Anda di halaman 1dari 10

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gangguan pendengaran atau tuli merupakan salah satu masalah yang cukup serius
dan banyak terjadi di seluruh negara di dunia. Gangguan pendengaran adalah hilangnya
kemampuan untuk mendengar bunyi dalam cakupan frekuensi yang normal untuk
didengar (Beatrice, 2013). Gangguan pendengaran dapat mengenai salah satu atau kedua
telinga sehingga penderitanya mengalami kesulitan dalam mendengar percakapan (WHO,
2015). Sebanyak 1,3 miliar orang di dunia diperkirakan menderita gangguan pendengaran
(Basner et.al, 2014). Penderita gangguan pendengaran di Rusia juga meningkat dan
mencapai angka 13 juta penduduk (Ignatova et.al, 2015).
Survei yang dilakukan oleh Multi Center Study (MCS) menunjukkan bahwa
Indonesia menjadi negara dengan prevalensi gangguan pendengaran tertinggi keempat di
Asia Tenggara, yaitu 4,6% di bawah Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%), dan India
(6,3%) (Tjan et.al, 2013). Ancaman gangguan pendengaran ini tidak hanya dialami oleh
orang tua dan anak-anak saja, tetapi remaja pun memiliki peluang untuk terkena
gangguan pendengaran. Sekitar 1,1 miliar dewasa muda di seluruh dunia diperkirakan
memiliki risiko penurunan pendengaran akibat kebiasaan yang tidak sehat bagi
pendengarannya (WHO, 2015). Gangguan pendengaran dapat disebabkan oleh gangguan
transmisi suara di telinga luar maupun telinga tengah atau yang dikenal dengan tuli
konduksi/hantaran dan kerusakan pada sel rambut maupun jalur sarafnya atau yang
disebut juga dengan tuli saraf (Ganong, 2012).
Penyebab terjadinya gangguan transmisi suara baik pada telinga luar, telinga tengah
maupun telinga dalam bervariasi. Tuli hantaran dapat disebabkan karena adanya
sumbatan pada kanalis auditorius eksterna oleh benda asing atau serumen, kerusakan
tulang pendengaran, adanya penebalan membran timpani akibat terjadinya infeksi telinga
tengah yang berulang, dan kekakuan abnormal karena adanya perlekatan tulang stapes ke
fenestra ovalis (Ganong, 2012). Kerusakan sel rambut luar dapat diakibatkan oleh
penggunaan obat yang bersifat toksik bagi telinga seperti antibiotika golongan
aminoglikosida dan pajanan suara bising yang terus menerus sehingga menyebabkan
gangguan pendengaran (Ganong, 2012).
Gangguan pendengaran akan mengakibatkan menurunnya kualitas hidup seseorang
sehingga mempengaruhi kualitas sumber daya manusia (Tjan et.al, 2013).Jumlah lansia
semakin lama semakin banyak. Diseluruh dunia terdapatsekitar 500 juta lansia dengan
usia rata-rata 60 tahun dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 1,2 miliar. Di
Negara maju seperti Amerika Serikat pertambahan orang lanjut usia diperkirakan 1.000
orang per hari pada tahun 1985.
Pada tahun 2000 kurang lebih dua diantara tiga orang dari 600 juta orang lansia
berada di Negara berkembang (Mubarak dkk, 2009). Jumlah penduduk lansia di
Indonesia pada tahun 2006 sebesar kurang lebih 19 juta jiwa dengan usia harapan hidup
66,2 tahun. Pada tahun 2010, diprediksikan jumlah lansia sebesar 23,9 juta (9,77 %)
dengan usia harapan hidup 67,4 tahun. Sedangkan pada tahun 2020 diprediksikan jumlah
lansia sebesar 28,8 juta (11,34 %) dengan usia harapan hidup 71,1 jiwa (Efendi, F dan
Makhfudli, 2009).
Berdasarkan survei BPS, kondisi lansia di Indonesia menunjukkan bahwa populasi
lansia perempuan lebih tinggi dibandingkan lansia laki-laki. Hal ini menunjukkan UHH
perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Jika dilihat dari sebaran lansia menurut
provinsi, presentase penduduk lansia di atas 10 % sekaligus tertinggi berada di provinsi
DI Yogyakarta (13,04 %),Jawa Timur (10,40 %), dan Jawa Tengah (10,34 %). Banyak
kelainan atau penyakit yang prevalensinya meningkat dengan bertambahnya usia akan
rentan terhadap penyakit dan sistem organ yang mengalami proses penuaan(Dewi, 2014).
Gangguan pendengaran merupakan cacat terbesar yang dialami penduduk
Amerika, 1 di antara 15 orang Amerika mengalami gangguan ini. Pada tahun 2050, sekitar
1 dari 5 orang Amerika Serikat diperkirakan berumur lebih dari 55 tahun atau sekitar 58
juta orang, 26 juta orang diantaranya diperkirakan mengalami gangguan pendengaran.
Dari 10 juta orang di Amerika Serikat dengan gangguan pendengaran berusia lebih dari
65 tahun, lebih dari 90 % mengalami tuli sensorineural (Joyce dan Jane, 2014) Prevalensi
penurunan pendengaran akibat proses penuaan juga meningkat yaitu sekitar 12 % pada
kelompok umur 65 - 74 tahun, 16 % pada umur 75 - 84 tahun dan 30 % pada umur lebih
dari 85 tahun. Dari data lain menunjukkan penurunan pendengaran oleh berbagai sebab
lebih tinggi lagi yaitu 44 % dan meningkat menjadi 66 % pada usia 70-79 tahun dan akan
menjadi 90 % pada umur lebih dari 80 tahun (Setiati dan Laksmi, 2015).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Gangguan Pendengaran


