Anda di halaman 1dari 11

Angin bertiup cukup pelan namun ombak di tepian pantai Desa Nangamira sudah

mulai bergejolak pagi itu. Deburan ombak menghantam hamparan pasir berwarna
hitam sisa letusan Gunung Tambora 2 abad silam. Dari kejauhan nampak boat yang
akan membawa kami ke Pulau Satonda mendekat, mencari posisi aman untuk
bersandar di dermaga tempat kami menunggu.

“Sampai jumpa lagi bang, kapan kapan datang lagi kesini ya” Berucap salah seorang
pemuda Desa Pancasila sambil menjabat tanganku erat

“Semoga suatu saat diberi kesempatan lagi untuk kembali ke Pancasila dan Tambora
ya…aamiin” Kemudian aku menjabat satu persatu kawan yang mengantarkan kami
berlima ke dermaga Nanagamira ini kecuali Pak Saiful yang akan ikut mengantar
kami berkeliling Pulau Satonda.

Satu persatu kamipun menaiki boat kecil dengan perlahan karena ombak yang
menghantam lumayan kencang apalagi kami membawa banyak peralatan kamera,
kami harus berhati hati. Tangan kami lambaikan sebagai salam perpisahan terakhir
kepada kawan kawan pemuda Desa Pancasila.
Boat melaju dengan kencang, membelah perairan yang memisahkan daratan Sumbawa
dengan Pulau Satonda. Mesin boat yang masih prima mengantarkan kami menuju
tempat tujuan dengan sangat cepat. Hanya 15 menit saja, penampakan Pulau Satonda
yang indah semakin terlihat. Air laut pun mulai ber gradasi dari semula biru pekat
menjadi biru muda kemudian semakin menampakkan warna tosca yang begitu jernih
menampilkan keindahan terumbu karang yang tersimpan di dasarnya.

Sungguh tenang dan sepi itulah persepsi awal ketika kaki menginjak pasir putih halus
Pulau Satonda, sungguh sebuah tempat untuk liburan yang sempurna pikirku. Tak ada
pengunjung lain, hanya kami berlima saat itu yang berkunjung. Walaupun menurut
informasi pulau kecil ini sudah dikelola oleh swasta dengan dibangunnya resort
dengan segala fasilitasnya, ketenangan dan keasrian Satonda nampak masih terawat
dengan baik.

“Biasanya banyak kapal wisatawan yang berlabuh disini mas, tapi entahlah hari ini
kok masih sepi” Ujar Pak Saiful

“Berarti kita beruntung dong pak, jadi bisa puas kayak Pulau Pribadi” Sahutku
bersemangat.

Resort Di Pulau Satonda


Tepat di tengah Pulau terdapat sebuah danau air asin yang membuat Satonda ini cukup
ikonik. Danau ini dahulu di duga sebagai kawah dari Gunung Satonda yang kini sudah
tak aktif lagi, fakta ini cukup bisa diterima karena bukit bukit yang mengelilinginya
pun berbentuk seperti sebuah kaldera gunung berapi. Sementara air asin yang ada di
danau berasal dari Tsunami yang terjadi akibat letusan gunung Tambora pada tahun
1815 silam.

Hanya butuh 5 menit saja berjalan dari dermaga hingga tiba di tepian danau. Lagi lagi
hanya sepi dan ketenangan yang menyambut kami. Jika diamati air danau berwarna
sangat gelap sekilas hampir berwarna hitam. Cukup seram membayangkan kedalaman
danau air asin ini. Menurut informasi yang beredar danau ini beberapa kali di teliti
oleh beberapa pakar penelitian. kadar asin dari danau di Pulau Satonda ini sampai
sekarang masih menjadi misteri. Asal dari air laut ini pun menjadi perdebatan panjang
apakah memang berasal dari Tsunami? atau ada sebuah lubang dibawah sana yang
memungkinkan air laut dari luar merembes kedalam? Itu hal yang masih menjadi
misteri.

Air Danau Nampak Gelap


Bahkan menurut sebuah penelitian, biota dan segala hal yang ada di dalam Danau
Satonda mirip dengan lautan pada zaman purba karena banyaknya material strimalit
yang hanya ada sekitar 3,4 miliar tahun lalu dan tidak pernah ditemukan lagi sekarang.
Jika dihubungkan dengan cerita rakyat, sebenarnya pulau satu ini adalah pulau
larangan atau pulau terkutuk dan tidak diperbolehkan siapapun untuk mendiaminya
karena Pulau Satonda merupakan tempat pengasingan Puteri Dae Minga yang dulunya
diperebutkan oleh banyak orang dari berbagai kerajaan. Karena seringnya terjadi
pertikaian antara orang-orang yang ingin mempersunting sang putri, maka Putri Dae
Minga sengaja diasingkan di pulau tersebut.

