Anda di halaman 1dari 27

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Hakikat Anak Berkesulitan Belajar

1. Pengertian Kesulitan Belajar

Pengertian tentang anak berkesulitan belajar sangat perlu dijelaskan

karena masih banyak yang keliru mengartikan anak kesulitan belajar. Banyak

orang cenderung sulit membedakan anak berkesulitan belajar dengan anak

tunagrahita, mereka menganggap anak berkesulitan itu sama dengan anak

tunagrahita.

Pada kenyataannya anak berkesulitan belajar berbeda dengan anak

tunagrahita. Anak berkesulitan belajar umumnya hanya tidak mampu

menguasai salah satu bidang studi saja yang diprogramkan oleh guru

berdasarkan kurikulum yang berlaku, maka dari itu umumnya anak

berkesulitan belajar ditemui disekolah umum. Salah satu definisi menurut

Mulyono, Abdurrahman (2012:1) adalah “Kesulitan belajar merupakan suatu

konsep multidisipliner yang digunakan di lapangan ilmu pendidikan, psikologi,

maupun ilmu kedokteran”.

Definisi di atas sejalan dengan pendapat Hallahan, Kauffman, dan

Lloyd (1985:14) dikutip dalam Mulyono, Abdurrahman (2012:2)

mengemukakan bahwa:

Kesulitan belajar khusus adalah suatu gangguan dalam satu atau lebih
dari proses psikologis dasar yang mencakup pemahaman dan
penggunaan bahasa ujaran atau tulisan. Gangguan tersebut mungkin
menampakkan diri dalam bentuk kesulitan mendengarkan, berfikir,
berbicara, mengeja, atau berhitung. Batasan tersebut mencakup kondisi-

1
kondisi seperti gangguan perseptual, luka pada otak, disleksia, dan
afasia perkembangan. Batasan tersebut tidak mencakup anak-anak yang
memiliki problema belajar yang penyebab utamanya berasal dari
adanya hambatan dalam penglihatan, pendengaran, atau motorik,
hambatan karena tunagrahita, karena gangguan emosional, atau karena
kemiskinan lingkungan, budaya, atau ekonomi.

Definisi tersebut mengisyaratkan bahwa anak berkesulitan belajar

adalah anak yang memiliki gangguan psikologis dasar dan karena adanya

gangguan perseptual, luka pada otak, disleksia, dan afasia perkembangan yang

dapat menyebabkan anak sulit dalam memahami pelajaran yang diberikan oleh

guru, seperti membaca, menulis, atau berhitung.

Di setiap sekolah dalam berbagai jenis dan tingkatan pasti memiliki

peserta didik yang berkesulitan belajar. Setiap kali kesulitan belajar peserta

didik yang satu dapat diatasi, tetapi pada waktu yang lain muncul lagi kesulitan

belajar peserta didik yang lain.

Menurut Lovitt (1989:7) dikutip dalam Mulyono, Abdurrahman

(2012:4): “Kesulitan belajar khusus adalah suatu kondisi kronis yang diduga

bersumber neurologis yang secara selektif mengganggu perkembangan,

integrasi, dan/atau kemampuan verbal dan/atau nonverbal”.

Sejalan dengan pendapat di atas, Hammill (1981:337) dikutip dalam

Mulyono, Abdurrahman (2012:3) mengemukakan bahwa :

Meskipun suatu kesulitan belajar mungkin terjadi bersamaan dengan


adanya kondisi lain yang mengganggu (misalnya gangguan sensoris,
tunagrahita, hambatan sosial dan emosional) atau berbagai pengaruh
lingkungan (misalnya perbedaan budaya, pembelajaran yang tidak
tepat, faktor-faktor psikogenik), berbagai hambatan tersebut bukan
penyebab atau pengaruh langsung.

Dengan mencermati definisi dari uraian di atas, kita dapat melihat

bahwa kondisi kesulitan belajar memiliki beberapa karakteristik utama, yaitu:

2
pertama, gangguan internal, penyebab kesulitan belajar berasal dari faktor

internal, yaitu yang berasal dari dalam anak itu sendiri. Anak ini mengalami

gangguan pemusatan perhatian, sehingga kemampuan perseptualnya terhambat.

Kemampuan perseptual yang terhambat tersebut meliputi persepsi visual

(proses pemahaman terhadap obyek yang dilihat), persepsi auditoris (proses

pemahaman terhadap obyek yang didengar) maupun persepsi taktil-kinestetis

(proses pemahaman terhadap obyek yang diraba dan digerakkan). Faktor-faktor

internal tersebut menjadi penyebab kesulitan belajar. Kedua, kesenjangan

antara potensi dan prestasi. Anak berkesulitan belajar memiliki potensi

kecerdasan/inteligensi normal, bahkan beberapa diantaranya di atas rata-rata.

Namun demikian, pada kenyataannya mereka memiliki prestasi akademik yang

rendah. Dengan demikian, mereka memiliki kesenjangan yang nyata antara

potensi dan prestasi yang ditampilkannya. Kesenjangan ini biasanya terjadi

pada kemampuan belajar akademik yang spesifik, yaitu pada kemampuan

membaca, menulis, atau berhitung. Ketiga, tidak adanya gangguan fisik

dan/atau mental. Anak berkesulitan belajar merupakan anak yang tidak

memiliki gangguan fisik dan/atau mental.

Definisi-definisi yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa

learning disability tidak digolongkan kedalam salah satu keluarbiasaan,

melainkan merupakan kelompok tersendiri. Kesulitan belajar lebih

didefinisikan sebagai gangguan perseptual, konseptual, memori maupun

ekspresif di dalam proses belajar. Kendatipun gangguan ini bisa terjadi di

dalam berbagai tingkat kecerdasan, namun ‘kesulitan belajar’ lebih terkait

dengan tingkat kecerdasan normal atau bahkan di atas normal. Anak- anak

3
yang berkesulitan belajar memiliki ketidakteraturan dalam proses fungsi mental

dan fisik yang bisa menghambat alur belajar yang normal, menyebabkan

keterlambatan dalam kemampuan berbahasa. Umumnya masalah ini nampak

ketika anak mulai mempelajari mata pelajaran dasar seperti menulis, membaca,

berhitung, dan mengeja.

