Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Di era sekarang banyak petani dalam melakukan pengendalian hama


menggunakan pestisida dari bahan kimia yang bertujuan agar hama bisa secara cepat
musnah,namun hal ini menimbulkan pencemaran lingkungan yang tanpa disadari oleh
petani,yaitu mengakibatkan residu yang dapat membahayakan lingkungan dan juga
manusia itu sendiri, Catatan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) mencatat bahwa di
seluruh dunia setiap tahunnya terjadi keracunan pestisida antara 44.000 - 2.000.000
orang dan dari angka tersebut yang terbanyak terjadi di negara berkembang. Dampak
negatif dari penggunaan pestisida diantaranya adalah meningkatnya daya tahan hama
terhadap pestisida, membengkaknya biaya perawatan akibat tingginya harga pestisida
dan penggunaan yang salah dapat mengakibatkan racun bagi lingkungan, manusia serta
ternak (Kusnaedi, 1999).

Pada dasarnya pengendalian hama merupakan setiap usaha atau tindakan manusia
baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mengusir, menghindari dan
membunuh spesies hama agar populasinya tidak mencapai aras yang secara ekonomi
merugikan. Pengendalian hama tidak dimaksudkan untuk meenghilangkan spesies hama
sampai tuntas, melainkan hanya menekan populasinya sampai pada aras tertentu ynag
secara ekonomi tidak merugikan. Oleh karena itu, taktik pengendalian apapun yang
diterapkan dalam pengendalian hama haruslah tetap dapat dipertanggungjawabkan secara
ekonomi dan secara ekologi.

Pengendalian hayati sebagai komponen utama Pengendalian Hama Terpadu pada


dasarnya adalah pemanfaatan dan penggunaan musuh alami untuk mengendalikan
populasi hama yang merugikan. Pengendalian hayati sangat dilatarbelakangi oleh
berbagai pengetahuan dasar ekologi terutama teori tentang pengaturan populasi oleh
pengendali alami dan keseimbangan ekosistem. Musuh alami yang terdiri atas parasitoid,
predator dan patogen merupakan pengendali alami utama hama yang bekerja secara
“terkait kepadatan populasi” sehingga tidak dapat dilepaskan dari kehidupan dan
perkembangbiakan hama. Adanya populasi hama yang meningkat sehingga
mengakibatkan kerugian ekonomi bagi petani disebabkan karena keadaan lingkungan
yang kurang memberi kesempatan bagi musuh alami untuk menjalankan fungsi
alaminya.

Pemahaman Tentang PHT Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan


teknologi, PHT tidak lagi dipandang sebagai teknologi, tetapi telah menjadi suatu konsep
dalam penyelesaian masalah lapangan. Tujuan dari PHT teknologi adalah untuk
membatasi penggunaan insektisida sintetis dengan memperkenalkan konsep ambang
ekonomi sebagai dasar penetapan pengendalian hama (Sulistiani, 2008).
B. Rumusan Masalah

1. Bagaiman konsep pengendalian hayati?

2. Bagaiman konsep pengendalian hama terpadu?

3. Bagaimana implementasi pengendalian hama terpadu dilingkungan masyarakat?

C. Tujuan

1. Mengetahui konsep pengendalian hayati

2. Mengetahui konsep pengendalian hama terpadu

3. Mengetahui implementasi pengendalian hama terpadu dilingkungan masyarakat


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengendalian Hayati

Secara umum pengertian pengendalian hama secara biologi/hayati adalah penggunaan


makhluk hidup untuk membatasi populasi organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Makhluk
hidup dalam kelompok ini diistilahkan juga sebagai organisme yang berguna yang dikenal
juga sebagai musuh alami, seperti predator, parasitoid, patogen.

Pengendalian hayati sangat dilatarbelakangi oleh berbagai pengetahuan dasar ekologi,


terutama teori tentang pengaturan populasi oleh pengendali alami dan keseimbangan
ekosistem. Pengendalian hayati merupakan komponen yang penting dari program
pengendalian hama terpadu (PHT)

 Konsep Pengendalian Hayati

Mengenai konsep dasar sendiri, ada tiga pendekatan dalam pengendalian hayati
adalah importasi atau yang disebut pula dengan sebutan pengendalian hayati klasik,
augmentasi, dan konservasi.

