Cedera kepala adalah perubhan fungsi otak atau terdapat bukti patologi pada
otak yang disebabkan oleh kekuatan mekanik eksternal
Klasifikasi
Cedera otak primer Cedera otak yang segera terjadi saat trauma terjadi
Cedera otak sekunder Terjadi beberapa saat setelah kejadian trauma
Trauma/benturan pada kepala menyebabkan neuron mengalami regangan dan
tarikan yang termasuk dalam cedera otak primer.
Peristiwa ini mengganggu intergritas dan kerja pompa ion membran sel
sehingga erjadi perpindahan ion natrium dan kalsium ke intrasel dan ion kalium
ke ekstrasel.
Terjadi peningkatan ion kalsium intrasel yang kemudian memiliki konsekuensi,
yaitu aktivasi calpain yang bisa mendegradasi protein sitoskeletal dan induksi
penglepasan glutamat yang akhirnya mengaktivasi reseptor NMDA
Selanjutnya terjadi konsentrasi ion kalsium di mitokondria sehingga terbentuk
radikal bebas (ROS), aktivasi kaspase, apoptosis neuron, dan fosforilasi oksidatif
inefisien.
Konsekuensi akhirnya berupa metabolisme anaerob yang selanjutnya
menyebabkan kegagalan energi.
Inilah yang menjadi inti permasalahan karena neuron membutuhkan energi yang
cukup pada kondisi cedera. Neuron dengan kegagalan energi tidak dapat
berfungsi normal dan selanjutnya terjadi asidosis, edema, dan iskemia yang
menambah berat kerusakan otak.
Lesi Fokal
1. Cedera SCALP
berupa laserasi dan abrasi, menjadi penanda penting tempat terjadinya benturan
dan organ yang cedera
contoh: a. memar periorbita seringkali berkaitan dengan patah tulang orbita
akibat cedera contra coup pada oksiput
b. memar pada mastoid (tanda Battle) dapat disebabkan oleh aliran darah dari
fraktur yang terjadi pada tulang temporal pars petrosus.
2. Fraktur basis kranii
Fraktur basis kranii dapat menjadi indikasi besarnya energi mekanik yang
mengenai kepala. Energi mekanik yang mengenai daerah yang luas pada
tengkorak mengakibatkan fraktur kominutif, sedangkan pada daerah yang
sempit mengakibatkan fraktur impresi.
Fraktur basis kranii dapat mengakibatkan bocornya cairan serebrospinal dan
mengisi sinus-sinus sehingga menjadi sumber infeksi intrakranial
3. Kontusio dan laserasi serebri
robekan (laserasi) pada piamater seringkali berhubungan dengan jejas pada otak
(kontusio). Pada kontusio serebri, parenkim otak mengalami edema dan
perdarahan.
Jejas yang terdapat tepat di titik trauma disebut coup
Jejas coup umumnya terjadi pada kasus akselerasi cepat, misalnya saat kepala
dipukul dengan benda keras. Sementara jejas countercoup umumnya terjadi pada
kasus deselerasi cepat, misalnya jatuh dari atas gedung.
Saat seseorang jatuh dari suatu ketinggian, kepala mengalami akselerasi akibat
gravitasi bumi dan diikuti deselerasi cepat akibat menghantam tanah.
Perdarahan pada kontusio serebri dapat meningkatkan TIK. Perdarahan dapat
meluas hingga ke substansia alba dan rongga subdural, yang umumnya terjadi
pada lobus frontal dan temporal. Dalam beberapa hari perdarahan ini akan
diabsorbsi oleh otak sehingga menghasilkan kavitas pada girus otak. Perdarahan
dapat bersifat asimptomatik, tetapi memiliki risiko mengakibatkan epilepsi di
kemudian hari. Diskotinuitas jraingan otak akibat kontusio disebut dengan
laserasi otak.