2. Klasifikasi Anak Berkesulitan Belajar

Membuat klasifikasi anak berkesulitan belajar tidak mudah karena anak

berkesulitan belajar berbeda dengan anak berkebutuhan khusus seperti anak

tunarungu, tunagrahita, atau tunanetra yang sudah jelas penanganannya dari

setiap masing-masing ketunaan. Sedangkan anak berkesulitan belajar memiliki

banyak tipe yang memerlukan diagnosis dan pembekalan peran yang berbeda.

Secara garis besar berkesulitan belajar menurut Mulyono, Abdurrahman

(2012:7) dapat diklasifikasikan kedalam dua kelompok, antara lain adalah:

a. Kesulitan Belajar Perkembangan (Developmental Learning


Disabilities)
Kesulitan belajar ini mencakup pada gangguan motoric dan
persepsi, kesulitan belajar bahasa dan komunikasi, dan kesulitan
belajar dalam penyesuaian perilaku sosial. Kesulitan belajar
akademik menunjuka pada kegagalan-kegagalan mencakup
penguasaan, keterampilan dalam membaca, menulis dan/atau
matematika.
b. Kesulitan Belajar Akademik (Academic Learning Disabilities)
Kesulitan belajar akademik dapat diketahui oleh guru atau orang
tua ketika anak gagal menampilkan salah satu atau beberapa
kemampuan akademik. Lain halnya dengan kesulitan belajar
perkembangan yang sulit diketahui oleh guru atau orangtua karena
tidak ada pengukuran yang sistematis. Kesulitan belajar akademik
dapat diukur secara sistematis sejauh mana kesulitan belajar yang
dihadapi anak.

4
3. Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar

Anak berkesulitan belajar memiliki karakteristik sendiri yang

menandainya. Seperti klasifikasi anak berkesulitan belajar menurut Berry &

Kirk (1980) dalam Upi (2011:47) menyebutkan:

a. Kelainan yang terjadi berkaitan dengan faktor kejiwaan sehingga


mengganggu kelancaran berbahasa, saat berbicara, dan saat
menulis;
b. Pada umumnya tidak mampu untuk menjadi pendengar yang baik,
untuk berfikir, untuk berbicara, membaca, dan menulis, meng-eja
huruf, bahkan perhitungan yang bersifat matematis;
c. Kemampuan mereka yang rendah dapat dicirikan melalui hasil tes
IQ atau tes prestasi belajar khususnya kemampuan-kemampuan
berkaitan dengan kegiatan di sekolah:
d. Kondisi kelainan dapat disebabkan oleh persepsitual handicaps,
brain, injury, minimal brain dysfungcition, dyslexia, dan
developmental aphasia;
e. Mempunyai karakter khusus berupa: kesulitan dibidang akademik
(academic difficulties), Masalah-masalah kognitif (cognitive
problem), dan masalah-masalah emosi sosial (social –emosional
problem).

Dapat disimpulkan bahwa anak berkesulitan belajar memiliki

karakteristik khusus yang tidak dapat disamakan dengan anak tunagrahita atau

anak dengan ketunaan lainnya, karena anak berkesulitan belajar berhitung

hanya berkaitan dengan psikologis atau kejiwaan sehingga mengganggu

kelancaran anak berkesulitan dalam membaca, menulis ataupun berhitung.

4. Penyebab Kesulitan Belajar

Penyebab utama kesulitan belajar adalah faktor internal, yaitu

kemungkinan adanya disfungsi neurologis. Disfungsi neurologis tidak hanya

menyebabkan kesulitan belajar tetapi juga terkadang dapat menyebabkan

tunagrahita. Menurut Mulyono, Abdurrahman (2012:8) ada beberapa faktor

neurologis yang dapat menyebabkan kesulitan belajar sebagai berikut:

5
a. Faktor genetik.
b. Luka pada otak karena luka fisik atau karena kekurangan oksigen.
c. Biokimia yang dilakukan untuk memfungsikan otak hilang.
d. Biokimia yang dapat merusak otak.
e. Pencemaran lingkungan.
f. Gizi yang tidak memadai
g. Pengaruh-pengaruh psikologi dan sosial yang merugikan
perkembangan anak.

Dari berbagai penyebab tersebut dapat disimpulkan bahwa penyebab

utama anak mengalami kesulitan belajar adalah karena lingkungan yang kurang

baik bagi anak dan juga faktor dari dalam, seperti luka pada otak yang

disebabkan fisik atau otak yang kekurangan oksigen.

5. Upaya Penanganan Anak Berkesulitan Belajar

Dalam mengatasi anak berkesulitan belajar harus ada penanganannya

secara baik yang dilakukan oleh guru, karena jika tidak ditangani segera dan

dengan baik kemungkinan akan membuat anak berkesulitan belajar putus asa

karena merasa tertinggal dengan teman lainnya. Juga dapat berakibat buruk

bagi pembentukan kepribadiannya.

Oleh karena itu penanganan anak berkesulitan belajar perlu

pemahaman, menurut Mulyono, Abdurrahman (2012:10) upaya penanganan

adalah sebagai berikut:

a. Peranan Teori Dalam Penanganan Anak Berkesulitan Belajar


Teori adalah sekumpulan bangunan pengertian atau konsep,
definisi, dan dalil yang saling terkait yang memungkinkan
terbentuknya suatu gambaran yang sistematik tentang penomena
dengan menjelaskan hubungan antar bagian variabel.
Dengan demikian, teori ilmiah tentang anak berkesulitan belajar
dapat digunakan untuk menjelaskan tentang fenomena kesulitan
belajar, meramalkan peristiwa-peristiwa yang mungkin terjadi jika
suatu perlakuan digunakan, dan dapat digunakan untuk mengontrol
atau mengendalikan agar fenomena kesulitan belajar tidak terjadi
atau bertambah parah.

6
b. Diagnosis Kesulitan Belajar
Diagnosis kesulitan belajar umumnya dilakukan pada tiap akhir
kegiatan pembelajaran dari suatu mata pelajaran. Guru melakukan
evaluasi formatif, dan setelah adanya evaluasi formatif itulah anak-
anak yang belum menguasai bahan pelajaran diberikan pengajaran
remedial, agar tujuan yang telah diterapkan sebelumnya dapat
tercapai.
Dalam perjalanan pembelajaran remedial itu ada anak yang tetap
memperoleh prestasi belajar yang tidak sesuai dengan tujuan yang
telah ditetapkan sebelumnya. Bahkan, mungkin masih ada anak
yang pemahaman pembelajarannya masih terlalu rendah. Maka dari
itu disuatu sekolah idealnya ada dua jenis guru, guru regular (guru
kelas atau guru mata pelajaran) dan guru remedial yang khusus
memberikan pelayanan pengajaran remedial bagi anak-anak
berkesilitan belajar.

