namun hal ini ternyata
tidak benar sebagaimana terjadi dengan ilmu ukur Euclid, Perubahan salah satu postulat
Euclid tersebut yang semula berbunyi “Dari satu titik di luar sebuah garis hanya dapat
ditarik satu garis sejajar dengan garis tersebut yang jumlahnya tak terhingga” [12].
Ternyata tidak menimbulkan inkonsistensi malahan menimbulkan sistem matematika baru
yang sama sekali berbeda dengan ilmu ukur Euclid. Sistem matematika yang Baru ini dikenal
sebagai ilmu Ukur Non-Euclid yang sudah dikemukakan oleh Gauss (1777 -1855) pada tahun
19792 dikembangkan oleh Lobachevskii ( 1793-1856), Bolyai ( 1802- 1860) dan Riemann
(1826-1866).21) Ilmu Ukur Non-Euclid ini mulanya hanya merupakan sesuatu yang bersifat
akademis dan baru menemukan kegunaannya ketika Einstein menyusun Teori Relativitas.
Adanya dua sistem ilmu ukur yang keduanya bersifat konsisten ini bukan berarti
bahwa sistem Ilmu Ukur Euclid atau Ilmu Ukur Non-Euclid ini bersifat benar Atau salah sebab
hal ini harus dilihat dalam perspektif ruang dan waktu. Matematika bukanlah merupakan
pengetahuan mengenai obyek tertentu melainkan cara berpikir untuk mendapatkan
pengetahuan tersebut. Kalau obyek yang ditelaah itu mempunyai ciri-ciri yang cocok dengan
postulat Euclid umpamanya dalam bidang mekanika klasik Newton maka jelas bahwa ilmu
ukur non-Euclid ini tidak dapat dipakai. Sedangkan dalam pengkajian mengenai alam
semesta, di mana cahaya menjadi garis- lengkung bersama tarikan gravitasi dan jarak terdekat
antara dua obyek tidak lagi merupakan garis lurus, maka dalam hal ini kita berpaling kepada
ilmu ukur non-Euclid. Jadi kedua sistem ilmu ukur ini berlaku tergantung dari postulat yang
dipergunakannya.

3. Intuisi Sebagai Dasar Matematika


Menurut Immanuel Kant pemahaman maupun konstruksi matematika diperolehdengan cara
terlebih dulu menemukan intuisi murni pada akal atau pikiran kita.Matematika yang bersifat
sintetik a priori dapat dikonstruksi melalui 3 tahap intuisiyaitu intuisi penginderaan, intuisi
akal, dan intuisi budi. Intuisi penginderaan terkait dengan obyek matematika yang dapat
dicerap sebagai unsur a posteriori. Intuisi akal mensintetiskan hasil intuisi penginderan ke
dalam intuisi ruang dan waktu. Dengan intuisi budi rasio kita dihadapkan pada putusan-
putusan argumentasi matematika.
Menurut Kant matematika merupakan suatu penalaran yang berifat mengkonstruksi konsep-
konsep secara synthetic a priori dalam konsep ruang dan waktu. Intuisi keruangan dan waktu
secara umum yang pada akhirnya dianggap mendasari matematika, Oleh karena itu, Kant
berpendapat bahwa matematika dibangun di atas intuisi murni yaitu intuisi ruang dan waktu
dimana konsep-konsep matematika dapat dikonstruksi secara sintetis. Intuisi murni tersebut
merupakan landasan dari semuapenalaran dan keputusan matematika. Jika tidak
berlandaskan intuisi murni makapenalaran tersebut tidaklah mungkin. Menurut Kant
matematika sebagai ilmu adalah mungkin jika kita mampu menemukan intuisi murni sebagai
landasannya; dan matematika yang telah dikonstruksinya bersifat sintetik a priori.
Menurut Kant, intuisi, dengan macam dan jenisnya yang telah disebutkan di atas,memegang
peranan yang sangat penting untuk mengkonstruksi matematika sekaligusmenyelidiki dan
menjelaskan bagaimana matematika dipahami dalam bentuk geometri atau arithmetika.
Pemahaman matematika secara transenden melalui intuisi murni dalam ruang dan waktu
inilah yang menyebabkan matematika adalah mungkin sebagai ilmu[13].

