Anda di halaman 1dari 19

KESEHATAN IBU DAN ANAK

OLEH

JOHANNA ANGELIA DAMANUNA

1207017160

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2014
1. AUTISME
a. Besar Kasus

Akhir-akhir ini kasus autis banyak merebak tidak saja di negara-negara maju
seperti Inggris, Australia, Jerman dan Amerika, tetapi juga di negara berkembang
seperti Indonesia. Prevalensi autis di dunia saat ini mencapai 15-20 kasus per
10.000 anak atau 0,15-0,20%, jika angka kelahiran di Indonesia enam juta per
tahun, maka jumlah penyandang autis di Indonesia, bertambah 0,15% atau 6.900
anak pertahun, prevalensi anak laki-laki tiga sampai empat kali lebih besar
daripada anak perempuan. Sampai saat ini penyebab autis masih belum dapat
dipastikan. Berdasarkan penelitian, bahan metabolit sebagai hasil antara proses
metabolisme (sering berupa asam organik) merupakan bahan yang dapat
mengganggu fungsi otak, dan diperkirakan sebagai penyebab munculnya gejala
autis. Keadaan tersebut seringkali didahului dengan gangguan pencernaan yang
dianggap penyebab utama terjadinya penyimpangan metabolime.
b. Pengertian
Istilah autisme berasal dari kata “Autos” yang berarti diri sendiri dan “isme”
yang berarti suatu aliran, sehingga dapat diartikan sebagai suatu paham tertarik
pada dunianya sendiri. Autisme pertama kali ditemukan oleh Leo Kanner pada
tahun 1943. Kanner mendeskripsikan gangguan ini sebagai ketidakmampuan untuk
berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan
penguasaan bahasa yang tertunda, echolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya
aktivitas bermain repetitive dan stereotype, rute ingatan yang kuat dan keinginan
obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya..
Istilah autisme dipergunakan untuk menunjukkan suatu gejala psikosis pada
anak-anak yang unik dan menonjol yang sering disebut sindrom Kanner yang
dicirikan dengan ekspresi wajah yang kosong seolah-olah sedang melamun,
kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi orang lain untuk menarik perhatian mereka
atau mengajak mereka berkomunikasi.
Autisme adalah gangguan perkembangan nerobiologi yang berat yang terjadi
pada anak sehingga menimbulkan masalah pada anak untuk berkomunikasi dan
berelasi (berhubungan) dengan lingkungannya. Penyandang autisme tidak dapat
berhubungan dengan orang lain secara berarti, serta kemampuannya untuk
membangun hubungan dengan orang lain terganggu karena masalah ketidak
mampuannya untuk berkomunikasi dan untuk mengerti apa yang dimaksud oleh
orang lain. Tanda-tanda/gejala ini sudah nampak jelas sebelum anak berusia 3
tahun, dan kemudian berlanjut sampai dewasa jika tidak dilakukan intervensi yang
tepat.
c. Penyebab
 Lingkungan Perinatal
Autisme dikaitkan dengan beberapa perinatal dan obstetri kondisi.
Pada tahun 2007 ditemukan kondisi obstetri terkait yang termasuk berat
badan lahir rendah dan durasi usia kehamilan dan juga hipoksia selama
persalinan. Asosiasi ini tidak menunjukkan hubungan sebab akibat.
Akibatnya, merupakan penyebab yang mendasari dapat menjelaskan kedua
autisme dan kondisi terkait.
Sebuah studi tahun 2007 pada bayi prematur ditemukan bahwa mereka
yang selamat dari cedera hemorrhagic cerebellar (perdarahan di otak yang
melukai cerebellum ) secara bermakna lebih mungkin untuk menunjukkan
gejala autisme dibandingkan kontrol tanpa cedera.
 Lingkungan Postnatal
Berbagai macam kontributor postnatal dengan autisme telah diajukan,
termasuk gastrointestinal atau kelainan sistem kekebalan tubuh, alergi, dan
paparan anak-anak terhadap obat, vaksin, infeksi, makanan tertentu, atau
logam berat. Bukti untuk faktor risiko ini adalah anekdot dan belum
dikonfirmasi oleh penelitian yang dapat diandalkan.
 Kurangnya vitamin D
Ada bukti terbatas untuk hipotesis bahwa defisiensi vitamin D
memiliki peran dalam autisme, dan mungkin biologis memang masuk akal,
tetapi penelitian lebih lanjut masih diperlukan.
 Faktor genetis atau keturunan
Gen menjadi faktor kuat yang menyebabkan anak autis. Jika dalam
satu keluarga memiliki riwayat menderita autis, maka keturunan
selanjutnya memiliki peluang besar untuk menderita autis. Hal ini
disebabkan karena terjadi gangguan gen yang memengaruhi perkembangan,
pertumbuhan dan pembentukan sel-sel otak. Kondisi genetis pemicu autis
ini bisa disebabkan karena usia ibu saat mengandung sudah tua atau usia
ayah yang sudah tua. Diketahui bahwa sperma laki-laki berusia tua
cenderung mudah bermutasi dan memicu timbulnya autisme. Selain itu,
ibu yang mengidap diabetes juga ditengarai sebagai pemicu autisme pada
bayi.
