OLEH
1207017160
KUPANG
2014
1. AUTISME
a. Besar Kasus
Akhir-akhir ini kasus autis banyak merebak tidak saja di negara-negara maju
seperti Inggris, Australia, Jerman dan Amerika, tetapi juga di negara berkembang
seperti Indonesia. Prevalensi autis di dunia saat ini mencapai 15-20 kasus per
10.000 anak atau 0,15-0,20%, jika angka kelahiran di Indonesia enam juta per
tahun, maka jumlah penyandang autis di Indonesia, bertambah 0,15% atau 6.900
anak pertahun, prevalensi anak laki-laki tiga sampai empat kali lebih besar
daripada anak perempuan. Sampai saat ini penyebab autis masih belum dapat
dipastikan. Berdasarkan penelitian, bahan metabolit sebagai hasil antara proses
metabolisme (sering berupa asam organik) merupakan bahan yang dapat
mengganggu fungsi otak, dan diperkirakan sebagai penyebab munculnya gejala
autis. Keadaan tersebut seringkali didahului dengan gangguan pencernaan yang
dianggap penyebab utama terjadinya penyimpangan metabolime.
b. Pengertian
Istilah autisme berasal dari kata “Autos” yang berarti diri sendiri dan “isme”
yang berarti suatu aliran, sehingga dapat diartikan sebagai suatu paham tertarik
pada dunianya sendiri. Autisme pertama kali ditemukan oleh Leo Kanner pada
tahun 1943. Kanner mendeskripsikan gangguan ini sebagai ketidakmampuan untuk
berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan
penguasaan bahasa yang tertunda, echolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya
aktivitas bermain repetitive dan stereotype, rute ingatan yang kuat dan keinginan
obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya..
Istilah autisme dipergunakan untuk menunjukkan suatu gejala psikosis pada
anak-anak yang unik dan menonjol yang sering disebut sindrom Kanner yang
dicirikan dengan ekspresi wajah yang kosong seolah-olah sedang melamun,
kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi orang lain untuk menarik perhatian mereka
atau mengajak mereka berkomunikasi.
Autisme adalah gangguan perkembangan nerobiologi yang berat yang terjadi
pada anak sehingga menimbulkan masalah pada anak untuk berkomunikasi dan
berelasi (berhubungan) dengan lingkungannya. Penyandang autisme tidak dapat
berhubungan dengan orang lain secara berarti, serta kemampuannya untuk
membangun hubungan dengan orang lain terganggu karena masalah ketidak
mampuannya untuk berkomunikasi dan untuk mengerti apa yang dimaksud oleh
orang lain. Tanda-tanda/gejala ini sudah nampak jelas sebelum anak berusia 3
tahun, dan kemudian berlanjut sampai dewasa jika tidak dilakukan intervensi yang
tepat.
c. Penyebab
Lingkungan Perinatal
Autisme dikaitkan dengan beberapa perinatal dan obstetri kondisi.
Pada tahun 2007 ditemukan kondisi obstetri terkait yang termasuk berat
badan lahir rendah dan durasi usia kehamilan dan juga hipoksia selama
persalinan. Asosiasi ini tidak menunjukkan hubungan sebab akibat.
Akibatnya, merupakan penyebab yang mendasari dapat menjelaskan kedua
autisme dan kondisi terkait.
Sebuah studi tahun 2007 pada bayi prematur ditemukan bahwa mereka
yang selamat dari cedera hemorrhagic cerebellar (perdarahan di otak yang
melukai cerebellum ) secara bermakna lebih mungkin untuk menunjukkan
gejala autisme dibandingkan kontrol tanpa cedera.
Lingkungan Postnatal
Berbagai macam kontributor postnatal dengan autisme telah diajukan,
termasuk gastrointestinal atau kelainan sistem kekebalan tubuh, alergi, dan
paparan anak-anak terhadap obat, vaksin, infeksi, makanan tertentu, atau
logam berat. Bukti untuk faktor risiko ini adalah anekdot dan belum
dikonfirmasi oleh penelitian yang dapat diandalkan.
Kurangnya vitamin D
Ada bukti terbatas untuk hipotesis bahwa defisiensi vitamin D
memiliki peran dalam autisme, dan mungkin biologis memang masuk akal,
tetapi penelitian lebih lanjut masih diperlukan.
