Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH MONITORING EFEK SAMPING OBAT

TUKAK LAMBUNG AKIBAT PENGGUNAAN ASPIRIN PADA PASIEN

INFARK MIOKARD AKUT DI RS “X” DI KOTA PALEMBANG

Disusun Oleh:

Anissa Pratiwi

41191097000075

PROGRAM STUDI APOTEKER

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT karena penulis dapat menyelesaikan tugas

makalah yang berjudul “Monitoring Efek Samping Obat” dengan lancar. Makalah

ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pelayanan Kefarmasian. Penulis

mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan

dan saran atas penyusunan makalah ini:

1. Pak Subhan, selaku dosen pengampu mata kuliah Pelayanan Kefarmasian

2. Semua rekan satu kelas program studi Apoteker 06 UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu

persatu namanya

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan

makalah ini, untuk itu penulis mengharapkan saran dan masukan untuk perbaikan.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi penulis maupun para pembaca.

Jakarta, September 2019

Anissa Pratiwi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infark miokard akut (IMA) adalah suatu keadaan terjadinya kematian sel

miokardinal yang disebabkan adanya oklusi arteri koronaria (Antman, 2005).

Orang awam menyebut IMA sebagai serangan jantung yaitu penyempitan atau

penyumbatan darah koroner (Rendi dan Margaret, 2012). Sumbatan yang terjadi

sebagian besar disebabkan oleh ruptur plak ateroma pada arteri koroner yang

kemudian diikuti oleh terjadinya trombosis, vasokontriksi, dan reaksi inflamasi

(Muttaqin, 2012).

Prevalensi IMA di Indonesia berdasarkan data rekam medis Pusat Jantung

Nasional Harapan Kita (PJNHK) menunjukkan bahwa terdapat 962 penderita

IMA di tahun 2006 dan pada tahun 2007 angka ini meningkat menjadi 1096

penderita. Penurunan terjadi di tahun 2008 menjadi 1065 penderita (Sulastomo,

2010). Tahun 2013 mengalami penurunan pada prevalensi pasien IMA dari 25%

menjadi 40% dari total 478.000 pasien yang didiagnosis SKA di Indonesia

(Depkes RI, 2013).

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang

kefarmasian serta makin tingginya kesadaran masyarakat dalam meningkatkan

kesehatan, maka dituntut juga kemampuan dan kecakapan para petugas dalam

rangka mengatasi permasalahan yang mungkin timbul dalam pelaksanaan

pelayanan kefarmasian kepada masyarakat. Dengan demikian pada dasarnya

kaitan tugas pekerjaan Farmasis dalam melangsungkan berbagai proses

kefarmasian, bukannya sekedar membuat obat, melainkan juga menjamin,


memberikan informasi efek dan penggunaan obat, serta meyakinkan bahwa

produk kefarmasian yang diselenggarakan adalah bagian yang tidak terpisahkan

dari proses penyembuhan penyakit yang diderita pasien (Pharmasetical Care) .

Mengingat kewenangan keprofesian yang dimilikinya, maka dalam menjalankan

tugasnya harus berdasarkan prosedur-prosedur kefarmasian demi dicapainya

produk kerja yang memenuhi syarat ilmu pengetahuan kefarmasian, sasaran jenis

pekerjaan yang dilakukan serta hasil kerja akhir yang seragam, tanpa mengurangi

pertimbangan keprofesian secara pribadi.

Farmasis adalah tenaga ahli yang mempunyai kewenangan dibidang

kefarmasian melalui keahlian yang diperolehnya selama pendidikan tinggi

kefarmasian. Sifat kewenangan yang berlandaskan ilmu pengetahuan ini

memberinya semacam otoritas dalam berbagai aspek

obat atau proses kefarmasian yang tidak dimiliki oleh tenaga kesehatan lainnya.

Farmasi sebagai tenaga kesehatan yang dikelompokkan profesi, telah diakui

secara universal. Lingkup pekerjaannya meliputi semua aspek tentang obat, mulai

penyediaan bahan baku obat dalam arti luas, membuat sediaan jadinya sampai

dengan pelayanan kepada pemakai obat atau pasien.

Salah satu bentuk kegiatan Pharmaceutical Care dalam Monitoring Efek

Samping Obat (MESO) yaitu dengan tahapan:

1. Identifikasi efek samping obat

2. Penanganan efek samping obat

3. Pelaporan efek samping obat


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Jantung

2.1.1 Anatomi Jantung

Jantung terdiri atas empat ruang yaitu atrium kanan, atrium kiri, ventrikel

kanan dan ventrikel kiri. Ruangan sebelah atas jantung dan berdinding tipis

disebut dengan atrium, sedangkan ventrikel adalah ruangan sebelah bawah

jantung dan mempunyai dinding lebih tebal karena harus memompa darah ke

seluruh tubuh. Fungsi dari atrium kanan sebagai penampung darah rendah oksigen

dari seluruh tubuh. Darah yang kaya oksigen dari paru-paru dan mengalirkan

darah tersebut ke paru-paru diterima oleh atrium kiri. Ventrikel kanan berfungsi

menerima darah dari atrium kanan dan memompakannya ke paru-paru. Darah

yang kaya oksigen dipompakan oleh ventrikel kiri ke seluruh tubuh (Lin et al,

2011).