1. Pendekatan importasi
Melibatkan introduksi musuh alami (pemangsa, parasitoid, dan patogen)
eksotik, dan umumnya digunakan untuk melawan hama eksotik pula. Pendekatannya
didasarkan pada pemahaman bahwa makhluk hidup yang tidak disertai dengan musuh
alami asli akan lebih bugar (fit) dan akan lebih melimpah dan lebih mampu bersaing
daripada yang menjadi subjek pengendalian alami. Untuk mengendalikannya perlu
dicarikan musuh alami yang efektif di tempat asalnya.
Introduksi (mendatangkan/mengimpor) musuh-musuh alami dari luar
negeri/daerah lain untuk dilepaskan didaerah baru. Introduksi dapat ditempuh apabila
hama yang menyerang suatu tanaman pada umumnya menimbulkan eksplosi dan
diketahui hama tersebut bukan merupakan hama asli daerah tersebut. Contohnya :
import predator Curinus coerulens dari Hawai untuk mengendalikan kutu loncat
lamtoro.
2. Praktek augmentasi
Didasarkan pada pengetahuan atau asumsi bahwa pada beberapa situasi
jumlah individu atau jenis musuh alami tidak cukup memadai untuk mengendalikan
hama secara optimal. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efektivitas pengendalian
hama, jumlah musuh alami perlu ditambah melalui pelepasan secara periodik. Ada
dua pendekatan augmentasi, yaitu inokulasi sejumlah kecil musuh alami dan inundasi
(membanjiri) dengan jumlah yang besar, tergantung pada tujuannya.
Inokulasi, yaitu pelepasan musuh alami dalam jumlah relatif sedikit dengan
harapan pada generasi selanjutnya akan menekan populasi hama dan musuh alami
tersebut relatif menetap lebih lama. Sedangkan inundasi, yaitu pelepasan musuh alami
dalam jumlah besar (hasil pembiakan missal di laboratorium) dengan tujuan secara
cepat menekan populasi hama, sehingga populasi hama dapat analog dengan aplikasi
insektisida biologis. Karena inundasi lebih bersifat sesaat, maka pada satu musim
tanam sering kali perlu dilakukan beberapa kali pelepasan. Selain itu, pengendalian
secara augmentasi (khususnya inundasi) dapat dilakukan apabila terjadi masalah hama
dengan kriteria sebagai berikut :
 Terdapat musuh alami yang berpotensi menekan hama tetapi tidak efektif, karena
kondisi lingkungan tidak mendukung.
 Hama tidak mudah dikendalikan atau terlalu mahal apabila dikendalikan dengan
metode lain.
 Metode lain tidak dikehendaki karena beberapa alasan seperti residu pestisida,
resistensi hama atau akan timbulnya hama sekunder.
 Hanya satu atau dua jenis hama yang selalu menimbulkan kerugian dan
memerlukan pengendalian.

B. Pengendalian Hama Terpadu

Konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Perlindungan tanaman merupakan bagian


dari sistem budidaya tanaman yang bertujuan untuk membatasi kehilangan hasil akibat
serangan OPT menjadi seminimal mungkin, sehingga diperoleh kwalitas dan kwantitas
produksi yang baik. Sejak Pelita III pemerintah telah menetapkan sistem PHT sebagai
kebijakan dasar bagi setiap program perlindungan tanaman. Dasar hukum PHT tertera pada
GBHN II dan GBHN IV serta Inpres 3/1986 yang kemudian lebih dimantapkan melalui UU
No.12/1992 tentang sistem Budidaya Tanaman. Konsep PHT muncul dan berkembang
sebagai koreksi terhadap kebijakan pengendalian hama secara konvensional, yang sangat
utama dalam manggunakan pestisida. Kebijakan ini mengakibatkan penggunaan pestisida
oleh petani yang tidak tepat dan berlebihan, dengan cara ini dapat meningkatkan biaya
produksi dan mengakibatkan dampak samping yang merugikan terhadap lingkungan dan
kesehatan petani itu sendiri maupun masyarakat secara luas (Kusnaedi, 1999).

Secara ekonomi kebijakan pemerintah sebelum tahun 1989 memberikan subsidi yang
besar untuk Pestisida sebesar antara 100 – 150 juta US$ atau sekitar 150 milyar rupiah
pertahun, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan
kembali efisiensi dan efektifitas pengendalian serta untuk membatasi pencemaran lingkungan
maka kebijakan dan pengendalian secara konvensional harus dirubah menjadi pengendalian
berdasarkan konsep dan prinsip PHT. Kemudian secara bertahap subsidi pestisida di cabut,
dan baru tahun 1989 subsidi tersebut sepenuhnya dicabut, metoda yang cukup baik dan
mudah dilaksanakan melalui pola Sekolah Lapang PHT ( SLPHT) dengan menganut pola
pendidikan orang dewasa yaitu belajar dari pengalaman sendiri langsung di lapang
(Kusnaedi, 1999).

