Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang lengkap, tidak hanya berorientasi pada aspek
akhirat saja, tetapi juga mengatur aspek dunia. Diskurus Islam juga dikaji secara
normatif (teks-ajaran) dan historis. Sejarah tentang perkembangan pemikiran
keislaman memiliki mata rantai yang cukup panjang dan kajian atas persoalan ini
pasti akan melibatkan kompleksitas, namun sejalan dengan itu upaya penggalian
informasi mengenai perkembangan pemikiran keislaman melalui naskah-naskah
yang dihasilkan oleh para ulama terdahulu menjadi sesuatu yang mutlak harus
terus dilakukan, mengingat tema yang terkandung dalam naskah-naskah tesebut
pun sangat beragam dan diantara tema yang banyak menarik perhatian para
peneliti naskah adalah tentang tasawuf.
Tasawuf atau sufisme adalah istilah yang khusus dipakai untuk
menggambarkan mistisesme dalam Islam. Adapun tujuan tasawuf ialah
memperoleh hubungan langsung dan dekat dengan Tuhan. Dalam islam kita
mengenal beberapa aliran tasawuf, diantaranya aliran tasawuf Akhlaqi, Tasawuf
Irfani dan Tasawuf Falsafi.
Diskursus tasawuf tidak bisa dilepaskan tentang ketuhanan (al-ma’arif al-
Ilahiyah). Biasanya pengetahuan tersebut tidak menggunakan ilmu dan
pembuktian ilmiah, tetapi dengan jalan penyaksian esoterik. Hal ini menunjukkan
pentingnya hati manusia agar dapat menyingkap tirai dan menangkap hakikat.
Dengan hati yang suci, seseorang dapat melihat esensi ketuhanan, asma-asma-
Nya, dan sifat-sifat-Nya.
Tinjauan terhadap tasawuf menunjukkan bagaimana para sufi memiliki suatu
konsepsi tentang jalan menuju Allah (thariqat). Jalan ini dimulai dengn latihan-
latihan rohaniah (riyadhah), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase yang
dikenal dengan Maqam (tingkatan) dan ahwal (keadaan), yang berakhir dengan
ma’rifat kepada Allah. Kerangka sikap dan perilaku sufi diwujudkan melalui
amalan dan metode tetentu yang disebut tariqat dalam rangka mencapai ma’rifat.

1
Wilayah atau lingkup perjalanan menuju ma’rifat ini yang berlaku
dikalangan sufi disebut sebagai kerangka ‘irfani. Dalam tasawuf, manusia akan
mengetahui Allah dengan melakukan perjalanan. Apabila belum melakukan
perjalanan menuju Allah, maka sangat sulit untuk mencapainya, meskipun
manusia tersebut beriman secara aqliyah.
Lingkup ‘irfani dalam rangka mencapai ma’rifat harus melalui proses yang
panjang. Dalam konteks tasawuf, proses ini dinamakan sebagai Ahwal (jamak dari
hal) dan Maqamat (jamak dari Maqamat). Berdasarkan pemaparan di atas, penulis
tertarik untuk mengkaji tentang Ahwal dan Maqamat serta kerangka berfikir atau
metode ‘irfani.

B. Rumusan Masalah
a. Apa Saja Maqam-Maqam Dalam Tasawuf?
b. Apa Saja Ahwal Yang Dijumpai Dalam Perjalanan Sufi?
c. Pengertian Metode Irfani?

C. Tujuan Penulisan
a. Untuk Mengetahui Apa Saja Maqam-Maqam Dalam Tasawuf
b. Untuk Mengetahui Apa Saja Ahwal Yang Dijumpai Dalam Perjalanan
Sufi
c. Untuk Mengetahui Pengertian Metode Irfani

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kerangka Berfikir Irfani Dasar-Dasar Falsafi Ahwal dan Maqamat