4. Matematika Sebagai Bahasa


Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan
yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat artifisial yang baru
mempunyai arti setelah makna diberikan padanya. Tanpa itu maka matematika hanyalah
kumpulan rumus-rumus yang mati. Yang paling sukar untuk menjelaskan kepada seseorang
yang baru belajar matematika.
Lambang-lambang dari matematika dibuat secara artificial dan individual yang
merupakan perjanjian yang berlaku. Sebuah objek yang sedang kita telaah dapat
dilambangkan dengan apa saja sesuai perjanjian. Misalnya sedang mempelajari kecepatan
jalan kaki seseorang, maka objek kecepatan jalan kaki seseorang tersebut dapat kita
lambangkan dengan x. dalam hal ini maka x hanya mempunyai satu arti yakni kecepatan jalan
seseorang. Disamping itu lambang x tidak bersifat majemuk karena hanya melambangkan
kecepatan jalan seseorang dan tidak mempunyai arti yang lain. Demikian juga jika
dihubungkan dengan objek lain misalnya jarak yang ditempuh orang tersebut yang
dilambangkan dengan y, maka dapat dilambangakan hubungan dari kedua objek tersebut
misalnya z = y/x dimana z melambangkan waktu yang diperlukan seseorang tersebut untuk
menempuh jarak dengan kecepatan jalan kaki. Pernyataan z = y/x jelas tidak mempunyai
konotasi emosional dan hanya mengemukakan informasi mengenai hubungan antara x,
y dan z, sehingga dari sini dapat dikatakan bahwa pernyataan matematik mempunyai sifat
yang jelas, spesifik dan informative dengan tidak menimbulkan konotasi yang bersifat
emosional.

5. Sifat kuantitatif dari matematika


Matematika mempunyai kelebihan lain dibandingkan dengan bahasa verbal .
Matematika mengembangkan bahasa numeric yang memungkinkan kita untuk melakukan
pengukuran secara kuantitatif. Dengan bahasa verbal jika kita membandingkan dua objek
yang berlainan misalnya gajah dan semut, maka kita dapat mengatakan galah lebih besar dari
pada semut. Jika ingin menelusuri lebih lanjut seberapa besar gajah dibandingkan dengan
semut maka akan mengalami kesulitan dalam menemukan hubungan tersebut dengan bahasa
verbal. Kemudian jika secara eksak ingin mengetahui berapa besar gajah bila dibandingkan
dengan semut maka akan berbeda dengan bahasa verbal. Bahasa verbal hanya mampu
mengemukakan pernyataan yang bersifat kualitatif. Demikian juga maka penjelasan yang
diberikan oleh ilmu dalam bahasa verbal hanya bersifat kualitatif. Misalnya kita dapat
mengetahui logam yang dipanaskan akan memuai jika dipanaskan. Namun secara verbal
pengertian itu hanya sampai disitu. Kita tidak dapat mengatakan dengan tepat berapa
pertambahan panjangnya. Hal ini mnyebankan penjelasan yang diberikan bahasa verbal tidak
bersifat eksak, menyebabkan daya prediktif dan kontrol ilmu kurang cermat dan tepat. Untuk
mengatasi masalah ini matematika mengembangkan konsep pengukuran. Lewat pengukuran
kita dapat mengetahui dengan tepat berapa panjang sebatang logam semula dan berapa
pertambahan panjangnya setelah memuai jika logam tersebut dipanaskan. Dengan
mengetahui hal ini maka pernyataan ilmiah berupa pernyataan kualitatif seperti logam akan
memuai jika dipanaskan dapat diganti dengan pernyataan matematik yang lebih eksak
misalnya Pt = P0(1+λt), dimana Pt panjang logam pada temperatur t, P0 merupakan panjang
logam pada temperatur nol dan λ merupakan koefisien pemuaian logam tersebut.
Sifat kuantitatif dari matematika ini meningkatkan daya presiktif dan kontrol dari
ilmu. Ilmu yang memberikan jawaban yang lebih eksak memungkinkan pemecahan masalah
yang secara lebih tepat dan cermat. Matematika memungkinkan ilmu mengalami
perkembangan dari tahap kualitatif ke tahap kuantitatif. Perkembangan ini merupakan suatu
hal yang imperative jika menginginkan prediksi dan kontrol yang lebih tepat dan cermat.

