Anda di halaman 1dari 23

CASE BASED DISCUSSION

HERPES SIMPLEKS VIRUS I PRIMER

Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu
Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Di RS Islam Sultan Agung Semarang

Disusun oleh :

Annida Adityaningrum
30101206590

Pembimbing :
dr. Hj. Pasid Harlisa, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Annida Adityaningrum


NIM : 30101206590
Fakultas : Kedokteran Umum
Universitas : Universitas Islam Sultan Agung Semarang
Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter
Periode : 23 September - 19 Oktober 2019
Bagian : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Judul : Herpes Simpleks Virus I Primer
Pembimbing : dr. Hj. Pasid Harlisa, Sp.KK
Diajukan dan disahkan : ……………………….

Semarang, Oktober 2019


Mengetahui dan Menyetujui
Pembimbing Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSI Sultan Agung Semarang

Pembimbing,

dr. Hj. Pasid Harlisa, Sp.KK

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Herpes Simpleks merupakan infeksi akut yang disebabkan oleh virus


herpes simpleks (virus herpes hominis) tipe I atau tipe II yang ditandai
oleh adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan
eritematosa pada daerah dekat mukokutan, sedangkan infeksi dapat
berlangsung primer maupun rekuren (Handoko, 2010).
HSV dapat menimbulkan serangkaian penyakit, mulai dari
ginggivostomatitis sampai keratokonjungtivitis, ensefalitis, penyakit
kelamin dan infeksi pada neonatal. Virus herpes merupakan sekelompok
virus yang termasuk dalam famili herpesviridae yang mempunyai
morfologi yang identik dan mempunyai kemampuan untuk berada dalam
kedaan laten di sel hospes setelah infeksi primer. Virus yang berada dalam
keadaan laten dapat bertahan untuk periode yang lama bahkan seumur
hidup penderita. Virus tersebut tetap mempunyai kemampuan untuk
mengadakan reaktivasi kembali sehingga dapat terjadi infeksi rekuren
(Warrell, 2003).
Prevalensi infeksi herpes simpleks virus (HSV) terus meningkat
dalam beberapa dekade terakhir, sehingga termasuk dalam masalah
kesehatan yang penting di dunia (Salvaggio, 2016). Virus ini ada di mana-
mana, mudah beradaptasi dengan host-nya dan dapat menimbulkan
berbagai variasi penyakit (Azwa, 2009). Terdapat dua serotipe, yakni
HSV tipe I dan HSV tipe II. Umumnya HSV tipe I dikaitkan dengan
penyakit orofasial, sedangkan HSV tipe II dikaitkan dengan penyakit
geniatl, namun lokasi lesi tidak selalu menunjukkan jenis virus
(Salvaggio, 2016). Sekitar 80% infeksi HSV bersifat asimtomatik, infeksi
simtomatik akan menimbulkan morbiditas dan rekurensi yang bermakna.
Pada pasien yang infeksi HSV dapat menimbulkan komplikasi berbahaya,
HSV tipe II juga diketahui dapat berperan sebagai kofaktor infeksi HIV,
sehingga pengobatannya akan bermanfaat bagi penganan infeksi HIV
(Salvaggio, 2016).

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Herpes Simpleks merupakan infeksi akut yang disebabkan oleh
virusherpes simpleks (virus herpes hominis) tipe I atau tipe II yang
ditandai oleh adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang
sembab dan eritematosa pada daerah dekat mukokutan, sedangkan
infeksi dapat berlangsung primer maupun rekuren (Handoko, 2010).