1. Pengertian Ahwal dan Maqamat
Yang dimaksud dengan hal (jamak: ahwal) adalah keadaan atau kondisi
psikologis ketika seorang sufi mencapai tingkatan tertentu. Al-Qusyairi dalam
kitabnya Ar-Risalah Al-Qusyairiyah, berkata, “hal adalah makna yang datang
pada qalbu tanpa disengaja”. Hal diperoleh tanpa daya dan upaya, baik
dengan menari, bersedih hati, bersenang-senang, rasa tercekam, rasa rindu,
rasa gelisah, atau rasa harap. Dengan kata lain hal sama dengan bakat.1
Sedangkan maqam (jamak; Maqamat) adalah tingkatan, artinya tingkatan
seorang hamba di hadapan-Nya.2 Dalam hal ibadah dan latihan-latihan
(riyadhah) jiwa yang dilakukannya. Dalam kalangan sufi, urutan maqam ini
berbeda-beda.sebagian mereka merumuskan maqam dengan sederhana
seperti, tanpa qanaah, tawakal tidak akan tercapai;tanpa tawakal , taslim tidak
akan tercapai; sebagaimana tanpa tobat, inabah tidak akan ada; tanpa wara’,
zuhud tidak akan ada. Sementara itu Al-Ghazali merumuskan maqam seperti
berikut ini: tobat, sabar, syukur, khauf dan raja’, tawakkal, mahabbah, rida,
ikhlas, muhasabah, dan muraqabah.
Al-kaladzi menyebutkan adanya 10 maqam yang harus dilewati oleh para
pejalan spiritual, yaitu al-taubah, al zuhd, al-shabr, al-faqr, al-tawadhu’, al-
taqwa, al-tawakkul, al-ridha, al-mahabbah, dan al-ma’rifah.3

2. Maqam-maqam dalam Tasawuf


Seperti yang disinggung diatas bahwa maqam yang dijalani kaum sufi
umumnya terdiri dari tobat, zuhud, faqr, sabar, syukur, rela, dan tawakal.4
a. Tobat
Menurut Qalam Kailani dalam bukunya Fi At-Tashawwuf Al-Islami,
tobat adalah rasa penyesalan yang sungguh-sungguh dalam hari disertai

1
M.solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu tasawuf, (Bandung : Pustaka Setia, 2008) hal. 67.
2
M.solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu tasawuf, Ibid. hal. 68.
3
Bagir haidar, Buku Saku Tasawuf, (Bandung : Arasy Mizan, 2003) hal. 134.
4
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), Hal.199.

3
permohonan ampun serta meninggalkan segala perbuatan yang
menimbulkan dosa. Sementara itu, Al-Ghazali mengklasifikasikan tobat
pada tiga tingkatan:
1) Meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih pada
kebaikan karena takut kepada siksa Allah.
2) Beralih dari satu situasi yang sudah baik menuju ke situasi yang
lebih baik lagi. Dalam tasawuf keadaan ini sering disebut “inabah”
3) Rasa penyesalah yang dilakukan semata-mata karena ketaatan dan
kecintaan kepada Allah, hal ini disebut “Aubah”.
Kebanyakan sufi menjadikan tobat sebagai perhentian awal di jalan
menuju Allah. Pada tingkat terendah, tobat menyangkut dosa yang
dilakukan jasad atau anggota-anggota badan. Pada tingkat menengah,
disamping menyangkut dosa yang dilakukan jasad, tobat menyangkut pula
pangkal dosa-dosa, seperti dengki, sombong, dan riya. Pada tingkat lebih
tinggi, tobat menyangkut usaha menjauhkan bujukan setan dan
menyadarkan jiwa akan rasa bersalah. Pada tingkat terahir, tobat berarti
penyesalah atas kelengahan pikiran dalam mengingat Allah.
b. Zuhud
Telah terjadi pemahaman dan penafsiran yang beragam terhadap zuhud.
Namun secara umum zuhud dapat diartikan sebagai suatu sikap
melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi
dengan mengutamakan kehidupan akhirat. Sampai dimana batas pelepasan
diri dari rasa ketergantungan itu? Para sufi berlainan pendapat dalaam
menjawabnya. Al-Ghazali, misalnya, mengartikan suhud sebagai sikap
mengurangi keterkaitan pada dunia untuk kemudian menjauhinya dengan
penuh kesadaran. Kendatipun didefinisikan dengan redaksi yang berbeda,
inti dan tujuan zuhud sama, yakni tidak menjadikan kehidupan dunia
sebagai tujuan akhir. Dunia harus ditempatkan sebagai sarana dan
dimanfaatkan secara terbatas dan terkendali.5
Dilihat dari maksudnya, zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan. Pertama
(Terendah), menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman di akhirat.

5
Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), hal.78.