Dinding jantung terdiri dari tiga lapisan, yaitu epikardium (lapisan paling

luar), miokardium (lapisan bagian tengah) dan endokardium (lapisan paling

dalam). Lapisan epikardium merupakan lapisan viseral perikardium serosa yang

disusun oleh mesotelium dan jaringan ikat lunak, sehingga tekstur permukaan luar

jantung terlihat lunak dan licin. Miokardium merupakan jaringan otot jantung

yang menyusun hampir 95% dinding jantung dan bertanggung jawab untuk

pemompaan jantung, meskipun menyerupai otot rangka, otot jantung ini bekerja

involunter seperti otot polos dan seratnya tersusun melingkari jantung. Lapisan

terdalam dinding jantung yaitu endokardium, merupakan lapisan tipis endotelium


yang menutupi lapisan tipis jaringan ikat dan membungkus katup jantung (Tortora

and Derrickson, 2012).

Jantung mempunyai empat ruangan, dua ruangan penerima di bagian

superior adalah atrium, sedangkan dua ruangan pemompa di bagian inferior

adalah ventrikel (Tortora and Derrickson, 2012). Atrium kanan berada pada

bagian kanan jantung dan terletak sebagian besar berada di belakang sternum.

Ventrikel kanan yaitu ruang berdinding tebal yang membentuk sebagian besar sisi

depan jantung. Lubang pulmonalis berada pada ujung atas ventrikel dan

dikelilingi oleh valve pulmonalis, terdiri dari tiga katup semilunaris. Ruang

berdinding tipis yang terletak pada bagian belakang jantung adalah atrium kiri.

Dua vena pulmonalis memasuki atrium kiri pada tiap sisi, membawa darah dari

paru. Atrium membuka ke bawah ke ventrikel kiri melalui lubang atrioventrikular.

Ventrikel kiri adalah ruang berdinding tebal pada bagian kiri dan belakang

jantung, dindingnya sekitar tiga kali lebih tebal daripada ventrikel kanan (Guyton

and Hall, 2002).

Left coronary artery

Gambar 1. Anatomi jantung (Anatomy Wrap, 2016)


2.1.2 Fisiologi Jantung

Periode antara awal satu detak jantung dan awal detak jantung lainnya

disebut siklus jantung. Setiap siklus di inisiasi oleh aksi potensial secara spontan

dalam sinus node. Aksi potensial ini kemudian berjalan dengan cepat melalui

kedua atrium dan kemudian masuk ke dalam ventrikel untuk menyediakan tenaga

menyalurkan darah ke dalam peredaran darah di seluruh tubuh. Setiap siklus

jantung memiliki periode relaksasi yang disebut diastol, selama jantung terisi

dengan darah, diikuti dengan periode kontraksi yang disebut sistol (Guyton and

Hall, 2006).

Siklus jantung dapat digambarkan melalui elektrokardiogram (EKG) akan

terlihat gelombang P, Q, R, S, dan T. Tegangan listrik yang dihasilkan oleh

jantung selama setiap detak jantung dan suara dapat dibedakan ketika thorax

sedang auskultasi, dengan menggunakan stetoskop. Suara jantung ini sering

digambarkan sebagai lub-dub, berhubungan dengan penutupan katup jantung.

Sedangkan dua suara lainnya sering tidak dapat didengar. Suara jantung yang

tidak normal disebut murmur jantung (Martini et al., 2012).

2.2 Infark Miokard Akut (IMA)

2.2.1 Definisi Infark Miokard Akut

Sejak tahun 1950, WHO menggunakan data epidemiologi mendefinisikan

IMA dengan adanya minimal 2 dari 3 kriteria, yaitu keluhan klinis sugestif ke

arah IMA, abnormalitas EKG, dan peningkatan marker serum yang

mengindikasikan terjadinya nekrosis miokard. Perkembangan biomarker nekrosis

miokard yang lebih sensitif dan spesifik serta teknik imaging untuk disfungsi
miokard yang iskemik menyebabkan terjadinya perbaikan diagnosis IMA (Rhee

and Sabatine, 2011). The Third Global MI Task Force memberikan informasi

bahwa saat ini pada beberapa kejadian IMA atau nekrosis dapat dideteksi dengan

penanda biokimia dan atau pencitraan. IMA dapat dikenali dari gejala klinis,

peningkatan penanda biokimia (biomarker) nekrosis miokard dan dengan teknik

pencitraan serta berdasarkan temuan temuan patologi (Thygesen et al., 2012).

Klasifikasi IMA dibagi berdasarkan perubahan gambaran

elektrokardiografinya menjadi STEMI dan NSTE SKA, termasuk NSTEMI dan

APTS (Dipiro et al., 2012). Oklusi arteri koronaria dapat menyebabkan IMA

transmural, kerusakan jaringannya mengenai seluruh diding miokard. ST-segmen

dan gelombang Q-patologis pada EKG terdapat pada STEMI. ST-segment dan

gelombang Q patologis pada NSTEMI tidak terdapat pada EKG serta oklusi yang

terbentuk bersifat parsial (Kabo, 2011).

2.2.2 Etiologi Infark Miokard Akut

Terdapat berbagai mekanisme patofisiologi penyebab terjadinya IMA

seperti aterosklerosis, sindrom vaskulitis, emboli koroner, anomali kongenital

arteri koroner, trauma koroner atau aneurisma, spasme pembuluh darah koroner,

peningkatan viskositas darah, dan peningkatan kebutuhan oksigen miokard.

Berbagai penyebab ini menyebabkan kondisi meliputi kerusakan endotel melalui

disrupsi plak, lesi luminal ireguler, shear injury, agregasi platelet, pembentukan

trombus yang menyebabkan oklusi lumen parsial atau total, vasospasme arteri,

dan cedera reperfusi akibat radikal oksigen bebas, kalsium, dan neutrofil (Rhee

and Sabatine, 2011).