2.2. Epidemiologi
Penyakit herpes simpleks tersebar kosmopolit dan menyerang baik
pria maupun wanita dengan frekuensi yang tidak berbeda. Infeksi primer
oleh herpes simpleks virus (HSV) tipe I biasa pada usia anak-anak,
sedangkan infeksi HSV tipe II biasa terjadi pada dekade II atau III dan
berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual (Handoko, 2010).
Infeksi genital yang berulang enam kali lebih sering daripada infeksi
berulang pada oral-labial; infeksi HSV tipe II pada daerah genital lebih
sering kambuh daripada infeksi HSV tipe I di daerah genital; dan infeksi
HSV tipe I pada oral-labial lebih sering kambuh daripada infeksi HSV
tipe II di daerah oral. Walaupun begitu infeksi dapat terjadi di mana saja
pada kulit dan infeksi pada satu area tidak menutup kemungkinan bahwa
infeksi dapat menyebar ke bagian lain (Habif, 2004).
Prevalensi antibodi dari HSV tipe I pada sebuah populasi bergantung
pada faktor-faktor seperti negara, kelas sosial ekonomi, dan usia (Lynch,
1996). HSV tipe I umumnya ditemukan pada daerah oral pada masa
kanak-kanak, terlebih lagi pada kondisi sosial ekonomi terbelakang.
Kebiasaan, orientasi seksual dan gender mempengaruhi HSV tipe II.
Pervalensi HSV tipe II lebih rendah dibanding HSV tipe I dan lebih
sering ditemukan pada usia dewasa yang terjadi karena kontak seksual.
Studi serologis pada populasi menunjukkan bahwa lebih dari 50% usia
20 tahun telah terpajan HSV (Wray, 1999). Studi pada populasi juga

4
menunjukkan bahwa 2-4% adalah karier asimtomatik dan merupakan
continual virus reservoir untuk terjadinya infeksi baru (Lynch, 1996).

2.3. Etiologi
Herpes simpleks virus (HSV) tipe I dan II merupakan virus herpes
hominis yang merupakan virus DNA. Pembagian tipe I dan II berdasarkan
karakteristik pertumbuhan pada media kultur, antigenic marker dan lokasi
klinis tempat predileksi (Handoko, 2010). HSV tipe I sering dihubungkan
dengan infeksi oral sedangkan HSV tipe II dihubungkan dengan infeksi
genital. Semakin seringnya infeksi HSV tipe I di daerah genital dan infeksi
HSV tipe II di daerah oral kemungkinan disebabkan oleh kontak seksual
dengan cara oral-genital (Habif, 2004).
Menurut Wolff (2007) infeksi HSV tipe I pada daerah labialis 80-90%,
urogenital 10-30%, herpetic whitlow pada usia kurang dari 20 tahun, dan
neonatal 30%. Sedangkan HSV tipe II di daerah labialis 10-20%, urogenital
70-90%, herpetic whitlow pada usia kurang dari 20 tahun, dan neonatal
70%.

2.4. Patogenesis
Infeksi primer: HSV masuk melalui defek kecil pada kulit atau mukosa
dan bereplikasi lokal lalu menyebar melalui akson ke ganglia sensoris dan
terus bereplikasi. Dengan penyebaran sentrifugal oleh saraf-saraf lainnya
menginfeksi daerah yang lebih luas. Setelah infeksi primer HSV masuk
dalam masa laten di ganglia sensoris, HSV tipe I akan tinggal ganglion
trigeminal sedangkan HSV tipe II akan menetap di ganglion sacral. (Sterry,
2006).

5
Sumber gambar: http://macrophage.co

Infeksi rekuren: pengaktifan kembali HSV oleh berbagai macam


rangsangan (sinar UV, demam) sehingga menyebabkan gejala klinis
(Sterry, 2006).
Menurut Habif (2004) infeksi HSV ada dua tahap: infeksi primer, virus
menyerang ganglion saraf; dan tahap kedua, dengan karakteristik
kambuhnya penyakit di tempat yang sama. Pada infeksi primer kebanyakan
tanpa gejala dan hanya dapat dideteksi dengan kenanikan titer antibodi IgG.
Seperti kebanyakan infeksi virus, keparahan penyakit meningkat seiring
bertambahnya usia. Virus dapat menyebar melalui udara via droplets,
kontak langsung dengan lesi, atau kontak dengan cairan yang mengandung
virus seperti ludah. Gejala yang timbul 3 sampai 7 hari atau lebih setelah
kontak yaitu: kulit yang lembek disertai nyeri, parestesia ringan, atau rasa
terbakar akan timbul sebelum terjadi lesi pada daerah yang terinfeksi. Nyeri
lokal, pusing, rasa gatal, dan demam adalah karakteristik gejala prodormal.
Vesikel pada infeksi primer HSV lebih banyak dan menyebar
dibandingkan infeksi yang rekuren. Setiap vesikel tersebut berukuran sama
besar, berlawanan dengan vesikel pada herpes zoster yang beragam
ukurannya. Mukosa membran pada daerah yang lesi mengeluarkan eksudat