Gangguan pendengaran pada lansia adalah gangguan yang terjadi secara
perlahan-lahan akibat proses penuaan yang dikenal dengan istilah presbikusis.
Presbikusis merupakan akibat dari proses degeneratif pada satu atau beberapa bagian
koklea (striae vaskularis, sel rambut, dan membran basilaris) maupun serabut saraf
auditori, presbikusis ini juga merupakan hasil interaksi antara faktor genetik individu
dengan faktor eksternal, seperti pajanan suara berisik terusmenerus, obat ototoksik, dan
penyakit sistemik (Maryam,et al 2008).
2.2 Anatomi Telinga dan Perubahannya
Telinga sebagai organ pendengaran dan ekuilibrum terbagi dalam tiga bagian
yaitu telinga luar, tengah, dan dalam. Telinga berisi reseptor-reseptor yang
menghantarkan gelombang suara ke dalam impuls-impuls saraf dan reseptor yang
berespon pada gerakan kepala. Perubahan pada telinga luar sehubungan dengan proses
penuaan adalah kulit telinga berkurang elastisitasnya. Daerah lobus yang tidak disokong
oleh kartilago mengalami pengeriputan, saluran auditorius menjadi dangkal akibat lipatan
ke dalam.
Perubahan atrofi telinga tengah, khususnya membran timpani karena proses
penuaan tidak mempunyai pengaruh jelas pada pendengaran. Perubahan yang tampak
pada telinga dalam adalah koklea yang berisi organ corti sebagai unit fungsional
pendengaran mengalami penurunan sehingga mengakibatkan presbikusis (Maryam,et al
2008).
2.3 Jenis-jenis Gangguan Pendengaran pada Lansia
Presbikusis juga dikenal sebagai kehilangan pendengaran neurosensori yang
ditandai dengan disfungsi unsur sensorik telinga simetris (sel-sel rambut) atau struktur
telinga (serat saraf koklear). Lebih kurang 40% dari populasi lansia mengalami gangguan
pendengaran (presbikusis), biasanya lebih berat pada pria (Maryam,et al 2008).
Gangguan pendengaran pada lansia dapat terjadi berupa penurunan pendengaran hingga
tuli (tuli lansia). Bentuk ketulian yang selama ini dikenal adalah :
1. Tuli sensori, yaitu tuli yang terjadi akibat kerusakan sistem saraf dimana
kehilangan pendengaran sehubungan dengan kerusakan organ akhir untuk
pendengaran dan atau nervus kranialis VIII (kerusakan kokhlea/ saraf
vestibulokokhlear).
2. Tuli konduktif, yaitu tuli yang terjadi akibat gangguan hantaran suara: telinga luar,
telinga tengah, dimana kehilangan pendengaran sehubungan dengan transmisi
bunyi yang efektif ke telinga dalam terputus oleh sumbatan atau proses penyakit
(impaksi serumen, otitis media, otosklerosis/ pembentukan tulang baru) . Pada
klien lansia dengan gangguan pendengaran, media komunikasi yang paling sering
digunakan adalah media visual. Klien lansia menangkap pesan bukan dari suara
yang dikeluarkan perawat/orang lain, tetapi dengan mempelajari gerak bibir lawan
bicaranya. Kondisi visual menjadi sangat penting bagi klien lansia ini sehingga
dalam melakukan komunikasi, upayakan agar sikap dan gerakan perawat dapat
ditangkap oleh indera visualnya (Nugroho, 2010).
2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendengaran
Penyebab pastinya belum diketahui, tetapi insiden kehilangan pendengaran
sensorineural meningkat seiring pertambahan usia. Faktor yang mempengaruhi
pendengaran adalah terpajan suara bising, diet tinggi kolesterol, hipertensi, faktor-faktor