Sebelum dilakukannya pengajaran remedial, guru lebih dahulu perlu

menegakkan diagnosis kesulitan belajar, yang mana menurut Samuel A. Kirk

(1986:265) dalam Mulyono, Abdurrahman (2012:12) prosedur diagnosis

mencakup lima langkah, yaitu:

1) Menentukan potensi atau kapasitas anak.


2) Menentukan taraf kemampuan dalam suatu bidang studi yang
memerlukan pengajaran remedial.
3) Menentukan gejala kegagalan dalam suatu bidang studi.
4) Menganalisis faktor-faktor yang terkait, dan
5) Menyusun rekomendasi untuk pengajaran remedial.
Dengan adanya lima prosedur diagnosis tersebut diharapkan
program remedial dapat dilaksanakan dengan baik.
c. Belajar Dan Hasil Belajar
Tanpa memahami hakikat belajar dan hasil belajar, tampaknya
orang akan sulit memahami kesulitan belajar. Maka dari itu, pada
bagian ini secara berturut-turut akan dibahas pengertian belajar dan
hasil belajar.

Proses belajar merupakan suatu proses dari suatu individu yang

berupaya mencapai tujuan belajar atau yang biasa disebut hasil belajar, yaitu

suatu bentuk perubahan perilaku yang relatif menetap.

7
6. Layanan Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar

Dalam menentukan layanan pendidikan bagi anak berkesulitan belajar

ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan. Faktor tersebut adalah tingkat

kesulitan, kebutuhan anak untuk memperoleh pelayanan yang sesuai, dan

keterampilan sosial dan akademik anak.

Setelah melihat faktor tersebut guru dapat menempatkan pelayanan

pendidikan yang sesuai bagi anak berkesulitan belajar. Menurut Lerner

(1988:141) dalam Mulyono, Abdurrahman (2012:72) ada tiga sistem

penempatan yang banyak dipilih oleh sekolah, yaitu:

a. Kelas Khusus
Sekolah yang menyelenggarakan kelas khusus biasanya
menempatkan 10 atau 20 anak berkesulitan belajar dalam satu
kelas. Ada dua macam kelas khusus yaitu kelas khusus yang
diselenggarakan sepanjang hari belajar dan kelas khusus yang
hanya diperuntukan bagi bidang studi tertentu. Dalam kelas khusus
anak hanya bisa berinteraksi dengan sesame anak berkesulitan
belajar saja sedangkan untuk berinteraksi dengan teman lain hanya
pada saat istirahat. Guru yang menangani kelas khusus pun adalah
guru khusus.
Sedangkan kelas khusus untuk bidang studi tertentu anak-anak
belajar dikelas khusus hanya pada bidang studi yang membuat anak
berkesulitan belajar, sedangkan selebihnya anak berkebutuhan
khusus dapat mengikuti pembelajaran di kelas biasa bersama
teman-temannya yang lain.
b. Ruang Sumber
Ruang sumber adalah ruangan yang disediakan sekolah bagi anak
berkesulitan belajar, yang berisikan guru remedial dan berbagai
media belajar.Aktivitas dalam ruang sumber umumnya
berkonsentrasi pada upaya memperbaiki keterampilan dasar seperti
membaca, menulis, dan berhitung. Guru sumber atau guru remedial
dituntut untuk menguasai bidang keahlian yang berkenaan dengan
pendidikan bagi anak berkesulitan belajar.
c. Kelas Reguler
Dalam kelas regular yang dirancang untuk membantu anak
berkesulitan belajar diciptakan suasana belajar koperatif sehingga
memungkinkan semua anak, baik yang berkesulitan belajar maupun
yang tidak berkesulitan belajar, dapat menjalin kerjasama untuk
mencapai tujtuan belajar.

8
Dalam menentukan layanan pendidikan bagi anak berkesulitan
belajar perlu mempertimbangkan beberapa faktor, setelah
mempertimbangkan beberapa faktor guru dapat menentukan
pelayanan pendidikan yang sesuai bagi anak berkesulitan belajar.
Pelayanan pendidikan bagi anak berkesulitan belajar diantaranya
adalah kelas khusus, kelas yang hanya berisikan anak berkesulitan
belajar dan guru khusus. Selanjutnya adalah ruang sumber, yang
diperuntukan khusus bagi anak berkesulitan belajar dengan
dilengkapi media belajar, dan yang terakhir adalah kelas regular,
dalam kelas ini anak berkesulitan belajar dapat bergabung dengan
anak lainnya dengan tujuan anak berkesulitan belajar dan anak
yang tidak berkesulitan belajar dapat menjalin kerjasama untuk
mencapai tujuan belajar bersama-sama.

Mulyono, Abdurrahman (2012:7) mengemukakan bahwa “Secara garis

besar kesulitan belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, (1)

kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan dan (2) kesulitan

belajar akademik.”

Kesulitan belajar yang besifat perkembangan atau kesulitan belajar pra

akademik terdiri dari 4 macam, antara lain (1) gangguan perkembangan

motorik, (2) gangguan perkembangan persepsi, (3) gangguan perkembangan

kognitif, dan (4) gangguan perkembangan bicara dan bahasa. Sedangkan

kesulitan belajar yang bersifat akademik diantaranya (1) kesulitan belajar

membaca (disleksia), (2) kesulitan belajar menulis (disgrapia), dan (3)

kesulitan belajar berhitung (diskalkulia).

Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan mengenai identifikasi anak

berkesulitan belajar berhitung (diskalkulia). Berikut ini adalah penjelasan

mengenai anak berkesulitan belajar berhitung (diskalkulia) dapat di lihat di

bawah ini.

9
B. Kesulitan Belajar Matematika

1. Matematika

Banyak orang yang mempertukarkan antara matematika dengan

aritmetika atau berhitung. Padahal, matematika memiliki cakupan yang lebih

luas daripada aritmetika. Aritmetika hanya merupakan bagian dari matematika.

Dari berbagai bidang studi yang diajarkan disekolah, matematika merupakan

bidang studi yang dianggap paling sulit oleh peserta didik, baik yang

berkesulitan belajar dan lebih-lebih bagi peserta didik yang berkesulitan

belajar.