4
Kedua, menjauhu dunia dengan menimbang imbalan di akhirat. Ketiga
(tertingggi), mengucilkan dunia bukan karena takut atau berharap, tetapi
karena cinta kepada Allah. Orang yang berada pada tingkat tertinggi ini
akan memandang segala sesuatu, kecuali Allah, tidak mempunyai arti apa-
apa
c. Faqr (fakir)6
Al-faqr adalah tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah
dipunyai dan merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki, sehingga tidak
meminta sesuatu yang lain. Sikap mental faqr merupakan benteng
pertahanan yang kuat dalam menghadapi pwngaruh kehidupan materi.
Sebab, sikap mental ini akan menghindarkan seseorang dari keserakahan.
Dengan demikian pada prinsipnya, sikap mental faqr merupakan rentetan
sikap zuhud. Hanya saja, zuhud lebih keras menghadapi kehidupan
duniawi, sedangkan fakir hanya pendisiplinan diri dalam mencari dan
memanfaatkan fasilitas hidup.
Faqr dapat diartikan sebagai kekurangan harta yang diperlukan
seseorang dalam menjalani kehidupan didunia. Sikap faqr penting dimiliki
orang yang berjalan menuju Allah, karena kekayaan atau kebanyakan harta
memungkinkan manusia dekat pada kejahatah, dan sekurang-kurangnya
membawa jiwa menjadi tertambat pada selain Allah.
d. Sabar
Sabar, jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan nafsu dan amarah,
dinamakan Al-Ghazali sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs),
sedangkan menahan terhadap penyakit fisik, disebut sebagai sabar badani
(ash-shabr al-badani). Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai
aspek. Misalnya, untuk menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan
Menurut syekh Abdul Qadir Al-Jailani, sabar ada tiga macam yaitu:
1) Bersabar kepada Allah dengan melaksanakan perintahnya dan
menjauhu laranganya
2) Bersabar bersama Alah, yaitu bersabar terhadap ketetapan Allah dan
perbuatanya terhadapmu, dari berbagai macam kesulitan dan musibah.

6
Solihin, Ilmu Tasawuf, Ibid. hal. 79.

5
3) Bersabar atas Allah, yaitu bersabar terhadap rezeki, jalan keluar,
kecukupan, pertolongan, dan pahala yang dijanjikan Allah dikampung
akhirat.7
e. Syukur
Syukur adalah ungkapan rasa terimakasih atas nikmat yang diterima.
Syukur diperlukan karena semua yang kita lakukan dan miliki didunia
adalah berkat arunia Allah. Allah-lah yang telah memberikan nikmat
kepada kita, baik berupa pendengaran, penglihatan, kesehatan, keamana
maupun nikmat-nikmat lainya yang tidak terhitung jumlahnya. Menurut
Syekh Abul Qadir Al-Jailani, hakikat syukur adalah mengakui nikmat
Allah karena Dialah pemilik karunia dan pemberian sehingga hati
mengakui bahwa segala nikmat berasal dari Allah, juga patuh kepada
syariat-Nya. Syekh Abdul Qadri Al-Jailani membagi syukur menjadi tiga
macam, pertama dengan lisan, yaitu dengan mengakui adanya nikmat dan
merasa tenang. Kedua, syukur dengan badan dan anggota badan, yaitu
dengan cara melaksanakan ibadah sesuai perintah-Nya. Ketiga, syukur
dengan hati.8
f. Rela (Rida)
Rida berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang
dianugerahkan Allah SWT. Orang yang rela mampu melihat hikmah dan
kebaikan dibalik cobaan yang diberikan Allah dan tidak berburuk sangka
terhadap ketentuan-Nya. Bahkan ia mampu melihat keagungan, kebesaran,
dan kemahasempurnaan Dzat yang memberikan cobaan kepada nya
sehingga tidak merasakan sakit atas cobaan tersebut. Hanyalah para ahli
makhrifat dan mahabbah yang mampu bersikap seperti ini. Mereka bahkan
merasakan musibah dan ujian sebagai nikmat, lantaran jiwa nya bertemu
dengan yang dicintainya. Menurut abdul halim mahmud, rida mendorong
manusia untuk berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai Allah
dan Rasul-Nya. Namun sebelum mencapainya ia harus menerima dan
merelakan akibatnya dengan cara apapun yang disukai Allah.9

7
Muhammad Alfian, Psikologi Tasawuf, (CV Pustaka Setia, 2011), Hal.163.
8
Muhammad Alfian, Psikologi Tasawuf, Ibid. hal. 164.
9
Solihin, Ilmu Tasawuf, Ibid. hal. 81.

