Makalah Aliran Filsafat Pendidikan KEL 9

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Waktu terus berjalan, pendidikan pun terus berkembang bersama hiruk pikuk
hidup dan kehidupan insan. Problem-problem pendidikan pun bermunculan begitu
cepat secepat cendawan tumbuh di musim hujan. Ilmu pendidikan bertanggungjawab
untuk memecahkan problem-problem tersebut, untuk itu tidaklah ringan tanggung
jawab yang diembannya karena begitu kompleks problem-problem yang ada di dunia
pendidikan. Tak jarang ilmu pendidikan pun meminta pertolongan pada pihak lain,
pihak filsafat pendidikan karena problem yang dihadapi berada di luar kaplingnya dan
sudah memasuki wilayah atau lingkaran hakikat. Manakala problem pendidikan
memasuki lingkaran yang substansial atau filosofis kiranya ilmu pendidikan
menyerahkan garapan itu pada filsafat pendidikan.

Filsafat pendidikan akan menjawab secara filosofis atas pertanyaan filosofis


yang muncul dari belahan dunia pendidikan. Menurut A. Chaedar Alwasilah: Filsafat
Pendidikan adalah studi ihwal tujuan, hakikat, dan isi yang ideal dari pendidikan
(Chaedar, 2008:101). Menurut Al-Syaibany: Filsafat Pendidikan adalah aktivitas
pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat sebagai jalan untuk mengatur,
menyelaraskan, dan memadukan proses pendidikan. Hal senada dikatakan Hasan
Langgulung: Filsafat Pendidikan adalah aktivitas pemikiran teratur yang menjadikan
filsafat sebagai medianya untuk menyusun proses pendidikan, menyelaraskan,
mengharmoniskan, dan menerapkan nilai-nilai dan tujuan-tujuan yang ingin
dicapainya. Sedang George R. Knight mengatakan: Filsafat Pendidikan tidak berbeda
dengan filsafat umum, ia merupakan filsafat umum yang diterapkan pada pendidikan
sebagai sebuah filsafat spesifik dari usaha serius manusia . Berdasar pemikiran di atas
dapat disimpulkan bahwa filsafat pendidikan adalah ilmu yang membahas pendidikan
secara filosofi, atau ilmu yang membahas secara filosofi mengenai pendidikan.
1.2 Rumusan Masalah
1.

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui tentang Aliran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme

2. Untuk mengetahui tentang Aliran Filsafat Pendidikan Progressivisme


BAB II

PEMBAHASAN

2.21 Aliran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme

2.11 Pengertian Filsafat Eksistensialisme

Gerakan eksistensialis dalam pendidikan berangkat dari aliran filsafat yang


menamakan dirinya eksistensialisme. Adapun para tokohnya antara lain Kierkegaard
(1813-1815), Nietzsche (1811-1900), yang mengatakan bahwa Tuhan telah mati, dan
Jean Paul Sartre, yang mengatakan “Man is nothing else but what he makes of
himself”. Inti ajaran filsafat ini adalah respek terhadap individu yang unik pada setiap
orang. Eksistensi mendahului esensi. Manusia lahir dan eksis lalu menentukan
dengan bebas esensinya masing-masing. (A. Chaedar ,2014:106)

Secara singkat Kierkegaard memberikan pengertian eksistensialisme adalah suatu


penolakan terhadap suatu demikiran abstrak, tidak logis, atau tidak ilmiah.
Eksistensialisme menolak segala bentuk kemutlakan rasional. Dengan demikian
aliran ini hendak memadukan hidup yang dimiliki dengan pengalaman, dan situasi
sejarah yang ia alami, dan tidak mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak dan
spekulatif. Baginya, segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi, keyakinan yang
tumbuh dari dirinya dan kemampuan serta keluasan jalan untuk mencapai keyakinan
hidupnya. (Zuhairini, 2012:31)

Karakteristik utama eksistensilisme oleh Peter A. Angeles yang tercantum dalam


buku Filsafat Pendidikan Islam karangan Abd. Rahman Assegaf, diklasifikasikan
menjadi beberapa bagian, antara lain:

