Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pada masa penjajahan banyak terjadi pergolakan – pergolakan yang
terjadi baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Tentunya dengan cara
mengupas pergolakan yang terjadi di dalam negeri siswa dapat dengan mudah
mempelajari perjuangan yang di lakukan baik pemerintah maupun para
pejuang kita dalam menghadapinya.
Maka tidak salah, dalam makalah ini kami membahas tentang “ perjuangan
menghadapi pergolakan dalam negeri” .

B. Tujuan
Agar siswa dapat dengan mudah memahami materi tentang “ Perjuangan
Menghadapi Pergolakan dalam Negeri”.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perjuangan Menghadapi Ancaman Disentegrasi Bangsa


Sejarah pergolakan dan konflik yang terjadi di Indonesia selama masa tahun
1948-1965 dalam bab ini akan dibagi ke dalam tiga bentuk pergolakan :

1. Peristiwa konflik dan pergolakan yang berkaitan dengan


ideologi.
 Pemberontakan PKI Madiun Tahun 1948
Jatuhnya kabinet Amir disebabkan oleh kegagalannya dalam
Perundingan Renville yang sangat merugikan Indonesia dan
menguntungkan Belanda. Wilayah Republik Indonesia semakin
berkurang,sehingga wilayah indonesia menjadi sempit. Ditambah lagi
dengan adanya Blokade Ekonomi yang dilakukan oleh Belanda.
Sebab itu pada tangal 23 Januari 1948 Amir Syarifuddin
menyerahkan mandatnya kepada Presiden Republik Indonesia. Presiden
kemudian menunjuk Moh.Hatta untuk membentuk kabinet. Moh.Hatta
menyusun kabinet tanpa campur tangan golongan sayap kiri atau
sosialis.Setelah menyerahlan mandatnya kepada pemerintah Republik
Indonesia Untuk merebut kembali kedudukannya pada tanggal 28 Juli
1948 Amir Syarifuddin membentuk Front Demokrasi (FDR) yang
mempersatukan semua golongan sosialis kiri dan komunis.
Untuk memperkuat basis massa FDR membentuk organisasi
petani & buruh selain itu memancing bentrokan dengan menghasut
buruh. Puncaknya ketika terjadi pemogokan di pabrik karung Delangu
(Jawa Tengah) pada tanggal 5 Juli 1948. Pada tanggal 11 Agustus 1948,
Musso tiba dari Moskow kemudian Musso dikirim olen pimpinan
gerakan Komunis Internasional ke Indonesia dengan tujuan untuk
merebut pimpinan atas negara Republik Indonesia dari tangan kaum
Nasionalis. Amir dan FDR segera bergabung dengan Musso. Untuk

2
memperkuat organisasi, maka disusunlah doktrin bagi PKI. Doktrin itu
bernama “Jalan Baru”.
Sesuai dengan doktrin itu, ia melakukan fusi antara Partai Sosialis,
Partai Buruh,dan lain-lain menjadi PKI. Ia bersama Amir Syarifuddin
mengambil alih pimpinan PKI baru tersebut.

Pokok-pokok Jalan Baru atau koreksi besar yang dilakukan oleh Musso
berisi:
1. PKI sejak proklamasi seharusnya sudah muncul dan berperan sebagai
pemimpin revolusi.
2. Persetujuan Renville adalah kesalahan besar yang mencelakakan dan
berbau reaksioner.
3. Kabinet Amir seharusnya tidak mengundurkan diri sebab pokok
di setiap revolusi adalah kekuasaan negara.
4. Untuk sementara perlu dibentuk Front Nasional.

PKI melakukan provokasi terhadap Kabinet Hatta dan menuduh


pimpinan nasional pada waktu itu seoloa-olah bersikap kompromistis
terhadap musuh. Kabinet Hatta tetap melaksnakan program reorganisasi
& rasionalisasi. Cara yang ditempuh antara lain :
a. Melepaskan para prajurit dengan suka rela untuk meninggalkan
ketentaraan dan kembali kepada pekerjaan semula.
b. Mengambil 100 ribu orang laskar dari masyarakat dan
menyerahkan penampungan kepada Kementerian Pembangunan &
Pemuda.
c. Program resionalisasi itu dapat mendapat tantangan hebat dari
kaum komunis. Karena menimpa sebagian besar pasukan
bersenjatanya. Akan tetapi,politik ofensif Musso itu tidak
menggoyahkan Kabinet Hatta , yang didukung oleh dua partai
politik besra pada saat itu seperti PNI dan Masyumi serta beberapa
organisasi pemuda yang bergabung dalam Badan Perjuangan
Seberang di bawah pimpinan Latuharhary.