Nekrosis miokard yang disebabkan oleh tidak adekuatnya suplai darah

akibat sumbatan akut arteri koroner disebut IMA (PERKI, 2015). Ketika aliran

darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri koroner, maka terjadi IMA

tipe STEMI. Perkembangan perlahan dari stenosis koroner tidak menimbulakan

STEMI karena dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk pembuluh darah

kolateral. Dengan kata lain, STEMI hanya terjadi jika arteri koroner tersumbat

cepat. Tipe IMA tanpa elevasi segmen ST yang disebabkan obstruksi koroner

akibat erosi dan ruptur plak disebut dengan NSTEMI. Erosi dan ruptur plak

aretoma produksi vasokonstriktor, endotelin-1, dan angiotensin II yang berperan

dalam migrasi dan pertumbuhan sel (Riulanto, 2011).

2.2.3 Patofisiologi Infark Miokard Akut

Proses penebalan dan pengerasan otot serta penurunan elastisitas arteri

disebut dengan aterosklerosis (Libby and Theroux, 2005). Aterosklerosis terjadi

karena penimbunan lemak berupa fatty streak pada endotelium yang mengalami

kerusakan yang dapat disebabkan oleh peningkatan shear strees, hipertensi,

hiperkolesterolisme, peningkatan produk glikosilasi pada penderita diabetes

melitus (DM), adanya senyawa iritan dan sirkulasi amina vasoaktif kompleks

imun atau karena infeksi. Terjadinya rupture plak akan menyebabkan oklusi atau

suboklusi yang memberi manifestasi klinik berupa sindroma koronaria akut atau

APTS (Fuster et al., 2004).


Gambar 2. Aterosklerosis (Medmovie, 2017)

Rupture plak aterosklerosis disebabkan karena peningkatan laju

pembentukan enzim metalloproteinase seperti kolagen, gelatin dan steromelysin.

Enzim tersebut mendegradasi komponen matriks protektif intertistial. Peningkatan

enzim proteinase ini disebabkan karena peningkatan konsentrasi yang sangat

besar dari sel mast dan makrofag aktif (Antman et al., 2005). Rupture plak

ateroklerosis akan terjadi adhesi platelet yang dimulai dari interaksi faktor Von

Willebrand. Reseptor glikoprotein platelet Ib sehingga terjadi aktivasi platelet,

yang akan menyebabkan terjadinya perubahan bentuk platelet. Luas permukaan

meningkat akibat dari berubahnya bentuk platelet yang memungkinkan terjadinya

trombus; melepaskan tromboksan (TXA2), serotonin (5HT), adenosine

diphosphate (ADP), plateleteactivator factor (PAF), trombin, tissue factor, dan

radikal bebas dari oksigen. Aktivasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa pada permukaan

platelet sehingga dapat mengikat fibrinogen dan pada tahap akhir akan menjadi

agregasi platelet yaitu terikatnya fibrinogen atau faktor Von Willebrand pada

reseptor glikoprotein IIb/IIIa (Cannon et al., 2009).

Luas jaringan yang mengalami infark sangat berhubungan dengan luasnya

miokard. Diperdarahi oleh pembuluh darah yang tersumbat, intensitas, dan durasi

gangguan aliran darah koroner, kebutuhan oksigen dari regio miokard yang
bersangkutan, jumlah pembuluh darah kolateral. Akibatnya aliran darah dari arteri

koroner sekitar yang tidak tersumbat dan tingkat respon jaringan yang

memodifikasi proses iskemik (Alwi, 2011).

2.4 Terapi Infark Miokard Akut

2.4.1 Terapi Non-Farmakologi

Penggunaan percutaneous coronary intervention (PCI) bertujuan untuk

melancarkan kembali aliran darah arteri koroner pasien, penggunaan PCI, atau

stent biasanya digunakan pada pasien STEMI. Pemasangan stent juga bisa

dilakukan dengan ballon angioplasty, metal stent, atau drug-eluting stent. Alasan

penggunaan PCI adalah lebih rendahnya mortalitas dengan penggunaan PCI jika

dibandingkan dengan penggunaan fibrinolisis. Risiko perdarahan dan intracranial

hemorrhage (ICH) dari PCI juga lebih rendah jika dibandingkan dengan

penggunaan fibrinolitik. Pasien NSTEMI lebih disarankan untuk melakukan

angiografi koroner sebelum melakukan PCI atau revaskularisasi coronary artery

bypass grafting (CABG) sebagai tindakan awal pada pasien NSTEMI yang

berisiko tinggi (Dipiro et al., 2012).

2.4.2 Terapi Farmakologi

2.4.2.1 Fibrinolitik

Fibrinolitik bekerja sebagai trombolitik dengan cara mengaktifkan

plasminogen untuk membentuk plasmin, yang mendegradasi fibrin dan kemudian

memecah trombus. Urokinase, streptokinase, alteplase, dan anistreplase

merupakan obat-obatan yang masuk ke dalam golongan obat ini. Streptokinase


dan alteplase telah diketahui dapat menurunkan angka kematian. Reteplase dan

tenekteplase juga disarankan untuk IMA, keduanya diberikan secara injeksi

intravena (tenekplase diberikan dengan injeksi bolus). Obat trombolitik

diindikasikan pada semua pasien dengan IMA karena manfaat pengobatan yang

diperoleh lebih besar dari risikonya. Penelitian menunjukkan bahwa manfaat

paling besar dirasakan oleh pasien dengan perubahan pada hasil EKG berupa

elevasi atau peningkatan STEMI (terutama pada pasien infark anterior) dan pada

pasien dengan BBB (PIONAS, 2014).