6
g. Tawakal10
Hakikat tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah
‘Azza wa Jalla, membersihkan diri ikhtiar yang keliru, dan tetap menapaki
kawasan-kawasan hukum dan ketentuan. Degan demikian hamba percaya
dengan bagian Allah untuknya. Apa yang telah ditentukan Allah untuknya,
ia yakin pasti akan memperolehnya. Sebaliknya apa yang tidak ditentukan
Allah untuknya ia pun yakin pasti tidak akan memperolehnya.
Tawakal merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan
dirinya hanya kepada Allah. Dalam hal ini, Al-Ghazali mengkaitkan
tawakal dengan tauhid. Dengan penekanan bahwa tauhid sangat berfungsi
sebagai landasan tawakal.Tawakal dibagi atas tiga derajad: tawakal, taslim
dan tafwidh. Orang yang bertawakal merasa tentram dengan janji rabb-
Nya. Orang yang taslim merasa cukup dengan ilmu-Nya. Adapun pemilik
tafwidh rida dengan hukuman-Nya. Pendapat lainnya tawakal adalah
permulaan, taslim adalah tengah-tengah sedangkan taswidh adalah ujung.

3. Ahwal Yang Dijumpai Dalam Perjalanan Sufi


a. Waspada Dan Mawas Diri (Muhasabah Dan Muraqabah)
Waspada dan mawas dirimerupakan dua hal yang saling berkaitan erat
oleh karena itu ada sufi yang mengupasnya secara bersamaan. Waspada
dan mawas diri merupakan dua sisi dari tugas yang sama dalam
menundukan perasaan jasmani yang berupa kombinasi dari pembawaan
nafsu dan amarah.Waspada (muhasabah) dapat diartikan menyakini bahwa
allah mengetahui segala pikiran, perbutan dan rahasia dalam hati, yang
membuat seseorang menjadi hormat, takut, dan tunduk kepada Allah.
Adapun mawas diri (muraqabah) adalah meneliti dengan cermat apakah
segala perbuatan sehari-hari telah sesuai atau malah menyimpang dari
yang dikehendaki-Nya.11

10
Solihin, Ilmu Tasawuf, Ibid. hal. 82-83.
11
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), Hal.202.

7
b. Cinta (Hubb)12
Dalam pandangan tasawuf, mahabbah [cinta] merupakan pijakan
bagai segenap kemuliaan hal, seperti halnya tobat yangmempakan dasar
bagi kemuliaan maqam. Karena mahabbah padadasarnya adalah anugerah
yang menjadi dasar pijakan bagisegenap hal, kaum sufi menyebutnya
sebagai anugerah-anugerah (mawahib) Mahabbah adalah kecenderungan
hati untuk memerhatikan keindahan atau kecantikan. Berkenaan dengan
mahabbah, Suhrawardi pernah mengatakan. Sesungguhnya, mahabbah
(cinta) adalah suatu mata rantai keselarasan yang mengikat sang pencinta
kepada kekasihnya, suatu ketertarikan kepada kekasih, yang menarik sang
pencinta kepadanya, dan melenyapkan sesuatu dari wujudnya, sehingga
pertama-pertama ia menguasai seluruh sifat dalam dirinya.
c. Berharap dan Takut (Raja' dan Khauf)
Bagi kalangan kaum sufi, raja' dan Khauf berjalan seimbang dan
saling memengaruhi. Raja’ dapat berarti berharap atauoptimisme. Raja'
atau optimisme adalah perasaan hati yang senang karena menanti sesuatu
Yang diinginkan dan disenangi. Raja’ atau optimisme ini telah ditegaskan
dalam Al-Qur’an Q.S Al-Baqarah ayat 218 yang Artinya :13
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman yang hijrah dan berjihad
di jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang mengharap rahmat Allah.
Dan Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.”
Orang yang harapan dan penantiannya menjadikannya berbuat
ketaatan dan mencegahnya dari kemaksiatan,berarti harapannya benar.
Sebaliknya, jika harapannya hanya angan-angan, Sementara ia sendiri
tenggelam dalam lembah kemaksiatan, harapannya sia-sia dan percuma.
Raja' menuntut tiga perkara, yaitu:14
1) Cinta kepada apa yang diharapkannya.
2) Takut harapanya yaitu hilang.
3) Berusaha untuk mencapainya.