3
d. Puncak gerakan yang dilakukan oleh PKI terjadi pada tanggal18
Setember 1948,yaitu dengan pernyataan tokoh-tokoh PKI tentang
berdirinya Soviet Republik Indonesia yang bertujuan mengganti
dasar pancasila dengan dasar Komunis. Para pemberontak PKI
melancarkan aksinya dengan menguasai seluruh Karesidenan Pati.
PKI juga melakukan pembunuhan dan penculikan secara besar-
besaran terhadap setiap golongan yang dianggap musuhnya.

PKI banyak melakukan kekacauan, terutama di Surakarta. Oleh PKI


daerahSurakarta dijadikan daerah kacau (wildwest). Sementara Madiun
dijadikan basis gerilya. Pada tanggal 18 September 1948, Musso
memproklamasikan berdirinya pemerintahan Sovietdi Indonesia. Tujuannya
untuk meruntuhkan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
menggantinya dengan negara komunis. Pada waktu yang
bersamaan, gerakan PKI dapat merebut tempat-tempat penting di Madiun.
Untuk menumpas pemberontakan PKI, pemerintah melancarkan operasi
militer. Dalam hal ini peran Divisi Siliwangi cukup besar. Di samping
itu, Panglima Besar Jenderal Soedirman memerintahkan Kolonel Gatot
Subroto di Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono di Jawa Timur untuk
mengerahkan pasukannya menumpas pemberontakan PKI di Madiun.
Dengan dukungan rakyat di berbagai tempat, pada tanggal 30
September 1948, kota Madiun berhasil direbut kembali oleh tentara
Republik. Pada akhirnya tokoh-tokoh PKI seperti Aidit dan Lukman
melarikan diri ke Cina dan Vietnam. Sementara itu, tanggal 31 Oktober
1948 Musso tewas ditembak. Sekitar 300 orang ditangkap oleh pasukan
Siliwangi pada tanggal 1 Desember 1948 di daerah Purwodadi, Jawa
Tengah.

 GERAKAN DI/TII SEBUAH PEMBERONTAKAN


Penandatanganan Perjanjian Renville pada tanggal 17 Januari 1948
sebagai salah satu upaya untuk mengakhiri pertikaian Indonesia Belanda,
ternyata telah menimbulkan dampak baru terhadap fase perjuangan bangsa

4
Indonesia dalam mempertahankan proklamasi kemerdekaan yang
dikumandangkan oleh Soekarno Hatta. Penandatangan perjanjian tersebut
tidak saja mempunyai akibat di bidang politik, melainkan juga berpengaruh di
bidang militer Negara RI, sebagai konsekwensi logis dari hasil kristalisasi
nilai-nilai pertemuan antara pihak-pihak yang mengadakan perundingan.
Kondisi ini dijelaskan oleh Disjarahad (1982) bahwa di dalam bidang
politik pemerintahan RI dapat kita lihat dengan jelas. Daerah RI sesuai
dengan keputusan Linggajati hanya meliputi pulau Jawa, Sumatra dan
Madura semakin dipersempit, lebih-lebih lagi beberapa kota besar dari ketiga
pulau tersebut di atas diduduki Belanda.
Menurut perjanjian Renville, daerah Jawa Barat dala hal ini adalah
daerah yang terletak di luar wilayah RI. Hijrahnya pasukan Siliwangi dari
wilayah Jawa Barat yang dikuasai Belanda menuju wilayah Jawa Tengah
yang dikuasai RI, telah menimbulkan adanya suatu kekosongan pemerintahan
RI di Jawa Barat. Kondisi inilah yang kemudian dijadikan sebuah kesempatan
oleh apa yang dinamakan Gerakan DI/TII untuk mendirikan Negara Islam
Indonesia.
Sehubungan dengan hal ini, Anne Marie The (1964) menyatakan bahwa
masa vacuum (kekosongan) pemerintah RI di Jawa Barat tidak disia-siakan
oleh Kartosuwirjo untuk menjadikan idenya suatu kenyataan. Sedangkan
Kahin menyatakan bahwa akhirnya di Jawa Barat, di daerah yang terletak di
luar wilayah menurut ketentuan Perjanjian Renville ada suatu organisasi
politik yang baru terbentuk tapi kuat dan juga mencita-citakan kemerekaan
republic. Organisasi tersebut tidak mengakui Perjanjian Renville dan tidak
mau berperang melawan Belanda, dikenal dengan nama Darul Islam.
Darul Islam (dalam bahasa Arab dar al-Islam), secara harfiah berarti
“rumah” atau “keluarga” islam, yaitu “dunia atau wilayah Islam”. Yang
dimaksud dengan ungkapan tersebut adalah bagian dari wilayah Islam yang di
dalamnya keyakinan dan pelaksanaan syariat Islam serta peraturannya
diwajibakan. Lawannya adalah Darul Harb, yakni “wilayah perang, dunia
kafir”, yang berangsur-angsur akan dimasukkan ke dalam darul Islam.