Menurut Johnson dan Myklebust (1967:244) dalam Mulyono,

Abdurrahman (2012:202) matematika adalah “Bahasa simbolis yang fungsi

praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan

keruangan sedangkan fungsi teoretisnya adalah untuk memudahkan berfikir”.

Sedangkan menurut Lerner (1988:430) dalam Mulyono, Abdurrahman

(2012:202-203) mengemukakan bahwa “Matematika disamping sebagai bahasa

simbolis juga merupakan bahasa universal yang memungkinkan manusia

memikirkan, mencatat, dan mengomunikasikan ide mengenai elemen dan

kuantitas.

Sejalan dengan pendapat di atas, Kline (1981:172) dikutip dalam

Mulyono, Abdurrahman (2012:203) mengemukakan bahwa “Matematika

merupakan bahasa simbolis dan ciri utamanya adalah penggunaan cara bernalar

deduktif, tetapi juga tidak melupakan cara bernalar induktif”.

10
2. Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar Matematika

Kesulitan belajar matematika disebut juga diskalkulia (dyscalculis)

menurut Lerner (1988:430) dikutip dalam Mulyono, Abdurrahman (2012:210)

menyatakan bahwa “Istilah diskalkulia memiliki konotasi medis, yang

memandang adanya keterkaitan dengan gangguan sistem saraf pusat”.

Aktifitas belajar bagi setiap individu tidak selamanya dapat berlangsung

secara wajar. Kadang-kadang lancar, kadang-kadang tidak. Kadang-kadang

dapat dengan cepat menangkap apa yang dipelajari, kadang-kadang terasa amat

sulit. Dalam hal semangat, terkadang semangatnya tinggi, tetapi terkadang juga

sulit konsentrasi, karena setiap individu memang tidak ada yang sama.

Perbedaan individual inilah yang menyebabkan perbedaan tingkah laku belajar

dikalangan peserta didik.

Untuk mengetahui karakteristik atau gejala umum yang sering dijumpai

pada anak berkesulitan belajar, Lerner (1981:357) dikutip dalam Mulyono,

Abdurrahman (2012:210) mengemukakan bahwa :

Ada beberapa karakteristik anak berkesulitan belajar matematika, yaitu:


(1) adanya gangguan dalam hubungan keruangan, (2) abnormalitas
persepsi visual, (3) asosiasi visual-motor, (4) perseverasi, (5) kesulitan
mengenal dan memahami simbol, (6) gangguan penghayatan tubuh, (7)
kesulitan dalam bahasa dan membaca, dan (8) Performance IQ jauh
lebih rendah daripada skor Verbal IQ.

Karakteristik yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa anak

berkesulitan belajar merupakan anak yang mengalami gangguan perseptual,

konseptual, memori maupun ekspresif di dalam proses belajar, sehingga

memiliki ketidakteraturan dalam proses fungsi mental dan fisik yang bisa

menghambat alur belajar yang normal sehingga menyebabkan keterlambatan

dalam berbagai kemampuan.

11
3. Kekeliruan Umum yang Dilakukan oleh Anak Berkesulitan Belajar

Matematika

Kekeliruan yang sering dialami oleh anak berkesulitan belajar

merupakan permasalahan yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Agar dapat membantu anak berkesulitan belajar matematika, guru perlu

mengenal berbagai kesalahan umum yang dilakukan oleh anak dalam

menyelesaikan tugas-tugas dalam bidang studi matematika.

Lerner (1981:367) dikutip dalam Mulyono, Abdurrahman (2012:213)

menyebutkan bahwa ada beberapa kekeliruan umum yang dialami anak

berkesulitan belajar dapat dilihat dari aspek-aspek berikut:

a. Kekurangan pemahaman tentang simbol


Anak-anak umumnya tidak terlalu banyak mengalami kesulitan jika
kepada mereka di sajikan soal-soal seperti 4 + 3 = ...; atau 8 – 5 =
...; tetapi akan mengalami kesulitan jika di hadapkan pada soal-soal
seperti 4 + ... = 7; 8 = ... + 5; ... + 3 = 6; atau ... – 4 = 7; atau 8 - ...
= 5. Kesulitan semacam ini umumnya karena anak tidak
memahami simbol-simbol seperti sama dengan (=), tidak sama
dengan (≠), tambah (+), kurang (-), dan sebagainya. Agar anak
dapat menyelesaikan soal-soal matematika, mereka harus lebih
dahulu memahami simbol-simbol tersebut.
b. Nilai tempat
Ada anak yang belum memahami nilai tempat seperti satuan,
puluhan, ratusan, dan seterusnya. Ketidakpahaman tentang nilai
tempat akan semakin mempersulit anak jika kepada mereka
dihadapkan pada lambang bilangan basis bukan sepuluh. Bagi anak
yang tidak berkesulitan belajar pun banyak yang mengalami
kesulitan untuk memahami lambang bilangan yang berbasis bukan
sepuluh. Oleh karena itu, banyak yang menyarankan agar pelajaran
matematika di SD lebih menekankan pada aritmetika atau
berhitung yang dapat digunakan secara langsung dalam kehidupan
sehari-hari.
Ketidakpahaman terhadap nilai tempat banyak diperlihatkan oleh
anak-anak seperti berikut ini:
Anak yang mengalami kekeliruan semacam itu dapat juga karena
lupa cara menghitung persoalan pengurangan atau penjumlahan
tersusun ke bawah, sehingga kepada anak tidak cukup hanya diajak
memahami nilai tempat tetapi juga diberi latihan yang cukup.

12
c. Penggunaan proses yang keliru
Kekeliruan dalam penggunaan proses penghitungan dapat dilihat
pada contoh berikut ini:
1) Mempertukarkan simbol-simbol.
2) Jumlah satuan dan puluhan ditulis tanpa memperhatikan nilai
tempat.
3) Semua digit ditambahkan bersama (alogaritma yang keliru dan
tidak memperhatikan nilai tempat). Anak menghitung : 6 + 7 +
3 + 1-17 5 + 8 + 1 + 2 = 16.
4) Digit ditambahkan dari kiri ke kanan dan tidak memperhatikan
nilai tempat.
5) Dalam menjumlahkan puluhan digabungkan dengan satuan.
d. Perhitungan
Ada anak yang belum mengenal dengan baik konsep perkalian
tetapi mencoba menghafal perkalian tersebut. Hal ini dapat
menimbulkan kekeliruan jika hafalannya salah. Kesalahan tersebut
umumnya tampak sebagai berikut:
Daftar perkalian mungkin dapat membantu memperbaiki
kekeliruan anak jika anak telah memahami konsep perkalian.
e. Tulisan yang tidak dapat dibaca
Ada anak yang tidak dapat membaca tulisannya sendiri karena
bentuk-bentuk hurufnya tidak tepat atau tidak lurus mengikuti
garis. Akibatnya, anak banyak mengalami kekeliruan karena tidak
mampu lagi membaca tulisannya sendiri.