Bahwa pengendalian hama terpadu (PHT) adalah sebuah pendekatan baru untuk
melindungi tanaman dalam kontek sebuah sistem produksi tanaman. Definisi PHT (Brader,
1979) sistem pengendalian hama yang dapat dibenarkan secara ekonomi dan berkelanjutan
yang meliputi berbagai pengendalian yang kompatibel dengan tujuan memaksimalkan
produktivitas tetapi dengan dampak negatif terhadap lingkungan sekecil-kecilnya Disbun
Propinsi NTB (2002) menginformasikan, bahwa petani dianjurkan untuk tidak melakukan
pengendalian apabila intensitas serangan OPT masih dibawah 5 persen, menggunakan
pestisida nabati apabila intensitas serangan antara 5-20 persen, dan diperbolehkan
menggunakan pestisida kimia apabila serangan sudah diatas 20 persen. Sebagian besar petani
berpendapat bahwa akan memutuskan penyemprotan pestisida kimia apabila serangan HPT
sudah di atas ambang ekonomi (menurut persi petani), yaitu petani alumni (100%) dan non–
alumni (99,3%), sedangkan yang lainnya (6,7%) akan menyemprot begitu melihat ada gejala
serangan. Setelah SL-PHT, petani hanya menggunakan pestisida nabati (pesnab), tidak
ditemukan petani yang menggunakan pestisida kimia karena disamping keadaan intensitas
serangan HPT termasuk ringan juga harga pestisida yang mahal turut menghambat petani
untuk menggunakan (Kartasapoetra, 1991).

Ciri dan sifat dasar PHT yang membedakan dengan pengendalian konvensional
adalah (Kartasapoetra, 1991):

a. Tujuan utama PHT bukanlah pemusnahan, tetapi dikendalikan agar populasi hama
tetap berada di bawah satu tingkatan aras yang dapat mengakibatkan kerusakan atau
kerugian ekonomi. Strategi PHT bukanlah eradikasi hama tetapi pembatasan, sebab
dalam keadaan tertentu ada kemungkinan bahwa adanya individu serangga atau
binatang dapat berguna bagi manusia.
b. Dalam melaksanakan suatu pengendalian tidak mengenal satu cara pengendalian
tertentu, seperti penggunaan pestisida saja tetapi semua teknik pengendalian
dikombinasikan secara terpadu dalam suatu kesatuan pengelolaan.
c. Dalam mencapai sasaran utama PHT yaitu mempertahankan populasi hama di bawah
kerusakan ekonomi, dengan produktivitas yang tinggi, maka perlu dipertimbangkan
beberapa kendala yaitu :
 Kendala sosial ekonomi yang berarti bahwa pelaksanaan PHT harus dapat
didukung oleh kelayakan sosial ekonomi masyarakat setempat.
 Kendala ekologi yang berarti bahwa dalam penerapan PHT secara ekologi dapat
dipertanggung jawabkan dan tidak menimbulkan kegoncangan maupun kerusakan
lingkungan
 Prinsip dan Strategi Penerapan PHT

PHT merupakan suatu cara pendekatan atau cara berpikir tentang pengendalian OPT
yang didasarkan pada dasar pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka
pengelolaan agro-ekosistem yang berwawasan lingkungan yang berkelanjutan. Sasaran
teknologi PHT adalah : 1) produksi pertanian mantap tinggi, 2) Penghasilan dan
kesejahteraan petani meningkat, 3) Populasi OPT dan kerusakan tanaman tetap pada aras
secara ekonomi tidak merugikan dan 4) Pengurangan resiko pencemaran Lingkungan akibat
penggunaan pestisida yang berlebihan. Tiga komponen komponen dasar yang harus dibina,
yaitu : Petani, Komoditi dasil pertanian dan wilayah pengembangan dimana kegiatan
pertanian berlangsung, disamping pembinaan terhadap petani diarahkan sehingga
menghasilkan peningkatan produksi serta pendapatan petani, pengembangan komoditi hasil
pertanian benar-benar berfungsi sebagai sektor yang menghasilkan bahan pangan, bahan
ekspor dan bahan baku industri, sedangkan pembinaan terhadap wilayah pertanian ditujukan
agar dapat menunjang pembangunan wilayah seutuhnya dan tidak terjadi ketimpangan antar
wilayah ( Kusnadi, 1999).