 Faktor kelahiran
Bayi lahir dengan berat rendah, prematur, dan lama dalam kandungan
(lebih dari 9 bulan) berisiko mengidap autisme. Selain itu, bayi yang
mengalami gagal napas (hipoksa) saat lahir juga berisiko mengalami autis.
 Faktor lingkungan
Bayi yang lahir sehat belum tentu tidak mengalami autisme. Faktor
lingkungan (eksternal) juga bisa menyebabkan bayi menderita autisme,
seperti lingkungan yang penuh tekanan dan tidak bersih. Lingkungan yang
tidak bersih dapat menyebabkan bayi alergi melalui ibu. Karena itu, hindari
paparan sumber alergi berupa asap rokok, debu atau makanan yang
menyebabkan alergi.
 Faktor obat-obatan
Obat-obatan untuk mengatasi rasa mual, muntah, ataupun penenang
yang dikonsumsi ibu hamil berisiko menyebabkan anak autis. Karena itu,
Anda harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter sebelum
mengonsumsi obat-obatan jenis apa pun saat hamil. Selain itu, paparan
obat-obatan opium (penghilang rasa nyeri) dapat mengganggu
perkembangan saraf sehingga otak pun tidak berkembang dengan baik.
Bahkan, paparan merkuri juga memicu timbulnya autisme pada bayi.
Merkuri bisa berasal dari: saat Anda mengonsumsi ikan yang
terkontaminasi merkuri, penggunaan kosmetik yang mengandung merkuri,
bahan-bahan perawatan tubuh bayi yang berkomposisi merkuri, dan
sebagainya.
 Faktor makanan
Zat kimia yang terkandung dalam makanan sangat berbahaya untuk
kandungan. Salah satunya, pestisida yang terpapar pada sayuran,
Diketahui bahwa pestisida mengganggu fungsi gen pada saraf pusat,
menyebabkan anak autis.
d. Gejala
 Tidak bisa menguasai atau sangat lamban dalam penguasaan bahasa sehari-
hari.
 Hanya bisa mengulang-ulang beberapa kata.
 Mata yang tidak jernih atau tidak bersinar.
 Tidak suka atau tidak bisa atau atau tidak mau melihat mata orang lain.
 Hanya suka akan mainannya sendiri (kebanyakan hanya satu mainan itu
saja yang dia mainkan).
 Serasa dia punya dunianya sendiri.
 Tidak suka berbicara dengan orang lain.
 Tidak suka atau tidak bisa menggoda orang lain.
e. Penanganan
 Obat-obatan
Obat-obatan hanya dapat membantu mengendalikan gejala autisme.
Vitamin, suplemen gizi, antidepresan, dan obat-obatan antipsikotik
menunjukkan hasil yang positif dalam mengobati kasus autisme.
 Terapi Komunikasi
Terapi komunikasi membantu menginisiasi bahasa dan perkembangan
non verbal. Terapi bicara dan interaksi sosial sering digunakan untuk
membantu mengatasi hambatan emosional dalam komunikasi. Cerita
sosial digunakan untuk membantu anak autis memahami peristiwa,
perasaan, penalaran, serta sudut pandang.
 Terapi Perilaku
Terapi perilaku membantu mengubah perilaku berulang, tidak pantas,
dan agresif. Terapi ini dilakukan untuk membantu anak autis memperoleh
keterampilan yang dibutuhkan agar mampu berbaur dengan lingkungan
sekitarnya. Berbagai metode digunakan untuk mengatasi autisme, baik
dilakukan bersamaan maupun secara terpisah. Analisis perilaku diterapkan
dengan membagi keterampilan dalam beberapa tahap kemudian
mengajarkannya pada anak autis. Memberi hadiah setiap kali anak mampu
melakukan tahap tertentu akan membantu anak autis untuk belajar dengan
meniru (imitasi). Terapi integrasi sensori berfokus pada stimulasi sensori
melalui paparan rasa, suara, atau tekstur yang berbeda.
Metode lain yang digunakan adalah terapi bermain, dimana
perkembangan emosional yang menjadi fokus. Terapi ini biasanya
dilakukan dengan bermain peran antara orang dewasa dan anak, serta
berusaha untuk mengembangkan keterampilan sosial dan interaksi sosial.
Meskipun tidak dapat disembuhkan, diagnosis dini yang disertai
intervensi bisa membantu anak autisme berfungsi lebih baik dan
meningkatkan kualitas hidupnya.

f. Pencegahan
 Tindakan pencegahan adalah yang paling utama dalam resiko terjadinya
penyakit atau gangguan. Demikian pula kelainan autis, meskipun teori
penyebabnya masih belum jelas terungkap namun beberapa upaya
pencegahan dapat dilakukan.
 Upaya pencegahan tersebut berdasarkan teori penyebab ataupun penelitian
faktor resiko autis.