C. Program Remedial Berhitung

1. Pengertian Program Remedial

Program remedial adalah program yang diberikan pada anak yang

setelah dilakukan diagnosis belum bisa mencapai tujuan indikator

pembelajaran yang telah ditentukan sebelumnya. Program remedial dapat

diselenggarakan dengan adanya karakteristik tertentu dalam proses dan produk

pendidikan dan pengajaran selama dan setelah berlangsungnya kegiatan

interaksi edukatif antara siswa dan lingkungannya.

Berdasarkan Kurikulum Standar Nasional dalam Cece Wijaya (2010:5)

mengemukakan bahwa:

13
Siswa menguasai pengetahuan minimal 75%. Artinya, siswa yang telah
mengetahui pengetahuan di atas 75% diperbolehkan untuk melanjutkan
studinya pada program selanjutnya. Bagi mereka yang belum
menguasai pengetahuan itu dengan baik maka mereka harus
mengulangi bagian-bagian pengetahuan tertentu yang belum
dikuasainya.

Sedangkan menurut kurikulum 2013 adalah: “Penguasaan pengetahuan

itu mencakup pula penguasaan sikap dan keterampilan secara merata, selaras,

dan terpadu. Artinya dalam proses belajar mengajar, pengembangan

pengetahuan itu tidak terlepas dari pengembangan sikap, dan keterampilan”.

Menurut Mulyono, Abdurrahman (2012:14-16) sebelum program

remedial itu dilaksanakan perlu dilakukan prosedur diagnosis terlebih dahulu

yang dijelaskan seperti berikut ini.

a. Identifikasi
Untuk menentukan anak-anak yang memerlukan atau berpotensi
memerlukan pelayanan pengajaran remedial. Pelaksanaan
identifikasi dapat dilakukan dengan memperhatikan laporan guru
kelas atau sekolah sebelumnya, hasil tes intelegensi yang dilakukan
secara masal atau individual, atau melalui instrument informasi,
misalnya dalam bentuk lembar observasi guru atau orangtua.
b. Menentukan Prioritas
Sekolah perlu menentukan prioritas anak mana yang diperkirakan
dapat diberikan pelayanan pengajaran remedial oleh guru kelas atau
guru bidang studi, dan anak mana yang perlu dilayani oleh guru
khusus remedial. Anak-anak berkesulitan belajar yang tergolong
berat mungkin perlu memperoleh prioritas utama dari guru khusus
remedial.
c. Menentukan Potensi
Setelah indentifikasi anak berkesulitan belajar dilakukan, maka
untuk menentukan potensi anak diperlukan tes intelegensi. Jika
hasil tes intelegensi menunjukan bahwa anak yang memiliki skor
IQ 71 hingga 89, maka anak semacam itu tergolong lamban belajar.
d. Menentukan Penguasaan Bidang Studi Yang Perlu Remedial
Guru remedial perlu memiliki data tentang prestasi belajar anak
dan membandingkan prestasi belajar tersebut dengan taraf
inteligensinya. Kalau prestasi belajar anak menyimpang jauh
dibawah kapasitas inteligensinya maka dapat dikelompokkan
sebagai anak berkesulitan belajar.

14
e. Menurut Gejala Kesulitan
Guru remedial perlu melakukan observasi dan analisis cara anak
belajar. Cara anak mempelajari suatu bidang studi sering dapat
memberikan informasi diagnostik tentang sumber penyebab yang
orisinal dari suatu kesulitan. Gejala kesulitan tersebut dapat
digunakan sebagai landasan dalam menentukan diagnosis, yang
selanjutnya dapat digunakan sebagai landasan dalam menentukan
stategi pembelajaran yang sesuai.
f. Analisis Berbagai Faktor Yang Terkait
Guru remedial perlu melakukan analisis terhadap hasil-hasil
pemeriksaan ahli-ahli lain seperti psikolog, dokter, konselor, dan
pekerja sosial. Ini berarti bahwa seorang guru remedial perlu
memiliki pengetahuan dasar tentang berbagai bidang ilmu yang
terkait dan dapat menjalin suatu bentuk kerjasama multidisipliner.
g. Menyusun Rekomendasi Untuk Pengajaran Remedial
Rekomendasi tersebut mungkin dapat dalam bentuk suatu program
pendidikan yang diindividualkan (individualized education
program) yang pelaksanaannya perlu dievaluasi terlebih dahulu.

Setelah melakukan diagnosis pada anak berkesulitan belajar guru bisa

lebih mudah menentukan program remedial seperti apa yang cocok diberikan

dan dengan melaksanakan program remedial itu diharapkan kemampuan

peserta didik bisa lebih meningkat dari sebelumnya.

2. Pengertian Berhitung

Mengenai pengertian berhitung, Depdiknas (2010:299) mengemukakan

sebagai berikut :

Berhitung merupakan bagian dari matematika, diperlukan untuk


menumbuh kembangkan keterampilan berhitung yang sangat
diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, terutama konsep bilangan yang
merupakan juga dasar bagi pengembangan kemampuan matematika
maupun kesiapan untuk mengikuti pendidikan dasar.

Berdasarkan definisi di atas peneliti dapat menyimpulkan bahwa

berhitung adalah kemampuan mengenal angka dalam hal membilang atau

mengurutkan lambang bilangan, menunjuk urutan benda untuk bilangan dan

memahami konsep benda. Kemampuan berhitung melalui tahapan berhitung

yaitu orespondensi satu satu, kemampuan mengenal pola yaitu mampu

15
memperkirakan urutan berikutnya setelah melihat bentuk dua sampai tiga pola

yang berurutan, mampu memilah atau menyortir atau klasifikasi, kemudian

kemampuan membilang angka 1-20, serta kemampuan anak dalam menghafal

bilangan, makna angka dan pengenalannya, kemampuan memahami ukuran

waktu dan ruang kemudian penambahan dan pengurangan yang diperlukan

untuk menumbuh kembangkan keterampilan berhitung yang sangat diperlukan

dalam kehidupan sehari-hari.