Faktor genetis atau keturunan
Gen menjadi faktor kuat yang menyebabkan anak autis. Jika dalam
satu keluarga memiliki riwayat menderita autis, maka keturunan
selanjutnya memiliki peluang besar untuk menderita autis. Hal ini
disebabkan karena terjadi gangguan gen yang memengaruhi perkembangan,
pertumbuhan dan pembentukan sel-sel otak. Kondisi genetis pemicu autis
ini bisa disebabkan karena usia ibu saat mengandung sudah tua atau usia
ayah yang sudah tua. Diketahui bahwa sperma laki-laki berusia tua
cenderung mudah bermutasi dan memicu timbulnya autisme. Selain itu,
ibu yang mengidap diabetes juga ditengarai sebagai pemicu autisme pada
bayi.
Faktor kelahiran
Bayi lahir dengan berat rendah, prematur, dan lama dalam kandungan
(lebih dari 9 bulan) berisiko mengidap autisme. Selain itu, bayi yang
mengalami gagal napas (hipoksa) saat lahir juga berisiko mengalami autis.
Faktor lingkungan
Bayi yang lahir sehat belum tentu tidak mengalami autisme. Faktor
lingkungan (eksternal) juga bisa menyebabkan bayi menderita autisme,
seperti lingkungan yang penuh tekanan dan tidak bersih. Lingkungan yang
tidak bersih dapat menyebabkan bayi alergi melalui ibu. Karena itu, hindari
paparan sumber alergi berupa asap rokok, debu atau makanan yang
menyebabkan alergi.
Faktor obat-obatan
Obat-obatan untuk mengatasi rasa mual, muntah, ataupun penenang
yang dikonsumsi ibu hamil berisiko menyebabkan anak autis. Karena itu,
Anda harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter sebelum
mengonsumsi obat-obatan jenis apa pun saat hamil. Selain itu, paparan
obat-obatan opium (penghilang rasa nyeri) dapat mengganggu
perkembangan saraf sehingga otak pun tidak berkembang dengan baik.
Bahkan, paparan merkuri juga memicu timbulnya autisme pada bayi.
Merkuri bisa berasal dari: saat Anda mengonsumsi ikan yang
terkontaminasi merkuri, penggunaan kosmetik yang mengandung merkuri,
bahan-bahan perawatan tubuh bayi yang berkomposisi merkuri, dan
sebagainya.
Faktor makanan
Zat kimia yang terkandung dalam makanan sangat berbahaya untuk
kandungan. Salah satunya, pestisida yang terpapar pada sayuran,
Diketahui bahwa pestisida mengganggu fungsi gen pada saraf pusat,
menyebabkan anak autis.
d. Gejala
Tidak bisa menguasai atau sangat lamban dalam penguasaan bahasa sehari-
hari.
Hanya bisa mengulang-ulang beberapa kata.
Mata yang tidak jernih atau tidak bersinar.
Tidak suka atau tidak bisa atau atau tidak mau melihat mata orang lain.
Hanya suka akan mainannya sendiri (kebanyakan hanya satu mainan itu
saja yang dia mainkan).
Serasa dia punya dunianya sendiri.
Tidak suka berbicara dengan orang lain.
Tidak suka atau tidak bisa menggoda orang lain.
e. Penanganan
Obat-obatan
Obat-obatan hanya dapat membantu mengendalikan gejala autisme.
Vitamin, suplemen gizi, antidepresan, dan obat-obatan antipsikotik
menunjukkan hasil yang positif dalam mengobati kasus autisme.
Terapi Komunikasi
Terapi komunikasi membantu menginisiasi bahasa dan perkembangan
non verbal. Terapi bicara dan interaksi sosial sering digunakan untuk
membantu mengatasi hambatan emosional dalam komunikasi. Cerita
sosial digunakan untuk membantu anak autis memahami peristiwa,
perasaan, penalaran, serta sudut pandang.
