Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian eksistensialisme ?
2. Bagaimana karakteristik eksistensialisme ?
3. Bagaimana biografi Martin Heidegger sebagai seorang tokoh
eksistensialisme ?
4. Bagaimana eksistensialisme Martin Heidegger ?
Eksistensialisme adalah suatu filsafat yang menolak pemutlakan akal budi dan
menolak pemikiran-pemikiran abstrak murni. Eksistensialisme berupaya untuk
memahami manusia yang berada di dalam dunia, yakni manusia yang berada pada
situasi yang khusus dan unik. Beberapa pendapat tentang eksistensialisme ialah
sebagai berikut:
Adapun filsafat eksistensialisme rumusannya lebih sulit dari pada eksistensi. Sejak
muncul filsafat eksistensi, cara wujud manusia telah dijadikan tema sentral
pembahasan filsafat, tetapi belum pernah ada eksistensi yang secara radikal
menghadapkan manusia kepada dirinya seperti pada eksistensialisme.[9] Untuk
membedakan dua cara berada ini di dalam filsafat eksistensialisme dikatakan bahwa
benda-benda “berada” sedangkan manusia “bereksistensi”. Jadi hanya manusialah
yang bereksistensi.
Eksistensialisme tidak mencari tidak mencari esensi atau subtansi yang ada dibalik
penampakan manusia, melainkan kehendak mengungkap eksistensi manusia
sebagaimana yang dialami oleh manusia itu sendiri. Esensi atau subtansi mengacu
pada sesuatu yang umum, abstrak, statis sehingga menafikan sesuatu yang konkret,
individual, dan dinamis. Sebaliknya, eksistensi justru mengacu pada sesuatu yang
konkret, individual dan dinamis.[10] Oleh karena itu kata eksistensi diartikan:
manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya, manusia sadar
bahwa dirinya ada. Ia dapat meragukan segala sesuatu disekitarnya dihubungkan
dengan dirinya (mejaku, kursiku, temanku dan sebagainya). Di dalam dunia
manusia menentukan keadaanya dengan perbuatan-perbuatannya. Ia mengalami
dirinya sebagai pribadi. Ia menemukan pribadinya dengan seolah keluar dari dirinya
sendiri dan menyibukkan diri dengan apa yang di luar dirinya. Ia menggunakan
benda-benda yang di sekitarnya. Dengan kesibukannya itulah ia menemukan diri
sendiri. Ia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya dan sibuk dengan
dunia di luarnya. Demikianlah ia bereksistensi.
Lebih lanjut Shubhi Rosyad yang mengutip Harold Titus menambahkan bahwa
eksistensialisme:
2) Percaya bahwa tak ada pengetahuan yang terpisah dari subjek yang
mengetahui, kita mengalami kebenaran dalam diri kira sendiri. Kebenaran tidak
dapat dicapai secara abstrak. Oleh karena itu, eksistensialis menggunakan bentuk-
bentuk sastra dan seni untuk mengekspresikan perasaan hati.
Pada pandangan materialisme, baik yang kolot maupun yang modern, manusia itu
pada akhirnya adalah benda seperti halnya kayu dan batu. Memang orang materialis
tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda seperti halnya kayu dengan
batu. Akan tetapi, materialisme bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya, pada
dasarnya manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan kata lain materi, betul-
betul materi. Menurut bentuknya manusia lebih unggul ketimbang sapi, batu atau
pohon, tetapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi, pohon atau batu.
Dilihat dari keberadaanya juga sama, disinilah bagian ajaran yang dibantah oleh
eksistensialisme.
c) Orang merupakan kesatuan sebelum ada perpisahan antara jiwa dan badannya
Martin Heidegger lahir pada tanggal 26 September 1889 di kota kecil Messkirch
Baden, Jerman dan mempunyai pengaruh besar terhadap filosof di Eropa dan
Amerika Selatan. Ia menerima gelar Doktor dalam bidang filsafat dari Universitas
Freiburg dimana dia belajar dan menjadi asisten Edmund Husserl (penggagas
fenomenologi). Disertasinya berjudul Die Lehre Van Uerteil In
Psycologismus (Ajaran tentang Putusan dalam psikologi). Ia adalah anak seorang
pastor dari gereja katholik Santo Mortinus.