5
Perbedaan-perbedaan ideologis mengenai dasar Negara sebenarnya
telah ada sebelum proklamasi Negara Islam Indonesia itu sendiri. Namun
adanya musuh bersama, dalam hal ini Belanda, mendorong para pemimpin
bangsa Indonesia untuk mengesampingkan perbedaan-perbedaan ideologis
tersebut. Van Dijk (1995) menyatakan bahwa melucuti kesatuan-kesatuan
Jepang yang mundur, menentang campur tangan Inggris dan menentang
kembalinya Belanda meminta perhatian setiap orang sepenuhnya dan untuk
sementara menggeser perbedaan-perbedaan ideologis ke latar belakang.
Kristalisasi dari gerakan ini semakin nyata setelah ditanda tanganinya
Perjanjian Renville. Adapun upaya-upaya yang dilakukan SM. Kartosuwirjo
untuk membentuk Negara Islam, pertama-tama adalah dengan mengadakan
Konferensi di Cisayong Tasikmalaya Selatan tanggal 10-11 Februari 1948.
Keputusan yang diambil adalah merubah system ideology Islam dari bentuk
kepartaian menjadi bentuk kenegaraan, yaitu menjadikan Islam sebagai
ideology Negara. Konferensi kedua diadakan di Cijoho tanggal 1 Mei 1948,
dimana hasil yang dicapai adalah apa yang disebut Ketatanegaraan Islam,
yaitu dibentuknya suatu Dewan Imamah yang dipimpin langsung oleh SM.
Kartosuwirjo. Selain itu disusun semacam UUD yang disebut Kanun Azazi,
yang menyatakan pembentukan Negara Islam Indonesia dengan hokum
tertinggi Al-Quran dan Hadist (PInardi 1964).
Adanya Aksi Polisional Belanda yang melancarkan Agresi Militer II
tanggal 18 Desemer 1948, tampaknya semakin mempercepat kea rah
pembentukan Negara Islam Indonesia, dimana Agresi MIliter Belanda II
tersebut telah berhasil merebut ibukota RI Yogyakarta dan menawan
Presiden, Wapres beserta sejumlah Menteri. Momentum inilah yang
kemudian dianggap sebagai kehancuran RI, dan kesempatan tersebut
digunakan untuk membentuk Negara Islam Indonesia yang diproklamirkan
tanggal 7 Agustus 1949. Peristiwa tersebut merupakan titik kulminasi
subversi dalam negeri pada masa itu.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, gerakan ini ternyata hanya
menimbulkan penderitaan dan penindasan terhadap rakyat. Kewajiban-
kewajiban yang dibebankan kepada rakyat seringkali menjadi sumber