6
yang dapat mengakibatkan terjadinya krusta. Lesi tersebut akan bertahan
selama 2 sampai 4 minggu kecuali terjadi infeksi sekunder dan akan
sembuh tanpa jaringan parut (Habif, 2004).
Virus akan bereplikasi di tempat infeksi primer lalu viron akan
ditransportasikan oleh saraf via retrograde axonal flow ke ganglia dorsal
dan masuk masa laten di ganglion. Trauma kulit lokal (misalnya: paparan
sinar ultraviolet, abrasi) atau perubahan sistemik (misalnya: menstruasi,
kelelahan, demam) akan mengaktifasi kembali virus tersebut yang akan
berjalan turun melalui saraf perifer ke tempat yang telah terinfeksi sehingga
terjadi infeksi rekuren. Gejala berupa rasa gatal atau terbakar terjadi selama
2 sampai 24 jam dan dalam 12 jam lesi tersebut berubah dari kulit yang
eritem menjadi papula hingga terbentuk vesikel berbentuk kubah yang
kemudian akan ruptur menjadi erosi pada daerah mulut dan vagina atau
erosi yang ditutupi oleh krusta pada bibir dan kulit. Krusta tersebut akan
meluruh dalam waktu sekitar 8 hari lalu kulit tersebut akan reepitelisasi dan
berwarna merah muda (Habif, 2004).Infeksi HSV dapat menyebar ke bagian
kulit mana saja, misalnya: mengenai jari-jari tangan (herpetic whitlow)
terutama pada dokter gigi dan perawat yang melakukan kontak kulit
dengan penderita. Tenaga kesehatan yang sering terpapar dengan sekresi
oral merupakan orang yang paling sering terinfeksi (Habif, 2004). Bisa juga
mengenai para pegulat (herpes gladiatorum) maupun olahraga lain yang
melakukan kontak tubuh (misalnya rugby) yang dapat menyebar ke
seluruh anggota tim (Sterry, 2006).

2.5. Gejala Klinis


Infeksi herpes simpleks virus berlangsung dalam tiga tahap: infeksi
primer, fase laten dan infeksi rekuren. Pada infeksi primer herpes simpleks
tipe I tempat predileksinya pada daerah mulut dan hidung pada usia anak-
anak. Sedangkan infeksi primer herpes simpleks virus tipe II tempat
predileksinya daerah pinggang ke bawah terutama daerah genital. Infeksi
primer berlangsung lebih lama dan lebih berat sekitar tiga minggu dan
sering disertai gejala sistemik, misalnya demam, malaise dan anoreksia.

7
Kelainan klinis yang dijumpai berupa vesikel berkelompok di atas kulit
yang sembab dan eritematosa, berisi cairan jernih dan menjadi
seropurulen, dapat menjadi krusta dan dapat mengalami ulserasi
(Handoko, 2010).
Pada fase laten penderita tidak ditemukan kelainan klinis, tetapi
herpes simpleks virus dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada
ganglion dorsalis (Handoko, 2010).
Pada tahap infeksi rekuren herpes simpleks virus yang semula tidak
aktif di ganglia dorsalis menjadi aktif oleh mekanisme pacu (misalnya:
demam, infeksi, hubungan seksual) lalu mencapai kulit sehingga
menimbulkan gejala klinis yang lebih ringan dan berlangsung sekitar tujuh
sampai sepuluh hari disertai gejala prodormal lokal berupa rasa panas, gatal
dan nyeri. Infeksi rekuren dapat timbul pada tempat yang sama atau tempat
lain di sekitarnya (Handoko, 2010).