2.4.2.2 Aspirin

Aspirin terbukti dapat menurunkan angka kematian, mencegah reoklusi

koroner, dan menurunkan kejadian iskemik berulang pada pasien IMA.

Penggunaan aspirin harus segera diberikan kepada pasien STEMI setelah sampai

di UGD (Heng et al., 2016). American College of Cardiology (ACC) dan

American Heart Association (AHA) merekomendasikan aspirin sebagai

antiplatelet untuk terapi STEMI. Pasien yang menerima terapi aspirin harus

menggunakan aspirin secara dikunyah dan perawat tidak boleh memberikan

aspirin sebelum menunjukkan adanya diagnosa STEMI. Dosis awal yang harus

diberikan adalah 162 mg (Level of Evidence: A) sampai 325 mg (Level of

Evidence: C). Pemberian dosis aspirin 162 mg atau lebih aspirin akan

menghasilkan efek klinis antitrombotik dengan cepat, hal ini disebabkan oleh

produksi inhibitor total TXA2. Sekarang aspirin merupakan bagian dari

manajemen awal untuk seluruh pasien yang dicurigari STEMI dan harus segera

diberikan dan diberikan dalam 24 jam pertama dengan dosis antara 162 mg – 325
mg dan dilanjutkan dalam jangka waktu tidak terbatas dengan dosis harian

75 – 162 mg (O’Gara et al., 2013).

2.4.2.3 Thienopyridine

Pemberian thienopyridin seperti clopidogrel mempunyai efek antiplatelet

seperti aspirin namun dengan mekanisme yang berbeda. Thienopyridine memblok

reseptor adenosine diphosphate (ADP) P2Y12 pada platelet. Efek samping dari

ticlopidine adalah neutropenia, maka perlu dilakukan monitoring selama 3 bulan

pertama penggunaan. Kejadian lainnya yang perlu diperhatikan dari kombinasi

penggunaan lebih dari satu antiplatelet adalah meningkatnya risiko perdarahan

(Dipiro et al., 2012).

2.4.2.4 GP IIb/IIIa Inhibitor

Penghambat glikoprotein IIb/IIIa dapat mencegah agregasi trombosit

dengan memblokade ikatan fibrinogen pada reseptornya di trombosit. Absiksimab

adalah antibodi monoklonal yang terikat pada reseptor glikoprotein IIb/IIIa dan

tempat-tempat yang terkait lainnya. Penghambat glikoprotein IIb/IIIa digunakan

sebagai terapi tambahan pada heparin dan asetosal untuk mencegah komplikasi

iskemik pada pasien dengan risiko tinggi yang menjalani PCI. Obat ini digunakan

hanya sekali untuk menghindari risiko tambahan trombositopenia. Eptifibatid dan

tirofiban juga menghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa, keduanya dianjurkan

untuk digunakan bersama dengan heparin dan asetosal untuk mencegah IMA dini

pada pasien APTS atau NSTEMI. Absiksimab, eptifibatid, dan tirofiban hanya

boleh digunakan dibawah pengawasan dokter spesialis (PIONAS, 2014).

2.4.2.5 Antikoagulan
Penggunaan antikoagulan pada pasien STEMI diberikan secara bolus

intravena kemudian dilanjut dengan infus. Pilihan pertama antikoagulan pada

pasien STEMI adalah UFH, untuk pasien yang pengobatan medis ataupun dalam

pemasangan PCI. Mekanisme kerja dari UFH adalah mengikat antitrombin dan

menghalangi aktivitas dari clotting factor seperti Xa dan IIa (trombin). Sedangkan

pada pasien NSTEMI yang akan melakukan revaskularisasi dengan pemasangan

PCI, UFH, LMWH, fondaparinux, atau bivalirudin harus diberikan. Penggunaan

enoxaparin merupakan LMWH yang disarankan pada pasien NSTEMI. Terapi

antikoagulan diberikan pada bagian UGD dan dilanjutkan selama 48 jam

berikutnya pada pasien IMA yang akan dilanjutkan dengan terapi warfarin jangka

panjang. Hal yang perlu diperhatikan pada pemberian antikoagulan yaitu

menyebabkan pendarahan, selain itu antikoagulan seperti UFH juga memiliki efek

samping trombositopenia (Dipiro et al., 2012).

2.4.2.6 Preparat Nitrat

Nitrat memiliki banyak mekanisme dalam menurunkan nyeri pada pasien

IMA, tetapi efek yang paling berpengaruh belum diketahui pasti. Mekanisme

kerja nitrat yaitu melalui penurunan kebutuhan oksigen miokardial melalui

vasodilatasi dan dilatasi arteri maupun arteriol yang akan menurunkan tekanan

intraventrikular dan tekanan arteriol koroner, sehingga akan meningkatkan perfusi

oksigen pada miokardial. Aksi langsung nitrat pada sirkulasi koroner berupa

dilatasi arteri koroner intramural, dilatasi arteri koroner, dilatasi aliran kolateral,

dan menurunkan spasme (Talbert, 2002).


2.4.2.7 β-Blocker

Pasien IMA tanpa komplikasi sebaiknya diberikan terapi β-blocker dalam

12 jam setelah serangan IMA. Tujuan terapi β-blocker adalah untuk mencegah

aktivitas berlebih sistem saraf simpatis yang umumnya akan dialami oleh pasien

penderita IMA. Pasien harus segera mendapatkan terapi β-blocker setelah

serangan IMA secara intravena untuk menurunkan potensi mortalitas pada pasien

(Poole et al., 2005).