6
penderitaan dari kekejian yang semena-mena. Kahin (1995) dalam hal ini
menyatakan bahwa kerja sama perani dengan Darul Islam makin lama makin
disebabkan oleh terror yang dilakukan Darul Islam dan petani tidak
mendukung organisasi tersebut karena nasonalisme dan agama. Namun rakyat
kota relative lebih r eada. Lebih buruk keadaannya di pedalaman, tempat
desa-desa diserbu, dalam beberapa daerah sangat sering barang-barang dan
hasil panen dirampas, dan rumah, jembatan, mesjid dan lumbung padi dibakar
atau dimusnahkan.
Gerakan DI/TII akhirnya tetap menjadi sebuah pemberontakan daerah,
sampai akhirnya SM. Kartosuwirjo tertangkap tanggal 4 JUni 1962 dalam
sebuah operasi yang bernama Pagar Betis. Dengan penangkapan dan
pelaksanaan hukuman mati terhadap SM. Kartosuwirjo, maka berakhirlah
pemberontakan yang terorganisir di Jawa Barat selama lebih dari 10 tahun.
Namun hal itu tidak cukup membuat peristiwa tersebut mudah dilupakan,
katena walau bagaimanapun gerakan ini tidak saja menimbulkan
kesengsaraan bagi masyarakat biasa, melainkan juga sebuah tragedy dalam
perjalanan sejarah bangsa Indonesia menegakkan kehidupan berbangsa dan
bernegara.

 Gerakan 30 september 1965


Gerakan 30 September 1965, atau disingkat G30S/PKI. Pihak Angkatan
Darat menyebutnya sebagai Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) atau
Gestok (Gerakan Satu Oktober). G30S/PKI merupakan suatu peristiwa yang
dikatakan sebagai suatu usaha kudeta oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dalam usaha kudeta tersebut, turut menjadi korban tujuh perwira tinggi
Angkatan Darat Indonesia, sebagai suatu usaha menyingkirkan pihak-pihak
yang oleh PKI disebut sebagai Dewan Jenderal dalam Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI). Ketujuh perwira tersebut terbunuh pada dini hari
1 Oktober 1965. Pembunuhan dipimpin oleh Letkol Untung simpatisan PKI
dari Resimen Cakrabirawa.

7
2. Peristiwa konflik dan pergolakan yang berkait dengan
kepentingan (vested interest).
 Gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) atau Kudeta 23
Januari
Adalah peristiwa yang terjadi pada 23 Januari 1950 dimana
kelompok milisi Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang ada di bawah
pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond Westerling yang juga mantan
komandan Depot Speciale Troepen (Pasukan Khusus) KNIL, masuk ke
kota Bandung dan membunuh semua orang berseragam TNI yang mereka
temui. Aksi gerombolan ini telah direncanakan beberapa bulan
sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh pimpinan
tertinggi militer Belanda.
Gerakan APRA didasari adanya kepercayaan rakyat akan datangnya
seorang Ratu Adil yang akan membawa mereka ke suasana yang aman
dan tentram serta memerintah dengan adil dan bijaksana, seperti yang
terdapat dalam ramalan Jayabaya.
Tujuan Gerakan APRA adalah mempertahankan bentuk Negara
federal di Indonesia dan memiliki tentara tersendiri pada Negara-negara
bagian RIS. Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda
menerima laporan, bahwa Westerling telah mendirikan organisasi rahasia
yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan yang diterima
Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8
Desember 1949 menyebutkan bahwa nama organisasi bentukan
Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki
satuan bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA).
Pengikutnya kebanyakan adalah mantan anggota KNIL dan yang
melakukan desersi dari pasukan khusus KST/RST. Dia juga mendapat
bantuan dari temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang dikenalnya
sejak berada di kota Medan.
Pada 5 Desember malam, sekitar pukul 20.00 Westerling menelepon
Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara
Belanda, pengganti Letnan Jenderal Spoor. Westerling menanyakan