12
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Ibid. hal. 203.
13
Solihin, Ilmu Tasawuf, Ibid. hal. 84
14
Ibid. hal. 85.

8
Raja’ yang tidak dibarengi dengan tiga perkara itu hanyalah illusi atau
khayalan. Setiap orang yang berharap adalah juga orang yang takut
(khauf). Orang yang berharap untuk sampai di suatu tempat tepat
waktunya, tentu ia takut terlambat. Karena takut terlambat, ia
mempercepat jalannya. Begitu pula, orang yang mengharap rida atau
ampunan Tuhan, ia akan merasa takut akan siksaan Tuhan.
Ahmad Faridh menegaskan bahwa khauf mempakan cambuk yang
digunakan Allah untuk menggiring hamba-hamba-Nya menuju ilmu dan
amal, supaya dengan keduan yaitu, mereka dapat dekat kepada Allah.
(khauf) adalah kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti,
yang akan menimpa diri pada masa yang akan datang. Khauf dapat
mencegah hamba berbuat maksiat dan mendorongnya untuk senantiasa
berada dalam ketaatan. Khauf dan raja’ saling berhubungan. Kekurangan
khauf akan menyebabkan seseorang lalai dan berani berbuat maksiat,
sedangkan khauf yang berlebihan akan menjadikannya putus asa dan
pesimis. Begitu juga sebaliknya, terlalu besar sikap raja’ akan membuat
seseorang sombong dan meremehkan amalan-amalannya karena
optimisnya berlebihan.15
d. Rindu (Syauq)16
Selama masih ada cinta, syauq tetap diperlukan. Dalam lubuk jiwa,
rasa rindu hidup dengan subur yakni rindu ingin segera bertemu dengan
Tuhan. Ada yang mengatakan bahwa maut merupakan bukti cinta yang
benar. Lupa kepada Allah lebih berbahaya daripada maut. Bagi sufi yang
rindu kepada Tuhan, kematian dapat berarti bertemu dengan Tuhan, sebab
hidup merintangi pertemuan ‘abid dengan Ma’bud-nya.Menurut Al-
Ghazali, kerinduan kepada Allah dapat dijelaskan melalui penjelasan
tentang keberadaan cinta kepada-Nya. Pada saat tidak ada, setiap yang
dicintai pasti dirindukan orang yang mencintainya. Begitu hadir
dihadapannya, ia tidak dirindukan lagi. Kerinduan berarti menanti sesuatu
yang tidak ada. Bila sudah ada tentunya ia tidak dinanti lagi.

15
Tamami, Psikologi Tasawuf, (PT. Raja Grafika Persada, 2012), Hal.30.
16
Tamami, Psikologi Tasawuf, Ibid. hal. 31

9
e. Intim (Uns)17
Dalam pandangan kaum sufi, sifat uns (intim) adalah sifat merasa
selalu berteman, tak merasa sepi. Ungkapan berikut ini melukiskan sifat
uns:
“Ada orang yang meras sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang
selalu memikirkan kekasihnya sebab sedang dimabuk cinta , seperti halnya
sepasang muda mudi. Ada pula orang yang merasa bising dalam kesepian.
Ia adalah orang yang selalu memikirkan atau merencanakan tugas
pekerjaanya semata-mata. Adapun engkau, selalu meras berteman dimana
pun berada. Alahkah mulianya engkau bertemm dengan Allah, artinya
engakau selalu berada dalam pemeliharaan Allah”.
Ungkapan di atas melukiskan keakraban atan keintiman seorang sufi
dengan Tuhannya. Sikap keintiman ini banyak dialami oleh kaum sufi.

4. Metode Irfani
Irfani dalam bahasa arab adalah bentuk mashdar dari arafa yang berarti
ma’rifat. Istilah ini berlaku secara umum didalam ajaran syi’ah dan secara
khusus ia berkaitan dengan ide2 sufisme, yakni dalam konteks operatif yang
membedakan antara murid thariqat dan gurunya.dan dalam konteks transmisi
formal melalui jalur atau silsilah tertentu.18 Potensi untuk memperoleh
makrifat sesungguhnya telah ada pada manusia. Untuk memperoleh kearifan
atau makrifat, hati (qalb) mempunyai fungsi esensial.
Dalam dunia tasawuf, qalb merupakan pengetahuan tentang hakikat-
hakikat, termasuk di dalamnya adalah hakikat adalah hakikat makrifat. Qalb
yang dapat memperoleh makrifat adalah yang telah tersucikan dari berbagai
noda atau akhlak jelek yang sering. Dilakukan manusia. Dan karena qalb
merupakan bagi jiwa kesucian jiwa sangat mempengaruhi kecemerlangan
qalb dalam menerima ilmu. Qalb yang telah tersucikan akan mampu
menembus alam malakut (misalnya malam malaikat). Sebab, AL-Ghazali