Terapi Perilaku
Terapi perilaku membantu mengubah perilaku berulang, tidak pantas,
dan agresif. Terapi ini dilakukan untuk membantu anak autis memperoleh
keterampilan yang dibutuhkan agar mampu berbaur dengan lingkungan
sekitarnya. Berbagai metode digunakan untuk mengatasi autisme, baik
dilakukan bersamaan maupun secara terpisah. Analisis perilaku diterapkan
dengan membagi keterampilan dalam beberapa tahap kemudian
mengajarkannya pada anak autis. Memberi hadiah setiap kali anak mampu
melakukan tahap tertentu akan membantu anak autis untuk belajar dengan
meniru (imitasi). Terapi integrasi sensori berfokus pada stimulasi sensori
melalui paparan rasa, suara, atau tekstur yang berbeda.
Metode lain yang digunakan adalah terapi bermain, dimana
perkembangan emosional yang menjadi fokus. Terapi ini biasanya
dilakukan dengan bermain peran antara orang dewasa dan anak, serta
berusaha untuk mengembangkan keterampilan sosial dan interaksi sosial.
Meskipun tidak dapat disembuhkan, diagnosis dini yang disertai
intervensi bisa membantu anak autisme berfungsi lebih baik dan
meningkatkan kualitas hidupnya.
f. Pencegahan
Tindakan pencegahan adalah yang paling utama dalam resiko terjadinya
penyakit atau gangguan. Demikian pula kelainan autis, meskipun teori
penyebabnya masih belum jelas terungkap namun beberapa upaya
pencegahan dapat dilakukan.
Upaya pencegahan tersebut berdasarkan teori penyebab ataupun penelitian
faktor resiko autis.
Pencegahan ini dapat dilakukan sedini mungkin sejak merencanakan
kehamilan, saat kehamilan, persalinan dan periode usia anak.
2. CEREBRAL PALSY
a. Besaran Kasus
Prevalensi Cerebral Palsy secara global berkisar antara 1-1,5 per 1.000 kelahiran
hidup dengan insidensi meningkat pada kelahiran prematur. Di negara maju,
prevalensi Cerebral Palsy dilaporkan sebesar 2-2,5 kasus per 1.000 kelahiran
hidup, sedangkan di negara berkembang berkisar antara 1,5-5,6 kasus per 1.000
kelahiran hidup. Hingga saat ini, belum tersedia data akurat perihal jumlah
penderita CP di Indonesia, diperkirakan terdapat sekitar 1-5 kasus per 1.000
kelahiran hidup. Sekitar 50% dari mereka meninggal sebelum mencapai usia 20
tahun. Kematian tersebut biasanya akibat komplikasi sekunder yang terkait
dengan disfungsi neurologis primer. Penyakit dan kematian dini paling sering
terjadi karena gangguan pernafasan dan infeksi pada paru-paru.
b. Pengertian
Secara definisi dapat diartikan kata cerebral itu sendiri adalah otak, sedangkan
palsy adalah kelumpuhan, kelemahan, atau kurangnya pengendalian otot dalam
setiap pergerakan atau bahkan tidak terkontrol. Kerusakan otak tersebut
mempengaruhi sistem dan penyebab anak mempunyai koordinasi yang buruk,
keseimbangan yang buruk, pola-pola gerakan yang abnormal atau kombinasi dari
karakter-karakter tersebut. Kelainan yang muncul tergantung luasnya kerusakan
otak yang dialami anak, letak kerusakan di otak dan seberapa cepat
penanganannya yang diberikan, kerusakan yang dialami biasanya tidak akan
bertambah parah, namun dengan bertambahnya usia maka kemampuan anak yang
dimilki dapat terlihat semakin tertinggal.
Cerebral palsy adalah suatu kelainan gerakan dan postur yang tidak progresif
oleh karena suatu kerusakan atau gangguan pada sel-sel motorik pada susunan
saraf pusat yang sedang tumbuh atau belum selesai pertumbuhannya. Cerebaral
palsy merupakan gangguan pada otak yang bersifat non progresif.
Gangguan ini dapat disebabkan oleh adanya lesi atau gangguan perkembangan
pada otak Cerebaral palsy adalah akibat dari lesi atau gangguan perkembangan
otak bersifat non progresif dan terjadi akibat bayi lahir terlalu dini (prematur).