 Pencegahan ini dapat dilakukan sedini mungkin sejak merencanakan
kehamilan, saat kehamilan, persalinan dan periode usia anak.

2. CEREBRAL PALSY
a. Besaran Kasus
Prevalensi Cerebral Palsy secara global berkisar antara 1-1,5 per 1.000 kelahiran
hidup dengan insidensi meningkat pada kelahiran prematur. Di negara maju,
prevalensi Cerebral Palsy dilaporkan sebesar 2-2,5 kasus per 1.000 kelahiran
hidup, sedangkan di negara berkembang berkisar antara 1,5-5,6 kasus per 1.000
kelahiran hidup. Hingga saat ini, belum tersedia data akurat perihal jumlah
penderita CP di Indonesia, diperkirakan terdapat sekitar 1-5 kasus per 1.000
kelahiran hidup. Sekitar 50% dari mereka meninggal sebelum mencapai usia 20
tahun. Kematian tersebut biasanya akibat komplikasi sekunder yang terkait
dengan disfungsi neurologis primer. Penyakit dan kematian dini paling sering
terjadi karena gangguan pernafasan dan infeksi pada paru-paru.
b. Pengertian
Secara definisi dapat diartikan kata cerebral itu sendiri adalah otak, sedangkan
palsy adalah kelumpuhan, kelemahan, atau kurangnya pengendalian otot dalam
setiap pergerakan atau bahkan tidak terkontrol. Kerusakan otak tersebut
mempengaruhi sistem dan penyebab anak mempunyai koordinasi yang buruk,
keseimbangan yang buruk, pola-pola gerakan yang abnormal atau kombinasi dari
karakter-karakter tersebut. Kelainan yang muncul tergantung luasnya kerusakan
otak yang dialami anak, letak kerusakan di otak dan seberapa cepat
penanganannya yang diberikan, kerusakan yang dialami biasanya tidak akan
bertambah parah, namun dengan bertambahnya usia maka kemampuan anak yang
dimilki dapat terlihat semakin tertinggal.
Cerebral palsy adalah suatu kelainan gerakan dan postur yang tidak progresif
oleh karena suatu kerusakan atau gangguan pada sel-sel motorik pada susunan
saraf pusat yang sedang tumbuh atau belum selesai pertumbuhannya. Cerebaral
palsy merupakan gangguan pada otak yang bersifat non progresif.
Gangguan ini dapat disebabkan oleh adanya lesi atau gangguan perkembangan
pada otak Cerebaral palsy adalah akibat dari lesi atau gangguan perkembangan
otak bersifat non progresif dan terjadi akibat bayi lahir terlalu dini (prematur).
Defisit motorik dapat ditemukan pada pola abnormal dari postur dan gerakan.
c. Penyebab
Cerebral palsy dapat disebabkan oleh cedera otak yang terjadi pada saat:
 Bayi masih berada dalam kandungan
 Proses persalinan berlangsung
 Bayi baru lahir
d. Gejala
 Kecerdasan di bawah normal
 Keterbelakangan mental
 Kejang/epilepsi (terutama pada tipe spastik)
 Gangguan menghisap atau makan
 Pernafasan yang tidak teratur
 Gangguan perkembangan kemampuan motorik (misalnya menggapai
sesuatu, duduk, berguling, merangkak, berjalan)
 Gangguan berbicara (disartria)
 Gangguan penglihatan
 Gangguan pendengaran
 Kontraktur persendian
 Gerakan menjadi terbatas
e. Penanganan
Meski cerebral palsy tidak bisa disembuhkan secara total, penderita cerebral palsy
perlu mendapat terapi dan pengobatan untuk memperbaiki
kemampuan anak sehingga dapat menjalani hidup mendekati normal. Tidak ada
standar terapi yang dibutuhkan oleh penderita cerebral palsy, karena setiap
penderita memiliki kondisi yang berbeda-beda. Tapi secara umum, inilah jenis
terapi dan pengobatan yang dibutuhkan oleh penderita cerebral palsy:
 Rehabilitasi medik, yang meliputi fisioterapi (terapi fisik), terapi okupasi,
dan terapi wicara.
 Terapi perilaku, yang dilakukan oleh seorang psikolog.
 Terapi obat, biasanya diberikan pada kasus-kasus CP yang disertai dengan
kejang, atau untuk mengontrol spastisitas (kekakuan otot), atau untuk
mengontrol gerakan-gerakan abnormal.