Obat-obat β-blocker merupakan kelompok reseptor adrenergik. Reseptor

ini merupakan yang terkait dengan protein G sehingga disebut G protein coupled

reseptor. Protein reseptor memiliki ujung N (nitrogen) yang berada di luar sel dan

memiliki ujung karboksil yang terdapat di dalam sel. Masing-masing protein G

terdiri atar 3 protein (heterotrimer), yaitu subunit α, β, dan γ. Molekul efektor

protein G pada reseptor beta adrenergik (Gs) adalah enzim adenil siklase.

Mekanisme kerja obat pada reseptor beta adalah dengan berikatan dengan reseptor

beta. Normalnya reseptor beta akan mengaktifkan protein G. Sub unit α pada

protein G akan melepaskan diri kemudian berikatan dengan enzim adenil siklase.

Ikatan subunit α dengan adenil siklase akan mengaktifkan enzim ini dan

selanjutnya akan dihasilkan siklik AMP (cAMP) (Biaggioni and Robertson,

2012).

2.4.2.8 Ca-Channel Blocker

Penggunaan ca-channel blocker (CCB) diberikan pada pasien IMA yang

mempunyai kontraindikasi pada penggunaan β-blocker dan untuk mengurangi

gejala dari iskemik. CCB menghambat masuknya kalsium kedalam miokardial


dan sel otot halus vakular, dan menyebabkan vasodilatasi. Golongan CCB yang

biasa digunakan yaitu dihydropyridine seperti amlodipin, felodipin, dan nifedipin

mempunyaim anti-iskemik melalui vasodilatasi perifer dengan tidak adanya efek

klinis pada konduksi nodus atrioventikular dan detak jantung. Sebaliknya,

diltiazem dan verapamil mempunyai efek anti-iskemik dengan mengurangi

kontraktilitas dan konduksi nodus atrioventrikular dan menurunkan detak jantung.

Penggunaan amlodipin, diltiazem, atau verapamil lebih dipilih (Dipiro et al.,

2012).

Golongan CCB yang sering digunakan yaitu verapamil, diltiazem dan

nifedipin. Verapamil umunya mulai digunakan 7 – 15 hari setelah serangan IMA,

dapat menurunkan risiko terjadinya reinfark dan kematian. Dosis yang digunakan

yaitu 120 mg tiga kali sehari. Efek samping penggunaan verapamil yaitu sakit

kepala, flushing, perdarahan saluran cerna, dan konstipasi terutama pada pasien

lanjut usia (Opie and Gersh, 2005).

2.4.2.9 ACE Inhibitor

Angiotensin converting enzyme (ACE) adalah komponen sistem

reninantihypotensive angiotensin aldosteron (RAA). Renin diproduksi oleh sel-sel

otot halus di dinding arteriol aferen dari glomerulus ginjal. Sel-sel ini merupakan

bagian dari aparatus juxtaglomerular, berada diantara arteriol aferen dan tubulus

distal, yang memiliki peran penting dalam mengendalikan fungsi nefron.

Rangsangan yang menyebabkan pelepasan renin adalah penurunan tekanan

perfusi ginjal, penurunan Na+ atau Cl- ke tubulus distal, serta sebagai

β-adrenoreseptor-dimediasi sympathoactivation. Glikoprotein renin enzimatis


mengubah dekapeptida angiotensin I dari prekursor substrat angiotensinogen yang

beredar dalam sirkulasi menghasilkan angiotensin II (Gunawan, 2008).

Penggunaan ACE-inhibitor akan menurunkan risiko kematian pada

penderita IMA karena akan menghambat terjadinya remodelling ventrikel kiri

pada penderita IMA. Remodelling ventrikel kiri merupakan mekanisme

kompensasi tubuh terhadap disfungsi ventrikel kiri, yang akan berkembang

menyebabkan dilatasi ventrikel kiri. Penurunan fungsi pemompaan ventrikel kiri

sehingga terjadi kegagalan pompaan jantung sebagai akibat dari dilatasi ventrikel

kiri (Antman et al., 2005).

Gambar 3. Algoritma infark miokard akut (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006)
Terapi untuk mencegah reinfark yaitu menggunakan β-blocker dan CCB.

Penggunaan CCB antara golongan dihidropiridine maupun non-dihidropiridine

dapat mengurangi risiko kematian. Pasien dengan gangguan fungsi ventrikel kiri,

penggunaan nifedipin beberapa hari setelah serangan IMA dapat meningkatkan

risiko kematian. Penggunaan β-blocker juga dapat mengurangi risiko kematian

dibandingkan tanpa penggunaan β-blocker. Untuk terapi menghambat progesifitas

kerusakan ventrikel kiri dapat digunakan ACE-inhibitor. Penggunaan ACE-

inhibitor dapat mengurangi risiko kematian dibandingkan tanpa penggunaan ACE-

inhibitor, akan tetapi penggunaan obat jenis ini juga dapat meningkatkan risiko

hipotensi dan gangguan fungsi ginjal (Durand, 2004).

II.1 Efek Samping Obat

Definisi efek samping obat menurut WHO adalah tiap respon terhadap

obat yang merugikan atau tidak diharapkan, yang terjadi pada dosis yang

digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi.