PHT memiliki beberapa prinsip yang khas, yaitu; (1) sasaran PHT bukan
eradikasi/pemusnahan hama tetapi pembatasan atau pengendalian populasi hama sehingga
tidak merugikan, (2) PHT merupakan pendekatan holostik maka penerapannya harus
mengikutsertakan berbagai disiplin ilmu dan sektor pembangunan sehingga diperoleh
rekomendasi yang optimal, (3) PHT selalu mempertimbangkan dinamika ekosistem dan
variasi keadaan sosial masyarakat maka rekomendasi PHT untuk pengendalian hama tertentu
juga akan sangat bervariasi dan lentur, (4) PHT lebih mendahulukan proses pengendalian
yang berjalan secara alami (non-pestisida), yaitu teknik bercocok tanam dan pemanfaatan
musuh alami seperti parasit, predator, dan patogen hama. Penggunaan pestisida harus
dilakukan secara bijaksana dan hanya dilakukan apabila pengendalian lainnya masih tidak
mampu menurunkan populasi hama, dan (5) program pemantauan/pengamatan biologis dan
lingkugan sangat mutlak dalam PHT karena melalui pemantauan petani dapat mengetahui
keadaan agro-ekosistem kebun pada suatu saat dan tempat tertentu, selanjutnya melalui
analisis agro-ekosistem (AAES) dapat diputuskan tindakan yang tepat dalam mengelola
kebunnya. Dengan bekal materi pelatihan, petani belajar melaksanakan pengambilan
keputusan dalam pengelolaan kebun, terutama pengendalian hama penyakit tanaman
(Kusnadi, 1999).

Ada 4 prinsip manejemen yang mendasari PHT yang bersifat luwes, dapat dimana
saja disesuaikan dengan daerah dan lahan setempat. Keempat prinsip tersebut adalah (
Kusnadi, 1999):

1. Budidaya Tanaman Sehat

Tanaman yang sehat mempunyai ketahanan ekologi yang tinggi terhadap gangguan hama.

a. Pemilihan bibit yang sehat dan varitas tahan hama, yang cocok dengan kondisi
setempat.
b. Pengairan cukup dan pemupukan yang berimbang.
c. Penyiangan gulma secara teratur.

2. Melestarikan Musuh Alami

Musuh alami (predator, parasitoid, dan patogen serangga) merupakan faktor


penting pengendali hama yang perlu dilestarikan dan dikelola agar mampu berperan
secara maksimum dalam pengaturan populasi hama di lapangan.

a. Temukan, kenali dan amati musuh-musuh alami (tanaman inang) di lahan sawah.
b. Peliharalah keseimbangan lingkungan lahan sawah agar populasi musuh alami dapat
berkembang. Jangan gunakan pestisida yang membunuh musuh alami.
3. Pengamatan Mingguan

Pengamatan atau pemantauan ekosistem pertanaman yang intensif secara rutin


oleh petani merupakan dasar analisis ekosistem untuk pengambilan keputusan dan
melakukan tindakan yang diperlukan.

4. Petani Menjadi Ahli PHT

Petani bertanggung jawab terhadap lahan dan manejemen sendiri. Petani sebagai
pengambil keputusan dan keterampilan dalam menganalisis ekosistem serta mampu
menetapkan keputusan pengendalian hama secara tepat sesuai dengan konsep PHT

 Tujuan dan Usaha Pengendalian Hama Terpadu (PHT)

Tujuan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) adalah (Abidin, 2004):

a. Menjamin kemantapan swasembada pangan.


b. Menumbuhkan Kreativitas, dinamika dan kepemimpinan petani
c. Terselenggaranya dukungan yang kuat atas upaya para petani dalam menyebar luaskan
penerapan PHT sehingga dapat tercipta pemabngunan pertanian yang berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan.

Usaha pokok Pengendalian Hama Terpadu (PHT) (Abidin, 2004):

a. Mengembangkan sumber daya manusia antara lain menyelenggarakan pendidikan


formal dan non formal bagi petani dengan pola Sekolah Lapangan PHT, dan pelatihan
bagi petugas terkait yakni Pengamat Hama dan Penyakit (PHP), Penyuluh Pertanian
dan Instansi terkait lainya.
b. Mengadakan studi-studi lapangan dan penelitian yang memberikan dukungan atas
strategi, pengembangan metode, dan penerapan PHT untuk tanaman padi dan palawija
lainya.
c. Memperkuat kebijaksanaan, pengaturan dan penyelenggaraan pengawasan terhadap
pengadaan, pembuatan, peredaran serta pemakaian pestisida yang berwawasan
lingkungan.
d. Memasyarakatkan pengembangan konsep PHT di Indonesia.