1. Eksistensi mendahului esensi;

2. Kebenaran itu subjektif;


3. Alam tidak menyediakan aturan moral. Prinsip-prinsip moral dikonstruksi oleh
manusia dalam konteks bertanggungjawab atas perbuatan mereka dan perbuatan
selainnya;

4. Perbuatan individu tidak dapat diprediksi;

5. Individu mempunyai kebebasan berkehendak secara sempurna;

6. Individu tidak dapat membantu melainkan sekedar membuat pilihan, dan

7. Individu dapat secara sempurna menjadi selain daripada keberadaannya. (Abd.


Rahman ,2014:131)

Lebih lanjut, Harold H. Titus mencoba mencari sifat umum eksistensialisme, yang
antara lain tampak pada klasifikasi berikut:

1. Eksistensialisme menekankan kesadaran ada (being), dan eksistensi. Nilai


kehidupan tampak melaui pengakuan terhadap individual, yakni “I (aku)” dan
bukan It.

2. Eksistensialisme percaya bahwa tak ada pengetahuan yang terpisah dari subjek
yang mengetahui. Kita mengalami kebenaran dalam diri kita sendiri. Kebenaran
tidak dapat dicapai secara abstrak. Oleh sebab itu, kaum eksistensialis
menggunakan bentuk-bentuk sastra dan seni untuk mengekspresikan perasaan
dan hati.

3. Eksistensialisme menekankan individual, kebebasan, dan


pertanggungjawabannya.

4. Eksistensialis menekankan keputusan dan tindakan, pemikiran dan analisis saja


tidaklah cukup. (Abd. Rahman ,2014:131)

Implikasi eksistensialisme dalam kehidupan manusia pada intinya terletak pada


sikap subjektivitas dan individualitas manusia. Dengan demikian, orang cenderung
bebas berbuat menurut jati dirinya dengan slogan be your self. Dalam hal pendidikan,
eksistensialisme bisa merepotkan penyelenggara, mengingat tidak bisa menyusun
kurikulum dan mengingat perlakuan yang seragam hubungan guru-murid bersifat
informal dan proses belajar-mengajar cenderung laissez faire. Maka, bila dicermati,
keempat pandangan tentang manusia di atas memberi penekanan pada dimensi dan
aspek tertentu dalam diri manusia. (Abd. Rahman ,2014:132)

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa aliran eksistensialisme


memandang manusia sebagai individu yang bebas. Bebas melakukan dan
mendefinisikan dirinya sendiri secara individual. Manusia tidak lain adalah
bagaimana dia menjadi dirinya sendiri dan menyadari adanya orang lain, sehingga
dapat menciptakan dunianya sendiri yang berarti bagi dirinya dan bagi kehidupan
orang lain atau lingkungannya. Hal inilah yang disebut dengan respek terhadap orang
lain seperti penjelasan di atas.

2.12 Pandangan Filsafat Eksistensialisme tentang Realitas, Pengetahuan, Nilai, dan


Pendidikan

1. Realitas

Menurut aliran eksistensialisme ini, realitas adalah kenyataan hidup itu


sendiri. Untuk menggambarkan realitas, manusia harus menggambarkan apa yang ada
dalam diri manusia, bukan yang ada di luar kondisi manusia.

2. Pengetahuan

Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat


fenomenologi, suatu pandangan yang menggambarkan penampakan benda-benda dan
peristiwa-peristiwa sebagaimana benda-benda tersebut menampakan dirinya terhadap
kesadaran manusia. Pengetahuna manusia tergantung kepada pemahamannya tentang
realitas, tergantung pada interpretasi manusia terhadap realitas, pengetahuan yang
diberikan di sekolah bukan sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan atau karir anak,
melainkan untuk dapat dijadikan alat perkembangan dan alat pemenuhan diri.
Pelajaran di sekolah akan dijadikan alat untuk merealisasikan diri, bukan merupakan
suatu disiplin yang kaku dimana anak harus patuh dan tunduk terhadap isi pelajaran
tersebut. Biarkanlah pribadi anak berkembang untuk menemukan kebenaran-
kebenaran dalam kebenaran.

