BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keperawatan geriatrik adalah cabang keperawatan yang memperhatikan pencegahan,
diagnosis, dab terapi gangguan fisik dan psikologis pada lanjut usia dengan meningkatkan
umur panjang. Pelayanan atau asuhan keperawatan gangguan mental pada usia lanjut
memerlukan pengetahuan khusus karena kemungkinan perbedaan dalam manifestasi klinis,
patogenesis, dan patofisiologi gangguan mental antara dewasa muda dan lanjut usia. Faktor
penyulit pada pasien lanjut usia juga dipertimbangkan : faktor-faktor tersebut adalah sering
adanya penyakit dan kecacatan medis penyerta. Pemakaian banyak medikasi dan
meningkatkan kerentanan terhadap gangguan kognitif.
Program Epidemiological Catchment Area (ECA) dari national institute of mental healt
telah menemukan bahwa gangguan mental yang sering pada lanjut usia adalah gangguan
depresif, gangguan kogniitif, fobia, dan gangguan pemakaian alkohol. Lajut usia juga
memiliki resiko tinggi untuk bunuh diri dan gejala psikiatri akibat obat. Banyak gangguan
mental pada usia lanjut dapat dicegah, dihilangkan, atau bahkan dipulihkan. Sejumlah faktor
resiko psikososial juga mendisposisikan lanjut usia kepada gangguan mental. Faktor resiko
tersebut adalah hilangnya peranan sosial, hilangnya otonomi, kematian teman, atau sanak
saudara. Penurunan kesehatan, peningkatan isolasi, keterbatasan finansial dan penurunan
fungsi kognitif.
Saat ini sudah dapat diperkirakan bahwa 4 juta lansia di Amerika mengalami gangguan
kejiwaan seperti demensia psikosis, penggunaan alkohol kronik atau kondisi lainnya. Hal ini
menyebabkan perawat dan tenaga profesional yang lain memiliki tanggung jawab yang lebih
untuk merawat lansia dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti status fisiologi dan psikologi,
kepribadian, sosial suport, sosial ekonomi dan pola hidup.
B. Etiologi
1. Keturunan
Telah dibuktikan dengan penelitian bahwa angka kesakitan bagi saudara tiri 0,9-1,8%, bagi
saudara kandung 7-15%, bagi anak dengan salah satu orang tua yang menderita Skizofrenia
40-68%, kembar 2 telur 2-15 % dan kembar satu telur 61-86%.
2. Endokrin
Teori ini dikemukakan berhubung dengan sering timbulnya skizofrenia pada waktu pubertas,
waktu kehamilan atau puerperium dan waktu klimakterium, tetapi teori ini tidak dapat
dibuktikan.
3. Metabolisme
Teori ini didasarkan karena penderita skizofrenia tampak pucat, tidak sehat, ujung extremitas
agak sianosis, nafsu makan berkurang dan berat badan menurun serta pada penderita dengan
stupor katatonik konsumsi zat asam menurun. Hipotesa ini masih dalam pembuktian dengan
pemberian obat halusinogenik
4. Susunan saraf pusat
Penyebab skizofrenia diarahkan pada kelainan SSP yaitu pada diansefalon atau kortek otak,
tetapi kelainan patologis yang ditemukan mungkin disebabkan oleh perubahan postmortem
atau merupakan artefakt pada waktu membuat sediaan.
5. Teori Adolf Meyer
Skizofrenia tidak disebabkan oleh penyakit badaniah sebab hingga sekarang tidak dapat
ditemukan kelainan patologis anatomis atau fisiologis yang khas pada SSP tetapi Meyer
mengakui bahwa suatu konstitusi yang inferior atau penyakit badaniah dapat mempengaruhi
timbulnya skizofrenia. Menurut Meyer Skizofrenia Merupakan suatu yang salah, suatu
maladptasi, sehingga timbul disorganisasi kepribadian dan lama-kelamaan orang tersebut
menjauhkan diri dari kenyataan (otisme).