Defisit motorik dapat ditemukan pada pola abnormal dari postur dan gerakan.
c. Penyebab
Cerebral palsy dapat disebabkan oleh cedera otak yang terjadi pada saat:
Bayi masih berada dalam kandungan
Proses persalinan berlangsung
Bayi baru lahir
d. Gejala
Kecerdasan di bawah normal
Keterbelakangan mental
Kejang/epilepsi (terutama pada tipe spastik)
Gangguan menghisap atau makan
Pernafasan yang tidak teratur
Gangguan perkembangan kemampuan motorik (misalnya menggapai
sesuatu, duduk, berguling, merangkak, berjalan)
Gangguan berbicara (disartria)
Gangguan penglihatan
Gangguan pendengaran
Kontraktur persendian
Gerakan menjadi terbatas
e. Penanganan
Meski cerebral palsy tidak bisa disembuhkan secara total, penderita cerebral palsy
perlu mendapat terapi dan pengobatan untuk memperbaiki
kemampuan anak sehingga dapat menjalani hidup mendekati normal. Tidak ada
standar terapi yang dibutuhkan oleh penderita cerebral palsy, karena setiap
penderita memiliki kondisi yang berbeda-beda. Tapi secara umum, inilah jenis
terapi dan pengobatan yang dibutuhkan oleh penderita cerebral palsy:
Rehabilitasi medik, yang meliputi fisioterapi (terapi fisik), terapi okupasi,
dan terapi wicara.
Terapi perilaku, yang dilakukan oleh seorang psikolog.
Terapi obat, biasanya diberikan pada kasus-kasus CP yang disertai dengan
kejang, atau untuk mengontrol spastisitas (kekakuan otot), atau untuk
mengontrol gerakan-gerakan abnormal.
Terapi okupasi atau operasi, biasanya direkomendasikan bila terjadi
keterbatasan otot yang berat, yang menyebabkan gangguan gerakan,
terutama gerakan berjalan. Atau, operasi untuk mengurangi spastisitasnya
(kekakuan otot).
f. Pencegahan
Lakukanlah pemeriksaan kehamilan secara teratur
Pemeriksaan darah untuk mengetahui jenis rhesus ayah dan ibu. Perbedaan
rhesus antara ibu (rhesus negatif) dan bayinya (rhesus positif) biasanya
tidak menyebabkan gangguan pada kehamilan pertama
Pastikan bahwa anda (calon ibu) telah menerima vaksinasi
terhadap rubella sebelum hamil. Vaksin biasanya diberikan dalam bentuk
kombinasi dengan cacar air dan gondongan/mumps (MMR)
Seorang wanita yang berencana untuk hamil sebaiknya menghindari
infeksi toksoplasmosis dengan tidak mengkonsumsi daging babi atau
domba yang tidak matang dan menghindari kotoran kucing. Gunakanlah
sarung tangan saat berkebun dan cucilah tangan setelah berkebun untuk
mencegah terinfeksi toksoplasmosis melalui tanah yang telah
terkontaminasi oleh kotoran kucing
Gunakanlah pelindung kepala saat bersepeda untuk menghindari terjadinya
cedera kepala pada anak
Pastikan agar anak anda menggunakan pengaman saat duduk di
dalam mobil untuk mencegah terjadinya cedera kepala
Segera hubungi dokter anak anda untuk memperoleh pertolongan medis
bila bayi anda tampak kuning (jaundice).
3. DOWN SYNDROM
a. Besaran Kasus
Saat ini di Indonesia diperkirakan terdapat 300.000 bayi yang telah dilahirkan
dengan down syndrome. Usia ibu yang diatas 35 tahun saat kehamilan juga dapat
memperberbesar risiko down syndrome pada anak yang dikandungnya, sebanyak
95% anak down syndrome dilahirkan oleh ibu yang ketika itu telah berusia diatas
35 tahun. Hal ini berkaitan dengan hormonal wanita pada usia tersebut yang dapat
menyebakan translokasi kromosom. Down syndrome sering juga di sebut mongol,
hal ini karena penampilan fisik mereka yang menyerupai kaum mongoloid,
sebutan untuk orang asia. Kebanyakan anak down syndrome lahir dengan kelainan
pada organ tubuhnya. Misalnya jantung, paru-paru, dan lain-lain. Selain itu
mereka juga memiliki masalah dalam berpikir. Hal ini membuat mereka
membutuhkan perhatian ekstra. Namun sayangnya banyak para orang tua dari
anak-anak dengan down syndrome di Indonesia yang tidak siap menerima
kenyataan mengenai keadaan anak mereka, selain itu peran pemerintah juga dirasa
kurang dalam hal memberikan dukungan pada para orang tua yang memiliki anak
dengan down syndrome.
