Anda di halaman 1dari 5

ESSAY

DISUSUN OLEH
DEVIA FERINA NIM:113063C116005

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN SUAKA INSAN
BANJARMASIN
2019
ESSAY

1. Tingkat pengetahuan ,sikap dan perilaku remaja tentang bahaya meroko

Merokok merupakan salah satu kebiasaan yang lazim ditemui dalam


kehidupan sehari hari.Merokok merupakan bagian hidup masyarakat. Dari
segi kesehatan, tidak ada yang menyetujui dan melihat manfaat yang
dikandungnya. Namun tidak mudah untuk menurunkan terlebih
menghilangkannya.
Hasil riset Global Youth Tobacco Survey 2006 menunjukkan bahwa 24,5%
anak laki-laki dan 2,3% remaja putri usia 12 sampai 15 tahun adalah perokok.
Sementara itu, menurut Survei Ekonomi Nasional, prevalensi perokok remaja
usia 15 sampai 19 tahun mengalami lonjakan sebanyak 144% selama tahun
1995 hingga 2004. Survei ini juga menunjukan kecenderungan usia mulai
merokok (inisiasi) menjadi semakin dini, yakni usia lima sampai sembilan
tahun, dan mengalami peningkatan yang sangat berarti dari 0,4% pada tahun
2001 menjadi 1,8% pada tahun 2004 atau hampir lima kali lipat (Sundari,
Chariansyah, Kania, & Fitriah, 2008). Rata-rata umur mulai merokok secara
nasional adalah 17,6 tahun dengan persentase penduduk yang mulai merokok
tiap hari terbanyak pada umur 15-19 tahun. Menurut pendidikan, perokok
yang mulai merokok pada 15-19 tahun cenderung banyak pada pendidikan
tinggi sedangkan yang mulai merokok pada umur 5-9 tahun pada pendidikan
rendah.Menurut pekerjaan, perokok yang mulai merokok pada umur 15-19
tahun maupun 5-9 tahun, paling banyak pada anak sekolah dan cenderung
meningkat dengan meningkatnya status ekonomi (Riskesdas, 2010).

Oleh sebab itu saya merasa tertarik untuk meneliti masalah ini,berdasarkan
dengan apa yang saya temukan bahwa sekarang ini masih ada remaja –remaja
terutama laki-laki ketika sudah memasuki remaja sudah bisa merokok bahkan
sekarang pun anak yang sudah duduk di sekolah dasar sudah ada yang bisa
merokok dan ini menjadi pemicu terjadinya penyakit yang mematikan bagi
penerus bangsa.
2. tingkat stress kerja perawat dengan perilaku caring perawat pada pasien

Rumah sakit merupakan salah satu bentuk sarana kesehatan, baik yang
di selenggarakan oleh pemerintah dan atau masyarakat yang berfungsi untuk
melakukan upaya kesehatan dasar atau kesehatan rumah sakit. Mutu
pelayanan rumah sakit sangat di pengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya
yang paling dominan adalah sumber daya manusia (Depkes RI, 2002).
Dengan demikian kualitas pelayanan kesehatan ditentukan oleh mutu
pelayanan keperawatan dengan peran perawat berdasar Keputusan Menteri
Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 94/Kep/M.PAN/ II/2001
BAB II pasal 4, bahwa tugas pokok perawat adalah memberikan pelayanan
keperawatan berupa asuhan keperawatan atau kesehatan kepada individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat dalam upaya kesehatan, pencegahan
penyakit, penyembuhan penyakit, pemulihan dan pembinaan peran serta
masyarakat dalam rangka kemandirian dibidang keperawatan atau kesehatan,
yang menjadi salah satu faktor penentu citra institusi pelayanan kesehatan
dimata masyarakat dan menunjukkan pelayanan keperawatan profesional.
Sedangkan dalam mewujudkan suatu perawat profesional diperlukan
kemampuan dalam memberikan asuhan keperawatan yang bermutu.
(Nurrachamah, 2001).
Caring yang merupakan inti dalam praktek keperawatan,
memperkirakan ¾ pelayanan kesehatan adalah caring sedangkan ¼ adalah
curing. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku Caring sangat berperan dalam
upaya proses kesembuhan pasien, disebabkan perilaku caring perawat lebih
menekankan pada rasa peduli, hormat dan menghargai orang lain yang
dibantu (Wedho, 2000).
Dalam hal ini caring dalam melakukan praktik keperawatan, perawat
senantiasa selalu menghargai klien dengan menerima kelebihan maupun
kekurangan klien. Demikian juga dengan beban kerja baik secara kuantitas
dimana tugas-tugas yang harus dikerjakan terlalu banyak/sedikit maupun
secara kualitas dimana tugas yang harus dikerjakan membutuhkan keahlian.
bila banyaknya tugas tidak sebanding dengan kemampuan baik fisik maupun
keahlian dan waktu yang tersedia maka akan menjadi sumber stress.