8
bagaimana pendapat van Vreeden, apabila setelah penyerahan kedaulatan
Westerling berencana melakukan kudeta terhadap Sukarno dan kliknya.
Van Vreeden memang telah mendengar berbagai kabar, antara lain ada
sekelompok militer yang akan mengganggu jalannya penyerahan
kedaulatan. Juga dia telah mendengar mengenai kelompoknya
Westerling.
Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas
kelancaran penyerahan kedaulatan" pada 27 Desember 1949,
memperingatkan Westerling agar tidak melakukan tindakan tersebut, tapi
van Vreeden tidak segera memerintahkan penangkapan Westerling
Pada 22 Januari pukul 21.00 dia telah menerima laporan, bahwa sejumlah
anggota pasukan RST dengan persenjataan berat telah melakukan desersi
dan meninggalkan tangsi militer di Batujajar.
Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten KNIL J.H.W. Nix
melaporkan, bahwa kompi "Erik" yang berada
di Kampemenstraat malam itu juga akan melakukan desersi dan
bergabung dengan APRA untuk ikut dalam kudeta, namun dapat
digagalkan oleh komandannya sendiri, Kapten G.H.O. de Witt. Engles
segera membunyikan alarm besar. Dia mengontak Letnan Kolonel TNI
Sadikin, Panglima Divisi Siliwangi. Engles juga melaporkan kejadian ini
kepada Jenderal Buurman van Vreeden di Jakarta.
Antara pukul 8.00 dan 9.00 dia menerima kedatangan komandan
RST Letkol Borghouts, yang sangat terpukul akibat desersi anggota
pasukannya. Pukul 9.00 Engles menerima kunjungan Letkol. Sadikin.
Ketika dilakukan apel pasukan RST di Batujajar pada siang hari, ternyata
140 orang yang tidak hadir. Dari kamp di Purabaya dilaporkan, bahwa
190 tentara telah desersi, dan dari SOP di Cimahi dilaporkan, bahwa 12
tentara asal Ambon telah desersi.
Namun upaya mengevakuasi Regiment Speciale Troepen (RST),
gabungan baret merah dan baret hijau telah terlambat untuk dilakukan.
Dari beberapa bekas anak buahnya, Westerling mendengar mengenai
rencana tersebut, dan sebelum deportasi pasukan RST ke Belanda

9
dimulai, pada 23 Januari 1950, Westerling melancarkan kudetanya.
Subuh pukul 4.30, Letnan Kolonel KNIL T. Cassa menelepon Jenderal
Engles dan melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA bergerak melalui
Jalan Pos Besar menuju Bandung."
Westerling dan anak buahnya menembak mati setiap anggota TNI
yang mereka temukan di jalan. 94 anggota TNI tewas dalam pembantaian
tersebut, termasuk Letnan Kolonel Lembong, sedangkan di pihak APRA,
tak ada korban seorangpun. Sementara Westerling memimpin
penyerangan di Bandung, sejumlah anggota pasukan RST dipimpin oleh
Sersan Meijer menuju Jakarta dengan maksud untuk menangkap
Presiden Soekarno dan menduduki gedung-gedung pemerintahan. Namun
dukungan dari pasukan KNIL lain dan Tentara Islam Indonesia (TII)
yang diharapkan Westerling tidak muncul, sehingga serangan ke Jakarta
gagal dilakukan.
Setelah puas melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan
RST dan satuan-satuan yang mendukungnya kembali ke tangsi masing-
masing. Westerling sendiri berangkat ke Jakarta, dan pada 24
Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan Hamid II di Hotel Des Indes.
Hamid yang didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers, melancarkan
kritik pedas terhadap Westerling atas kegagalannya dan menyalahkan
Westerling telah membuat kesalahan besar di Bandung. Tak ada
perdebatan, dan sesaat kemudian Westerling pergi meninggalkan hotel.
Setelah itu terdengar berita bahwa Westerling merencanakan untuk
mengulang tindakannya. Pada 25 Januari, Hatta menyampaikan kepada
Hirschfeld, bahwa Westerling, didukung oleh RST dan Darul Islam, akan
menyerbu Jakarta. Engles juga menerima laporan, bahwa Westerling
melakukan konsolidasi para pengikutnya di Garut, salah satu basis Darul
Islam waktu itu.
Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang
antara lain terdiri dari pasukan elit tentara Belanda, menjadi berita utama
media massa di seluruh dunia. Hugh Laming, koresponden Kantor
Berita Reuters yang pertama melansir pada 23 Januari 1950 dengan