3. Prinsip-prinsip Berhitung

Permainan behitung membutuhkan suasana menyenangkan dan

memberikan rasa aman serta kebebasan bagi anak. Untuk itu diperlukan alat

peraga/media yang sesuai dengan benda sebenarnya (tiruan), menarik dan

bervariasi, mudah digunakan dan tidak membahayakan. Selain itu bahasa yang

digunakan didalam pengenalan konsep berhitung seyogyanya bahasa yang

sederhana dan jika memungkinkan mengambil contoh yang terdapat di

lingkungan sekitar.

Lebih lanjut Yew (dalam Susanto, 2011:103) mengungkapkan beberapa

prinsip dalam mengajarkan berhitung pada anak, diantaranya :

Membuat pelajaran yang menyenangkan, mengajak anak terlibat secara


langsung, membangun keinginan dan kepercayaan diri dalam
menyesuaikan berhitung, hargai kesalahan anak dan jangan
menghukumnya, fokus pada apa yang anak capai. Pelajaran yang
mengasyikan dengan melakukan aktivitas yang menghubungkan
kegiatan berhitung dengan kehidupan sehari-hari.

Dari prinsip berhitung diatas, dapat disimpulkan prinsip-prinsip

berhitung yaitu pembelajaran secara langsung yang dilakukan oleh anak didik

melalui bermain atau permainan yang diberikan secara bertahap,

menyenangkan bagi anak didik dan tidak memaksakan kehendak guru dimana

16
anak diberi kebebasan untuk berpartisipasi atau ter libat langsung

menyelesaikan masalah-masalahnya.

4. Prosedur Remedial

Sebelum melaksanakan program remedial tentu guru harus mengetahui

prosedur remedial terlebih dahulu. Yang mana prosedur remedial menurut

Wijaya (2010:128) sebagai berikut:

a. Hasil Analisis Diagnosis


Diagnosis kesulitan belajar adalah suatu proses pemeriksaan
terhadap siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar. Melalui
diagnosis guru akan mengetahui anak yang memerlukan bantuan,
dan perlu diberikan program remedial. Dalam hal ini guru harus
melihat kesilitan yang dihadapi anak secara individu karena
kemungkinan masalah yang dihadapi anak akan berbeda.
b. Menemukan Penyebab Kesulitan
Sebelum guru merancang program remedial, harus terlebih dahulu
mengetahui kesulitan yang dihadapi anak berkesulitan belajar, dan
penyebab anak mengalami kesulitan belajar.
c. Penyusunan Rencana Kegiatan Remedial
Langkah selanjutnya yang harus dilakukan guru adalah menyusun
kegiatan remedial. Berikut ini adalah komponen-komponen yang
harus direncanakan dalam melaksanakan kegiatan remedial (1)
merumuskan indikator hasil belajar, (2) menentukan materi yang
sesuai dengan indikator hasil belajar, (3) memilih strategi dan
metode yang sesuai dengan karakteristik siswa, (4) merencanakan
waktu yang diperlukan, dan (5) menentukan jenis, prosedur dan
alat penilaian.
d. Melaksanakan Kegiatan Remedial
Langkah berikutnya guru dapat melaksanakan kegiatan remedial
karenan sebaiknya kegiatan remedial memang dilakukan sesegera
mungkin agar semakin cepat pula anak tersebut berhasil dalam
pembelajarannya.
e. Menilai Kegiatan Remedial
Penilaiaan ini dapat dilakukan dengan cara mengkaji kemajuan
belajar anak. Apabila anak mengalami kemauan belajar sesuai yang
diharapkan, berarti kegiatan remedial yang direncanakan dan
dilaksanakan cukup efektif membantu anak yang mengalami
kesulitan belajar.

17
Dalam pelaksanaan program remedial guru tentu harus memahami

prosedur remedial terlebih dahulu diantaranya yang pertama harus dilakukan

adalah melihat hasil analisis diagnosis, menentukan penyebab kesulitan,

menyusun rencana kegiatan remedial, melaksanakan kegiatan remedial lalu

yang terakhir menilai kegiatan remedial.

5. Tugas Guru Dalam Melaksanakan Remedial

Dalam kegiatan pembelajaran termasuk pembelajaran mandiri selalu

dijumpai adanya peserta didik yang mengalami kesulitan dalam mencapai

standar kompetensi, kompetensi dasar dan penguasaan materi pembelajaran

yang telah ditentukan. Secara garis besar kesulitan dimaksud dapat berupa

kurangnya pengetahuan prasyarat, kesulitan memahami materi pembelajaran,

maupun kesulitan dalam mengerjakan tugas-tugas latihan dan menyelesaikan

soal-soal ulangan. Secara khusus, kesulitan yang dijumpai peserta didik dapat

berupa tidak dikuasainya kompetensi dasar mata pelajaran tertentu, misalnya

operasi bilangan dalam matematika atau membaca dan menulis dalam

pelajaran bahasa. Agar peserta didik dapat memecahkan kesulitan tersebut

perlu adanya bantuan. Bantuan dimaksud berupa pemberian pembelajaran

remedial atau perbaikan. Untuk keperluan pemberian pembelajaran remedial

perlu dipilih strategi dan langkah-langkah yang tepat setelah terlebih dahulu

diadakan diagnosis terhadap kesulitan belajar yang dialami peserta didik.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut, satuan pendidikan perlu

menyusun rencana sistematis pemberian pembelajaran remedial untuk

membantu mengatasi kesulitan belajar peserta didik.

18
Tujuan guru melaksanakan kegiatan remedial adalah membantu peserta

didik yang mengalami kesulitan menguasai kompetensi yang telah ditentukan

agar mencapai hasil belajar yang lebih baik. Secara umum tujuan kegiatan

remediasi adalah sama dengan pembelajaran pada umumnya yakni

memperbaiki miskonsepsi peserta didik sehingga peserta didik dapat mencapai

kompetensi yang telah ditetapkan berdasarkan kurikulum yang berlaku. Secara

khusus kegiatan remediasi bertujuan membantu peserta didik yang belum

tuntas menguasai kompetensi ditetapkan melalui kegiatan pembelajaran

tambahan. Melalui kegiatan remediasi peserta didik dibantu untuk mengatasi

kesulitan belajar yang dihadapinya.

Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, Peraturan Pemerintah nomor

19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (PP No. 19/2005)

menetapkan 8 standar yang harus dipenuhi dalam melaksanakan pendidikan.

“Kedelapan standar dimaksud meliputi standar isi, standar proses, standar

kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana

dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian

pendidikan”.

Secara khusus, dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional

tersebut, kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik setelah

melaksanakan kegiatan pembelajaran ditetapkan dalam standar isi dan standar

kompetensi kelulusan. Standar isi memuat standar kompetensi (SK) dan

kompetensi dasar (KD) yang harus dikuasai peserta didik dalam mempelajari

suatu mata pelajaran. Standar kompetensi lulusan (SKL) berisikan kompetensi

yang harus dikuasai peserta didik pada setiap satuan pendidikan. Berkenaan

19
dengan materi yang harus dipelajari, diatur dalam silabus dan RPP (Rencana

Pelaksanaan Pembelajaran) yang dikembangkan oleh pendidik. Menurut pasal

6 PP no.19 Tahun 2005, terdapat 5 kelompok mata pelajaran yang harus

dipelajari peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah untuk

jenis pendidikan umum, kejuruan dan khusus. “Kelima kelompok mata

pelajaran tersebut meliputi kelompok mata pelajaran: agama dan akhlak mulia,

kewarganegaraan dan kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika,

jasmani, olah raga, dan kesehatan”.

Dalam rangka membantu peserta didik mencapai standar isi dan standar

kompetensi lulusan, pelaksanaan atau proses pembelajaran perlu diusahakan

agar interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik

untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan kesempatan yang cukup bagi

prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan

perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

Tidak dapat dipungkiri bahwa untuk mencapai tujuan dan prinsip-

prinsip pembelajaran tersebut pasti dijumpai adanya peserta didik yang

mengalami kesulitan atau masalah belajar. Untuk mengatasi masalah-masalah

tersebut, setiap satuan pendidikan perlu menyelenggarakan program

pembelajaran remedial atau perbaikan.

Pembelajaran remedial merupakan layanan pendidikan yang diberikan

kepada peserta didik untuk memperbaiki prestasi belajarnya sehingga mencapai

kriteria ketuntasan yang ditetapkan. Untuk memahami konsep penyelenggaraan

model pembelajaran remedial, terlebih dahulu perlu diperhatikan bahwa

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang diberlakukan berdasarkan

20
Permendiknas 22, 23, 24 Tahun 2006 dan Permendiknas No. 6 Tahun 2007

yaitu:

Menerapkan sistem pembelajaran berbasis kompetensi, sistem belajar


tuntas, dan sistem pembelajaran yang memperhatikan perbedaan
individual peserta didik. Sistem dimaksud ditandai dengan
dirumuskannya secara jelas standar kompetensi (SK) dan kompetensi
dasar (KD) yang harus dikuasai peserta didik. Penguasaan SK dan KD
setiap peserta didik diukur menggunakan sistem penilaian acuan kriteria.
Jika seorang peserta didik mencapai standar tertentu maka peserta didik
dinyatakan telah mencapai ketuntasan.

Pelaksanaan pembelajaran berbasis kompetensi dan pembelajaran tuntas,

dimulai dari penilaian kemampuan awal peserta didik terhadap kompetensi atau

materi yang akan dipelajari. Kemudian dilaksanakan pembelajaran

menggunakan berbagai metode seperti ceramah, demonstrasi, pembelajaran

kolaboratif/kooperatif, inkuiri, diskoveri, dan sebagainya. Melengkapi metode

pembelajaran digunakan juga berbagai media seperti media audio, video, dan

audiovisual dalam berbagai format, mulai dari kaset audio, slide, video,

komputer, multimedia, dan sebagainya. Di tengah pelaksanaan pembelajaran

atau pada saat kegiatan pembelajaran sedang berlangsung, diadakan penilaian

proses menggunakan berbagai teknik dan instrumen dengan tujuan untuk

mengetahui kemajuan belajar serta seberapa jauh penguasaan peserta didik

terhadap kompetensi yang telah atau sedang dipelajari. Pada akhir program

pembelajaran, diadakan penilaian yang lebih formal berupa ulangan harian.

Ulangan harian dimaksudkan untuk menentukan tingkat pencapaian belajar

peserta didik, apakah seorang peserta didik gagal atau berhasil mencapai tingkat

penguasaan tertentu yang telah dirumuskan pada saat pembelajaran

direncanakan.

21
Apabila dijumpai adanya peserta didik yang tidak mencapai penguasaan

kompetensi yang telah ditentukan, maka muncul permasalahan mengenai apa

yang harus dilakukan oleh pendidik. Salah satu tindakan yang diperlukan adalah

pemberian program pembelajaran remedial atau perbaikan. Dengan kata lain,

remedial diperlukan bagi peserta didik yang belum mencapai kemampuan

minimal yang ditetapkan dalam rencana pelaksanaan pembelajaran. Pemberian

program pembelajaran remedial didasarkan atas latar belakang bahwa pendidik

perlu memperhatikan perbedaan individual peserta didik.

Dengan diberikannya pembelajaran remedial bagi peserta didik yang

belum mencapai tingkat ketuntasan belajar, maka peserta didik ini memerlukan

waktu lebih lama daripada mereka yang telah mencapai tingkat penguasaan.

Mereka juga perlu menempuh penilaian kembali setelah mendapatkan program

pembelajaran remedial.

D. Format Remedial

Format rmedial berfungsi untuk alat ukur kemampuan anak berkesulitan

belajar membaca sebelum mengikuti program remedial dan sesudah mengikuti

program remedial. Sebelum membuat format remedial guru harus terlebih dahulu

melihat tahap berikut ini.