 Terapi okupasi atau operasi, biasanya direkomendasikan bila terjadi
keterbatasan otot yang berat, yang menyebabkan gangguan gerakan,
terutama gerakan berjalan. Atau, operasi untuk mengurangi spastisitasnya
(kekakuan otot).
f. Pencegahan
 Lakukanlah pemeriksaan kehamilan secara teratur
 Pemeriksaan darah untuk mengetahui jenis rhesus ayah dan ibu. Perbedaan
rhesus antara ibu (rhesus negatif) dan bayinya (rhesus positif) biasanya
tidak menyebabkan gangguan pada kehamilan pertama
 Pastikan bahwa anda (calon ibu) telah menerima vaksinasi
terhadap rubella sebelum hamil. Vaksin biasanya diberikan dalam bentuk
kombinasi dengan cacar air dan gondongan/mumps (MMR)
 Seorang wanita yang berencana untuk hamil sebaiknya menghindari
infeksi toksoplasmosis dengan tidak mengkonsumsi daging babi atau
domba yang tidak matang dan menghindari kotoran kucing. Gunakanlah
sarung tangan saat berkebun dan cucilah tangan setelah berkebun untuk
mencegah terinfeksi toksoplasmosis melalui tanah yang telah
terkontaminasi oleh kotoran kucing
 Gunakanlah pelindung kepala saat bersepeda untuk menghindari terjadinya
cedera kepala pada anak
 Pastikan agar anak anda menggunakan pengaman saat duduk di
dalam mobil untuk mencegah terjadinya cedera kepala
 Segera hubungi dokter anak anda untuk memperoleh pertolongan medis
bila bayi anda tampak kuning (jaundice).

3. DOWN SYNDROM
a. Besaran Kasus
Saat ini di Indonesia diperkirakan terdapat 300.000 bayi yang telah dilahirkan
dengan down syndrome. Usia ibu yang diatas 35 tahun saat kehamilan juga dapat
memperberbesar risiko down syndrome pada anak yang dikandungnya, sebanyak
95% anak down syndrome dilahirkan oleh ibu yang ketika itu telah berusia diatas
35 tahun. Hal ini berkaitan dengan hormonal wanita pada usia tersebut yang dapat
menyebakan translokasi kromosom. Down syndrome sering juga di sebut mongol,
hal ini karena penampilan fisik mereka yang menyerupai kaum mongoloid,
sebutan untuk orang asia. Kebanyakan anak down syndrome lahir dengan kelainan
pada organ tubuhnya. Misalnya jantung, paru-paru, dan lain-lain. Selain itu
mereka juga memiliki masalah dalam berpikir. Hal ini membuat mereka
membutuhkan perhatian ekstra. Namun sayangnya banyak para orang tua dari
anak-anak dengan down syndrome di Indonesia yang tidak siap menerima
kenyataan mengenai keadaan anak mereka, selain itu peran pemerintah juga dirasa
kurang dalam hal memberikan dukungan pada para orang tua yang memiliki anak
dengan down syndrome.
b. Pengertian
Down syndrome merupakan kelainan kromosom yang dapat dikenal dengan
melihat manifestasi klinis yang cukup khas. Kelainan yang berdampak pada
keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental anak ini pertama kali dikenal pada
tahun 1866 oleh Dr.John Longdon Down. Down Syndrome adalah suatu kondisi
keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya
abnormalitas perkembangan kromosom. Bayi normal dilahirkan dengan jumlah 46
kromosom (23 pasang) yaitu hanya sepasang kromosom 21 (2 kromosom 21).
Sedangkan bayi dengan penyakit down syndrome memiliki kelebihan kromosom
21 dimana 3 kromosom 21 menjadikan jumlah kesemua kromosom ialah 47
kromosom.
c. Penyebab
Tidak ada hal yang dapat mencegah terjadinya sindrom down. Beberapa
penelitian menduga bahwa wanita yang memiliki anak dengan sindrom down
memiliki kelainan di mana asam folat dimetabolisme sehingga tidak terdapat
cukup asam folat bagi perkembangan bayi. Oleh karena itu, sangat dianjurkan
untuk mengkonsumsi suplemen asam folat sebelum dan selama kehamilan
setidaknya sebanyak 400 mcg setiap harinya.
d. Gejala
Gejala atau tanda-tanda yang muncul akibat Down syndrome dapat bervariasi
mulai dari yang tidak tampak sama sekali, tampak minimal sampai muncul tanda
yang khas. Tanda yang paling khas pada anak yang menderita Down Syndrome
adalah adanya keterbelakangan perkembangan fisik dan mental pada anak.
Penderita sangat mudah dikenali dengan adanya penampilan fisik yang menonjol
berupa bentuk kepala yang relatif kecil dari normal (microchephaly) dengan
bagian anteroposterior kepala mendatar. Pada bagian wajah biasanya tampak sela
hidung yang datar, mulut yang mengecil dan lidah yang menonjol keluar
(macroglossia). Seringkali mata menjadi sipit dengan sudut bagian tengah
membentuk lipatan (epicanthal folds). Tanda klinis pada bagian tubuh lainnya
berupa tangan yang pendek termasuk ruas jari-jarinya serta jarak antara jari
pertama dan kedua baik pada tangan maupun kaki melebar. Sementara itu lapisan
kulit biasanya tampak keriput (dermatoglyphics).Kelainan kromosom ini juga bisa
menyebakan gangguan atau bahkan kerusakan pada sistim organ yang lain. Pada
bayi baru lahir kelainan dapat berupa Congenital Heart Disease. kelainan ini yang
biasanya berakibat fatal di mana bayi dapat meninggal dengan cepat.
e. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom
melalui amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal
kehamilan. Terlebih lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan Down
syndrome atau mereka yang hamil di atas usia 40 tahun harus dengan hati-hati
memantau perkembangan janinnya karena mereka memiliki resiko melahirkan
anak dengan Down syndrome lebih tinggi. Down Syndrome gak bisa dicegah,
karena DS merupakan kelainan yang disebabkan oleh kelainan jumlah kromosom.