4. Perdarahan intrakranial
a. Perdarahan epidural
Perdarahan ini lebih sering terjadi pada pasien usia muda (10-30 tahun). Hal ini
diakibatkan adanya fraktur linear tengkorak, terutama di tulang temporal pars
skuamosa (mungkin karena bentuknya yang tipis cembung ke arah luar) yang
menyebabkan robeknya arteri meningea media.
Oleh karena itu predilkesi perdarahan di area temporal atau temporo parietal
(70-80%).
Perdarahan ini ditandai dengan akumulasi darah di antara duramater dan tlang
tengkorak sehingga gambaran hematomnya khas berbentuk cembung atau
bikonveks
Volume perdarahan merupakan penanda luaran pasien dengan perdarahan
epidural. Pasien dengan volume darah lebih dari 150 mL memiliki prognosis
yang lebih buruk.
Perdarahan epidural secara klinis ditandai dengan adanya lusid interval, yaitu
periode kesadaran pulih diantara dua penurunan kesadaran.
Pada awal terjadi cedera kepala, kesadaran pasien akan menurun. Selanjutnya
pasien akan sadar penuh, tetapi kembali kehilangan kesadaran beberapa saat
kemudian karena adanya akumulasi darah.
Seiring progesivitas penyakit, beberapa pasien dapat ditemukan mengalami
penurunan frekuensi nadi, menurunnya frekuensi pernapasan, dan
meningkatnya tekanan darah (refleksi Cushing).
Gejala lain yang dapat menandakan perdarahan epidural sudah memasuki tahap
lanjut adalah ditemukannya hemiparesis, reflek patologis Babinski positif,
dilatasi pupil yang menetap pada satu atau kedua mata, serta deserebrasi.
Tanda-tanda tersebut merupakan indikasi terjadinya herniasi otak.
Menurut National Institute for Health an Clinical Excelence (NICE), CT Scan perlu
dilakukan bila
GCS <13 pasca cedera
GCS 13 atau 14, dua jam pasca cedera
Dicurigai mengalami fraktur terbuka atau impresi
Memiliki tanda fraktur basis kranii
Mengalami kejang pasca cedera
Mengalami defisit neurologi sentral
Mengalami muntah lebih dari 1x
Menalami amnesia tentang kejadian 30 menit sebelum cedera kepala
Tanda diagnostik fraktur basis kranii”
Anterior
o Keluarnya cairan likuor melalui hidung/ rinorea
o Perdarahan bilateral periorbital ekimosis/ raccoon eye
o Anosmia
Media
o Keluarnya cairan likuor melalui telinga/ otorea
o Gangguan N.VII dan N.VIII
Posterior
o Bilateral mastoid ekimosis/ tanda Battle
Kebocoran cairan serebrospinal melalui telinga atau hidung pada fraktur basis
kranii dapat dideteksi denan adanya halo/ double ring sign. Hal ini terjadi
karena prinsip kromatografi akan memisahkan cairan serebrospinal dan darah
sesuai koefisien difusi saat diteteskan di kassa/kain. Tanda ini dapat muncul bila
kosentrasi cairan serebrospinal sekitar 30-90%.
b. Perdarahan subdural
merupakan perdarahan akibat robeknya vena jembatan (bridging vein) terutama
yang berdekatan dengan sinus sagital posterior. Perdarahan subdural umumnya
disebabkan oleh akselerasi atau deselerasi kepala dengan atau tanpa benturan
langsung. Perdarahan subdural seringkali dialami oleh pasien lanjut usia karena
umumnya telah terjadi atrofi otak yang menyebabkan meningkatnya kapasitas
otak untuk bergerak di dalam rongga otak.