2.6. Pemeriksaan Penunjang


Herpes simpleks virus (HSV) dapat ditemukan pada vesikel dan
dapat dibiakkan. Pada keadaan tidak ada lesi dapat diperiksa antibodi
HSV. Dengan tes Tzanck dengan pewarnaan Giemsa dapat ditemukan
sel datia berinti banyak dan badan inklusi intranuklear (Handoko, 2010).
Tes Tzanck dapat diselesaikan dalam waktu 30 menit atau
kurang. Caranya dengan membuka vesikel dan korek dengan lembut
pada dasar vesikel tersebut lalu letakkan pada gelas obyek kemudian
biarkan mongering sambil difiksasi dengan alkohol atau
dipanaskan.Selanjutnya beri pewarnaan (5% methylene blue, Wright,
Giemsa) selama beberapa detik, cuci dan keringkan, beri minyak emersi
dan tutupi dengan gelas penutup. Jika positif terinfeksi hasilnya berupa
keratinosit yang multinuklear dan berukuran besar berwarna biru
(Frankel, 2006).
Identifikasi virus dengan PCR, mikroskop elektron, atau kultur
(Sterry,
2006). Tes serologi menggunakan enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA) spesifik HSV tipe II dapat membedakan siapa yang telah

8
terinfeksi dan siapa yang berpotensi besar menularkan infeksi (McPhee,
2007).

2.7. Diagnosa Banding


Herpes simpleks pada daerah sekitar mulut dan hidung harus
dibedakan dengan impetigo vesikobulosa. Pada daerah genital harus
dibedakan dengan ulkus durum, ulkus mole dan ulkus mikstum
(Handoko, 2010).
Pada Barankin (2006) diagnosa banding HSV tipe I yaitu
stomatitis aftosa, penyakit tangan-kaki-mulut, dan impetigo. Sedangkan
diagnosa banding HSV tipe II yaitu chancroid, sifilis, dan erupsi oleh
obat-obatan.

2.8. Penatalaksanaan
Pada lesi yang dini dapat digunakan obat topikal berupa
salap/krim yang mengandung preparat idoksuridin (stoxil, viruguent,
virunguent-P) atau preparat asiklovir (zovirax). Pengobatan oral preparat
asiklovir dengan dosis 5x200mg per hari selama 5 hari mempersingkat
kelangsungan penyakit dan memperpanjang masa rekuren.Pemberian
parenteral asiklovir atau preparat adenine arabinosid (vitarabin) dengan
tujuan penyakit yang lebih berat atau terjadi komplikasi pada organ
dalam (Handoko, 2010).
Untuk terapi sistemik digunakan asiklovir, valasiklovir, atau
famsiklovir. Jika pasien mengalami rekuren enam kali dalam setahun,
pertimbangkan untuk menggunakan asiklovir 400 mg atau valasiklovir
1000 mg oral setiap hari selama satu tahun. Untuk obat oles digunakan
lotion zinc oxide atau calamine.Pada wanita hamil diberi vaksin HSV
sedangkan pada bayi yang terinfeksi HSV disuntikkan asiklovir intra
vena (Sterry, 2006).
Asiklovir adalah analog asam nukleat yang terbuat dari guanosin,
ia bekerja dengan mengurangi produksi DNA virus. Untuk aktivasi,
asiklovir memerlukan tiga langkah fosforilasi. Pertama, asiklovir diubah

9
menjadi derivat monofosfat oleh timidin kinase yang spesifik virus,
kemudian menjadi senyawa ditrifosfat dan trifosfat oleh enzim inangnya.
Karena asiklovir memerlukan kinase virus untuk fosforilasi awal,
asiklovir diaktifkan secara selektif dan trifosfat hanya berakumulasi pada
sel yang terinfeksi. Asiklovir trifosfat menghambat sintesis DNA virus
melalui dua mekanisme yaitu penghambatan kompetitif dari deoxyGTP
untuk polimerisasi DNA virus, dengan mengikat pada pola DNA sebagai
suatu kompleks yang irreversibel, dan terminasi rantai mengikat
penggabungan menjadi DNA virus (Bertram G. Katzung, 2004).