17
Ibid. hal. 32
18
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Ibid. hal. 206.

10
dalam kimiya’ As-Sa’adah-nya memasukan qalb sebagai sesuatu yang sejenis
dengan malaikat.19
Ketika berada di alam malakut inilah, qalb mampu memperoleh ilmu
pengetahuan dari Tuhan. Tampaknya, kaum sufi memandang kesucian qalb
sebagai prasyarat untuk berdialog secara batini dengan Tuhan. Mereka
mengemukakan alasan bahwa Tuhan hanya dapat didekati jiwa yang suci.
llmu pengetahuan yang dihasilkan dari kondisi dialogis batiniah dengan
perangkat qalb yang suci inilah yang mereka sebut sebagai ilmu makrifat, dan
bahkan secam spesifik dapat memperoleh ilmu laduni yakni ilmu yang datang
lewat ilham yang dibisikkan ke dalarn hati manusia. Dengan demikian, qalb
berpotensi untuk berdialog dengan Tuhan. Inilah yang dimaksud Al-Ghazali
dengan ungkapan bahwa di luar akal dan jiwa, terdapat alat yang dapat
menyingkap pengetahuan yang gaib dan hal-hal yang akan terjadi pada masa
mendatang.20
Penyingkapan pengetahuan seperti ini merupakan wacana Irfaniyah.
Hanya dengan sarana qalb itulah, ilmu makrifat dapat diperoleh manusia.
Berdasarkan uraian di atas, dapatlah dipahami bahwa hati (qalb) menjadi
sarana untuk memperoleh makrifat QaIb-lah yangakan mampu mengetahui
hal dekat pengetahuan, karena qalb telah dibekali potensi untuk berdialog
dengan tuhan. Berikut ini penjelasan masing-masing bagian dari metode
lrfani:
a. Riyadhah21
Riyadhah yang artinya latihan kejiwaan melaui upaya membiyasakan
diri agar tidak melakukan hal – hal yang mengotori jiwanya, riyadhah
dapat pula berarti sebagai poses internalisasi kejiwaan dengan sifat sifat
terpuji dan melatih membiyasakan meninggalkan sifat sifat jelek.para sufi
memasukkan riyadhah sebagai pelatihan kejiwaan dalam upaya
meninggalkan sifat – sifat jelek .termasuk didalamnya pendidikan ahlak
dan pengobatan penyakit penyakit hati . para sufi mengandung makna

19
Ahmad Bangun Nasution, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013),
Hal.27.
20
Solihin, Ilmu Tasawuf, Ibid. hal. 87.
21
Ibid. hal. 88-89.

11
bahwa untuk menghilangkan penyakit – penyakit itu perlu dilakukan
riyadhah.
Riyadhah harus disertai dengan mujahadah. Mujahadah yang
dimasudkan di sini kesungguhan dalam perjuangan meninggalkan sifat –
sifat jelek . meninggalkan sifat – sifat jelek sangatlah berat sehingga
membutuhkan kesungguhan dalam mengriyadahkannya .perbedaan
riyadhah dengan mujahadah adalah kalau riyadhah berupa tahapan –
tahapan enekan atau mengendalikan dengan sungguh- sungguh pada
masing – masing tahapan riyadhah. Meskipun demikian , riyadhah tidak
dapat dipisahkan dari mujahadah , karena kuduanya ibarat satu sisi pada
satu mata uang.
b. Tafakur (Refleksi)22
Tafakur penting dilakukan pada setiyap manusia yang menginginkan
makrifat. Sebab tatkala jiwa belajar dan mengolah ilmu , lalu memikirkan
dan menganaisisnya, pintu kegaipan akan dibuka untuknya , menurut al
gazali orang yang berfikir dengan benar akan menjadi dzawi al- albab
ilham. Dalam risalah al-ladunniyah, al-ghazali pun menjelaskan
tafakurpun merupakan salah satu cara untuk memperoleh ilmu laduni.
Tafakur berlangsung secara intenal dari proses pembelajaran dari
dalam diri manusia melalui aktivitas berfikir yang menggunakan perangkat
batiniyah ( jiwa ).
c. Tazkiyat An-nafs23
Tazkiyat an-nafs adalah proses penyucian jiwa manusia.proses
penyucian jiwa dalam kerangka tasawuf ini dapat dilakukan melalui
tahapan takhalli. Tazkiyat an-nafs merupakan inti kegiatan bertasawuf.
Kalangan syufi adalah orang orang yang senantiyasa menyucikan hati dan
jiwa. Perwujudtannya adalah rasa butuh tehadap tuhannya.
Upaya melakukan penyempurnaan jiwa perlu dilakukan oleh setiyap
orang yang menginginkan ilmu makrifat, sebab ilmu makrifat tidak dapat
diterima oleh manusia yang jiwannya kotor.
d. Dzikrullah24
22
Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (PT. Raja Grafika Persada, 2002), Hal.27
23
Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, Ibid. hal. 28