6. Teori sigmund freud
Sekizofrenia terdapat (I) kelemahan ego, yang dapat timbul karena penyebab psikogenik atau
somatik. (II) superego dikesapingkan sehingga tidak bertenaga lagi dan ide yang berkuasa
serta menjadi suatu regresi ke fase nersisisme dan (III) kehilangan kapasitas untuk
pemindahan (transference) sehingga terapi psikoanalitik tidak mungkin.
7. Eugen bleuler
Penggunaan istilah skizofrenia menonjolkan gejala utam penyakit ini yaitu jiwa yang
terpecah belah, adanya keretakan atau diharmonis antara proses berpikir, perasaan dan
perbuatan. Bleuler membagi gejala skizofrenia menjadi 2 kelompok yaitu gejala primer
(gangguan proses pikiran, gangguan emosi, gangguan kemauan dan autisme) gejala skunder
(waham, halusianasi dan gejala katatonik atau gangguan atau gangguan psikomotorik yang
lain.
Pembagian Skizofrenia
Kraepelin membagi skizofrenia dalam beberapa jenis berdasarkan gejala utam antara lain :
1. Skizofrenia simplek
Sering timbul pertama kali pada usia pubertas, gejala utam berupa kedangkalan emosi dan
kemunduran kemauan. Gangguan proses berpikir sukar ditemukan, waham dan halusinasi
jarang didapat, jenis ini timbulnya perlahan-lahan.
2. Skizofrenia Hebefrenia
Permulaannya perlahan-lahan atau subakut dan sering timbul pada masa remaja atau antara
15-25 tahun. Gejala yang mencolok ialah gangguan proses berpikir, gangguan kemauan dan
adanya depersenalisasi atau double personality. Gangguan psikomotor seperti manerisem,
neologisme atau perilaku kekanak-kanakan sering terdapat, waham dan halusinasi banyak
sekali.
3. Skizofrenia Katatoni
Timbulnya pertama kali umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta sering didahului oleh stres
emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah katatonik atau stupor katatonik.
4. Skizofrenia Paranoid
Gejala yang mencolok ialah waham primer disertai dengan waham skunder dan halusinasi.
Dengan pemeriksaan yang teliti ternyata adanya gangguan proses berpikir, gangguan apek
emosi dan kemamauan.
5. Episode Skizofrenia Akut
Gejala skizofrenia timbul mendadak sekali dan pasien seperti dala keadaan mimpi. Kesadaran
mungkin berkabut. Dalam keadaan ini timbul perasaan seakan-akan dunia luar maupun
dirinya sendiri berubah, semuanya seakan-akan mempunyai suatu arti yang khusus baginya.
6. Skizofrenia Residual
Keadaan skizofrenia dengan gejala primernya bleuler, tetapi tidak jelas adanya gejala-gejala
skunder. Keadaan ini timbul sesuai beberapa kali serangan skizofrenia.
7. Skizofrenia Skizo Apektif
Disamping gejala skizofrenia terdapat menonjol secara bersamaan juga gejala-gejala depresi
(skizo depresif) atau gejala mania (psikomanik). Jenis ini cenderung untuk menjadi sembuh
tanpa depek, tetapi mungkin juga timbul serangan lagi.
C. Manifestasi Klinis
1. Gejala episode akut dari skizofrenia meliputi tidak bisa membedakan antara hayalan dan
kenyataan ; halusinasi (terutama mendengar suara-suara bisikan); ide-ide karena pengaruh
luar (tindakannya di kendalikan oleh pengaruh dari luar dirinya); proses berpikir yang tidak
berurutan (asosiasi longgar); ambiven (pemikiran yang saling bertentangan); datar tidak tepat
atau efek yang labil; autisme (menarik diri dari lingkungan sekitar dan hanya memikirkan
dirinya ); tidak mau bekerja sama; menyukai hal-hal yang dapat menimbulkan konflik pada
lingkungan sekitar dan melakukan serangan balik secara verbal maupun fisik kepada orang
lain; tidak merawat diri sendiri; dan gangguan tidur maupun nafsu makan.
2. Setelah terjadinya episode psikotik akut, biasanya penderita skizofrenia mempunyai
gejala-gejala sisa (cemas, curiga,motivasi menurun, kepedulian berkurang, tidak mampu
memutuskan sesuatu.