Sumber gambar:http://pharmacology2000.com-Medical Pharmacology


Chapter 36:Antiviral Drugs

2.9. Komplikasi
Komplikasinya yaitu: pioderma, ekzema herpetikum,
herpeticwhithlow, herpes gladiatorum (pada pegulat yang menular

10
melalui kontak), esophagitis, infeksi neonatus, keratitis, dan ensefalitis
(McPhee, 2007).
Menurut Hunter (2003) komplikasi herpes simpleks adalah
herpes ensefalitis atau meningitis tanpa ada kelainan kulit dahulu,
vesikel yang menyebar luas ke seluruh tubuh, ekzema herpeticum,
jaringan parut, dan eritema multiforme.

2.10. Prognosis
Pengobatan dini dan tepat memberi prognosis yang lebih baik,
yakni masa penyakit berlangsung lebih singkat dan rekuren lebih
jarang.Pada orang dengan gangguan imunitas, infeksi dapat menyebar ke
organ-organ dalam dan dapat berakibat fatal. Prognosis akan lebih baik
seiring dengan meningkatnya usia seperti pada orang dewasa (Handoko,
2010).
Penderita HSV harus menghindari kontak dengan orang lain saat
tahap akut sampai lesi sembuh sempurna. Infeksi di daerah genital pada
wanita hamil dapat menyerang bayinya, dan wanita tersebut harus
memberi tahu pada dokter kandungannya jika mereka mempunyai gejala
atau tanda infeksi HSV pada daerah genitalnya (Shaw, 2006).

11
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. IDENTITAS PASIEN


IDENTITAS PASIEN
Nama : An. HD
Umur : 13 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Trengguli
No RM : 01-39-XXXX
Ruang : Poli Kulit dan Kelamin
Status Pasien : Umum

3.2. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal
30 September 2019 di Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Islam Sultan
Agung (RSISA) Semarang pukul 09.30 WIB
Keluhan Utama
a. Keluhan Subjektif : Gatal dan perih di wajah
b. Keluhan Objektif : timbul bintil-bintil berair di wajah
Riwayat Penyakit Sekarang
a. Lokasi : wajah; ujung hidung kiri dan mulut bagian
luar serta bagian dalam (selaput mulut)
b. Onset : 10 hari sebelum ke Polikilinik KK RSISA
c. Kualitas : gatal dirasakan mengganggu
d. Kuantitas : gatal terus-menerus
e. Faktor memperberat : saat bicara dan makan
f. Faktor memperingan : sudah pernah diobati antivirus tetapi belum
mengering
g. Gejala penyerta : Disangkal

12
h. Kronologi : Pasien seorang anak perempuan, usia 13
tahun datang dengan keluhan gatal dan muncul bintil-bintil berair di
wajah. Keluhan tersebut muncul sejak sepuluh hari sebelum ke RSISA,
ada rasa perih di lesi. Bintil muncul secara tiba-tiba setelah pasien bangun
tidur di pagi hari, tidak diketahui adanya kontak dengan benda atau
gigitan serangga.
Riwayat Penyakit Dahulu
Keluhan sakit yang sama disangkal (-)
Alergi (-)
Cacar (-)
Alergi makanan disangkal (-)
Alergi obat disangkal (-)
Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang menderita keluhan sama.
Riwayat kebiasaan
Pasien menjaga kebersihan yang baik.
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal di pondok pesantren.
3.3. PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan umum : Tampak sakit ringan
b. Kesadaran : Komposmentis
c. Tanda vital
Tekanan darah : Tidak dilakukan pemeriksaan
Nadi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Suhu : Tidak dilakukan pemeriksaan
RR : Tidak dilakukan pemeriksaan
d. Status gizi
BB : Tidak dilakukan pemeriksaan
TB : Tidak dilakukan pemeriksaan
IMT : Tidak dilakukan pemeriksaan
e. Kepala : Tidak dilakukan pemeriksaan
f. Mata : Tidak dilakukan pemeriksaan