Jumlsh kromosm 21 yang harusnya cuma 2 menjadi 3. Penyebabnya? masih tidak
diketahui pasti. Yang dapat disimpulkan sampai saat ini adalah makin tua usia ibu
makin tinggi risiko untuk terjadinya DS.Diagnosis dalam kandungan bisa
dilakukan, diagnosis pasti dengan analisis kromosom dengan cara pengambilan
CVS (mengambil sedikit bagian janin pada plasenta) pada kehamilan 10-12
minggu) atau amniosentesis (pengambilan air ketuban) pada kehamilan 14-16
minggu.

4. GAGAL TUMBUH (FAILURE TO THRIVE)


a. Besaran Kasus
Gagal tumbuh adalah istilah lama yang digunakan secara klinis untuk
menggambarkan bayi dan balita yang tidak dapat tumbuh seperti yang diharapkan
sesuai dengan umur dan jenis kelaminnya. Problem klinis ini membuat orang
tua mendatangi dokter anak dan dokterkeluarga di tingkat pelayanan primer, sulit
dalam penegakan diagnosis maupun terapinyakarena memiliki beragam penyebab
medis dan lingkungan. Insidensi terkini dari kondisi inimasih sulit
untuk digambarkan. Meskipun data berdasarkan populasi tidak tersedia, penelitian
yang berdasarkan komunitas menemukan prevalensi 3% – 4 % pada tahun
pertamakehidupan (Skuse, et al, 1994). Gagal tumbuh sering terjadi, dengan
perkiraan prevalensisekitar 10 % dari pasien rawat jalan.
b. Pengertian
Gagal tumbuh pada anak merupakan keadaan kurang gizi (malnutrisi) yang
disebabkan oleh kurangnya asupan kalori, gangguan penyerapan kalori dari
makanan atau pengeluran kalori yang berlebihan dari aktivitas sehari-hari. Kurang
gizi sering disebabkan oleh faktor biologi, psikososial dan lingkungan sekitar.
Kebanyakan kasus gagal tumbuh disebabkan oleh kurangnya asupan kalori karena
masalah kebiasaan dan psikososial. Langkah paling penting pada evaluasi anak
dengan gagal tumbuh adalah mengetahui kebiasaan makan anak dan asupan
kalorinya sehari-hari. Pemeriksaan laboratorium jarang dapat menemukan
penyebab dari gagal tumbuh sehingga tidak dianjurkan untuk dilakukan secara
rutin.
c. Penyebab
Penyebab gagal tumbuh digolongkan menjadi organik (medis) dan non
organik (sosial atau lingkungan). Pada kebanyakan anak, penyebabnya multifaktor
meliputi biologis, psikososial dan lingkungan. Dalam praktek sehari-hari, gagal
tumbuh paling banyak disebabkan oleh kurangnya asupan kalori. Pada bayi usia di
bawah 2 bulan, masalah dalam menyusui seringkali menjadi penyebab. Faktor
keluarga yang dapat menyebabkan kurangnya asupan kalori antara lain gangguan
kesehatan mental orang tua, kurangnya pengetahuan tentang nutrisi dan kesulitan
ekonomi. Kemiskinan merupakan faktor resiko terbesar penyebab gagal tumbuh
baik di negara maju maupun negara berkembang.
Gangguan penyerapan kalori antara lain disebabkan oleh gangguan metabolik,
alergi makanan, malabsorbsi (diare kronis, penyakit celiac, protein losing
enteropathy). Pengeluaran energi yang berlebihan biasanya terjadi pada penyakit
kronis seperti penyakit jantung bawaan, penyakit paru kronis.
d. Gejala
Dokter mendiagnosa gagal tumbuh ketika berat anak atau tingkat pertumbuhan
sangat rendah yang harus dibandingkan dengan ukuran yang lama atau table
tinggi-berat standar (lihat table tinggi dan berat untuk anak laki-laki dan
perempuan). Jika tingkat pertumbuhan cukup, anak tersebut kecil untuk seusianya
tetapi masih bertumbuh secara normal.
e. Pencegahan
Untuk mengatasi dan mencegah terjadinya kegagalan pertumbuhan pada anak
dapat dilakukan dengan intervensi gizi efektif melalui paket Intervensi Gizi
Efektif (IGE), yaitu memberikan rangkaian layanan sejak pra-kehamilan sampai
anak berusia dua tahun.
