Anda di halaman 1dari 5

Daftar pustaka

19juli2016 http://www.ngekul.com/epitimologi-bayani-burhani-dan-irfani/

Supriyadi, Dedi dan Hasan, Mustofa. 2012. Filsafat Agama. Bandung:CV Pustaka Setia

Prof. Dr. Mujamil, M.Ag

https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=dXwnu_Y_n2EC&oi=fnd&pg=PR5&dq=konsep+epistem
ologi+islam&ots=PSSHG1iXWn&sig=pVl_vpqQ95uC1pl8B77pUq_ovfk&redir_esc=y#v=onepage&q&f=fals
e

1. pengertian

epistemologi berasal dari Bahasa Yunani, episte dan logos. Episte berarti pengetahuan,
sedangkan logos teori, uraian atau ulasan. Karena berhubungan dengan pengertian filsafat
pengetahuan, logos lebih tepat diterjemahkan dalam arti teori.

p. hardono hadi menyatakan, bahwa epistemology adalah cabang filsafat yang


mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-
pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan
yang dimiliki.
Sedangkan d.w Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang
berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaiannya
serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki
pengetahuan.
Selanjutnya pengertian epistemology yang lebih jelas daripada kedua pengertian
tersebut, diungkapkan oleh Daggobrt D. Runes. Beliau menyatakan bahwa epistemologi adalah
cabang filsafat yang menyatakan sumber, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan.
Sementara itu, Azyumardi Azra menambahkan, bahwa epistemologi sebagai “ilmu yang
membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan.
2.
Bayani

Secara etimologi, bayani mempunyai arti menyambung, memisah-misahkan, terang dan


jelas, kefasihan dan kemampuan dalam menyampaikan, serta kekuatan
untuk menerima dan menyampaikan kejelasan.

Sedangkan secara terminologi, dengan mengutip pendapat al-Jahiz dalam kitabnya al-
Bayan wa al-Tabyin, al-Jabiri mengartikannya sebagai nama universal (ism jami’) bagi
setiap pemahaman makna, sedangkan apabila merujuk kepada pendapat al-
Syafi’i, bayani merupakan nama universal bagi makna-makna yang terdapat dalam
kumpulan landasan pokok (al-ashl) dan mengurai cabang (al-furu’).

Bayani adalah suatu epistimologi yang mencakup disiplin-disiplin ilmu yang berpangkal
dari bahasa Arab (yaitu nahwu, fikih dan ushul fikih, kalam dan balaghah).

Dalam sejarahnya, aktivitas bayani sudah dimulai sejak munculnya pengaruh Islam,
tetapi belum merupakan kajian ilmiah seperti identifikasi keilmuan dan peletakkan
aturan penafsiran teks. Tahap selanjutnya adalah mulai munculnya usaha untuk
meletakkan aturan penafsiran wacana bayani, tetapi masih terbatas pada
pengungkapan karakteristik ekspresi bayani dalam AL Qur’an. Dalam bahasa Arab
sendiri bayani terbatas pada tinjauan bahasa dan gramatikanya saja. Proses peletakan
aturan-aturan penafsiran wacana bayani (dalam bentuknya yang baku dan tidak dalam
aspek linguistiknya saja) dilakukan oleh Imam al Syafi’i. Imam Syafi’I adalah orang yang
pertama memposisikan al Sunnah sebagai nash kedua. Nash tersebut berfungsi
sebagai mushari’ (penetap hukum), perluasan cakupan al Sunnah yang dengan tidak
secara tegas membedakan antara “sunnah-tradisi” dan “sunnah-wahyu” serta
pembatasan ruang gerak ijtihad dengan nash (Al Qur’an dan Al Sunnah).
Al Syafi’I berhasil membakukan cara-cara berfikir yang menyakut hubungan antara

Lafaz dan makna serta hubungan antara bahasa dan teks al-Qur’an. Ia juga
merumuskan aturan-aturan bahasa Arab sebagai acuan untuk menafsirkan al-Qur’an.
Ia menjadikan al-Qur’an, Hadis,Ijma dan Qiyas sebagai sumber penalaran yang absah
untuk menjawab persoalan-persoalan dalam masyarakat.

Sedangkan al-Jahiz berusaha mengembangkan bayani tidak hanya terbatas pada


“memahami” tetapi berusaha membuat pendengar atau pembaca faham akan wacana.
Bahkan ia ingin membuat pendengar memahami, menenangkan pendengar,
menuntaskan perdebatan dan membuat lawan bicara tidak berkutik lagi. Ibn Wahab
sendiri berusaha untuk mensistematikanya denagn cara merumuskan kembali teori
bayani sebagai metode dan sistem mendapatkan pengatahuan.

Jadi pada kesimpulannya dalam epistimologi bayani sumber pengetahuan berasal dari
teks atau nash. Pendekatan yang digunakan adalah dengan pendekatan lughawiyah.
Sementara metode yang dipakai adalah qiyas, istinbat, tajwiz, ‘adah. Sehingga peran
akal disini memang terjustifikasi karena menggunakan argumen yang bersifat
jadaliyyah. Sesuatu dapat dikatakan valid jika adanya kedekatan teks dan kenyataan.