13
g. THT
Telinga : Tidak dilakukan pemeriksaan
Hidung : Tidak dilakukan pemeriksaan
Leher : Tidak dilakukan pemeriksaan
h. Thorak : Tidak dilakukan pemeriksaan
i. Abdomen : Tidak dilakukan pemeriksaan
j. Genital : Tidak dilakukan pemeriksaan

Status Dermatologi :
Lokasi : Wajah; ujung hidung kiri dan mulut bagian luar serta bagian dalam
(selaput bibir).
UKK : Terdapat vesikel bergerombol, multipel di atas kulit eritematosa,
bilateral, isi vesikel keruh, terdapat krusta.

14
3.4. RESUME
Nama : An. HD
Umur : 13 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
a. Keluhan subjektif : Gatal dan perih di wajah
b. Keluhan Objektif : timbul bintil-bintil di wajah
pasien seorang anak perempuan, usia 13 tahun datang ke Poliklinik Kulit
dan Kelamin RSISA Semarang pada tanggal 30 September 2019. Pasien
datang bersama orang tuanya pada pukul 09.30 WIB. Keluhan utama
gatal-gatal dan bintil-bintil berair di wajah. Berdasarkan anamnesis
didapatkan keluhan tersebut muncul sejak sepuluh hari sebelum ke
RSISA, ada rasa perih di lesi. Bintil muncul secara tiba-tiba setelah pasien
bangun tidur di pagi hari, dari anamnesis tidak ditemukan atau pasien
tidak mengetahui adanya riwayat kontak dengan benda atau gigitan
serangga. Pada status dermatologi terdapat lokasi pada region nasal dan
oral dengan bentuk kelainan kulit berupa vesikel bergerombol multipel,
bentuk bulat, ukuran 0,3-0,5 cm di atas kulit eritematosus, isi vesikel
keruh dan terdapat krusta, kulit di antara gerombolan normal. Pasien
mengalami kesulitan saat berbicara dan makan akibat perih pada lesi
tersebut. Riwayat pengobatan sebelumnya pasien berobat ke RSUD dan
mendapatkan obat antivirus, Zovirax (Asiklovir) tetapi proses
penyembuhan lama.
.
3.5. DIAGNOSIS BANDING
 Herpes Simpleks I Primer Nasolabial-intraoral
 Impetigo Vesiko bulosa
 Varisela

15
3.6. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Tzanck dengan pewarnaan Giemsa
Pengecatan Gram
3.7. DIAGNOSIS KERJA
Herpes Simpleks I Primer Nasolabial-intraoral
3.8. TATALAKSANA
R/ Valasiclovir tab 500 mg No XV
s.3.d.d tab 1
R/ Cefditoren pivoxil tab 200 mg No X
s.2.d.d tab 1
R/ Mupirocin oint No. I
s.ue

3.9. EDUKASI
Aspek Klinik
 Menjelaskan kepada pasien tentang infeksi herpes simpleks virus
 Menyarankan pasien agar menjaga lesi kulit untuk tetap bersih, hindari
menggaruk di bagian lesi
 Menyarankan pasien untuk melakukan kompres basah dingin steril untuk
mengurangi nyeri atau rasa tidak nyaman.
 Pasien disarankan untuk istirahat cukup, jangan stres, serta
mengkonsumsi makanan bergizi.
Aspek agama .
• Selalu bersabar dan bertawakal kepada Allah SWT karena segala penyakit ada
obatnya