Menarik diri dari hubungan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, Sulit untuk belajar dari
pengalaman dan tidak bisa merawat diri sendiri)
D. Patofisiologi
E. Penatalaksanaan
1. Medis
Obat antipsikotik digunakan untuk mengatasi gejala psikotik (misalnya perubahan perilaku,
agitasi, agresif, sulit tidur, halusinasi, waham, proses piker kacau). Obat-obatan untuk pasien
skizophrenia yang umum diunakan adalah sebaga berikut :
a. Pengobatan pada fase akut
b. Dalam keadaan akut yang disertai agitasi dan hiperaktif diberikan injeksi:
1) Haloperidol 3x5 mg (tiap 8 jam) intra muscular.
2) lorpromazin 25-50 mg diberikan intra muscular setiap 6-8 jam sampai keadaan akut teratasi.
3) Kombinsi haloperidol 5 mg intra muscular kemudian diazepam 10 mg intra muscular
dengan interval waktu 1-2 menit.
c. Dalam keadaan agitasi dan hiperaktif diberikan tablet :
1) Haloperidol 2x1,5 – 2,5 mg per hari.
2) Klorpromazin 2x100 mg per hari
3) Triheksifenidil 2x2 mg per hari
4) Pengobaan fase kronis
d. Diberikan dalam bentuk tablet :
1) Haloperidol 2x0,5 – 1 mg perhari
2) Klorpromazin 1x50 mg sehari (malam)
3) Triheksifenidil 1-2x2 mg sehari
e. Tingkatkan perlahan-lahan, beri kesempatan obat untuk bekerja, disamping itu melakukan
tindakan perawatan dan pendidikan kesehatan.
f. Dosis maksimal
g. Haloperidol : 40 mg sehari (tablet) dan klorpromazin 600 mg sehari (tablet).
2. Efek dan efek samping terapi
a. Klorpromazine
Efek : mengurangi hiperaktif, agresif, agitasi
Efek samping : mulut kering, pandangan kabur, konstipasi, sedasi, hipotensi ortostatik.
b. Haloperidol
Efek : mengurangi halusinasi
Efek samping : mulut kering, pandangan kabur, konstipasi, sedasi, hipotensi ortostatik.
Tindakan keperawatan efek sampan obat
c. Klorpromazine
Mulut kering : berikan permen, es, minum air sedikit-sedikit dan membersihkan mulut secara
teratur.
d. Pandangan kabur : berikan bantuan untuk tugas yang membutuhkan ketajaman penglihatan.
e. Konstipasi : makan makanan tinggi serat
f. Sedasi : tidak menyetir atau mengoperasikan peralatan ang berbahaya.
g. Hipoensi ortostatik : perlahan-lahan bangkit dari posisi baring atau duduk.
F. Discharge Planning
1. Hindari kebiasaan menyendiri
2. Berusaha untuk menceritakan masalah yang ada dengan teman terdekat
3. Kenali gejala-gejala penyakit dan konsultasikan dengan dokter
4. Konsumsi makanan yang bergizi
5. Observasi secara ketat perilaku klien
6. Singkirkan semua benda berbahaya
7. Berikan obat
8. Menurunkan ketegangan
9. Periksa mulut penderita setelah minum obat
10. Alihkan jika halusinasi
11. Focus dan kuatkan realitas
G. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan psikologis
a. Pemeriksaan psikiatri
b. Pemeriksaan psikometri
2. Pemeriksaan penunjang
a. Darah rutin
b. Fungsi hepar
c. Faal ginjal
d. Enzim hepar
e. ECG
f. CT Scan
g. EEG
h. Multiaksial :
1) Aksis 1 : gangguan klinis
2) Aksis II : gangguan keperibadian khas dan Retardasi mental
3) Aksis III : kondisi medic umum
4) Aksis IV masalah psiksosial dan lingkungan
5) Aksis V : penilaian fungsi secara global
H. Komplikasi
Menurut Keliat (1996), dampak gangguan jiwa skizofrenia antara lain :
1. Aktifitas hidup sehari-hari
Klien tidak mampu melakukan fungsi dasar secara mandiri, misalnya kebersihan diri,
penampila dan sosialisasi.