Taktik Pengendalian Hama Terpadu

Pengendalian Hama Terpadu (PHT) adalah suatu cara pendekatan atau cara berpikir
tentang pengendalian OPT yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efesiensi
ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan. PHT
merupakan perpaduan beberapa teknik pengendalian hama yang dalam penerapannya harus
memperhitungkan dampaknya baik secara ekologi, ekonomi maupun sosiologi sehingga
secara keseluruhan diperoleh hasil yang terbaik (Hidayat, 2001).

Falsafah pengendalian hama yang harus digunakan adalah Pengendalian hama


Terpadu (PHT) yang dalam implementasinya tidak hanya mengandalkan satu taktik
pengendalian saja. Taktik pengendalian yang akan diuraikan antara lain :
A. Pengendalian Mekanik

Pengendalian mekanik mencakup usaha untuk menghilangkan secara langsung


hama serangga yang menyerang tanaman. Pengendalian mekanis ini biasanya bersifat
manual. Mengambil hama yang sedang menyerang dengan tangan secara langsung atau
dengan melibatkan tenaga manusia telah banyak dilakukan oleh banyak negara pada
permulaan abad ini. Cara pengendalian hama ini sampai sekarang masih banyak
dilakukan di daerah-daerah yang upah tenaga kerjanya masih relatif murah.

Contoh pengendalian mekanis yang dilakukan di Australia adalah mengambil


ulat-ulat atau siput secara langsung yang sedang menyerang tanaman kubis.
Pengendalian mekanis juga telah lama dilakukan di Indonesia terutama terhadap ulat
pucuk daun tembakau oleh Helicoverpa sp. Untuk mengendalikan hama ini para petani
pada pagi hari turun ke sawah untuk mengambil dan mengumpulkan ulat-ulat yang
berada di pucuk tembakau. Ulat yang telah terkumpul itu kemudian dibakar atau
dimusnahkan.

B. Pengendalian Fisik

Pengendalian ini dilakukan dengan cara mengatur faktor-faktor fisik yang dapat
mempengaruhi perkembangan hama, sehingga memberi kondisi tertentu yang
menyebabkan hama sukar untuk hidup.Bahan-bahan simpanan sering diperlakukan
dengan pemanasan (pengeringan) atau pendinginan. Cara ini dimaksudkan untuk
membunuh atau menurunkan populasi hama sehingga dapat mencegah terjadinya
peledakan hama. Bahan-bahan tersebut biasanya disimpan di tempat yang kedap udara
sehingga serangga yang bearada di dalamnya dapat mati lemas oleh karena CO2 dan
nitrogen.

Pengolahan tanah dan pengairan dapat pula dimasukkan dalam pengendalian


fisik; karena cara-cara tersebut dapat menyebabkan kondisi tertentu yang tidak cocok
bagi pertumbuhan serangga. Untuk mengendalikan nematoda dapat dilakukan dengan
penggenangan karena tanah yang mengandung banyak air akan mendesak oksigen keluar
dari partikel tanah. Dengan hilangnya kandungan O2 dalam tanah, nematoda tidak dapat
hidup lebih lama.

C. Pengendalian Hayati

Pengendalian hayati adalah pengendalian hama dengan menggunakan jenis


organisme hidup lain (predator, parasitoid, pathogen) yang mampu menyerang hama. Di
suatu daerah hampir semua serangga dan tunggau mempunyai sejumlah musuh-musuh
alami. Tersedianya banyak makanan dan tidak adanya agen-agen pengendali alami akan
menyebabkan meningkatnya populasi hama. Populasi hama ini dapat pula meningkat
akibat penggunaan bahan-bahan kimia yang tidak tepat sehingga dapat membunuh
musuh-musuh alaminya. Sebagai contoh, meningkatnya populasi tunggau di Australia
diakibatkan meningkatnya penggunaan DDT.
D. Pengendalian Secara Kultur Teknik (Cultural Control)

Pada prinsipnya yang termasuk dalam pengendalian secara kultur teknik adalah
cara-cara pengendalian dengan memanfaatkan lingkungan untuk menekan perkembangan
populasi hama. Termasuk dalam cara ini adalah :

1. Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah setelah panen menyebabkan larva-larva hama yang hidup di
dalam tanah akan mati terkena alat-alat pengolahan. Di samping itu akibat lain dari
pengolahan tanah ini akan menaikkan larva dan telur dari dalam tanah ke permukaan
tanah. Dengan demikian larva-larva yang terdapat permukaan tanah akan
memberikan kesempatan pada burung untuk memangsanya. Sedangkan telur-telurnya
yang terdapat pada permukaan tanah terkean sinar matahari secara langsung sehinga
keadaan T dan H berbeda dengan keadaan semula dan mengakibatkan telur tidak
menetas.
2. Sanitasi
Dengan membersihkan tempat-tempat yang kemungkinan dignakan oleh
serangga untuk berbiak, berlindung, menyembunyikan diri atau berdiapause, maka
perkembangan serangga hama dapat dicegah, walang sangit akan lebih cepat berbiak
bila sanitasi lingkungannya kurang baik.
3. Pemupukan
Penggunaan pupuk, menjadikan tanaman sehat dan lebih mudah mentolrir
serangga hama. Pemupukan pada tanaman padi mengakibatkan tanaman lebih cepat
membentuk anakan sehingga adanya serangga hama sundep dapat ditolerir oleh
tumbuhnya anakan.
Contoh, Uret pada ketela pohon menyerang akar, dengan pemupukan akar
akan segera terbentuk kembali.Agromiza sp menyerang batang kedelai, dengan
pemupukan yangh baik maka akan mempercepat pertumbuhasn tunas-tunas cabang.
4. Irigasi
Pengelolaan air dapat menghambat perkembangan hama tertentu. Akan tetapi
bila cara pengelolaan air kurang tepat dapat menyebabkan meningkatnya
perkembangan populasi hama. Penggenangan pada sawah-sawah setelah panen
selama kurang lebih 5 hari merupakan cara yang baik untuk memberentas larva
maupun pupa penggerek batang padi. Penggenangan pada areal bekas pertanaman
ketela pohon dapat membunuh uret.
5. Strip Farming
Yaitu bercocok tanam menurut jalur-alur memanjang. Bercocok tanaman
monokultur akanmemudahkan tanaman terserang hama. Serangan dari hama-hama
tertentu dapat diatasi dengan cara : Catch crop” yaitu bercocok tanam secara
berselang seling antara tanaman yang berumur panjang dengan tanaman yang
berumur pendek. Cara pengendalian seperti ini sering dilakukan bersama cara
pengendalian yang lain. Sebagai contoh yaitu pemberantasan walang sangit.
6. Rotasi Tanaman
Menanam tanaman yanmg berbeda-beda jenisnya dalam satu tahun dapat
memutus /meotong siklus atau daun hidup hama terutama hama-hama yang sifatnya
monofagus. Contoh : Hama Sundep. Hama ini menyukaitanaman padi, maka dengan
menanam tanaman palawija, setelah padi maka serangan hama ini akan berkurang.
7. Pengaturan waktu tanam.
Penggeseran waktu tanam dapat mengurangi serangan hama-hama
tertentu..Sebagai contoh hama sundep. Hama sundep pada musim kemarau
berdaiapause dalam tanah kemudian menjadi kupu dan bertelur. Kupu bertelur
setelah penerbangan pertama dan biasanya meletakkan telurnya pada tanaman
pembibitan yang berumur dua minggu. Penggeseran waktu tanam menyebabkan kupu
tidak dapat bertelur pada waktunya (pada saat akan bertelur tidak terdapat tanaman
yang berumur dua minggu).

E. Pengendalian Dengan Tanaman Tahan Hama

Menurut Painter yang dimaksud dengan tanaman tahan hama adalah tanaman yang
mempunyai turunan yang kualtas atau sifatnya menyebabkan tanaman mampu
menyembuhkan diri terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh serangan
hama.Keuntungan penggunaan varitas /tanaman tahan antara lain :

1. Sangat mudah dilakukan dengan biaya yang minimal


2. Tekniknya sederhana sehingga mudah dilakukan oleh petani
3. Persisten (sifat pengendaliannya tetap dalam jangka waktu yang lama)
4. Sifatnya spesifik (mengarah pada satu macam hama)
5. Komulatif, yaitu pengaruh sekarang dan berikutnya akan menurunkan populasi hama
6. Serasi terhadap lingkngan, artinya tidak menghasilkan residu terhadap lingkungan.
7. Compatibel dengan cara pengendalian lainnya

Kelemahannya :

1. Memerlukan tenaga dan waktu yang banyak untuk pengembangannya


2. Timbulnya biotipe yaitu strain baru yang biasa menyesuaikan diri pada tanaman yang
tadinya tidak disukai.
3. Keterbatasan dari sumber genetiknya
4. Sifat-sifat ketahanannya yang bertentangan, artinya tanaman unggul terhadap hama
tertentu tetapi peka terhadap hama lainnya.