Sebelumnya dia kuliah di Fakultas Teologi selama empat semester, lalu pindah ke
filsafat dibawah bimbingan Heinrich Rickert, penganut Filsafat Neo-Kantinaisme
yang juga membawa pengaruh yang banyak baginya. Ia pernah menjabat sebagai
guru besar filsafat di Universitas Marburg dan berkenalan dengan teolog Protestan,
kemudian kembali ke Freiburg untuk menggantikan Husserl. Di Marburg, ia sempat
menyelasaikan karya monumentalnya yang berjudul Sein und Zeit (Being And
Time). Karena Husserl orang yahudi, maka sewaktu gerakan Nazi, ia berpisah
dengannya. Pada tahun 1933, ia menjadi Rektor pertama Universitas Freiburg yang
diangkat oleh gerakan National Sosialist (Nazi), dengan pidato pengukuhannya
berjudul “Role of the university in the New Reich” yang menekankan ide tentang
timbulnya Jerman Baru yang jaya. Begitu dia merasa dia hanya dieksplotasi maka
setahun kemudian, dia meletakkan jabatan rektornya. Namun dia masih mengajar
sampai pension pada tahun 1957. Karya-karyanya antara lain Sein dan Zeit,
Einfuhrug in die Methaphisic, What is Being,Why is there something rather than
nothing all”. Demikian judul-judul tentang eksistensi manusia, kegelisahan,
keterasingan dan mati.[15]
Heidegger mulanya adalah seorang pengikut fenomenologi. Edmund
Husserl adalah pendiri dan tokoh utama aliran ini, sementara Martin Heidegger
adalah mahasiswanya dan hal inilah yang meyakinkan Heidegger untuk menjadi
seorang fenomenolog. Heidegger menjadi tertarik akan pertanyaan tentang
"Ada" (atau apa artinya "berada"). Karyanya yang terkenal Being and Time (Ada
dan Waktu) Introduction to Metaphysics yang dicirikan sebagai sebuah ontologi
fenomenologis.[16]
Martin Heidegger dianggap sebagai salah satu filsuf terbesar dari abad ke-20 dan
merupakan pemikir dan filsuf yang luar biasa kreatif, gagasannya memasuki bidang
penelitian yang luas. Karena diskusi Martin Heidegger tentang ontologi maka dia
dapat dianggap sebagai salah satu pendiri eksistensialisme. Sasaran dan titik tolak
penyelidikan Heidegger pada akhirnya adalah pada eksistensi manusia, pada
mengadanya manusia (Dasein). Itulah sebabnya filsafat Heidegger dianggap
sebagai bagian dari eksistensialisme.[17]
Ada dua hal yang mendasar yang memecut lahirnya pemikiran eksistensialis
Heidegger, yaitu dehumanisasi dan depersonalisasi dimana pasca
pasca renaissance enlightenmen atau revolusi industry, manusia telah menjadi alat-
alat industri, alat mekanik, zaman mesin sehingga betul-betul membuat manusia
menjadi robot, depersonalisasi. Yang kedua adalah adanya detotalization. Gejala
ini terlihat dengan jelas, baik pada golongan materialisme atapun idealisme yang
mengakui sebagian sebagai keseluruhan juga penempatan manusia sebagai subjek
karena menghadapi objek. Manusia hanya sebagai manusia karena bersatu dengan
realitas di sekitarnya
Menemukan arti “berada” itu. Satu-satunya berada yang sendiri dapat dimengerti
sebagai berada ialah beradanya manusia. Keberadaan benda-benda terpisah dengan
yang lain, sedang beradanya manusia, mengambil tepat ditengah-tengah dunia
sekitarnya. Keberadaan manusia disebut dengan dasein (berada di sana, atau di
tempat). Berada artinya menempati atau mengambil tempat. Untuk itu manusia
harus keluar dari dirinya dan berada di tengah-tengah segala
berada. Dasein manusia juga disebut eksistensi.
Dari uraian tersebut di atas Martin Heidegger memiliki pemikiran dan metode yaitu:
Keberadaan manusia yaitu berada di dalam dunia maka ia dapat memberi tempat
kepada benda-benda disekitarnya, ia dapat bertemu dengan benda-benda itu dan
dengan manusia-manusia lain, dapat bergaul dan berkomunikasi dengan semuanya.