6. Matematika sebagai sarana berpikir deduktif


Matematika merupakan ilmu deduktif , hal ini dikarenakan penyelesaian masalah-
masalah yang dihadapi tidak didasari atas pengalaman seperti halnya yang terdapat dalam
ilmu-ilmu empiris melainkan didasarkan atas deduksi-deduksi atau penjabaran-penjabaran.
Misalnya kita tahu bahwa jumlah sudut dalam suatu segitiga adalah 180 derajat. Pengetahuan
ini mungkin saja kita tahu dengan jalan mengukur sudut dalam seuatu segitiga kemudian
menjumlahkannya. Dipihak lain pengetahuan bisa didapatkan secara deduktif dengan
menggunakan matematika. Seperti diketahui bahwa berpikir deduktif adalah proses
pengambilan kesimpulan yang didasarkan kepada premis-premis yang kebenarannya telah
ditentukan. Untuk menghitung jumlah sudut dalam segitiga tersebut kita dapat mendasarkan
pada premis bahwa jumlah sudut yang dibentuk kedua garis sejajar tersebut dengan garis
ketiga adalah sama. Premis kedua adalah bahwa jumlah sudut yang dibentuk suatu garis lurus
adalah 180 derajad. Kedua premis ini kemudian kitaterapkan dalam berpikir deduktif untuk
menghitung jumlah sudut dalam sebuah segitiga.
Jadi dengan contoh seperti di atas secara deduktif matematika menemukan
pengetahuan yang baru didasarkan pada premis-premis tertentu. Pengetahuan yang
ditemukan ini sebenarnya hanyalah merupakan konsekuensi dari pernyataan-pernyataan
ilmiah yang telah ditentukan sebelumnya. Namun pengetahuan yang didapat secara deduktif
ini sangat berguna. Dari beberapa premis yang telah kita ketahui kebenarannya dapat
ditemukan pengetahuan-pengetahuan lain yang dapat mengembangakn ilmu pengetahuan.

III. KESIMPULAN
Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana yang
berupa bahasa, logika, matematika, dan statistika. Bahasa merupakan alat komunikasi verbal
yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah dimana bahasa merupakan alat berpikir
dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain. Ditinjau
dari pola pikirannya maka ilmu merupakan gabungan dari cara berpikir deduktif dan induktif.
Untuk itu maka penalaran ilmiah menyadarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika
induktif. Matematika mempunyai peranan yang penting dalam berpikir deduktif ini. proses
pengujian dalam kegiatan ilmiah mengharuskan kita menguasai metode penelitian ilmiah
yang pada hakekatnya merupakan pengumpulan fakta untuk mendukung atau menolak
hipotesis yang diajukan. Kemampuan berpikir ilmiah yang baik harus didukung oleh
penguasaan sarana berpikir dengan baik pula. Salah satu langkah kearah penguasaan itu
adalah mengetahui dengan benar peranan masing-masing sarana berpikir ilmiah tersebut dan
keseluruhan proses berpikir ilmiah itu sendiri yang salah satunya adalah matematika. Yang
pertama Matematika sebagai sarana berpikir deduktif, matematika merupakan ilmu deduktif
yang diperoleh karena penyelesaian masalah-masalah yang tidak didasari atas pengalaman
seperti halnya terdapat dalam ilmu empiris. Melainkan didasarkan atas deduksi atau
penjabaran. Yang kedua matematika dalam ilmu sosial dan ilmu alam. Kontribusi matematika
dalam pengembangan ilmu alam lebih ditandai dengan penggunaan simbol matematika untuk
perhitungan dan pengukuran. Intuisi sebagai dasar matematika memegang peranan yang
sangat penting untuk mengkonstruksi matematika sekaligus menyelidiki dan menjelaskan
bagaimana matematika dipahamidalam bentuk geometri dan aritmatika atau dalam
perspektif ruang dan waktu.
DAFTAR PUSTAKA

____Diriku, Matematika, Filsafat dan Perspektif dalam Ruang dan waktu diakses dari: http://pro-
edukasi.blogspot.com/2012/09/diriku-matematika-pendidikan-dan.html

____Filsafat Matematika. Diakses dari: http://plato.stanford.edu/entries/philosophy-mathematics/

Bertens. (1974). History of Philosophy Yunani . Yogyakarta: Kanisius

Higgins, Katlens and Robert Salomon. 1996. Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Bentang

Marsigit. Peran Intuisi dalam Matematika Menurut Immanuel Kant. Makalah Kom. Nas. Mat.
Semarang diakses dari
http//staf.uny.ac.id/system%2Ffiles%2Fpenelitian%2FMarsigit%2C%2520Dr.%2C%2520M.
A.%2FMakalah%2520Kon%2520Nas%2520Mat%2520Semarang.pdf/

Mulyana, Endang. Sejarah dan Filsafat Matematika. Makalah diakses


dari http://file.upi.edu/Direktori/fpmipa/jur._pend._matematika/195401211979031-
endang_mulyana/makalah/Aliran_matematika.pdf

Sadulloh, Uyyoh. 2011. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: AlfaBeta.

Suria, Sumantri. (2003). Filsafat Ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Anda mungkin juga menyukai