Isi dari Paket Intervensi Gizi Efektif diantaranya adalah sebagai berikut :
 Konseling bagi ibu hamil dan ibu dari anak-anak di bawah usia 2
tahun
 Praktek pemberian makanan bayi dan anak yang tepat
 Gizi mikro bagi perempuan hamil dan bagi anak yang meliputi :
o Besi dan asam folat atau suplementasi gizi mikro ganda bagi
ibu hamil
o Garam beryodium yang memadai bagi semua rumah tangga
o Suplementasi Vitamin A bagi anak-anak usia 6-59 bulan
 Perilaku kebersihan yang baik dalam kehamilan, masa bayi dan usia
dini
 Pemberantasan penyakit cacingan bagi ibu dan anak usi 1-5 tahun
 Pengobatan anak yang sangat kurus dengan menggunakan makanan
terapetik siap pakai
 Pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil yang kekurangan energi
dan protein bagi ibu hamil kurang makan
 Calcium supplementation for pregnant women (UNICEF Indonesia,
2012).

5. GPPH (Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktif)


a. Besaran Kasus
Pada umumnya berbagai ahli mengemukakan prevalensi GPPH pada anak
sekolah berkisar 3%-10%. Di Amerika Serikat para ahli mempunyai kesepakatan
bahwa prevalensi GPPH 3%-5% pada populasi anak. Penelitian prevalensi GPPH
di Kanada menunjukkan hasilnya sebesar 9% pada anak laki-laki dan 3.3% pada
anak perempuan. Di Indonesia prevalensi GPPH 4.2%.
b. Pengertian
Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) adalah suatu
kondisi medis yang ditandai oleh ketidakmampuan memusatkan perhatian,
hiperaktif dan atau impulsif yang terdapat lebih sering dan lebih berat
dibandingkan dengan anak-anak yang sebaya. Masalah ini terdapat secara
menetap (persisten) dan biasanya menyebabkan kesulitan dalam kehidupan anak,
baik di rumah, sekolah, atau dalam hubungan sosial antar manusia. Gejala yang
tampil tidak sama pada semua anak, oleh karena itu masalah yang dihadapi juga
berbeda. Sebagian anak dapat menunjukkan gejala hiperaktif, yang lainnya
menunjukkan gejala kesulitan memusatkan perhatian, dan ada pula yang
menunjukkan impulsivitas, atau ketiga gejala tersebut terdapat secara bersamaan.
Gejalanya bervariasi, mulai dari ringan, sedang sampai berat.
c. Penyebab
 Faktor genetik
 Faktor perkembangan janin
 Penggunaan alcohol oleh ibu selama masa kehamilan
 Struktur otak tidak normal
 Pengaruh kuat keracunan dan kontaminasi lingkungan
 Alergi makanan
 Kondisi-kondisi kesehatan yang lain
 Efek samping dari pengobatan
 Keluarga tidak harmonis
 Faktor psikososial
 Ada kemungkinan beberapa faktor di atas saling berinteraksi.
d. Gejala
 Tidak Mampu Memusatkan Perhatian (Inattentiveness)
Sesuai dengan definisi, penderita GPPH menunjukkan kesulitan
memusatkan perhatian dibandingkan dengan anak normal dengan umur
dan jenis kelamin yang sama. Orangtua atau guru sering mengemukakan
masalah konsentrasi atau pemusatan perhatian dengan istilah, seperti:
melamun, tidak dapat berkonsentrasi, kurang konsentrasi, sering
kehilangan barang barang, perhatian mudah beralih, belum dapat
menyelesaikan tugas sendiri, kalau belajar harus selalu ditunggu, sering
bengong, mudah beralih dari satu kegiatan ke kegiatan yang lain, lambat
dalam menyelesaikan tugas.
 Hiperaktivitas
Gangguan ini memiliki karakteristik utama yaitu aktivitas yang sangat
berlebihan atau tidak sesuai dengan tingkat perkembangannya, baik
aktivitas motorik maupun vokal. Hiperaktivitas paling sering dijumpai
sebagai kegelisahan, tidak bisa diam atau restless, tangan dan kaki selalu
bergerak atau fidgety, tubuh secara menyeluruh bergerak tidak sesuai
situasi. Gerakan gerakan tersebut seringkali tanpa tujuan, tidak sesuai
dengan tugas yang sedang dikerjakan atau situasi yang ada.
 Perilaku Impulsif (Impulsiveness)
Anak yang menderita GPPH pada umumnya tidak mampu menghambat
tingkah lakunya pada waktu memberikan respons terhadap tuntutan
situasional dibandingkan dengan anak normal pada umur dan jenis
kelamin sama. Kondisi ini seringkali disebut sebagai impulsivitas. Seperti
dengan gejala tidak mampu memusatkan perhatian, gejala ini juga
merupakan kondisi multi dimensional. Gejala impulsivitas dapat berupa
tingkah laku kurang terkendali, tidak mampu menunda respons, tidak
mampu menunda pemuasan, atau menghambat prepotent response atau
respons yang sangat mendesak
e. Penanganan
 Faktor-faktor biologis-fisiologis
Faktor ini seringkali berkaitan dengan sistem kerja saraf pusat, yaitu otak.