Keberadaan manusia (desein) juga mitsen (berada bersama-sama). Karena
itu manusia terbuka bagi dunianya dan bagi sesamanya. Keterbukaan ini bersandar
pada asasi yang penting, Menurut Harun Hadiwijono, dalam bukunya “Sari Sejarah
Filsafat Barat 2” tentang eksistensialisme pemikiran Martin Heidegger dijelaskan
yaitu:[22]
Kepekaan ini diungkapkan dalam bentuk perasaan dan emosi. Bahwa manusia
merasa senang, takut, sedih, gembira dan lain-lain bukanlah dihasilkan dari
pengamatan tapi bentuk dari “berada di dunia”. Dalam kehidupan sehari-hari
manusia dapat mendesak kepekaan itu bahkan menaklukannya, namun manusia
akan tetap mengalami kepekaan itu. Oleh karena itu, Befindlichkeit atau kepekaan
merupakan pengalaman yang elementer yang mengusai realitas.
Yang dimaksud disini bukan saja sebagai pengertian atau pemahaman yang biasa
namun sebagai dasar segala pengertian. Verstehen dikaitkan dengan kebebasan
manusia. Hal ini disangkutpautkan dengan manusia dan kemungkinan-
kenungkinannya. Pengertian senantiasa diarahkan kepada kemungkinan akan
sesuatu dan syarat-syaratnya untuk mencapai sesuatu itu. Hal ini disebabkan karena
ada hal yang tersirat dalam pengertian ini yaitu struktur yang eksistensial, yang
disebut dengan Entwurf (rencana). Oleh karena itu, manusia merencanakan dan
merealisasikan kemungkinan-kemungkinanannya sendiri dan juga kemungkinan-
kemungkinan-kemungkinan dunia. Jadi Verstehen merupakan cara manusia berada
dalam dunia.
Rede atau hal berbicara mewujudkan asas yang eksistensial bagi kemungkinan
untuk berbicara dan berkomunikasi serta bagi bahasa. Kata-kata berhubungan
dengan arti. Maksudnya secara apriori manusia telah memiliki “daya untuk
berbicara”. Manusia adalah makhluk yang dapat berbicara. Sambil berbicara dia
mengungkapkan diri. Pengungkapannya merupakan suatu pemberitahuan bahwa ia
”ada”.
Oleh karena itu dalam hidup sehari-hari manusia bereksistensi, tidak yang
sebenarnya. Akan tetapi justru karena itu manusia memiliki kemungkinan untuk
keluar dari eksistensi yang tidak yang sebenarnya itu. Keluar dari belenggu oleh
pendapat orang banyak dan menemukan dirinya sendiri.[23]
Ada dua alasan pokok mengapa Heidegger menjadikan dasar filsafatnya pada “ada”
(being) yaitu: Pertama, prihatin terhadap situasi zamannya yang kosong dari nuansa
religius dan kesadaran akan adanya Tuhan yang disebabkan oleh kosongnya makna
“ada” bagi manusia modern. Hanya dengan mengerti sang “ada” saja, eksistensi
hidup manusia akan menjadi sejati. Kedua, kekosongan dari ketidakmampaun
manusia memahami Tuhan sehingga tidak mampu menangkap kehadiran-Nya yang
juga disebabkan bahasa ucap mengenai ‘ada” tidak didengarkan, tidak diperbaharui,
dan tidak dikembalikan lagi, sehingga filosofi harus berusaha menemukan sang
Eksistensi, yaitu “ada” untuk dibahaskan kembali dan diberi arti baru.[24]
Heidegger sangat kritis pada manusia pada zaman sekarang. Manusia yang hidup
pada zaman modern hidup secara dangkal dan sangat memperhatikan kepada benda,
kuantitas, dan kekuasaan personal. Manusia modern tidak mempunyai akar dan
kosong oleh karena telah kehilangan rasa hubungan kepada wujud yang
sepenuhnya. Benda yang konkrit harus ditingkatkan, sehingga manusia itu terbuka
terhadap keseluruhan wujud.[25] Maka dengan demikian jika manusia yang
menghadapi hidupnya semu, maka tidak memiliki eksistensi yang sebenarnya,
hidupnya orang banyak. Manusia haruslah memanfaatkan waktunya untuk
merealisasikan kemungkinan-kemungkinannya secara tekun. Dengan ketekunan
menghadapi kata hatinya itulah cara bereksistensi yang sebenarnya dengan
demikian eksistensi akan menjadi jelas. Inilah cara menemukan dirinya sendiri.
Disini orang akan mendapatkan pengertian atau pemikiran yang benar tentang
manusia dan dunia.