metabolik, dan hereditas. Tanda dan gejala adalah sulit memahami orang yang berbicara
dengan suara bernada tinggi, sulit mendengar di percakapan kelompok dan tempat yang
banyak suara latar yang bising, sulit membedakan bunyi “s” dan “th. Presbikusis
ditambah dengan situasi ketika percakapan yang berlangsung kurang mendukung dapat
menyebabkan lansia mengalami gangguan komunikasi (Fatimah, 2010).
2.5 Uji Pendengaran Pada Lansia
a. Uji Rinne
Untuk membandingkan hantaran/konduksi suara melalui hantaran tulang
pendengaran dengan hantaran udara. Pemeriksaan ini dilakukan di dalam ruangan yang
tenang dan tidak bising. Sebelum dilakukan pemeriksaan, terlebih dahulu peneliti akan
menjelaskan prosedur, tujuan, dan manfaat pemeriksaan kepada pasien. Cara
pemeriksaan: garpu penala digetarkan, kemudian dasar penala diletakkan pada prosesus
mastoideus telinga yang akan diperiksa, jika op tidak mendengar bunyi lagi, penala
dipindahkan ke depan liang telinga ± 2,5 cm dari liang telinga. Pada orang normal,
konduksi udara berlangsung lebih lama dari konduksi tulang.Bila ada gangguan
konduktif, konduksi tulang akan melebihi konduksi udara, “begitu konduksi tulang
menghilang, pasien tidak mampu lagi mendengar mekanisme konduksi yang biasa”.Bila
ada gangguan sensori, suara yang dihantarkan melalui udara lebih baik dari tulang,
meskipun keduanya merupakan konduktor yang buruk dan segala suara diterima seperti
sangat jauh dan lemah.
b. Uji Weber
Untuk mengetahui aliran udara melalui tulang, serta membandingkan hantaran
tulang telinga kiri dengan telinga kanan dengan cara meletakkan garpu tala yang sudah
dibunyikan pada bagian tengah dahi pasien.Pemeriksaan dilakukan di dalam ruangan
yang tenang, nyaman, dan tidak bising. Setelah peneliti menjelaskan tentang
pemeriksaan, manfaat, dan tujuannya, peneliti langsung memulai tindakan.Cara
pemeriksaan: garpu penala digetarkan dan ditaruh di verteks,kemudian dibandingkan
pendengaran telinga kanan dan kiri. Pasien diminta mendengarkan dan menentukan pada
telinga mana terdengar bunyi yang lebih keras.
Pada orang normal pendengaran telinga kanan dan kiri sama/seimbang (tidak ada
lateralisasi). Bila ada gangguan konduksi, tejadi lateralisasi kearah telinga yang sakit.Bila
ada gangguan sensori, terjadi lateralisasi ke telinga yang sehat. Hasil dinyatakan sebagai
lateralisasi ke kanan/ke kiri atau lateralisasi negatif (-).
c. Uji Schwabach
Untuk mengetahui hantaran melalui tulang, dengan membandingkan antara
pendengaran orang sakit/pasien dan pendengaran pemeriksa yang pendengarannya
normal. Cara pemeriksaan: garpu penala digetarkan, kemudian ditempelkan pada tulang
mastoid penderita. Bila penderita sudah tidak mendengar lagi, garputala tersebut segera
dipindahkan ke mastoid pemeriksa. Hasil pemeriksaan schwabach dinyatakan normal
apabila hantaran tulang telinga penderita sama dengan hantaran tulang pemeriksa. Bila
pemeriksa masih mendengar, maka penderita mengalami tuli sensori (memendek). Bila
hantaran tulang telinga penderita lebih besar dari hantaran telinga pemeriksa, maka
penderita mengalami tuli konduktif (memanjang).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, status perkawinan, pekerjaan, alamat,
tanggal masuk rumah sakit, golongan darah dan lain sebagainya.