Melakukan monitoring efek samping obat. Yaitu memantau baik secara langsung

maupun tidak langsung terjadinya efek samping obat, meminimalkan efek

samping yang timbul dan menghentikan atau penggantian obat jika efek samping

memperparah kondisi pasien. Pasien juga berhak melaporkan terjadinya efek

samping obat kepada farmasis di apotek atau rumah sakit agar dilakukan upaya-

upaya pencegahan, mengurangi atau menghilangkan efek samping tersebut.

Pemantauan dimaksudkan untuk memastikan terapi obat yang tepat (WHO, 2002).

MESO oleh tenaga kesehatan di Indonesia masih bersifat sukarela dengan

menggunakan formulir pelaporan ESO berwarna kuning, yang dikenal sebagai

Form Kuning. Monitoring tersebut dilakukan terhadap seluruh obat beredar dan
digunakan dalam pelayanan kesehatan di Indonesia. Setiap kejadian yang

dicurigai sebagai efek samping obat perlu dilaporkan,, baik efek samping yang

belum diketahui hubungan kausalnya maupun yang sudah pasti merupakan suatu

efek samping obat (BPOM, 2012).

Trigger tools adalah suatu metode untuk mendeteksi potensi kejadian tidak

diharapkan (KTD) melalui “trigger” atau pemicu. Tujuan menggunakan trigger

tool adalah untuk mengidentifikasi kejadian tidak dihadirkan akibat penggunaan

obat, mengidentifikasi risiko berulang karena penggunaan obat, menetapkan

strategi (kebijakan dan prosedur) untuk mencegah berulangnya KTD yang dapat

dicegah atau menurunkan risiko KTD, dan untuk edukasi kepada pasien (Trisna,

2017).

Gambar 4. Alur Identifikasi Adverse Drug Event Menggunakan Trigger Tools

Algoritma naranjo adalah kuisioner yang dirancang oleh Naranjo, et al.

untuk menentukan kemungkinan apakah terdapat adverse drug event yang

sebenarnya disebabkan oleh obat. Probabilitas diberikan melalui skor yang disebut

pasti, mungkin atau diragukan. Nilai yang diperoleh dari algoritma ini terkadang

digunakan dalam per review untuk memverifikasi validitas kesimpulan penulis

mengenai reaksi obat yang merugikan.


BAB III

KASUS

Contoh Kasus:

Pada kasus diatas, setelah hari kedua masuk rumah sakit pasien

mengalami efek samping berupa mual akibat dari penggunaan aspirin, efek

samping terjadi dengan ditunjukkannya pemberian omeprazole pada hari ke enam

pasien di rawat di Rumah Sakit “X” di Kota Palembang, dan pada catatan perawat

juga didokumentasikan bahwa pasien mengeluh nyeri pada ulu hati dan merasa

mual hingga terjadi penurunan nafsu makan setelah pemberian aspirin.

No. Pertanyaan Scale Nama Obat Skor


Ya Tidak Tidak
Tahu
Aspirin +1
ISDN 0
Clopidogrel 0
Apakah ada laporan efek
1. +1 0 0 Ramipril 0
samping obat yang serupa?
Omeprazole 0
Fondaparinux 0
Furosemid 0
Aspirin +2
Apakah efek samping obat ISDN 0
2. terjadi setelah pemberian obat +2 -1 0 Clopidogrel 0
yang dicurigai?
Ramipril 0
Omeprazole 0
Fondaparinux 0
Furosemid 0
Aspirin 1
Apakah efek samping obat ISDN 0
membaik setelah dihentikan Clopidogrel 0
3. obat antagonis khusus +1 0 0 Ramipril 0
diberikan? Omeprazole 0
Fondaparinux 0
Furosemid 0
Aspirin +2
ISDN 0
Apakah efek samping obat Clopidogrel 0
4. terjadi berulang setelah obat +2 -1 0 Ramipril 0
diberikan kembali? Omeprazole 0
Fondaparinux 0
Furosemid 0
Aspirin +2
ISDN 0
Apakah ada alternatif penyebab
Clopidogrel 0
yang dapat menjelaskan
5. -1 +2 0 Ramipril 0
kemunginan terjadinya efek
Omeprazole 0
samping obat?
Fondaparinux 0
Furosemid 0
Aspirin 0
ISDN 0
Apakah efek samping obat Clopidogrel 0
6. muncul kembali ketika plasebo -1 +1 0 Ramipril 0
diberikan? Omeprazole 0
Fondaparinux 0
Furosemid 0
Aspirin 0
ISDN 0
Apakah obat yang dicurigai
Clopidogrel 0
terdeteksi di dalam darah atau
7. +1 0 0 Ramipril 0
cairan tubuh lainnya dengan
Omeprazole 0
konsentrasi yang toksik?
Fondaparinux 0
Furosemid 0
Aspirin 0
Apakah efek samping obat ISDN 0
bertambah parah ketika dosis Clopidogrel 0
8. obat ditingkatkan atau +1 0 0 Ramipril 0
bertambang ringan ketika obat Omeprazole 0
diturunkan dosisnya? Fondaparinux 0
Furosemid 0
Aspirin 0
ISDN 0
Apakah pasien pernah
Clopidogrel 0
mengalami efek sampng obat
9. +1 0 0 Ramipril 0
yang sama atau dengan obat
Omeprazole 0
yang mirip sebelumnya?
Fondaparinux 0
Furosemid 0
Apakah efek samping obat Aspirin +1
10. +1 0 0
dapat dikonfirmasi obat dapat ISDN 0
dikonfirmasi dengan bukti yang Clopidogrel 0
obyektif? Ramipril 0
Omeprazole 0
Fondaparinux 0
Furosemid 0
Penggunaan aspirin dapat memicu timbulnya mual karena kerja dari

aspirin yaitu dengan menghambat sistesis prostatglandin yang bersifat sistemik.