2. Hubungan interpersonal
Klien digambarkan sebagai individu yang apatis, menarik diri, terisolasi dari teman-teman
dan keluarga. Keadaan ini merupakan proses adaptasi klien terhadap lingkungan kehidupan
yang kaku dan stimulus yang kurang.
3. Sumber koping
Isolasi social, kurangnya system pendukung dan adanya gangguan fungsi pada klien,
menyebabkan kurangnya kesempatan menggunakan koping untuk menghadapi stress.
4. Harga diri rendah
Klien menganggap dirinya tidak mampu untuk mengatasi kekurangannya, tidak ingin
melakukan sesuatu untuk menghindari kegagalan (takut gagal) dan tidak berani mencapai
sukses.
5. Kekuatan
Kekuatan adalah kemampuan, ketrampilan aatau interes yang dimiliki dan pernah digunakan
klien pada waktu yang lalu.
6. Motivasi
Klien mempunyai pengalaman gagal yang berulang.
7. Kebutuhan terapi yang lama
Klien disebut gangguan jiwa kronis jika ia dirawat di rumah sakit satu periode selama 6 bulan
terus menerus dalam 5 tahun tau 2 kali lebih dirawat di rumah sakit dalam 1 tahun.
ASUHAN KEPERAWATAN SKIZOFRENIA PADA USIA LANJUT
A. Pengkajian Pasien Lansia
Pengkajian pasien lansia menyangkut beberapa aspek yaitu biologis, psikologis, dan
sosiokultural yang beruhubungan dengan proses penuaan yang terkadang membuat kesulitan
dalam mengidentifikasi masalah keperawatan. Pengkajian perawatan total dapat
mengidentifikasigangguan primer. Diagnosa keperawatan didasarkan pada hasil observasi
pada perilaku pasien dan berhubungan dengan kebutuhan.
1. Wawancara
Hubungan yang penuh dengan dukungan dan rasa percaya sangat penting untuk wawancara
yang positif kepada pasien lansia. Lansia mungkin merasa kesulitan, merasa terancam dan
bingung di tempat yang baru atau dengan tekanan. Lingkungan yang nyaman akan membantu
pasien tenang dan focus terhadap pembicaraan.
2. Keterampilan Komunikasi Terapeutik
Perawat membuka wawancara dengan memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan dan
lama wawancara. Berikan waktu yang cukup kepada pasien untuk menjawab, berkaitan
dengan pemunduran kemampuan untuk merespon verbal. Gunakan kata-kata yang tidak asing
bagi klien sesuai dengan latar belakang sosiokulturalnya. Gunakan pertanyaan yang pendek
dan jelas karena pasien lansia kesulitan dalam berfikir abstrak. Perawat dapat
memperlihatkan dukungan dan perhatian dengan memberikan respon nonverbal seperti
kontak mata secara langsung, duduk dan menyentuk pasien.Melihat kembali kehidupan
sebelumnya merupakan sumber data yang baik untuk mengidentifikasi masalah kesehatan
pasien dan sumber dukungan. Perawat harus cermat dalam mengidentifikasi tanda-tanda
kepribadian pasien dan distress yang ada. Perawat tidak boleh berasumsi bahwa pasien
memahami tujuan atau protocol wawancara pengkajian. Hal ini dapat meningkatkan
kecemasan dan stres pasien karena kekurangan informasi. Perawat harus memperhatikan
respon pasien dengan mendengarkan dengan cermat dan tetap mengobservasi.
3. Setting wawancara
Tempat yang baru dan asing akan membuat pasien merasa cemas dan takut. Lingkungan
harus dibuat nyaman. Kursi harus dibuat senyaman mungkin. Lingkuangan harus
dimodifikasi sesuai dengan kondisi lansia yang sensitif terhadap suara berfrekuensi tinggi
atau perubahan kemampuan penglihatan.Data yang dihasilkan dari wawancara pengkajian
harus dievaluasi dengan cermat. Perawat harus mengkonsultasikan hasil wawancara kepada
keluarga pasien atau orang lain yang sangat mengenal pasien. Perawat harus memperhatikan
kondisi fisik pasien pada waktu wawancara dan faktor lain yang dapat mempengaruhi status,
seperti pengobatan media, nutrisi atau tingkat cemas.