b. Riwayat Kesehatan
a) Keluhan utama
Klien susah mendengar pesan atau rangsangan suara
b) Riwayat kesehatan sekarang
- Saat sekarang keluarga klien mengatakan susah mendengar pesan atau rangsangan
berupa suara.
- Ketika berbicara dengan orang lain klien tidak mengerti terhadap pembicaraan.
- Untuk lebih mengerti, klien sering meminta untuk mengulangi pembicaraan.
- Keluarga klien mengatakan lebih senang menyendiri dan dengan kesendiriannya itu
klien mengekspresikan kesepian dan keluarga klien mengatakan bahwa klien sering
menarik diri dari lingkungan dan tidak mau tampil bersama anggota keluarga.
- Untuk mengisi kebosanannya, keluarga klien mengatakan bahwa klien lebih banyak
tidur dan tidak mau melakukan aktivitas apapun.
- Komunikasi dengan klien sebagian besar berjalan melalui pesan-pesan tertulis.
c) Riwayat penyakit dahulu
- Dikaji dari keluarga klien, apakah klien mengalami penyakit akut maupun kronis.
- Sejak kapan gangguan pendengaran mulai dirasakan klien ? biasanya prebikusis sering
muncul pada umur 60 tahun keatas ,tapi hal tersebut belum terlalu mengganggu bagi
klien.
- Apakah klien pernah mengalami cedera kepala dan mengalami alergi terhadap berbagai
makanan dan minuman.
- Bagaimana gaya hidup klien, apakah klien seorang perokok berat atau tidak.
- Apakah Klien sering terpajan dengan suara bising ?
d) Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada keluarga yang menderita penyakit pada sistem pendengaran, apakah ada
kelurga yang menderita DM.