Dalam bahasa filsaat yang disederhanakan, pendekatan bayani dapat diartikan sebagai
Model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks. Dalam hal ini teks sucilah yang
memilki otoritas penuh menentukan arah kebenaran sebuah kitab. Fungsi akal hanya
sebagai pengawal makna yang terkandung di dalamnya.

Dalam pendekatan bayani, oleh karena dominasi teks sedemikian kuat, maka peran
akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami
atau diinterpretasi. Dalam aplikasinya, pendekatan bayani akan memperkaya lilmu fikih
dan ushul fikih, lebih-lebih qawaidul lughahnya.
Namun, hal itu berarti bukan tanpa kelemahan. Kelemahan mencolok pada Nalar
Bayani adalah ketika harus berhadapan dengan teks-teks yang berbeda, milik
komunitas, bangsa, atau masyarakat lainnya. Karena otoritas ada pada teks, dan rasio
hanya berfungsi sebagai pengawal teks, sementara sebuah teks belum tentu diterima
oleh golongan lain.

Burhani

Al-Burhan dalam bahasa Arab berarti argumen yang clear . Dalam pengertian logika, al-
burhan adalah aktivitas fikir yang menetapkan kebenaran sesuatu melalui penalaran
dengan mengkaitkan pada pengetahuan yang bukti-buktinya mendahului kebenaran.
Sedangkan dalam pengertian umum, al-burhan berarti aktivitas fikir untuk menetapkan
kebenaran sesuatu.

Al-Jabiri menggunakan burhani sebagai sebutan terhadap sistem


pengetahuan yang berbeda dengan metode pemikiran tertentu dan memiliki world
view tersendiri, yang tidak bergantung pada hegemoni sistem pengetahuan lain.
Burhani mengandalkan kekuatan indera, pengalaman, dan akal dalam mencapai
kebenaran.

Ketiga kecenderungan epistemologis Islam ini, secara teologis mendapatkan justifikasi


dari al-Qur’an. Dalam al-Qur’an banyak ditemukan ayat-
ayat yang berbicara tentang pengetahuan yang bersumber pada rasionalitas.
Perintah untuk menggunakan akal dengan berbagai macam
bentuk kalimat dan ungkapan merupakan suatu indikasi yang jelas untuk hal ini.
Akan tetapi, meskipun demikian, tidak sedikit pula paparan ayat-ayat yang
mengungkapkan tentang pengetahuan yang bersumber pada intuisi (hati atau
perasaan) terdalam.

Irfani
Kata ‘irfan adalah bentuk masdar dari kata ‘arafa yang berarti ma’rifah (ilmu
pengetahuan. Kemudian ‘irfan lebih dikenal sebagai
terminologi mistik yang secara khusus berarti “ma’rifah” dalam pengertian
“pengetahuan tentang Tuhan]”. Kalau ilmu (pengetahuan eksoterik) yakni pengetahuan
yang diperoleh indera dan intelek melalui istidlal, nazhar, dan burhan, maka ‘irfan
(pengetahuan esoterik) yaitu pengetahuan yang diperoleh qalb melalui kasyf, ilham,
i’iyan (persepsi langsung), dan isyra.

Aliran-aliran yang beragam dalam dunia Sufisme atau Irfan memiliki kesatuan
pandangan dalam permasalahan yang esensial dan substansial ini dimana mereka
menyatakan bahwa pencapaian dan penggapaian hakikat segala sesuatu hanya
dengan metode intuisi mistikal dan penitian jalan-jalan pensucian jiwa, bukan dengan
penalaran dan argumentasi rasional, karena hakikat suatu makrifat dan pengatahuan
adalah menyelami dan meraih hakikat segala sesuatu lewat jalur penyingkapan,
penyaksian, intuisi hati, manifestasi-manifestasi batin, dan penyaksian alam metafisika
atau alam nonmateri dengan mata batin serta penyatuan dengannya.

Para sufi beranggapan bahwa segala makrifat dan pengetahuan yang bersumber dari
intuisi-intuisi, musyahadah, dan mukasyafah lebih dekat dengan kebenaran daripada ilmu-
ilmu yang digali dari argumentasi-argumentasi rasional dan akal. Mereka menyatakan
bahwa indra-indra manusia dan fakultas akalnya hanya menyentuh wilayah lahiriah
alam dan manifestasi-manifestasi-Nya, namun manusia dapat berhubungan secara
langsung (immediate) yang bersifat intuitif dengan hakikat tunggal alam melalui dimensi-
dimensi batiniahnya sendiri dan hal ini akan sangat berpengaruh ketika manusia telah
suci,lepas, dan jauh dari segala bentuk ikatan-ikatan dan ketergantungan-
ketergantungan lahiriah.

Anda mungkin juga menyukai