12
Secara etimologi ,dzikir adalah mengingat, sedangkan secara istilah
adalah membaahi lidah dengan ucapan ucapan pujian kepada alloh .dzikir
adalah metode lain untuk memperoleh ilmu laduni.pentingnya dzikir untuk
mendapatkan ilmu makrifat didasarkan atas argumentasi tentang peranan
dzikir itu sendiri bagi hati. Al-ghazali dalam ihya’ menjelaskan bahwa hati
manusia takubahnnya seperi kolat yang kedalamnya mengalir bermacam-
macam air. Pengaruh-pengaruh yang datang kedalam hati adakalannya
berasal dari luar yaitu panca indra , dan adakalannya dari dalam,yaitu
khayal,amarah dan akhlak atau tabiat manusia.
Dalam al- munqidz, al- ghazali menjelaskan bahwa dzikir kepada
alloh merupakan hiasan bagi kaum sufi , syarat utama bagi orang yang
menempuh jalan alloh adalah membersihkan hati secara menyeluruh dari
selain alloh,sedangkan kuncinnya menenggelamkan hati secara
keseluruhan dengan dzikir kepada alloh. Dalam pandangan sufi , dzikir
akan membuka takbir alam malakut, yakni dengan datangnnya malaikat.

24
Solihin, Ilmu Tasawuf, Ibid. hal. 92.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Seorang sufi tidak begitu saja dekat dengan Tuhannya melainkan ia harus
menempuh beberapa maqam (tingkatan), diantaranya tobat, zuhud, faqr,
sabar, syukur, rela, dan tawakal.
Ahwal yang sering dijumpai dalam perjalanan kaum sufi antara lain adalah
waspada dan mawas diri, cinta, berharap dan takut, rindu, dan intim.
Hati menjadi sarana untuk memperoleh ma’rifat, dan qalbulah yang akan
mengetahui hakikat pengetahuan, karena qalb telah dibbekali potensi untuk
berdialog dengan Tuhan..
Metode Irfani, Irfani dalam bahasa arab adalah bentuk mashdar dari arafa
yang berarti ma’rifat. Istilah ini berlaku secara umum didalam ajaran syi’ah
dan secara khusus ia berkaitan dengan ide- ide sufisme, yakni dalam konteks
operatif yang membedakan antara murid thariqat dan gurunya. dan dalam
kontks transmisi formal melalui jalur atau silsilah tertentu.di dalam metode
irfani terdapat beberapa bagian seperti Riyadhah, Tafakur (Refleksi),
Dzikrullah, Tazkiyat An-nafs.

B. Saran
Kita sebagai seorang Muslim hendaknya memerhatikan akhlak dan moral,
dimulailah dari diri sendiri, dan selalu berlandaskan apa yang telah
dicontohkan Rasulullah saw.

14
DAFTAR PUSTAKA

Alfian, Muhammad, Psikologi Tasawuf, CV Pustaka Setia, 2011


Anwar, Rosihon, Akhlak Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia, 2010.
Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, PT. Raja Grafika Persada, 1994.
Bangun Nasution, Ahmad, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2013.
Haidar, Bagir, Buku Saku Tasawuf, (Bandung : Arasy Mizan, 2003.
Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia, 2011.
Solihin, M. dan Rosihon Anwar, Ilmu tasawuf, Bandung : Pustaka Setia, 2008.
Tamami, Psikologi Tasawuf, PT. Raja Grafika Persada, 2012.

15

Anda mungkin juga menyukai