Sifat-sifat ketahanan datangnya dari sifat morfologi, biokmia, biofisik atau perilau
dari hama. Untuk memperoleh tanaman tahan hama bukan merupakan suatu hal yang mudah
dan cepat, dibutuhkan pengetahuan yang luas mengenai morfologi, fisiologi, genetika
tanaman, perilaku serangga dan pengetahuan lainnya. Oleh karena banyak faktor probabiltas
yang berpengaruh terhadap program pemuliaan, maka untuk mendapatkan varitas baru yang
dijamin kelanggengan sifatnya, diperlukan waktu yang cukup lama 6-10 tahun..
Langkah pokok yang perlu dikerjakan dalam PHT adalah :

1. Mengidentifikasi dan analisa status hama yang harus dikelola apakah termasuk utama,
hama kedua, hama potensial, hama migran dan yang bukan hama.
2. Mempelajari saling tindak komponen dalam ekosistem yang berpengaruh terhadap hama
utama, termasuk inventarisasi beberapa musuh alami.
3. Penetapan dan pengembangan ambang ekonomi merupakan ketetapan tentang
pengambilan keputusan kapan harus menggunakan pestisida.
4. Pengembangan sistem pengamatan dan monitoring hama untuk mengetahui letak dan
keadaan suatu jenis hama pada suatu waktu dan tempat terhadap ambang ekonomi hama
tersebut.
5. Pengembangan model diskriptif dan peramalan hama menggunakan taktik ganda
pengendalian dalam suatu kesatuan sistem yang terkoordinasi serta mengusahakan agar
populasi atau kerusakan tetap berada di bawah aras toleransi manusia.
6. Penyuluhan pada petani agar menerima dan menerapkan PHT agar mempunyai
kemampuan untuk dapat mengamati dan mengambil keputusan pengendalian.
7. Pengembangan organsasi PHT mengharuskan adanya suatu organisasi yang efesien dan
efektif yang dapat bekerja secara tepat dalam menanggapi setiap perubahan yang terjadi
pada ekosistem.
 Kelebihan dan Kelemahan Pengendalian Hama Terpadu

a) Kelebihan

PHT mendukung praktek pertanian yang baik, peningkatan efisiensi terutama


diperoleh dari penekanan input produksi seperti benih, pupuk, dan pestisida.
Berkurangnya penggunaan pestisida dan meningkatnya pemakaian bahan organik
diharapkan dapat memperbaiki kondisi lahan dan menekan pencemaranlingkungan,
sehingga produk lebih aman dan kelangsungan proses produksi menjadi lebih terjamin
(Kartasapoetra, 1991).

b) Kekurangan

Bebarapa kekurangan penerapan pengendalian hama terpadu antara lain


(Kartasapoetra, 1991):

1. Proses difusi teknologi PHT masih berjalan lambat atau bahkan stagnasi. Disisi lain,
perubahan pengetahuan dan sikap petani dalam pengendalian hama penyakit sesuai
paket teknologi PHT juga masih rendah.
2. Rendahnya penyebaran teknologi antara lain dengan terbatasnya pembinaan
terutama pasca SLPHT. Kurangnya melibatkan aparat penyuluh pertanian,
menyebabkan ketergantungan terhadap para pemandu SLPHT sangat tinggi.
3. Sikap dan persepsi yang kuat terhadap penggunaan pestisida kimiawi sebagai cara
praktis dan ampuh dalam pengendalian hama penyakit. Kenyataan ini mempersulit
mengubah persepsi kearah penggunaan pestisida secara bijaksana dan dalam
pemasyarakatan penggunaan pestisida nabati.
4. Pengambilan keputusan terkait pengendalian hama penyakit atau keputusan dalam
hal budidaya cenderung bersifat individual, dan belum dilakukan secara kelompok
terutama pasca pelatihan. Kelompok tani belum berfungsi dalam pengambilan
keputusan pengendalian hama penyakit atau kegiatan budidaya lainnya.
5. Masih terbatasnya dukungan pemerintah daerah dalam membina petani dan
melanjutkan program SLPHT dengan sumberdaya dari daerah. Mengingat kegiatan
SLPHT dari pemerintah pusat sudah selesai.
6. Masih terbatasnya dukungan berbagai kelembagaan seperti pemasaran hasil, dan
permodalan dalam membantu petani untuk ebih meningkatkan kinerja usahataninya
 Studi kasus Penerapan Pengendalian Hama Terpadu