1. Tahapan Pelaksanaan Program Remedial

Dalam program remedial ada tahapan pelaksanaannya, yaitu sebagai

berikut:

22
Bimbingan secara
kelompok,
bimbingan secara
Analis
Hasil Pembelajar individu,
is Tes
Tes an pembelajaran
Hasil ulang
<KKM Remedial secara ulang,
tes
pemberian tugas,
pemanfaatan
tutor sebaya

Sumber: Permendiknas No. 22, 23, 24 Tahun 2006 dan Permendiknas No. 6, 2007

2. Format Remedial

Agar program remedial dapat dilaksanakan dengan benar perlu adanya

format remedial sebagai berikut:

Format Remedial

Sekolah :

Keas :

Mata Pelajaran :

Hari/Tanggal :

No Nama KD Indikator KKM Bentuk Remedial Hasil Ket

Siswa Awal Akhir

23
E. Pelaksanaan Program Pengajaran Remedial Berhitung Bagi Anak

Berkesulitan Belajar Kelas III Di SDN Kondang I Majalaya, SDN Kondang

II Majalaya, Dan SDN Majalaya IV

1. Persiapan

a. Mengenal Kemampuan Anak

Mengenal kemampuan anak dilakukan untuk mengetahui

kesulitan apa yang dihadapi anak berkesulitan belajar berhitung sehingga

anak tersebut perlu mengikuti program remedial. Guru perlu memperhatikan

anak pada saat pembelajaran secara invidual agar dapat menganal

kemampuan setiap anak. Mengenal kemapuan anak bisa dilakukan dengan

diagnosis awal.

Diagnosis awal dilakukan guru sebelum melaksanakan program

remedial untuk mengetahui anak-anak yang belum menguasai pelajaran.

Menurut Mulyono, Abdurrahman (2012:12) bahwa:

Pada tiap akhir kegiatan pembelajaran dari dari suatu unit


pelajaran, guru melakukan evaluasi formatif, dan setelah adanya
evaluasi formatif itulah anak-anak yang belum menguasai bahan
peelajaran diberikan pengajaran remedial, agar tujuan belajar
yang telah ditetapkan sebelumnya dapat dicapai.

Diagnosis awal ini dilakukan guru untuk melihat kemampuan

anak berkesulitan belajar berhitung sehingga anak tersebut perlu

mendapatkan program remedial berhitung.

b. Menentukan Program Remedial

Setelah melalui tahapan diagnosis guru akan lebih mudah

menentukan program remedial seperti apa yang cocok diberikan pada anak

berkesulitan belajar berhitung.

24
2. Pelaksanaan Program Remedial Berhitung

Inilah bagian-bagian dari program remedial berhitung:

a. Kompetensi Dasar (KD)

Adalah pengetahuan, keterampilan dan sikap minimal yang harus

dicapai oleh peserta didik untuk menunjukan bahwa peserta didik telah

menguasai standar kompetensi yang telah di tetapkan, oleh karena itulah

kompetensi dasar merupakan penjabaran dari standar kompetensi.

Dalam penelitian ini kompetensi dasarnya merujuk pada

kemampuan berhitung peserta didik. Anak berkesulitan belajar berhitung

diberikan tugas berhitung dengan menggunakan materi operasi hitung

penjumlahan dan pengurangan.

b. Indikator

Indikator merupakan suatu komponen penting dalam pelaksanaan

pembelajaran, karena indikator adalah acuan terhadap berhasil atau tidaknya

pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan.

c. Media/alat/sumber belajar

Media pembelajaran secara umum adalah alat bantu proses belajar

mengajar. Segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk merangsang

pikiran, perasaan, perhatian dan kemampuan atau keterampilan pelajaran

sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar.

25
F. Peran Penting Guru

Menurut Undang-undang No. 20 tahun 2003 dan Undang-Undang No. 14

tahun 2005, peran guru adalah sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, pengarah,

pelatih, penilai dan pengevaluasi dari peserta didik. Sedangkan peran penting guru

bagi anak berkesulitan belajar adalah:

1. Menyusun rancangan program identifikasi, asesmen, dan evaluasi anak

berkesulitan belajar.

2. Berpartisipasi dalam penjaringan, asesmen dan evaluasi anak berkesulitan

belajar.

3. Berkonsultasi dengan para ahli yang terkait dan menginterprestasikan laporan

mereka.

4. Melakukan tes, baik dengan tes formal maupun informal.

5. Berpartisipasi dalam penyusunan program pendidikan yang diindividualkan.

6. Menginplementasikan program pendidikan yang diindividualkan.

7. Menyelenggarakan wawancara dengan orangtua.

8. Membantu anak dalam mengembangkan pemahaman diri dan memperoleh

harapan untuk berhasil serta keyakinan kesanggupan mengatasi kesulitan

belajar.

Dengan guru dapat memahami perannya bagi anak berkesulitan belajar

diharapkan dapat membantu anak berkesulitan belajar dalam mengatasi

hambatannya. Serta guru dapat memahami apa yang perlu dilakukan bagi anak

berkesulitan belajar.

26
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, M. (2012). Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Departemen Pendidikan Nasional, (2003). Undang-Undang Nomor 20 Tahun


(2003), Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Depdiknas.

Departemen Pendidikan Nasional, (2005). Undang-Undang Nomor 14 Tahun


(2005), Tentang Guru dan Dosen, Jakarta: Depdiknas.

Departemen Pendidikan Nasional, (2005). Peraturan Pemerintah Nomor 19


Tahun (2005), tentang Standar Nasional Pendidikan, Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas. (2007). Pedoman Permainan Berhitung Permulaan di Taman Kanak-


Kanak. Jakarta : Depdiknas Direktorat Pembinaan TK dan SD.

Kurikulum (2013). Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 Tahun (2006)


tentang Standar Isi (SI), Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun (2006) tentang Standar


Kompetensi Lulusan (SKL), Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun (2006) tentang


Pedoman Pelaksanaan Permendiknas Nomor 22 Tahun (2007) dan
Permendiknas Nomor 23 Tahun (2007), Jakarta: Direktorat Jenderal
Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 6 Tahun (2007) tentang


Perubahan Permendiknas Nomor 24 Tahun (2006) tentang Pedoman
Pelaksanaan Permendiknas Nomor 22 Tahun (2007) dan Permendiknas
Nomor 23 Tahun (2007), Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah.

Susanto, A. (2011). Perkembangan Anak Usia Dini Pengantar dalam Berbagai


Aspek. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Universitas Pendidikan Indonesia. (2009). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah.


Bandung: UPI.

Wijaya, Cece. (2010). Pendidikan Remedial, Sarana Pengembangan Mutu


Sumber Daya Manusia. Bandung: Remaja Rosda Karya.

27

Anda mungkin juga menyukai