Prostatglandin memiliki efek sitoprotektor pada epitel gastrointestinal, akibatnya

jika sistesis prostatglandin dihambat maka akan terjadi penurunan produksi mukus

pada sel mukus leher mukosa gaster. Mukus akan menghambat difusi balik asam

ke dalam epitel. Kerusakan lapisan mukus mempermudah terjadinya lesi mukosa

(Laine, 2008).
BAB IV

PENANGANAN EFEK SAMPING OBAT

Terapi Non Farmakologi

1. Istirahat

Penyembuhan akan lebih cepat dengan bertambahnya jam istirahat

sehingga refluks empedu berkurang dan stres juga berkurang. Peningkatan

rasa mual dapat dipicu juga oleh banyaknya gerakan yang dilakukan oleh

pasien.

2. Diet

Pasien dengan tukak peptik dapat melakukan diet makanan yang

mengandung asam dan pedas. Hal ini dapat menimbulkan peningkatan

asam lambung sehingga reaksi mual terjadi. Makanan yang lunak juga

dianjurkan, kerja usus dalam mencerna makanan lebih sedikit sehingga

lambung dapat memperbaiki pH yang terlalu asam tersebut.

3. Pantang Merokok

Merokok mengahalangi penyembuhan tukak gaster kronik, menghambat

sekresi bikarbonat pankreas, menambah keasaman bulbus duodenum,

menambah refluks duogenogastrik akibat relaksasi sfingter pilorus

sekaligus meningkatkan kekambuhan tukak.

Terapi Farmakologi

Pengguna NSAID jangka panjang seperti pada pasien pada kasus yang

menggunakan aspirin sebagai antiplatelet, memiliki 2% sampai 4% risiko

berkembangnya ulcer simtomatik, pendarahan gastrointestinal atau bahkan

perforasi. Jika NSAID dihentikan maka pengobatan diberikan standar regimen H2


reseptor antagonis, PPI, atau sukralfat. PPI merupakan pilihan yang tepat untuk

penggunaan NSAID daripada H2 reseptor antagonis atau sukralfat, karena selain

dapat menekan produksi asam, PPI juga mempunyai efek mencegah kekambuhan

ulcer.

Tabel 2. Regimen Terapi Obat Untuk Penyembuhan Tukak Peptik


(Berardy dan Lynda, 2005)

Obat Mengobati tukak lambung Terapi pemeliharaan


dan duodenum (mg/dosis) tukak lambung dan
duodenum (mg/dosis)
PPI
Omeprazole 20-40 mg/hari 20-40 mg/hari
Lansoprazole 15-30 mg/hari 15-30 mg/hari
Rabeprazole 20 mg/hari 20 mg/hari
Pantoprazole 40 mg/hari 40 mg/hari
Esomeprazole 20-40 mg/hari 20-40 mg/hari
H2 Blocker
Simetidin 300 mg (4 kali sehari) 400-800 mg/hari
400 mg (2 kali sehari)
800 mg (1 kali sehari)
Famotidin 20 mg (2 kali sehari) 20-40 mg/hari
40 mg(1 kali sehari)
Nizatidin 150 mg (2 kali sehari) 150-300 mg/hari
300 mg (1 kali sehari)
Ranitidin 150 mg (2 kali sehari) 150-300 mg/hari
300 mg (1 kali sehari)
Sukralfat 1000 mg (4 kali sehari) 1000 mg (4 kali sehari)

PPI bekerja dengan menghambat kerja enzim KH ATPase yang akan

memecah KH ATP akan menghasilkan energi yang digunakan untuk

mengeluarkan asam dari kanal serta pariental ke dalam lumen lambung (Tarigan,

2001). Inhibitor pompa proton memiliki efek yang sangat besar terhadap produksi

asam. Omeprazole juga secara selektif menghambat karbonat anhidrase mukosa

lambung, yang kemungkinan turut berkontribusi terhadap sifat suspensi asamnya

(Pasricha dan Hoogerwefh, 2008).


BAB V

KESIMPULAN

1. Penggunaan aspirin dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan

efek samping berupa gangguan intenstinal.

2. Penanganan efek samping tukak peptik dapat dengan cara memberikan

omeprazole dengan dosis 20 mg perhari.

3. Analisis efek samping obat dapat menggunakan algoritma.

4. Pelaporan efek samping menggunakan formulir kuning yang telah dibuat

oleh BPOM dan dikirimkan kepada Pusat Farmakovigilans/MESO Jakarta.


DAFTAR PUSTAKA

Anatomy Wrap. 2016, Inner body, diakses pada 29 September 2019,


<http://anatomywrap.com/anatomy-of-the-human-heart/>.

Alwi, I. 2009, Infark miokard akut dengan elevasi ST. Dalam: Sudoyo A.W., et
al, (ed). Buku ajar ilmu penyakit dalam, edisi ke-4, Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI Jakarta, Indonesia.

American Heart Association. 2012, Heart disease and stroke statistics 2012
updates, Circulation, 125(22): 1002.

Antman, E.M. & Braunwald, E. 2005, ST-segment elevation myocardial


infarction. Dalam Kasper, D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E.,
Hauser, S.L. & Jameson, J. L. (eds). Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 16th edition, (119 – 1450), McGraw-Hill, New York, USA.

Antman, E.M., Cohen, M., Bernink, P.J., McCabe, C.H., Horacek, T., Papuchis,
G., et al. 2000, The TIMI risk score for angina/non-ST elevation MI, J of
the American Medical Association, 284(7): 835 – 842.