c. Pemeriksaan Fisik
Pengkajian Daun telinga
a) Inspeksi:
1) Kesimetrisan daun telinga (simetris kiri dan kanan)
2) Posisi telinga normal yaitu sebanding dengan titik puncak
3) Penempatan pada lipatan luar mata ( masih terdapat/tampak atau tidak)
4) Terdapat pembengkakan pada Auditorius eksternal atau tidak.
b) Palpasi:
1) Apakan terdapat nyeri raba
2) Apakah ada pembengkakan

d. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan otoskopik
Menggunakan alat otoskop untuk memeriksa meatus akustikus eksternus dan membran
timpani dengan cara inspeksi:
Hasil:
1) Serumen berwarna kuning, konsistensi kental.
2) Dinding liang telinga berwarna merah muda
b) Tes ketajaman pendengaran
1) Tes penyaringan sederhana
Hasil:
- Biasanya klien tidak mendengar secara jelas angka-angka yang disebutkan
- Klien tidak mendengar secara jelas detak jarum jam pada jarak 1–2 inchi.
2) Uji rinne
Hasil: Biasanya klien tidak mendengarkan adanya getaran garpu tala dan tidak jelas
mendengar adanya bunyi dan saat bunyi menghilang.

2. Diagnosa keperawatan
a. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan degenerasi tulang pendengaran
bagian dalam.
b. Harga diri rendah berhubungan dengan penurunan fungsi pendengaran.
c. Kurang aktivitas berhubungan dengan menarik diri dengan lingkungan.

3. Intervensi keperawatan
a. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan degenerasi tulang pendengaran
bagian dalam
a) Tujuan : komunikasi verbal klien berjalan dengan baik
b) Kriteria Hasil
Dalam 1 hari klien dapat :
1) Menerima pesan melalui metode alternatif
2) Mengerti apa yang diungkapkan
3) Memperlihatkan suatu peningkatan kemampuan untuk berkomunikasi
4) Menggunakan alat bantu dengar dengan cara yang tepat
c) Intervensi :
1) Kaji tingkat kemampuan klien dalam penerimaan pesan
2) Periksa apakah ada serumen yang mengganggu pendengaran
3) Bicara dengan pelan dan jelas
4) Gunakan alat tulis pada waktu menyampaikan pesan
5) Beri dan ajarkan klien pada penggunaan alat bantu dengar
6) Pastikan alat bantu dengar dapat berfungsi dengan baik
7) Anjurkan klien untuk menjaga kebersihan telinga

b. Harga diri rendah berhubungan dengan penurunan fungsi pendengaran.


a) Tujuan : klien dapat menerima keadaan dirinya
b) Kriteria Hasil
Secara bertahap klien dapat :
1) Mengenal perasaan yang menyebabkan perilaku menarik diri
2) Berhubungan sosial dengan orang lain
3) Mendapat dukungan keluarga mengembangkan kemampuan klien untuk berhubungan
dengan orang lain
4) Membina hubungan saling percaya dengan perawat
c) Intervensi :
1) Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya.
2) Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab klien tidak mau
bergaul atau menarik diri
3) Diskusi bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta penyebab yang
mungkin
4) Beri pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaan
5) Diskusikan tentang keuntungan dari berhubungan dan kerugian dari perilaku menarik
diri
6) Dorong dan bantu klien untuk berhubungan dengan orang lain
7) Beri pujian atas keberhasilan yang telah dicapai klien
8) Bina hubungan saling percaya dengan klien
9) Anjurkan anggota keluarga untuk secar rutin dan bergantian mengunjungi klien
10) Beri reinforcement positif atas hal-hal yang telah dicapai oleh keluarga
11) Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip hubungan terpeutik

c. Kurang aktivitas berhubungan dengan menarik diri dengan lingkungan.


a) Tujuan : klien dapat melakukan aktivitas tanpa kesulitan
b) Kriteria Hasil
Secara bertahap klien dapat :
1) Menceritakan perasaan-perasaan bosan
2) Melaporkan adanya peningkatan dalam aktivitas yang menyenangkan.
3) Menceritakan metode koping terhadap perasaan marah atau depresi yang disebabkan
oleh kebosanan.
c) Intervensi :
1) Beri motivasi untuk dapat saling berbagi perasaan dan pengalaman
2) Bantu klien untuk mengatasi perasaan marah dari berduka
3) Variasikan rutinitas sehari-hari
4) Libatkkan individu dalam merencanakan rutinitas sehari-hari
5) Rencanakan suatu aktivitas sehari-hari
6) Beri alat bantu dengar dalam melakukan aktivitas

Anda mungkin juga menyukai