16
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien anak perempuan berusia 13 tahun, datang dengan keluhan gatal dan
muncul bintil-bintil berair pada wajah sejak 10 hari sebelum datang ke Poliklinik Kulit
dan Kelamin RSISA Semarang. Bintil muncul secara tiba-tiba setelah pasien bangun
tidur di pagi hari, dari anamnesis tidak ditemukan atau pasien tidak mengetahui adanya
riwayat kontak dengan benda atau gigitan serangga. Pada status dermatologi terdapat
lokasi pada region nasal dan oral dengan bentuk kelainan kulit berupa vesikel
bergerombol multipel, bilateral, bentuk bulat, ukuran 0,3-0,5 cm di atas kulit
eritematosus, isi vesikel keruh dan terdapat krusta, kulit di antara gerombolan normal.
Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama dan keluarga pasien tidak ada yang
menderita keluhan yang sama. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
dilakukan pada pasien, diagnosis mengarah pada Herpes Simpleks Tipe I Primer
nasolabial-intraoral yang secara definisi merupakan infeksi akut yang disebabkan oleh
virus herpes simpleks tipe I dengan predileksi di daerah pinggang ke atas terutama di
daerah mulut dan hidung, biasanya dimulai pada usia anak-anak inokulasi dapat terjadi
secara kebetulan.
Diagnosis banding pasien meliputi Impetigo vesiko bulosa dan Varisela, di
mana kedua penyakit tersebut juga menimbulkan bercak penonjolan pada kulit dengan
ukuran gelembung kecil kurang dari 1 cm (vesikel).
Pada pasien ini diberikan terapi sistemik berupa antivirus valasiclovir yang
memiliki bioavailabilitas lebih tinggi (65%) dibanding asiclovir (15-20%), sehingga
diharapkan kerja obat yang diberikan lebih poten. Pada kasus ini, isi vesikel menjadi
keruh yang menandakan adanya infeksi pioderma sehingga diberikan terapi antibiotik
sistemik kelompok sefalosporin, yaitu cefditoren tablet. Diberikan juga antibiotik
topikal kelompok mupirosin karena infeksi kulit primer akut dan superfisial serta lesi
tidak luas.

17
BAB V
KESIMPULAN

Seorang anak perempuan, usia 13 tahun, menderita Herpes Simpleks I Primer


Nasolabial-intraoral. Pada pasien ditemukan veikel bergerombol multipel, bilateral,
bulat, di atas kulit eritematosus, isi vesikel keruh dan terdapat krusta, kulit di antara
gerombolan normal. Diberi pengobatan valasiclovir 3x500 mg perhari diminum secara
oral selama 5 hari. Serta diberikan cefditoren tablet 2x1 perhari diminum secara oral
selama 5 hari. Pemberian secara topikal salap mupirocin 3x1 perhari pada lesi.
Prognosis pasien baik.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Azwa A, Barton SE. Aspects of herpes simplex virus: A clinical review. Jfam
Plann Reprod Health Care 2009;35(4):237-42
2. Barankin, Benjamin, Freiman, Anatoli, 2006. Derm Notes Dermatology
Clinical Pocket Guide. Philadelphia: F. A. Davis Company. 98-100.
3. Habif, Thomas P., 2004. Warts, Herpes Simplex, and Other Viral Infections. In:
Clinical Dermatology; A Color Guide to Diagnosis and Therapy. 4th Edition.
Philadelphia, Pennsylvania: Mosby. 381-389.
4. Handoko, Ronny P., 2010. Herpes Simpleks. Dalam: Djuanda, A., Hamzah, M.,
Aisah, S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 380-382.
5. Hunter, John, Savin, Dahl, Mark, 2003. Infections. In: Clinical Dermatology.
3rd edition. Massachussets, USA: Blackwell Science. 208-209.
6. http://pharmacology2000.com-Medical Pharmacology Chapter 36:Antiviral
Drugs.
7. Katzung, Bertram G. 2012. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10.
EGC:Jakarta.
8. Salvaggio MR. Herpes Simplex. Medscape. Available from URL:
http//www.emedicine.medscape.com/article/218580-overview.
9. Shaw, James C., 2006. Herpes Simplex. In: Frankel, David H. Field Guide to
Clinical Dermatology. 2nd edition. Brooklyn, New york: Lippincott Williams &
Wilkins. 74-75.
10. Sterry, W., Paus, R., Burgdorf, W., 2006. Viral Diseases. In: Thieme clinical
companions dermatology. New York: Thieme. 57-60.

19
20
21
1
2

Anda mungkin juga menyukai