Biaggioni, I. & Robertson, D. 2012, Adrenoceptor antagonist drugs , Dalam


Katzung, B. G., Masters, S. B., Trevor, A. J. (eds). Basic and clinical
pharmacology, 12th edition, Mc Graw Hill Lange Medical, San Fransisco,
USA.

Cannon, M.D., Kumar, A. & Christopher, P. 2009, Acute coronary syndromes :


diagnosis and management, The Mayo Foundation for Medical Education
and Research, 84(10): 917 – 938.

Depkes RI. 2009, Profil kesehatan Indonesia 2008, diakses pada 15 Januari 2018,
<http://depkes.go.id/folder/view/01/structure-publikasi-pusdatin-profil-
kesehatan.html>.

Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Martzke, G.R., Wells, B.G., Posey, M., et
al. 2012, Pharmacotherapy a pathophysiologic approach, 8th edition (241 –
269), McGraw – Hill Companies, New York, USA.

Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. 2006, Pharmaceutical care untuk
pasien penyakit jantung koroner: Fokus sindrom koroner akut, Ditjen Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan, Jakarta,
Indonesia.

Fuster, V.R., Alexander, R.W., O’ Rourke, R.A., Roberts, R., Nash, I.S.,
Prystowsky, E.N., et al. 2004, Hurt’s the heart, 11th edition, McGraw – Hill
Companies, New York, USA.
Gunawan, G.S. 2008, Farmakologi dan terapi, Balai Penerbit FK UI, Jakarta,
Indonesia.

Guyton, A.C. & Hall, J.E. 2006, Textbook of medical physiology, 11th edition,
Elsevier Saunders, Philadelphia, USA.

James, P.A., Oparil, S., Carter, B.L., Chusman, W.C., Pharm, D., Himmelfarb,
C.D., et al. 2013, Evidence based guideline for the management of high
blood pressure in adults report from the panel members appointed to the
eight joint national comitee (JNC-8), JAMA, 311(5): 507 – 520.

Laine, J., Ahola, S., Turon, X. & Rojas, O.J. 2008, Enzymatic hydrolysis of native
cellulose nanofibrils and other cellulose model films: Effect of surface
structure, Langmuir, 15: 303 – 314.

Lee, D. & Bergman, U. 2012, Studies of drug utilization, John Willey and Sons
Ltd., New York, USA.

Libby, P. & Theroux, P. 2005, Patophysiology of coronary artery disease,


circulation, 111(25): 3481 – 3488.

Martini, F.H., Timmons, M.J. & Tallitsch, R.B. 2012, Human anatomy, Person
Benjamin Cummings, San Fransisco, USA.

Medmovie. 2017, Atherosclerosis, diakses pada 31 Maret 2017,


<http://medmovie.com/library_id/3255/topic/ahaw_0070a/>.

Medscape. 2018, Meloxicam interactions, diakses pada 8 Maret 2018,


<http://medscape.com>.

Muttaqin, A. 2012, Asuhan keperawatan klien dengan sistem gangguan


kardiovaskuler, Salemba Medika, Jakarta, Indonesia.

Opie, L.H. & Gersh B.J. 2005, β-blocking agents: Drugs for the Heart, 6th edition,
Elsevier Saunders, Philadelphia, USA.

PERKI. 2015, Pedoman tatalaksana sindrom koroner akut, Central


Communication, Jakarta, Indonesia.

PIONAS. 2014, Informatorium obat nasional Indonesia, diakses pada 6 Pebruari


2017, <http://pionas.pom.go.id/ioni>.

Poole, W.P.A., Dickenstein, K., Coben, S.A., Filippatos, G., McMurray, J.J.,
Ponikowski, P., et al. 2005, ESC guidelines for the diagnosis and treatment
of acute and chronic heart failure, Eur Heart J, 10(10): 89-90.
Puymirat, E., Aissaoui N., Chaib, A., Mulak, G., Bataille, V., Drouet, E., et al.
2013. Comparisson of bleeding complications and one-year survival of low
molecular weight heparin versus unfractioned heparin for acute myocardinal
infarction in elderly patients, International J of Cardiology, 166(1): 106-
110.

RISKESDAS. 2007, Laporan nasional 2007, Balai Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta, Indonesia.

Riulanto L.I. 2011, Buku penyakit kardiovaskuler (PKV), Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia.

Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M. & Setiati, S. 2010, Buku
ajar ilmu penyakit dalam jilid II, 5th edition, Interna Publishing, Jakarta,
Indonesia.

Sulastomo, H. 2010, Sindroma koroner akut dengan gangguan metabolik pada


wanita usia muda pengguna kontrasepsi hormona, Departement of
Cardiology UI, Jakarta, Indonesia.

Talbert, R.L. 2005, Pharmacotherapy A pathophysiologyc approach, 7th edition,


McGraw-Hill Companies, New York, USA.

Thygesen, K., Alpert, J.S., White, H.D., Jaffe, A.S., Chaitman, B.R., Simoons,
M.L., et al. 2012, Universal definition of myocardial infraction, European
Heart J, 33(20): 67 – 2551.

Tortora, G.J. & Derrickson, B. 2012, Principles of anatomy & physiology, 13th
edition, John Wiley & Sons Inc., New York, USA.

WHO. 2003, Introducing to drug utilization research, World Heart Organization,


Geneva, Switzerland.

WHO. 2008, The top ten cause of death, diakses pada tanggal 16 Agustus 2017,
<http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs310_2008.pdf>.

Anda mungkin juga menyukai