3. Nilai

Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai, menekankan kebebasan dalam


tindakan. Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri,
melainkan merupakan suatu potensi untuk suatu tindakan. Manusia memiliki
kebebasan untuk memilih, namun menentukan pilihan-pilihan di antara pilihan-
pilihan yang terbaik adalah yang paling sukar. Berbuat akan menghasilkan akibat,
dimana seseorang harus menerima akibat-akibat tersebut sebagai pilihannya.
Kebebasan tidak pernah selesai, karena setiap akibat akan melahirkan kebutuhan
untuk pilihan berikutnya. Tindakan moral mungkin dilakukan untuk moral itu sendiri,
dan mungkin juga untuk suatu tujuan. Seseorang harus berkemampuan untuk
menciptakan tujuannya sendiri. Apabila seseorang mengambil tujuan kelompok atau
masyarakat, maka ia harus menjadikan tujuan-tujuan tersebut sebagai miliknya,
sebagai tujuan sendiri, yang harus ia capai dalam setiap situasi. Jadi, tujuan diperoleh
dalam situasi.

4. Pendidikan

Eksistensialisme sebagai filsafat, sangat menekankan individualitas dan


pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk unik, dan
secara unik pula ia bertanggungjawab terhadap nasibnya. Dalam hubungannya
dengan pendidikan, Sikun Pribadi mengemukakan bahwa eksistensialisme
berhubungan sangat erat sekali dengan pendidikan, karena keduanya saling
bersinggungan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah yang sama, yaitu
manusia, hidup, hubungan antar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan
(kemerdekaan). Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah keberadaan; manusia,
sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia. (Uyoh, 2014:135-137)
2.13 Implikasi Filsafat Eksistensialisme dalam Pendidikan

Menurut A. Chaedar alwashilah, di dalam kelas, guru berperan sebagai


fasilitator untuk membiarkan siswa berkembang menjadi dirinya dengan memberikan
berbagai bentuk jalan untuk dilalui. Karena perasaan tidak terlepas dari nalar, maka
kaum eksistensilis menganjurkan pendidikan sebagai cara membentuk manusia secara
utuh, bukan hanya sebagai pembengunan nalar. Sejalan dengan tujuan itu kuriklum
menjadi fleksibel dengan menyajikan sejumlah pilihan untuk dipilih siswa. Dapat
ditebak bahwa pelajaran-pelajaran humaniora akan mendapat penekanan relatif besar.
Kelas mesti kaya dengan materi ajar yang memungkinkan siswa melakukan ekspresi
diri, atara lain dalam bentuk karya sastra film, dan drama. Semua itu merupakan alat
untuk memungkinkan siswa “berfilsafat” tentang makna dari pengalaman hidup,
cinta, dan kematian. Pendidikan vokasional lebih sebagai cara mengajar siswa
mengenal dirinya bukan untuk mendapatkan penghidupan. Dalam bidang seni, aliran
ini mendorong kreatifitas dan imaginasi siswa bukan sekedar meniru dan membeo
apa yang sudah ada. Siswa dilihat sebagai individu, dan belajar seyogianya
disesuaikan dengan kecepatan siswa dan siswa mengarahkan belajar untuk
kepentingan dirinya sendiri. (A. Chaedar ,2014:106-107)

Uyoh Sadulloh dalam bukunya Filsafat Pendidikan, menjelaskan tentang


implikasi filsafat eksistensialisme dalam pendidikan sebagai berikut:

a. Tujuan Pendidikan

Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu


mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap individu memiliki
kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dnegan pemenuhan dirinya,
sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan
ditentukan berlaku secar umum.

b. Kurikulum
Kaum eksistensialis menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hali itu
berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suatu tingkatan
kepekaan personal disebut Greene “kebangkitan yang luas”. Kurikulum ideal adalah
kurikulum yang memberikan para siswa kebebasan individual yang luas dan
mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan
pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik kesimpulan-kesimpulan mereka
sendiri.

Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang
lebih penting daripada yang lainnya. Mata pelajaran merupakan materi dimana
individu akan dapat menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya.

Kurikulum eksistensialisme memberikan perhatian yang besar terhadap


humaniora dan seni. Karena kedua materi tersebut diperlukan agar individu dapat
mengadakan instrospeksi dan mengenalkan gambaran dirinya. Pelajar harus didorong
untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan keterampilan yang
dibutuhkan, serta memperoleh pengetahuan yang diharapkan. Eksistensialisme
menolak apa yang disebut penonton teori. Oleh karena itu, sekolah harus mencoba
membawa siswa ke dalam hidup yang sebenarnya.

c. Proses belajar-mengajar

Menurut Kneller (1971), konsep belajar mengajar eksistensialisme dapat


diaplikasikan dari pandangan Martin Buber tentang “dialog”. Dialog merupakan
percakapan antara pribadi dengan pribadi, dimana setiap pribadi merupakan subjek
bagi yang lainnya. Menurut Buber kebanyakan proses pendidikan merupakan
paksaan. Anak dipaksa menyerah kepada kehendak guru, atau pada pengetahuan yang
tidak fpeksibel, dimna guru menjadi penguasanya.

Selanjutnya buber mengemukakan bahwa, guru hendaknya tidak boleh disamakan


dengan seorang instruktur. Jika guru disamakan dengan instruktur maka ia hanya
akan merupakan perantara yang sederhana antara materi pelajaran dan siswa.
Seandainya ia hanya dianggap sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan, dan siswa
akan menjadi hasil dari transfer tersebut. Pengetahuan akan menguasai manusia,
sehingga manusia akan menjadi alat dan produk dri pengetahuan tersebut.

Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan melainkan


ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu
dialog, maka pengetahuan yang akan diberikan kepada siswa harus menjadi bagian
dari pengalaman pribadi guru itu sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa
sebagai pertemuan antara pribadi dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru
tidak merupakan suatu yang diberikan kepada siswa yang tidak dikuasainya,
melainkan merupakan suatu aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.

d. Peranan guru

Menurut pemikiran eksistensialisme, kehidupan tidak bermakna apa-apa, dan


alam semesta berlainan dengan situasi yang manusia temukan sendiri di dalamnya.
Kendatipun demikian dengan kebebasan yang kita miliki, masing-masing dari kita
harus commit sendiri pada penentuan makna bagi kehidupan kita. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Maxine Greene (Parkay, 1998), seorang filosof pendidikan terkenal
yang karyanya didasarkan pada eksistensialisme “kita harus mengetahui kehidupan
kita, menjelaskan situasi-situasi kita jika kita memahami dunia dari sudut pendirian
bersama”. Urusan manusia yang paling berharga yang mungkin paling bermanfaat
dalam mengangkat pencarian pribadi akan makna merupakan proses edukatif.
Sekalipun begitu, para guru harus memberikan kebebasan kepada siswa memilih dan
memberi mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan
makna dari kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan dengan keyakinan banyak
orang, tidak berarti bahwa para siswa boleh melakukan apa saja yang mereka suka.

Guru hendaknya memberi semangat kepada siswa untuk memikirkan dirinya


dalam suatu dialog. Guru menyatakan tentang ide-ide yang dimiliki siswa, dan
mengajukan ide-ide lain, kemudian membimbing siswa untuk memilih alternative-
alternatif, sehingga siswa akan melihat bahwa kebenaran tidak terjadi pada manusia
melainkan dipilih oleh manusia. Lebih dari itu, siswa harus menjadi factor dalam
suatu drama belajar, bukan penonton. Siswa harus belajar keras seperti gurunya.

Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama


sehingga siswa mampu berpikir relative dengan melalui pertanyaan-pertanyaan.
Dalam arti, guru tidak mengarahkan dan tidak member instruksi. Guru hadir dalam
kelas dengan wawasan yang luas agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata
pelajaran. Diskusi merupakan metode utama dalam pandangan eksistemsialisme.
Siswa memiliki hak untuk menolak interpretasi guru tentang pelajaran. Sekolah
merupakan suatu forum dimana para siswa mampu berdialog dengan teman-
temannya, dan guru membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam pemenuhan
dirinya. (Uyoh, 2014:137-140)

Sedangkan menurut Power (1982), yang dikutip oleh Uyoh Sadulloh,


beberapa implikasi filsafat pendidikan eksistensialisme adalah sebagai berikut:

1. Tujuan pendidikan

Memberi bekal pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk
kehidupan.

2. Status siswa

Makhluk rasional dengan pilihan bebas dan tanggungjawab atas pilihannya.


Suatu komitmen terhadap pemenuhan tujuan pribadi.

3. Kurikulum

Yang diuatamakan adalah kurikulum liberal. Kurikulum liberal merupakan


landasan bagi kebebasan manusia. Kebebasan memiliki aturan-aturan. Oleh
karena itu, di sekolah diajarkan pendidikan sosial, untuk mengajar “respek” (rasa
hormat) terhadap kebebasan untuk semua. Respek terhadap kebebasan bagi yang
lain adalah esensial. Kebebasan dapat menimbulkan konflik.

4. Peranan guru
Melindungi dan memelihara kebebasan akademik, di mana mungkin guru
pada hari ini, besok lusa mungkin menjadi murid.

5. Metode

Tidak ada pemikiran yang mendalam tentang metode, tetapi metode apapun
yang dipakai harus merujuk pada tata cara untuk mencapai kebehagiaan dan
karakter yang baik. (Uyoh, 2014:140)

2.22 Aliran Filsafat Pendidikan Pragmatisme


2.21 Pengertian Filsafat Pragmatisme

Pragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya


berpangkal pada filsafat empirisme Inggris,yang berpendapat bahwa manusia dapat
mengetahui apa yang manusia alami.Pendiri filsafat pragmatisme di Amerika adalah
Charles Sandre Peirce (1839-1914), Wiliam James (1842-1910), dan John Dewey
(1859-1952).ketiga filosof tersebut berbeda,baik dalam metodologi maupun dalam
kesimpulannya. Pragmatism peirce dilandasi oleh fisika dan matematika,filsafat
Dewey dilandasi oleh sains-sains social dan biologi,sedangkan pragmatisme James
adalah personal,psikilogis,dan bahkan mungkin religious.
Istilah pragmatisme berasal dari perkataan ”pragma” artinya praktik atau aku
berbuat. Maksudnya bahwa makna segala sesuatu tergantung dari hubungannya
dengan apa yang dapat dilakukan.istilah lainnya yang dapat diberikan pada filsafat
pragmatisme adalah intrumentalisme dan eksperimentalisme. Disebut
instrumentalisme karena menganggap bahwa dalam hidup ini tidak dikenal tujuan
akhir,melainkan hanya tujuan antara dan sementara yang merupakan alat untuk
mencapai berikutnya,termasuk dalam pendidikan tidak mengenal tujuan akhir.
Dikatakan eksperimentalisme.karena filsafat ini menggunakan metode eksperimen
dan berdasarkan atas pengalaman dalam menentukan kebenarannya.
2.22 Pandangan Filsafat Pragmatisme tentang Realitas, Pengetahuan, Nilai, dan
Pendidikan
1. Realisme

Realitas merupakan interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Manusia


dan lingkungannya berdampingan, dan memiliki tanggung jawab yang sama terhadap
realitas. Perubahan merupakan esensi realitas, dan manusia harus siap mengubah
cara-cara yang akan dkerjakannya. Manusia pada hakikatnya palstis dan dapat
berubah.