Ada satu lagi hal unik di Satonda yaitu keberadaan Pohon Kalibuda atau orang sering
menyebutnya “Pohon Harapan”. Orang orang lokal disini masih percaya akan hal hal
yang sedikit tak masuk diakal seperti pohon Kalibuda yang bisa mengabulkan
keinginan. Jadi setiap ada keinginnan, mereka datang ke danau ini dan
mengantungkan batu di pohon sambil memanjatkan doa kepada sang leluhur. Nah
jikalau doa mereka terkabul, mereka akan kembali ke pohon itu dan melepas sesuatu
yang dulu di gantungkan sambil menggelar upacara syukuran kecil.

“Apa benar cerita cerita itu pak?” Tanyaku kepada pak Syaiful

“Iya memang seperti itu mas, makanya banyak orang sini yang masih percaya. Coba
saja mas berdoa siapa tau suatu saat bisa terkabul kan..hehe” Ujar Pak Syaiful.
Pohon Kalibuda
Puas duduk duduk santai di pinggiran danau kami ingin melihat Danau dari sudut
yang berbeda. Kamipun segera berjalan menyusuri jalur setapak kecil yang akan
mengantarkan kami di sebuah bukit sebelah kanan danau. Tak bisa dianggap enteng
jalur yang kita lalui sangat menanjak tajam apalagi ditambah dengan udara pesisir
yang panas dan lembab sukses membuat peluh keluar tanpa bisa terkontrol. Walaupun
lelah pemandangan yang disuguhkan cukup membuat mata segar. Gradasi warna air di
pesisir Pulau Satonda sungguh indah dilihat dari ketinggian tempat kita berjalan.
Jalur Menuju Puncak Bukit
15 menit saja jalanan curam sudah menemui ujungnya berganti dengan jalur datar
membelah hutan. Dan ketika hutan sudah menemui ujung pemandangan terbuka
langsung menyambut. Nampak di depan mata keindahan Danau Satonda yang
semakin nampak nyata dari ketinggian. Sisi bukit sebelah kanan dari Satonda ini
mempunyai sebuah padang rumput yang cukup luas dan terlihat kontras jika
dibandingkan dengan bukit yang ada diseberangnya yang nampak lebih lebat
pepohonannya yang menjulang tinggi.
Menurut beberapa info yang pernah aku baca, bukit yang berada di sebelah kiri ini
dahulunya adalah tempat dimana ombak Tsunami akibat letusan Gunung Tambora
pertama kalinya menghantam Satonda, dan hingga saat ini bukit sebelah kiri nampak
lebih tandus. Tepat diatas bukit ini matahari nampak ada lebih dari 9, panas sangat
menyengat, dan debu bertebaran. Maka dari itu kami tak berlama lama dan segera
kembali turun. Nampaknya kini jernih air lautan nampak lebih menggoda.
Walaupun nampak sepi dari pengunjung hari itu tapi fasilitas di Satonda nampak
cukup lengkap. Bagi yang tak membawa peralatan snorkelling disinipun tersedia
persewaan. Dengan 50 ribu rupiah kita sudah dapat menyewa alat snorekeling
sepuasnya. Sayang jika ke Satonda kita tak sempatkan untuk menengok keindahan
bawah airnya.

“Langsung saja berenang kedepan sana mas, mumpung airnya lagi tenang ini” Ucap
Pak Bambang sang penjaga persewaan alat snorkelling.

“Iya pak, sudah tak sabar ini pak” sambil cengengesan melihat air yang begitu jernih.
Aku, Adrian, dan Mas Juli pun akhirnya berenang langsung dari bibir pantai menuju
spot yang sudah di tunjukkan Pak Bambang tadi. Tak terlalu jauh berenang keindahan
ikan berwarna warni sudah menyambut kami. Jajaran karang berbagai ukuran pun
nampak masih terjaga dengan baik. Dan satu lagi air lautnya benar benar jernih.
Ombak pun sangat tenang menjadikan kami sangat betah untuk berlama lama di dalam
air.

Berenang kesana kemari tak ada bosannya. Ikan ikan kecil bermain diantara karang
karang, dan dikejauhan nampak ikan ikan berukuran jumbo lebih senang bermain di
sudut yang lebih dalam. Sungguh atraksi yang menarik.
Jika tak ada teriakan dari bibir pantai yang mengisyaratkan kami untuk segera
menyudahi berenang karena hari sudah beranjak sore kami harus segera kembali. Tak
ada pesta yang tak usai, mungkin begitulah kata pepatah lama. Kesenangan kami hari
itu harus segera disudahi dan Satonda juga merupakan penutup dari perjalanan kami
selama seminggu di Tanah Sumbawa. Dari puncak Gunung Tambora lalu kami tiba di
dasar Pulau Satonda.

Anda mungkin juga menyukai