10
berita yang sensasional. Osmar White, jurnalis Australia dari Melbourne
Sun memberitakan di halaman muka: "Suatu krisis dengan skala
internasional telah melanda Asia Tenggara." Duta Besar Belanda
di Amerika Serikat, van Kleffens melaporkan bahwa di mata orang
Amerika, Belanda secara licik sekali lagi telah mengelabui Indonesia,
dan serangan di Bandung dilakukan oleh "de zwarte hand van
Nederland" (tangan hitam dari Belanda)

 Republik Maluku Selatan (RMS)


Adalah daerah yang diproklamasikan merdeka pada 25
April 1950 dengan maksud untuk memisahkan diri dari Negara Indonesia
Timur (saat itu Indonesia masih berupa Republik Indonesia Serikat). Namun
oleh Pemerintah Pusat, RMS dianggap sebagai pemberontakan dan setelah
misi damai gagal, maka RMS ditumpas tuntas pada November 1950. Sejak
1966 RMS berfungsi sebagai pemerintahan terror di pengasingan, Belanda.
Pemerintah RMS yang pertama di bawah pimpinan dari J.H. Manuhutu,
Kepala Daerah Maluku dalam Negara Indonesia Timur (NIT).
Setelah Mr. dr. Chris Soumokil (Mantan Jaksa Agung NIT yang merupakan
underdog Belanda) dibunuh secara ilegal atas perintah Pemerintah Indonesia,
maka dibentuk Pemerintah dalam pengasingan di Belanda di bawah pimpinan
Ir. [Johan Alvarez Manusama], pemimpin kedua [drs. Frans Tutuhatunewa]
turun pada tanggal 24 april 2009. Kini mr. John Wattilete adalah pemimpin
RMS pengasingan di Belanda.
Tagal serangan dan aneksasi ilegal oleh tentara RI, maka Pemerintah
RMS, di antaranya, Mr. Dr. Soumokil, terpaksa mundur ke Pulau Seram dan
memimpin guerilla di pedalaman Nusa Ina (pulau Seram). Ia ditangkap di
Seram pada 2 Desember 1962, dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan
militer, dan dilaksanakan di Kepulauan Seribu, Jakarta, pada 12 April 1966.
Pada bulan September 2011, Jendral Kivlan Zen purn. mengaku dalam
wawancara dengan Global Post bahwa Kerusuhan Ambon sebenarnya
rekayasa dari para elit RMS dan Pendukung RMS di Belanda. Mereka
membuat skenario yang seolah-olah TNI dan Pemerintah Republik Indonesia
telah melakukan destabilisasi Maluku secara politik dan ekonomis. Dalam

11
skenario ini dibuat seolah-olah RMS dipersalahkan dengan sengaja dan
dikambinghitamkan. Mereka memakai kalimat-kalimat seperti:
"Pada saat Kerusuhan Ambon yang terjadi antara 1999-2004, RMS
kembali mencoba memakai kesempatan untuk menggalang dukungan dengan
upaya-upaya provokasi, dan bertindak dengan mengatas-namakan rakyat
Maluku. Pada tanggal 29 Juni 2007, beberapa elemen aktivis RMS berhasil
menyusup masuk ke tengah upacara Hari Keluarga Nasional yang dihadiri
oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, para pejabat dan tamu asing.
Mereka menari tarian Cakalele seusai gubernur Maluku menyampaikan
sambutan. Para hadirin mengira tarian itu bagian dari upacara meskipun
sebenarnya tidak ada dalam jadwal. Mulanya aparat membiarkan saja aksi ini,
namun tiba-tiba para penari itu mengibarkan bendera RMS. Barulah aparat
keamanan tersadar dan mengusir para penari keluar arena.

3. Peristiwa konflik dan pergolakan yang berkait dengan sistem


pemerintahan.
 Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia /
Perjuangan Rakyat Semesta ( PRRI-Permesta)

Pemberontakan PRRI/Permesta didahului dengan pembentukan dewan-


dewan di beberapa daerah di Sumatera, antara lain Dewan Banteng di
Sumatera Barat oleh Letnan Kolonel Achmad Husein (20 Desember 1956) ;
Dewan Gajah di Medan oleh Kolonel Maludin Simbolon (22 Desember
1956) dan Dewan Manguni di Manado oleh Letnan Kolonel Ventje Sumuai
(18 Februari 1957). Tanggal 10 Februari 1958 didirikan organisasi yang
bernama Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesia
yang diketuai oleh Letnan Kolonel Achamad Husein. Gerakan Husein ini
akhirnya mendirikan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia)
yang berkedudukan di Bukittinggi dengan Syafruddin Prawiranegara
sebagai pejabat presiden. Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) pada hari
berikutnya mendukung dan bergabung dengan PRRI sehingga gerakan
bersama itu disebut PRRI/Permesta. Permesta yang berpusat di Manado
tokohnya adalah Letnan Kolonel Vantje Sumual, Mayor Gerungan, Mayor