Bila gangguan pada sistem kerja saraf pusat tidak berat, maka bantuan
penanganan yang diberikan pada anak GPPH/ADHD akan memberikan
hasil yang berarti.
 Faktor psikoedukatif
Faktor ini sering berkaitan dengan pola asuh orang tua dalam mengarahkan
anak agar dapat memenuhi tugas-tugas perkembangan sesuai dengan tahap
perkembangan usia anak. Pola asuh yang mendukung penanaman
kedisiplinan, kemandirian, tanggung jawab anak dan merangsang
kematangan anak dapat memberikan bantuan penanganan yang lebih baik
terhadap anak GPPH/ADHD.
 Faktor psikososial lingkungan anak
Faktor ini seringkali berkaitan dengan kehidupan sosial lingkungan di
tempat anak tinggal. Keberhasilan penanganan anak GPPH/ADHD tidak
mudah tercapai bila faktor psikososial lingkungan anak tidak mendukung.
Antara lain : (1) anak dibesarkan di lingkungan yang penuh dengan
pertengkaran orang tua, status sosial ekonomi buruk, tidak adanya
kerjasama, tanggung jawab dan peran orang tua yang buruk dalam
keluarga. (2) lingkungan tempat tinggal memberikan pengaruh yang buruk
terhadap anak, seperti tindakan kriminalitas, pengangguran dan kebiasaan-
kebiasaan buruk. (3) lingkungan tempat tinggal yang sempit, padat dan
tidak teratur.
 Faktor kematangan anak
Masalah-masalah GPPH/ADHD pada anak, terutama berkaitan dengan
perilaku hiperaktivitas, akan semakin berkurang seiring dengan
bertambahnya usia kematangan anak.
6. RETARDASI MENTAL
a. Besaran Kasus
Prevalensi retardasi mental sekitar 1 % dalam satu populasi. Di indonesia 1-3
% penduduknya menderita kelainan ini. Insidennya sulit di ketahui karena
retardasi mental kadang-kadang tidak dikenali sampai anak-anak usia pertengahan
dimana retardasinya masih dalam taraf ringan. Insiden tertinggi pada masa anak
sekolah dengan puncak umur 10 sampai 14 tahun. Retardasi mental mengenai 1,5
kali lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.
b. Pengertian
Keterbelakangan Mental atau lazim disebutRetardasi Mental (RM) adalah
suatu keadaan dimana keadaan dengan Intelegensia yang kurang (subnormal)
sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak-anak). Biasanya
terdapat perkembangan mental yang kurang secara keseluruhan, tetapi gejala
utama ialah Intelegensi yang terbelakang. Retardasi Mental disebut
juga Oligofrenia (oligo = kurang atau sedikit dan fren = jiwa) atau Tuna Mental.
Keadaan tersebut ditandai dengan fungsi kecerdasan umum yang berada dibawah
rata-rata dan disertai dengan berkurangnya kemampuan untuk menyesuaikan diri
atau berprilaku adaptif.
Retardasi Mental sebenarnya bukan suatu penyakit walaupun retardasi mental
merupakan hasil dari proses Patologik di dalam otak yang memberikan gambaran
keterbatasan terhadap Intelektualitas dan fungsi Adaptif. Retardasi Mental ini
dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa maupun gangguan fisik lainnya.
 Retardasi Mental Ringan
IQ sekitar 50-55 sampai 70. Sekitar 85 % dari orang yang terkena
Retardasi Mental. Pada umumnya anak-anak dengan Retardasi Mental
Ringan ini tidak dapat dikenali sampai anak tersebut menginjak tingkat
pertama atau kedua disekolah.
 Retardasi Mental Sedang
IQ sekitar 35-40 sampai 50-55
 Retardasi Mental Berat
IQ sekitar 20-25 sampai 35-40.
 Retardasi Mental Sangat Berat
IQ dibawah 20 atau 25.
c. Penyebab
 Akibat Infeksi dan/atau Intoksikasi
Dalam Kelompok ini termasuk keadaan Retardasi Mental karena
kerusakan jaringan otak akibat infeksi Intrakranial, cedera Hipoksia
(kekurangan oksigen), cedera pada bagian kepala yang cukup berat, Infeksi
sitomegalovirus bawaan, Ensefalitis, Toksoplasmosis kongenitalis,
Listeriosis, Infeksi HIV, karena serum, obat atau zat toksik lainnya.
 Akibat Rudapaksa dan atau Sebab Fisik Lain
Rudapaksa sebelum lahir serta juga trauma lain, seperti sinar x, bahan
kontrasepsi dan usaha melakukan abortus dapat mengakibatkan kelainan
Retardasi Mental, Pemakaian alkohol, kokain, amfetamin dan obat lainnya
pada ibu hamil, Keracunan metilmerkuri, Keracunan timah hitam juga
dapat mengakibatkan Retardasi Mental.