Anak akan tumbuh apabila berhubungan dengan yang lainnya. Anak harus
mempelajari hidup dalam komunitas individu-individu, bekerjasama dengan mereka,
dan menyesuaikan dirinya secara cerdas terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

Tema pokok filsafat pragmatisme adalah:

a. Esensi realitas dalam perubahan

b. Hakikat sosial dan biologis manusia yang esensial

c. Relativitas nilai

d. Penggunaan inteligensi secara kritis

Watak pragmatisme adalah humanistis dan menyetujui suatu dalil “manusia


adalah ukuran segala-galanya”. Tujuan dan alat pendidikan harus fleksibel dan
terbuka untuk perbaikan secara terus menerus. Tujuan dan cara untuk mencapai
tujuan pendidikan harus rasional dan ilmiah.

2. Pengetahuan

Pengetahuan sebagai transaksi antara manusia dengan lingkungannya,dan


kebenaran merupakan bagian dari pengetahuan. Pragmatisme mengajarkan bahwa
tujuan semua berpikir adalah kemajuan hidup. Pengetahuan yang benar adalah
pengetahuan yang berguna,menurut james,suatu ide itu benar apabila berakibat
memberi kepuasan jika diuji secara objektif dan ilmiah.
Secara khusus pragmatisme mengemukakan bahwa ide yang benar tergantung
kepada konsekuensi-konsekuensi yang diobservasi secara objektif,dan ide tersebut
operasional.Teori kebenaran merupakan alat yang kita pergunakan untuk
memecahkan masalah dalam pengalaman kita.jadi,menurut pragmatisme suatu teori
itu benar apabila berfungsi.kebenaran bukan sesuatu yang statis,melainkan tumbuh
berkembang dari waktu ke waktu.

Menurut james (Harun Hadiwijono. 1980) dalam Sadulloh (2003) tidak ada
kebenaran mutlak berlaku umum,bersifat tetap,berdiri sendiri,lepas dari akal pikiran
yang mengetahui. Pragmatisme juga berpandangan bahwa metode intelegen
merupakan cara ideal untuk memperoleh pengetahuan.

Untuk memecahkan masalah-masalah social dan perorangan yang paling


penting,diharapkan menerapkan logika sains pada pengalaman yang problematic.
Menurut john Dewey, yang dikemukakan oleh Waini Rasyidin (1992 : 144) dalam
Sadulloh (2003) bahwa dalam menerapkan konsep pragmatisme secara eksperimental
dalam memecahkan masalah hendaknya melalui lima tahapan yaitu;

a. indeterminate situation,timbulnya situasi ketegangan didalam pengalaman


yang perlu dijabarkan secara spesifik.

b. diagonis,artinya timbul upaya mempertajam masalah sampai pada


menentukan factor-faktor yang diduga menyebabkan timbulnya masalah.

c. Hypothesis,artinya ada upaya menemukan gagasan yang diperkirakan dapat


mengatasi masalah,dengan jalan mengerahkan pengumpulan informasi yang
Penting-penting

d. Hypothesis testing,yaitu pelaksanaan berbagai hipotesis yang paling relevan


secara teoritis untuk membandingkan implikasi masing-masing kalau
dipraktikkan.
e. evaluation,artinya mempertimbangkan hasilnya setelah hipotesis terbaik
dilaksanakan,yaitu dalam kaitan dengan masalah yang dirumuskan pada
langkah ke-2 dan ke-3.

Berdasarkan langkah-langkah diatas, Dewey berusaha menyusun suatu materi yang


logis dan tepat berdasarkan konsep-konsep,pertimbangan-pertimbangan,penyimpulan
penyimpulan dalam bentuknya yang beraneka ragam,dalam arti alternatif –alternatif.

Menurut Dewey yang benar adalah apa yang pada akhirnya disetujui oleh semua
orang yang menyelidikinya.Selanjutnya pada bagian lain Dewey mengatakan bahwa
pengalaman merupakan suatu interaksi antara lingkungan dengan organisme
biologis.kegiatan berpikir timbul disebabkan karena adanya gangguan terhadap
situasi yang menimbulkan masalah bagi manusia.untuk memecahkan masalah
tersebut disusun hipotesis sebagai bimbingan bagi tindakan berikutnya,Dewey
menegaskan bahwa berpikir khususnya berpikir ilmiah merupakan alat untuk
memecahkan masalah itulah yang disebut metode intelegen ataumetode ilmiah.
John Dewey mengembangkan sebuah teori pengetahuan dari sudut peranan biologis
dan psikologis.konsep-konsepnya merupakan bimbingan untuk mengarahkan
kegiatan intelektual manusia kearah masalah social yang timbul pada waktu
itu.Menurut Dewey,tugas filsafat adalah memberikan garis-garis pengarahan bagi
perbuatan dalam kenyataan hidup.