12
Runturambi, Letnan Kolonel D.J. Samba, dan Letnan Kolonel Saleh
Lahade.
Untuk menumpas pemberontakan PRRI/Permesta dilaksanakan operasi
gabungan yang terdiri atas unsur-unsur darat, laut, udara, dan kepolisian.
Serangkaian operasi yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Operasi Tegas dengan sasaran Riau dipimpin oleh Letkol Kaharudin
Nasution. Tujuan mengamankan instansi dan berhasil menguasai kota.
Pekanbaru pada tanggal 12 Maret 1958.
2. Operasi 17 Agustus dengan sasaran Sumatera Barat dipimpin oleh
Kolonel Ahmad Yani berhasil menguasai kota Padang pada tanggal 17
April 1958 dan menguasai Bukittinggi 21 Mei 1958.
3. Operasi Saptamarga dengan sasaran Sumatera Utara dipimpin oleh
Brigjen Jatikusumo.
4. Operasi Sadar dengan sasaran Sumatera Selatan dipimpin oleh Letkol
Dr. Ibnu Sutowo.
5. Sedangkan untuk menumpas pemberontakan Permesta dilancarkan
operasi gabungan dengan nama Merdeka di bawah pimpinan Letkol
Rukminto Hendraningrat, yang terdiri dari:
 Operasi Saptamarga I dengan sasaran Sulawesi Utara bagian
Tengah, dipimpin oleh Letkol Sumarsono.
 Operasi Saptamarga II dengan sasaran Sulawesi Utara bagian
Selatan, dipimpin oleh Letkol Agus Prasmono.
 Operasi Saptamarga III dengan sasaran Kepulauan Sebelah Utara
Manado, dipimpin oleh Letkol Magenda.
 Operasi Saptamarga IV dengan sasaran Sulawesi Utara, dipimpin
oleh Letkol Rukminto Hendraningrat

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kondisi NKRI secara nyata harus diakui oleh setiap warganegara
biladitinjau dari kondisi geografi, demografi, dan kondisi sosial yang ada
akanterlihat bahwa pluralitas, suku, agama, ras dan antar golongan
dijadikanpangkal penyebab konflik atau kekerasan massal, tidak bisa diterima
begitu saja.
Pendapat ini bisa benar untuk sebuah kasus tapi belum tentu benar
untukkasus yang lain. Namun ada kondisi-kondisi struktural dan kultural
tertentudalam masyarakat yang beraneka ragam yang terkadang terjadi akibat
darisuatu proses sejarah atau peninggalan penjajah masa lalu,
sehinggamemerlukan penanganan khusus dengan pendekatan yang arif
namun tegaswalaupun aspek hukum, keadilan dan sosial budaya merupakan
faktorberpengaruh dan perlu pemikiran sendiri.
Kepemimpinan (leadership) dari tingkat elit politik nasional
hinggakepemimpinan daerah, sangat menentukan dalam rangka meredam
konflikyang terjadi saat ini. Sedangkan peredaman konflik memerlukan
tingkatprofesionalisme dari seluruh aparat hukum dan instansi terkait secara
terpadudan tidak berpihak pada sebelah pihak.
Sekilas permasalahan tersebuat nampak biasa saja, namun apabila hal
initerus terjadi dan tidak ada usaha dari pemerintah untuk
menyelesaikanpersoalan tersebut, bukan tidak mungkin disintegrasi yang
selama ini dikhawatirkan akan terwujud. Pemerintah harus dapat merumuskan
kebijakanyang tegas dan tepat dalam aspek kehidupan dan pembangunan
bangsa, yangmencerminkan keadilan bagi semua pihak, semua wilayah

14

Anda mungkin juga menyukai