 Akibat Gangguan Metabolisme, Pertumbuhan atau Gizi
Semua Retardasi Mental yang langsung disebabkan oleh gangguan
Metabolisme (misalnya gangguan metabolime lemak, karbohidrat dan
protein), Sindroma Reye, Dehidrasi hipernatremik, Hipotiroid kongenital,
Hipoglikemia (diabetes melitus yang tidak terkontrol dengan baik),
pertumbuhan atau gizi termasuk dalam kelompok ini hal-hal seperti
Kwashiorkor, Marasmus, Malnutrisi dapat mengakibatkan Retardasi
Mental.
 Akibat Kelainan pada Kromosom
Kelainan ini bisa diartikan dengan kesalahan pada jumlah Kromosom
(Sindroma Down), defek pada Kromosom (sindroma X yang rapuh,
sindroma Angelman, sindroma Prader-Willi), dan Translokasi Kromosom.
 Akibat Kelainan Genetik dan Kelainan Metabolik Yang Diturunkan
Seperti Galaktosemia, Penyakit Tay-Sachs, Fenilketonuria, Sindroma
Hunter, Sindroma Hurler, Sindroma Sanfilippo, Leukodistrofi
metakromatik, Adrenoleukodistrofi, Sindroma Lesch-Nyhan, Sindroma
Rett, Sklerosis tuberose.
 Akibat Penyakit Otak Yang Nyata (Postnatal)
Dalam kelompok ini termasuk Retardasi Mental akibat Neoplasma
(tidak termasuk pertumbuhan sekunder karena rudapaksa atau peradangan)
dan beberapa reaksi sel-sel otak yang nyata, tetapi yang belum diketahui
betul etiologinya (diduga herediter). Reaksi sel-sel otak ini dapat bersifat
degeneratif, infiltratif, radang, proliferatif, sklerotik atau reparatif.
 Akibat Penyakit/Pengaruh Pranatal Yang Tidak Jelas
Keadaan ini diketahui sudah ada sejak sebelum lahir, tetapi tidak
diketahui etiologinya, termasuk Anomali Kranial Primer dan Defek
Kogenital yang tidak diketahui sebabnya.
 Akibat Prematuritas dan Kehamilan Wanita diatas 40 tahun
Kelompok ini termasuk Retardasi Mental yang berhubungan dengan
keadaan bayi pada waktu lahir berat badannya kurang dari 2500 gram
dan/atau dengan masa hamil kurang dari 38 minggu. Serta behubungan
pula dengan kehamilan anak pertama pada wanita Adolesen dan diatas 40
tahun.
 Akibat Gangguan Jiwa Berat
Untuk membuat diagnosa ini harus jelas telah terjadi gangguan jiwa
yang berat itu, dan tidak terdapat tanda-tanda patologi otak.
 Akibat Deprivasi Psikososial dan Lingkungan
Retardasi Mental dapat disebabkan oleh fakor-faktor Biomedik
maupun Sosiobudaya seperti Kemiskinan, Status ekonomi rendah,
Sindroma deprivasi. Contohnya Gangguan gizi yang tergolong berat dan
berlangsung lama dibawah dan sebelum umur 4 tahun sangat
memepengaruhi perkembangan otak dan dapat mengakibatkan Retardasi
Mental. Namun keadaan gangguan Gizi ini dapat diperbaiki dengan
memperbaiki gizi sebelum usia menginjak umur 6 tahun, namun tetap saja
intelegensi yang rendah itu sudah sukar ditingkatkan walaupun anak itu
dibanjiri dengan makanan bergizi.
d. Gejala
 Keterlambatan anak untutk bisa berguling, duduk atau merangkak
 Keterlambatan atau kesulitan dalam berbicara
 Lamabat untuk belajar buang air, berpakaian atau makan sendiri
 Sulit untuk mengingat sesuatu
 Tidak mampu untuk menghubungkan tibdakan dan akibatnya
 Gangguan perilaku, misalnya emosi mudah meledak
 Kesulitan untuk menyelesaikan masalah
e. Pencegahan
 Pencegahan Primer pada orang dengan Retardasi Mental dapat dilakukan
dengan pendidikan kesehatan pada masyarakat, perbaikan keadaan Sosio-
Ekonomi, Konseling Genetik dan Tindakan Kedokteran (seperti perawatan
Prenatal yang baik, pertolongan persalinan yang baik, kehamilan pada
wanita Adolesen dan diatas 40 tahun dikurangi dan pencegahan
peradangan otak pada anak-anak).
 Pencegahan Sekunder meliputi diagnosa dan pengobatan dini peradangan
otak, Perdarahan Subdural, Kraniostenosis (sutura tengkorak menutup
terlalu cepat, dapat dibuka dengan Kraniotomi; pada Mikrosefali yang
Kogenital, operasi tidak menolong).
 Pencegahan Tersier merupakan pendidikan penderita atau latihan khusus
sebaiknya disekolah luar biasa. Dapat diberi Neuroleptika kepada yang
gelisah, Hiperaktif atau Dektruktif.

Anda mungkin juga menyukai