1. Penerapan Teknologi Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Pada Perkebunan Jambu Mete

Jambu mete (Anacardium moccidentale) merupakan komoditi perkebunan yang


mempunyai prospek baik untuk dikembangkan sebagai komoditi ekspor. Tahun 2000,
ekspor nasional jambu mete mencapai 27.617 ton atau sama dengan 31.502 US$
denganlaju pertumbuhan ekspor selama sepuluh tahun terakhir (tahun 1990-2000)
mencapai 47,8persen per tahun (Direktorat Jenderal Perkebunan Rakyat, 2002). Dalam
memasuki era perdagangan bebas, Indonesia sebagai negara produsen jambu mete, harus
melakukan langkah-langkah perbaikan untuk meningkatkan daya saingproduk. Upaya
perbaikan disamping aspek efisiensi produksi dan kualitas produk, juga diproduksi
secara ramah lingkungan. N. Hakim. (2003) menginformasikan, bahwa sebagian dari
konsumen kopi yang sekaligus pemerhati lingkungan akhir-akhir ini menganggap bahwa
beberapa negara produsen sudah tidak lagi memperhatikan tatanan lingkungan, hanya
mengeksploitasi lahan untuk tujuan memperoleh hasil yang sebesar-besarnya sehingga
menyebabkan erosi dan banjir di musim hujan, hilangnya populasi satwa (burung,
serangga, dan lainnya), serta rusaknya ekosistem mikro.

Melihat permasalahan tersebut, pemerintah cq Departemen Pertanian sejak tahun


1997 mengintroduksikan teknologi Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang ramah
lingkungan kepada petani perkebunan rakyat melalui Sekolah Lapang Pengendalian
Hama Terpadu (SL-PHT). Pelaksanaan SL-PHT mencakup enam komoditi utama yaitu
kopi, kakao, jambu mete, teh, kapas, serta lada, masing-masing dilaksanakan di satu
Propinsi sentra produksi. Pelatihan SL-PHT jambu mete dilaksanakan di Propinsi NTB
tahun 2001, sampai tahun 2002 sudah dihasilkan 800 petani SL-PHT tersebar di Lombok
Barat (65,6%), Lombok Timur (18,8%), dan Sumbawa (15,6%) .

Pada dasarnya materi pelatihan SL-PHT mencakup empat prinsip yang


dikembangkan, yaitu (a) petani mampu untuk mengusahakan budidaya tanaman sehat,
(b)memahami dan memanfaatan musuh alami, (c) melakukan pengamatan agro-
ekosistem kebun secara berkala, dan (d) petani mampu menjadi manager usahatani
(Untung, 1997). Petani sebagai manager berarti petani harus tahu dan mampu
memutuskan penerapan tiga prinsip SL-PHT sebelumnya dalam mengelola kebunnya
yaitu, mengusahakan budidaya tanaman sehat, memahami dan memanfaatan musuh
alami, dan melakukan pengamatan agro-ekosistem kebun secara berkala.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengendalian hayati dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menekan hama yang
terjadi dengan memanfaatkan makhluk hidup secara alami yang ada di alam.
2. PHT merupakan pengelolaan hama secara ekologis, teknologis, dan multidisiplindengan
memanfaatkan berbagai taktik pengendalian yang kompatibel dalam satu kesatuan
koordinasi sistem pengelolaan pertanian berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
3. Implementasi PHT memerlukan dukungan dari berbagai pihak, termasuk petani, peneliti,
pemerhati lingkungan, penentu kebijakan, dan bahkan politisi. Pendekatan pertanian
berkelanjutan untuk pengelolaan hama, yang meliputi kombinasi pengendalian hayati,
kultur teknis, dan pemakaian bahan kimia secara bijaksana, merupakan alat dalam
merintis pertanian ekonomis, pelestarian lingkungan, dan menekan risiko kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 2004. Pengendalian Hama dan Penyakit Utama Pada Tanaman Tembakau. BPTD.
Medan.

Hidayat, A. 2001. Metode Pengendalian Hama. Tim Program Keahlian Budidaya Tanaman.
Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. Jakarta

Kartasapoetra, 1991. Hama Hasil Tanaman Dalam Gudang. Rineka Cipta. Jakarta.

Kusnaedi, 1999. Pengendalian Hama tanpa Pestisida. Jakarta. Penebar Swadaya.

Sulistiani, Rini. 2008. Kelebihan dan Kekurangan Beberapa Teknik Pengendalian Hama
Terpadu. USU press. Medan

Anda mungkin juga menyukai