4. Fungsi Kognitif
Status mental menjadi bagian dari pengkajian kesehatan jiwa lansia karena beberapa hal
termasuk :
a. Peningkatan prevalensi demensia dengan usia.
b. Adanya gejala klinik confusion dan depresi.
c. Frekuensi adanya masalah kesehatan fisik dengan confusion.
d. Kebutuhan untuk mengidentifikasi area khusus kekuatan dan keterbatasan kognitif .
e. Status Afektif
f. Status afektif merupakan pengkajian geropsikiatrik yang penting. Kebutuhan termasuk
skala depresi. Seseorang yang sedang sakit, khususnya pada leher, kepala, punggung atau
perut dengan sejarah penyebab fisik. Gejala lain pada lansia termasuk kehilangan berat
badan, paranoia, kelelahan, distress gastrointestinal dan menolak untuk makan atau minum
dengan konsekuensi perawatan selama kehidupan.Sakit fisik dapat menyebabkan depresi
sekunder. Beberapa penyakit yang berhubungan dengan depresi diantaranya gangguan tiroid,
kanker, khususnya kanker lambung, pancreas, dan otak, penyakit Parkinson, dan stroke.
Beberapa pengobatan da[at meningkatkan angka kejadian depresi, termasuk steroid,
Phenothiazines, benzodiazepines, dan antihypertensive. Skala Depresi Lansia merupakan
ukuran yang sangat reliable dan valid untuk mengukur depresi.
g. Respon Perilaku
h. Pengkajian perilaku merupakan dasar yang paling penting dalam perencanaan
keperawatanpada lansia. Perubahan perilaku merupakan gejala pertama dalam beberapa
gangguan fisik dan mental. Jika mungkin, pengkajian harus dilengkapi dengan kondisi
lingkungan rumah. Hal ini menjadi modal pada faktor lingkungan yang dapat mengurangi
kecemasan pada lansia.Pengkajian tingkah laku termasuk kedalam mendefinisikan tingkah
laku, frekuensinya, durasi, dan faktor presipitasi atau triggers. Ketika terjadi perubahan
perilaku, ini sangat penting untuk dianalisis.
i. Kemampuan fungsional
j. Pengkajian fungsional pada pasien lansia bukan batasan indokator dalam kesehatan jiwa.
Dibawah ini merupakan aspek-aspek dalam pengkajian fungsional yang memiliki dampak
kuat pada status jiwa dan emosi.
k. Mobilisasi Pergerakan dan kebebasan sangat penting untuk persepsi kesehatan pribadi
lansia. Hal yang harus dikaji adalah kemampuan lansia untuk berpindah di lingkungan,
partisipasi dalam aktifitas penting, dan mamalihara hubungan dengan orang lain. Dalam
mengkaji ambulasi , perawat harus mengidentifikasi adanya kehilangan fungsi motorik,
adaptasi yang dilakukan, serta jumlah dan tipe pertolongan yang dibutuhkan. Kemampuan
fungsi
l. Activities of Daily Living
m. Pengkajian kebutuhan perawatan diri sehari-hari (ADL) sangat penting dalam
menentukan kemampuan pasien untuk bebas. ADL ( mandi, berpakaian, makan, hubungan
seksual, dan aktifitas toilet) merupakan tugas dasar. Hal ini sangat penting dalam untuk
membantu pasien untuk mandiri sebagaimana penampilan pasien dalam menjalankan ADL.
n. The Katz Indeks Angka Katz indeks dependen dibandingkan dengan independen untuk
setiap ADL seperti mandi, berpakaian, toileting, berpindah tempat , dan makan. Salah satu
keuntungan dari alat ini adalah kemampuan untuk mengukur perubahan fungsi ADL setiap
waktu, yang diakhiri evaluasi dan aktivitas rehabilisasi.