Untuk memahami filsafat Heidegger, langkah yang paling tepat adalah dengan
memahami kata-kata kunci (key words)nya, yaitu:[26]
c) Factififity, yaitu suatu fakta bahwa dasein adalah being yang terlempar.
Beberapa kata kunci di atas dipergunakan oleh Heidegger untuk menemukan dan
merumuskan makna “ada” (sein, being), karena bagi Heidegger dasarnya dasar
untuk menjelaskan “ada” itu adalah (Being and Time). Dua struktur dasar atau
kategori “ada” ini dibahas dalam adanya manusia secara fenomeologis.
Namun “ada” itu sendiri tidak bias terlepas oleh “waktu” karena dasein tidak lain
adalah waktu itu sendiri. Waktu merupakan masa yang terdiri dari sekarang. Masa
mendatang terdiri dari masa sekarang yang belum terjadi dan pada suatu ketika akan
terjadi. Akhirnya, masa lampau dipahami sebagai masa sekarang yang dulu pernah
ada, tapi kini sudah tidak ada lagi.
E. EKSISTENSIALISME DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
F. Penutup
1. Kesimpulan
Dalam makalah ini maka motif pokok adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara
manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Eksistensi adalah cara khas
manusia berada. Pusat perhatian ini ada pada manusia yang bersifat humanistic.
Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan
dirinya secara aktif, bereksistensi berarti berbuat, menjadi, merencanakan. Setiap
saat manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaannya. Di dalam eksistensialisme
manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai,
yang masih harus dibentuk. Pada hakikatnya manusia terikat pada dunia sekitarnya,
terlebih-lebih sesama manusia. Martin Heidegger memulai mencetuskan
pemikirannya tentang eksistensi karena keprihatinannya terhadap perkembangan
dan kemajuan ilmu pengetahuan serta zaman modern yang mengerucut pada
industrialisasi menyebabkan terjadinya dehumanisasi dan depersonalisasi. Ia
memiliki pemikiran bahwa manusia itu bebas dan masing-masing manusia
memiliki eksistensinya diantara manusia dan benda lain. Gagasannya yang ia coba
jabarkan bahwa antara “ada” dan “waktu” memiliki keterkaitan. Dengan
keterkaitan itu manusia harus menyadari bahwa manusia merupakan makhluk yang
berdiri sendiri namun terikat dengan benda-benda da manusia lain disekitarnya.
Dan berusaha untuk merealisasikan kemungkinan-kemungkinannya untuk menuju
kehidupan yang sejati dan menanggung kepastian yang terakhir, yaitu Kematian.
Eksistensialisme pemikiran Martin Heidegger yaitu : Befindlichkeit atau
kepekaan, Verstehen atau mengerti, memahami, dan Rede atau kata-kata, atau
dalam hal berbicara.
DAFTAR PUSTAKA
Harun Hadiwijono, Dr, Sari Sejarah Filsafat Barat Jilid II, Yogyakarta: Pusat
Penelitian dan Inovasi Pendidikan Duta Wacana,1979
Jurnal Pendidikan Islam, Kajian Tentang Konsep, Problem dan Prospek Pendidikan
Islam, (Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), Vol. 4, No.2
Juli 2003.
Zubaedi, Dr, M.Ag. Filsafat Barat, (Dari Logika Baru Rene Descartes hingga
Revolusi Sains ala Thomas Kuhn).Yogyakarta; Ar-Ruzz Media:1997
[4]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Akal dan Hati Sejak Tales sampai Capra).
Bandung: Remaja Rosdakarya Ofset 2009, hlm.219.
[6]Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat Jilid II, Yogyakarta: Pusat
Penelitian dan Inovasi Pendidikan Duta Wacana,1979, hlm.192.
[14] Richard Osborne, Filsafat untuk Pemula.Yogyakarta: Kansius, 2001, hlm. 155
[22] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1988),
hlm. 152
[28] Jurnal Pendidikan Islam, Kajian Tentang Konsep, Problem dan Prospek
Pendidikan Islam, (Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), hlm. 259.
[29]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: PT. Sygma
Examedia Arkamlema, 2009, hlm. 559.
[31] Jurnal Pendidikan Islam, Kajian Tentang Konsep, Problem dan Prospek
Pendidikan Islam, (Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta),
[32] Jurnal Pendidikan Islam, Kajian Tentang Konsep, Problem dan Prospek
Pendidikan Islam, (Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), hlm. 260.