. Setiap orang dalam kekuatan untuk bisa bertahan terhadap stres atau
nilai ambang frustasi stres itu berbeda-beda (Hakim,2010). Pekerjaan seorang
perawat merupakan pekerjaan yang memiliki stres yang tinggi, karena dalam
bekerja, perawat berhubungan langsung dengan berbagai macam pasien
dengan diagnosa penyakit dalam respon yang berbeda-beda (Nurul, 2003).
Tingginya stres yang dialami perawat dalam bekerja menjadikan
perawat jenuh dan bosan, akhirnya berpengaruh terhadap produktivitas kerja
dan penurunan kinerja perawat dan juga caring dari perawat itu sendiri.
Menurut survey PPNI tahun 2007, sekitar 50,9% perawat yang bekerja di
empat propinsi mengalami stres kerja, sering pusing, tidak bisa istirahat
karena beban kerja yang terlalu tinggi dan menyita waktu, serta gaji rendah
tanpa diikuti insentif yang memadai. Tetapi keadaan yang paling
mempengaruhi stres perawat adalah kehidupan kerja (PPNI, 2008).

Oleh sebab itu saya merasa tertarik untuk meneliti masalah ini karena
menurut saya pengaruh dari dampak stress perawat sangat berpengaruh bagi
mutu pelayanan dirumah sakit agar mutu pelayanan yang diberikan tidak
berdampak buruk bagi pasien dan rumah sakit

3. Kepatuhan minum obat dan prilaku hidup sehat pada pasien yang menderita
DM (DIABETES MILITUS)
Diabetes melitus merupakan penyakit kelainan metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia kronis serta kelainan metabolisme karbohidrat,
lemak dan protein.
Perubahan pola makan serba instant, tinggi lemak, banyak
mengandung gula dan protein, ditambah kurangnya olahraga menjadikan
semakin banyak orang mengalami obesitas. Kondisi ini harus dicegah karena
selain mengurangi estetika penampilan diri, obesitas juga memicu timbulnya
beragam penyakit seperti diabetes melitus (DM).
DM di dunia pada seluruh kelompok usia sebanyak 382 juta orang pada
tahun 2013 dan diperkirakan meningkat 55 % menjadi 592 juta penderita pada
tahun 2035. China menjadi negara dengan penderita DM terbanyak di dunia
dengan 98,4 juta penderita, kemudian diikuti oleh India dengan 65,1 juta
penderita, dan Amerika Serikat dengan 24,4 juta penderita. Indonesia
menduduki peringkat ketujuh untuk penderita DM terbanyak di dunia dengan
jumlah 8,5 juta penderita (IDF, 2013). Prevalensi penyakit DM di Provinsi
Kalimantan Selatan menduduki peringkat ke 13 sebesar 1,4 % (Kemenkes,
2013).
Ketidakpatuhan terhadap terapi diabetes melitus adalah merupakan
faktor kunci yang menghalangi pengontrolan kadar gula darah sehingga
berpengaruh terhadap hasil terapi. Penyebab ketidakpatuhan sangat kompleks
termasuk kompleksitas regimen obat, perilaku, biaya obat, usia, rendahnya
dukungan sosial, dan problem kognitif (Aronson, 2007). Ketidakpatuhan
terhadap pengobatan penderita diabetes melitus dapat dikaitkan dengan
peningkatan jumlah pasien rawat inap dan meningkatnya angka mortalitas.
Perkiraan yang ada menyatakan bahwa 20 % dari jumlah pasien rawat inap
dirumah sakit adalah merupakan akibat dari ketidakpatuhan pasien terhadap
pengobatan (ADA, 2011).

Dilihat dari beberapa survey yang telah saya lakukan kepada keluarga
saya sendiri yang ada keturunan diabetes militus mereka selalu mengabaikan
obat yang telah diberikan dokter kepada mereka karena terlalu sibuk berkerja
sehingga kepatuhan minum obat mereka Sangkat tidak teratur,sehingga
pemicu komplikasi pun sangat rentan terjadi.

Oleh sebab itu saya merasa tertarik untuk meneliti masalah ini,karena
menurut saya pengaruh dari kepatuhan minum obat pada penderita diabetes
militus ini sangat penting agar tidak terjadi komplikasi-komplikasi yang akan
muncul,dengan mematuhi meminum obat dan prilaku hidup sehat biasa
mengontrol gula darah.

Anda mungkin juga menyukai