o. Fungsi Fisiologis
p. Pengkajian kesehatan fisik sangat penting pada pasien lansia karena interaksi dari
beberapakondisi kronis, adanya deficit sensori, dan frekuensi tingkah laku dalam masalah
kesehatan jiwa. Prosedur diagnostic yang dilakukan diantaranya EEG, lumbal; funksi, nilai
kimia darah, CT Scandan MRI. Selain itu, nutrisi dan pengobatan medis juga harus dikaji
q. Nutrisi Beberapa pasien lansia membutuhkan bantuan untuk makan atau rencana nutrisi
diet. Pasien lansia yang memiliki masalah psikososial memiliki kebutuhan pertolongan dalam
makan dan monitor makan. Perawat harus secara rutin mengevaluasi kebutuhan diet pasien.
Pengkajian nutrisi harus dikaji lebih dalam secara perseorangan termasuk pola makan rutin,
waktu dalam sehari untuk makan, ukuran porsi, makanan kesukaan dan yang tidak disukai.
r. Pengobatan Medis Empat faktor lansia yang beresiko untuk keracunan obat dan harus
dikaji yaitu usia, polifarmasi, komplikasi pengobatan, komorbiditas.
s. Penyalahgunaan Bahan-bahan Berbahaya
t. Seorang lansia yang memiliki sejarah penyalahgunaan alcohol dan zat-zat berbahaya
beresiko mengalami peningkatan kecemasan dan gangguan kesehatan lainnya apabila
mengalamikehilangan dan perubahan peran yang signifikan. Penyalahgunaan alcohol dan zat-
zat berbahaya lainnya oleh seseorang akan menyebabkan jarak dari rasa sakit seperti
kehilangan dan kesepian.
u. Dukungan Sosial
v. Dukungan positif sangat penting untuk memelihara perasaan sejahtera sepanjang
kehidupan, khususnya untuk pasien lansia. Latar belakang budaya pasien merupakan faktor
yang sangat penting dalam mengidentifikasi support system. Perawat harus mengkaji
dukungan social pasien yang ada di lingkungan rumah, rumah sakit, atau di tempat pelayanan
kesehatan lainnya. Keluarga dan teman dapat membantu dalam mengurangi shock dan stres
di rumah sakit.
w. Interaksi Pasien- Keluarga
x. Peningkatan harapan hidup, penurunan angka kelahiran, dan tingginya harapan hidup
untuk semua wanita yang berakibat pada kemampuan keluarga untuk berpartisipasi dalam
pemberian perawatan dan dukungan kepada lansia. Kebanyakan lansia memiliki waktu yang
terbatas untuk berhubungan dengn anaknya. Masalah perilaku pada lansia kemungkinan hasil
dari ketiakmampuan keluarga untuk menerima kehilangan dan peningkatan kemandirian pada
anggota keluarga yang sudah dewasa.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko perilaku kekerasan terhadap orang lain
2. Risiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri
3. Ketidakefektifan koping
4. Risiko perlemahan martabat
5. Risiko gangguan identitas pribadi
6. Risiko cedera
C. Intervensi Keperawatan
B. Saran
Diharapkan para tenaga kesehatan baik yang dibidang pendidikan maupun dilapangan
secara langsung mampu melakukan dan menerapkan proses keperawatan pada klien
skizofrenia sesuai dengan disiplin ilmu teori maupun praktik klinik secara komprehensif dan
berdasarkan epidenbase.
Diharapkan para tenaga kesehatan dimanapun dan kapanpun bisa menjalin komunikasi
dan koordinasi yang baik dengan klien, keluarga da tim medis lainnya demi tercapainya
asuhan keperawatan yang berkwalitas dan dapat dipertanggung jawabkan.
DAFTAR PUSTAKA
Maslim, Rusdi dr. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkasan dari PPDGJ III
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya, Jakarta, 2001
Kaplan, HI, Sadoc BJ, Greb JA, Skizofrenia, dalam : Sinopsis Psikiatri, Edisi 7 Volume 1,
Bina Rupa Aksara, 1997
Huda nur arif amin dan Kusuma hardhi,2013,Asuahan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC-NOC,Mediaction,Jilid 2,Jakarta.