b. Pengertian
Down syndrome merupakan kelainan kromosom yang dapat dikenal dengan
melihat manifestasi klinis yang cukup khas. Kelainan yang berdampak pada
keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental anak ini pertama kali dikenal pada
tahun 1866 oleh Dr.John Longdon Down. Down Syndrome adalah suatu kondisi
keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya
abnormalitas perkembangan kromosom. Bayi normal dilahirkan dengan jumlah 46
kromosom (23 pasang) yaitu hanya sepasang kromosom 21 (2 kromosom 21).
Sedangkan bayi dengan penyakit down syndrome memiliki kelebihan kromosom
21 dimana 3 kromosom 21 menjadikan jumlah kesemua kromosom ialah 47
kromosom.
c. Penyebab
Tidak ada hal yang dapat mencegah terjadinya sindrom down. Beberapa
penelitian menduga bahwa wanita yang memiliki anak dengan sindrom down
memiliki kelainan di mana asam folat dimetabolisme sehingga tidak terdapat
cukup asam folat bagi perkembangan bayi. Oleh karena itu, sangat dianjurkan
untuk mengkonsumsi suplemen asam folat sebelum dan selama kehamilan
setidaknya sebanyak 400 mcg setiap harinya.
d. Gejala
Gejala atau tanda-tanda yang muncul akibat Down syndrome dapat bervariasi
mulai dari yang tidak tampak sama sekali, tampak minimal sampai muncul tanda
yang khas. Tanda yang paling khas pada anak yang menderita Down Syndrome
adalah adanya keterbelakangan perkembangan fisik dan mental pada anak.
Penderita sangat mudah dikenali dengan adanya penampilan fisik yang menonjol
berupa bentuk kepala yang relatif kecil dari normal (microchephaly) dengan
bagian anteroposterior kepala mendatar. Pada bagian wajah biasanya tampak sela
hidung yang datar, mulut yang mengecil dan lidah yang menonjol keluar
(macroglossia). Seringkali mata menjadi sipit dengan sudut bagian tengah
membentuk lipatan (epicanthal folds). Tanda klinis pada bagian tubuh lainnya
berupa tangan yang pendek termasuk ruas jari-jarinya serta jarak antara jari
pertama dan kedua baik pada tangan maupun kaki melebar. Sementara itu lapisan
kulit biasanya tampak keriput (dermatoglyphics).Kelainan kromosom ini juga bisa
menyebakan gangguan atau bahkan kerusakan pada sistim organ yang lain. Pada
bayi baru lahir kelainan dapat berupa Congenital Heart Disease. kelainan ini yang
biasanya berakibat fatal di mana bayi dapat meninggal dengan cepat.
e. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom
melalui amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal
kehamilan. Terlebih lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan Down
syndrome atau mereka yang hamil di atas usia 40 tahun harus dengan hati-hati
memantau perkembangan janinnya karena mereka memiliki resiko melahirkan
anak dengan Down syndrome lebih tinggi. Down Syndrome gak bisa dicegah,
karena DS merupakan kelainan yang disebabkan oleh kelainan jumlah kromosom.
Jumlsh kromosm 21 yang harusnya cuma 2 menjadi 3. Penyebabnya? masih tidak
diketahui pasti. Yang dapat disimpulkan sampai saat ini adalah makin tua usia ibu
makin tinggi risiko untuk terjadinya DS.Diagnosis dalam kandungan bisa
dilakukan, diagnosis pasti dengan analisis kromosom dengan cara pengambilan
CVS (mengambil sedikit bagian janin pada plasenta) pada kehamilan 10-12
minggu) atau amniosentesis (pengambilan air ketuban) pada kehamilan 14-16
minggu.