3. Nilai

Pragmatisme mengemukakan pandangannya tentang nilai,bahwa nilai itu


relatif.kaidah-kaidah moral dan etik tidak tetap,melainkan selalu berubah seperti
perubahan kebudayaan,masyarakat,dan lingkungannya. Menurut pragmatisme kita
harus mempertimbangkan perbuatan manusia dengan tidak memihak dan secara
ilmiah memiliki nilai-nilai yang tampaknya memungkinkan untuk memecahkan
masalah –masalah yang dihadapi manusia. Nilai lahir dari keinginan,dorongan,dan
perasaan serta kebiasaan manusia sesuai dengan watak manusia sebagai kesatuan
antara factor-faktor biologis dan factor social dalam diri dan kepribadiannya. Nilai
merupakan suatu realitas dalam kehidupan yang dapat dimengerti sebagai suatu ide,
suatu perilaku, pengetahuan, atau ide dikatakan benar apabila mengandung kebaikan,
berguna, dan bermanfaat bagi manusia untuk penyesuaian diri dalam kehidupan pada
suatu lingkungan tertentu.

4. Pendidikan

a) Konsep pendidikan

Menurut Dewey terdapat dua teori pendidikan yang saling bertentangan antara
yang satu dengan yang lainnya.kedua teori pendidikan tersebut adalah paham
konservtif dan “unfolding theory” (teori pemerkahan). Teori konservatif
mengemukakan bahwa pendidikan adalah sebagai suatu pembentukan terhadap
pribadi anak tanpa memperhatikan kekuatan-kekuatan atau potensi-potensi yang ada
dalam diri anak. “unfolding theory”berpandangan bahwa anak akan berkembang
dengan sendirinya, Karena ia telah memiliki kekuatan-kekuatan laten, dimana
perkembangan sianak telah memiliki tujuan yang pasti. Menurut pragmatisme
pendidikan bukan merupakan suatu proses pembentukan dari luar,dan juga bukan
merupakan suatu pemerkahan kekuatan-kekuatan laten dengan sendirinya.
Pendidikan menurut pragmatisme merupakan suatu proses organisasi dan
rekonstruksi dari pengalaman-pengalaman individu. Pengalaman-pengalaman
tersebut bukan terdiri atas materi intem maupun materi yang diungkapkan,melainkan
materi yang berasal dari aktivitas yang asli dari lingkungan. Selanjutnya John Dewey
mengemukakan perlunya atau pentingnya pendidikan karena berdasarkan atas tiga
pokok pemikiran yaitu :

- pendidikan merupakan kebutuhan untuk hidup

- pendidikan sebagai pertumbuhan

- pendidikan sebagai fungsi sosial


b) Pendikan Sebagai Kebutuhan Untuk Hidup

Pendidkan merupakan kebutuhan untuk hidup karena adanya anggapan bahwa


pendidikan selain sebagai alat,pendidikan juga berfungsi sebagai pembaharuan hidup.

1) Pendidikan Sebagai Pertumbuhan

Menurut Dewey pertumbuhan merupakan suatu perubahan tindakan yang


berlangsung terus untuk mencapai suatu hasil selanjutnya.pertumbuhan itu terjadi
karena kebelummatangan. Ciri dari kebelummatangan adalah adanya ketergantungan
dan plastisitas si anak. Yang dimaksud plastisitas adalah kemampuan belajar dari
pengalaman,yang merupakan pembentukan kebiasaan