Perdarahan subdural dapat terjadi akut (< 3 hari), subakut (3 hari – 3 minggu
awitan), atau kronik (>3 minggu awitan). Perdarahan subdural akut terdiri atas
bekuan darah yang lembut seperti gel. Setelah beberapa hari, bekuan tersebut
akan dipecah menjadi cairan serosa dan setelah 1-2 minggu akan terbentuk
jaringan granulasi dengan fibroblas dan pembuluh darah baru. Walaupun
perdarahan biasanya akan direabsorbsi, seringkali terjadi perdarahan ulang
akibat pembuluh darah baru yang imatur. Di samping itu, perdarahan subdural
kronik seringkali terjadi pada pasien lanjut usia, orang yang rutin
mengkomsumsi alkohol, dan pasien dengan tekanan intrakranial rendah, seperti
pasien hidrosefalus dengan VP Shunt.
c. Perdarahan Subarachnoid
akumulasi darah di subaraknoid dapat terjadi setelah cedera kepala, terutama
yang berhubungan dengan kontusio dan laserasi.
Perdarahan subaraknoid seringkali menjadi penyulit pada kasus perdarahan
intraventrikular karena kebocoran darah ke ruang subaraknoid melalui foramen
Luschka dan Magendie. Perdarahan subaraknoid karena cedera kepala biasanya
terdistribusi di sulkus-sulkus serebri di sekitar verteks dan tidak mengenai
sisterna basalis. Perdarahan subaraknoid seringkali terjadi akibat benturan pada
otak atau leher dan menyebabkan hilangnya kesadaran secara langsung.
Komplikasi kronik dari perdarahan subaraknoid adalah terbentuknya
hidrosefalus.
Tatalaksana
Tatalaksana awal sama seperti cedera pada umumnya, yaitu survey primer
ABCD
1. A- Airway
Prinsipnya adalah memastikan jalan napas tidak mengalami sumbatan
Apabila diperlukan dapat digunakan alat bantu seperti OPA
2. B – Breathing
Prinsip pernapasan adekuat adalah dengan memperhatikan pola napas, gerak
dinding perut, dan keseteraan pengembangan dinding dada kanan dan kiri
Apabila tersedia, diharapkan saturasi oksigen >92%
3. C – Circulation
4. D – Disability
Berdasarkan konsensus PERDOSSI, diabilitas mengacu pada ada tidaknya
lateralisasi dan kondisi umum dengan memeriksa status umum dan fokal
neurologis
Sebagai tambahan, perlu dilakukan omobilisasi tulang belakang karena cedera
kepala seringkali dibarengi dengan adanya cedera medula spinalis.
Imobilisasi dilakukan sampai didapatkan bukti tidak terdapat cedera tulang
belakang.
Tatalaksana Farmakologis
Hipotensi adalah salah satu prediktor mortalitas pada cedera kepala berat. Oleh
karena itu, perlu dilakukan resusitasi dengan cepat begitu tanda syok ditemukan.
Banyak pusat trauma merekomendasikan cairan kristaloid isotonik sebagai
cairan pengganti. Cairan hipotonik harus dihindari karena dapat
mengeksaserbasi edema serebral
Untuk mempertahankan tekanan perfusi serebral sebesar 50mmHg, dibutuhkan
MAP sekitar 70 mmHg
Pada cedera kepala harus diperhatikan tanda peningkatan TIK karena harus
segera diturunkan
Berdasarkan mekanisme hipoksia yang terjadi pada cedera, maka edema yang
terjadi adalah edema sitotoksik sehingga menggunakan manitol 20%. Terapi ini
menggunakan prinsip osmosis diuresis. Manitol memiliki efek ekspansi plasma
yang dapat menghasilkan gradien osmotik dalam waktu cepat. Cairan ini dapat
meningkatkan aliran darah serebral dan tekanan perfusi serebral yang akan
meningkatkan suplai oksigen.
Dosis pemberian manitol dimulai dari 1-2g/kgBB dalam waktu ½-1 jam tetes
cepat. Setelah 6 jam pemberian dosis pertama, dilanjutkan dengan dosis kedua
0,5g/kgBB dalam waktu ½-1jam tetes cepat. Selanjutnya 12 jam dan 24 jam
kemudia diberikan 0,25mg/kgBB selama ½-1 jam tetes cepat.
4. Fraktur impresi
5. Fraktur kranii dengan laserasi serebri
6. Fraktur kranii terbuka
7. Edema serebri berat yang disertai dengan peningkatan TIK