2) Pendidikan Sebagai Fungsi Sosial

Masyarakat meneruskan,menyelamatkan sumber dan cita-cita


masyarakat,dalam hal ini lingkungan merupakan syarat bagi pertumbuhan dan fungsi
pendidikan merupakan “a process of leading and bringing up”Sekolah sebagai alat
tranmisi merupakan suatu lingkungan khusus yang memiliki tiga fungsi yaitu :

 Menyederhanakan dan menertibkan factor-faktor bawaan yang dibutuhkan untuk


berkembang

 Memurnikan dan mengidealkan kebiasaan masyarakat yang ada

 Menciptakan suatu lingkungan yang lebih luas dan lebih baik daripada yang
diciptakan anak tersebut dan menjadi milik mereka untuk dikembangkan.

c) Tujuan pendidikan

Tujuan pendidikan harus dihasilkan dari situasi kehidupan disekeliling anak


dan pendidik,harus fleksibel dan mencerminkan aktivitas bebas. Tujuan pendidikan
menurut pragmatisme bersifat temporer karena tujuan itu merupakan alat untuk
bertindak.apabila suatu tujuan telah tercapai,maka hasil tujuan tersebut menjadi alat
untuk mencapai tujuan berikutnya.
Beberapa karakteristik tujuan pendidikan yang harus diperhatikan adalah:

 Tujuan pendidikan hendaknya ditentukan dari kegiatan yang didasarkan atas


kebutuhan Intrinsic anak didik.

 Tujuan pendidikan harus mampu memunculkan suatu metode yang dapat


mempersatukan aktivitas pengajaran yang sedang berlangsung.

 Tujuan pendidikan adalah spesifik dan langsung.pendidikan harus tetap


menjaga untuk tidak mengatakan yang berkaitan dengan tujuan umum dan
tujuan akhir

2.23 Implikasi Filsafat Pragmatisme dalam Pendidikan

Menurut pragmatisme pelajaran harus didasarkan atas fakta-fakta yang sudah


diobservasi,dipahami,serta dibicarakan sebelumnya. Bahan pelajaran harus
mengandung ide-ide yang dapat mengembangkan situasi untuk mencapai tujuan dan
harus ada hubungannya dengan materi pelajaran. Metode yang sebaiknya digunakan
dalam pendidikan adalah metode disiplin,bukan dengan kekuasaan.Jadi dalam proses
belajar mengajar ada beberapa saran bagi guru yang harus diperhatikan terutama
dalam menghadapi siswa dalam kelas,yaitu :

 Guru tidak boleh memaksakan suatu idea tau pekerjaan yang tidak sesuai
dengan minat dan Kemampuan siswa.

 Guru hendaknya menciptakan suatu situasi yang menyebabkan siswa akan


merasakan ada-Nya suatu masalah yang ia hadapi sehingga timbul minat untuk
memcahkan masalah tersebut

 Untuk membangkitkan minat anak hendaklah guru mengenal kemampuan serta


minat masing-masing siswa.

 Jadi tugas guru dalam proses belajar mengajar adalah sebagai


fasilitator,memberi dorongan dan kemudahan kepada siswa. Power
mengemukakan implikasi filsafat pendidikan pragmatisme terhadap
pelaksanaan pendidikan sebagai berikut:

 Tujuan pendidikan

Memberi pengalaman untuk penemuan hal-hal baru dalam hidup sosial dan
pribadi.

 Kedudukan siswa

Suatu organisme yang memiliki kemampuan yang luar biasa dan kompleks
untuk tumbuh

 Kurikulum

Berisi pengalaman yang teruji yang dapat diubah,minat dan kebutuhan siswa
yang dibawa kesekolah dapat menentukan kurikulum

 Metode

Metode aktif yaitu learning by doing (belajar sambil bekerja)

 Peran guru

Mengawasi dan membimbing pengalaman belajar siswa tanpa mengganggu


minat dan kebutuhann
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

Alwashilah, A. Chaedar. 2014. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja
RosdaKarya.

Assegaf, Abd. Rahman. 2014. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: RajaWali Pers.

Sadulloh, Uyoh. 2014.Filsafat Pendidikan (Bandung: Alfabeta.

Anda mungkin juga menyukai