Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN KASUS

FLAME BURN

Disusun Oleh:

Muhammad Imam Nugroho 140100055


Bahrina Hadani Lubis 140100025
Setia Ningrum Wibisana 140100120
Andra Pratama 140100134
Alamsyah Prasetyo 140100095

Pembimbing:
dr. Frank Bietra Buchari, Sp.BP-RE

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU BEDAH
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat, rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Flame
Burn”. Penulisan makalah ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Ilmu Bedah, Divisi Bedah Plastik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Frank Bietra Buchari, Sp.BP-RE, selaku pembimbing yang telah memberikan
arahan dalam penyelesaian makalah ini. Dengan demikian diharapkan makalah ini
dapat memberikan kontribusi positif dalam sistem pelayanan kesehatan secara
optimal.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
demi perbaikan dalam penulisan makalah selanjutnya.

Medan, September 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ........................................................................................... ii

Daftar Isi ..................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1

1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1

1.2. Tujuan ...................................................................................... 2

1.3. Manfaat .................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 3

2.1. Definisi dan etiologi ................................................................. 3

2.2. Klasifikasi ................................................................................ 4

2.3. Patofisiologi ............................................................................. 9

2.4 Fase Luka Bakar ....................................................................... 12

2.5 PemeriksaanPenunjang ............................................................ 13

2.6 Penatalaksanaan Luka Bakar..................................................... 13

2.7 TatalaksanaAwal Pada Luka Bakar .......................................... 21

2.8 Assesment Preop ....................................................................... 23

2.9 Penatalaksanaan Durante Operasi ............................................. 24

2.10 Penatalaksanaan Post Operasi ................................................. 26

2.11 Komplikasi .............................................................................. 26

2.11 Prognosis ................................................................................. 27

BAB III STATUS ORANG SAKIT ........................................................ 28

BAB IV FOLLOW UP .............................................................................. 31

BAB V DISKUSI ....................................................................................... 35

iii
BAB V KESIMPULAN ............................................................................ 41

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 42

iv
2

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Luka bakar bukan luka biasa, luka bakar mempunyai dampak langsung
terhadap perubahan lokal maupun sistemik tubuh yang tidak terjadi pada
kebanyakan luka lain, merupakan kasus yang memerlukan perhatian khusus
dibidang medis. Angka mortalitas masih tetap tinggi, dalam tahun 1998-2003 di
RSUPN Cipto Mangunkusumo tercatat sekitar 36,5%. Di Amerika Serikat, sekitar
1,25 juta orang dirawat karena luka bakar tiap tahunnya, 50.000 pasien harus
dirawat dirumah sakit, dan 5.500 pasien meninggal karena luka bakar tiap
tahunnya. Luka bakar termal mempengaruhi lebih dari 2 juta orang pertahun,
dengan 4% nya harus dirawat di rumah sakit dan 0,5% meninggal. Keberhasilan
dari penyelamatan luka bakarberhubungan dengan umur penderita, ukuran luka
bakar, dan ada atau tidaknya cedera inhalasi. Luka bakar menyebabkan banyak
komplikasi dan kematian. Luka bakar berat (primary insult) dapat menyebabkan
lepasnya mediator inflamasi massif yang selanjutnya menyebabkan lingkaran
setan inflamasi yang menyebabkan immunosupresi meningkatkan kepekaan
pasien terhadap infeksi dan kegagalan multi-organ diikuti kematian. 1,2,3

Paradigma penatalaksanaan luka bakar mengalami perubahan seiring


dengan perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran (iptekdok),
khususnya bidang biomolekular dan traumatologi. Permasalahan-permasalahan
yang dihadapi memerlukan pendekatan beberapa disiplin ilmu (multidisipliner),
secara terpadu bersama-sama mengupayakan penurunan mortalitas luka bakar.

Dilain pihak, dengan perkembangan iptekdok yang semakin pesat, dituntut


pemikiran rasional dan dasar (alasan) yang kuat dalam melakukan tindakan, tidak
hanya berdasarkan logika dan intuisi semata. Oleh karenanya, diperlukan suatu
standar pelayanan yang memiliki dasar keilmuan, ditunjang oleh evidence-based
3

medicine dan dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. Standar pelayanan


dimaksud adalah suatu standar prosedur pelayanan. 4

Setiap fase luka bakar diwarnai oleh permasalahan spesifik dan


perubahanInfeksi terutama pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas
dan mortalitas pada pasien luka bakar. Pasien luka bakar tanpa inhalation injury
yang memerlukan ventilasi mekanik menunjukkan kemungkinan mendapat
pneumonia yang tinggi. Meskipun banyak kemajuan dalam memperbaiki hasil
akhir dan angka harapan hidup pasien luka bakar, penatalaksanaan pasien ini
masih banyak membutuhkan tantangan bagi seluruh unit perawatan yang terlibat.
Referat ini akan menjelaskan perhatian khusus bagi anestesi dalam menangani
pasien luka bakar. Kulit memiliki berbagai fungsi mencegah kehilangan cairan,
melindungi tubuh terhadap infeksi, mempertahankan suhu tubuh, memberikan
stimulus sensorik, menghasilkan vitamin D dan menentukan identifikasi indivual.
Ketika terjadi luka bakar kulit merupakan salah satu organ yang pertama kali
mengalami paparan zat pembakar. Otomatis akan mempengaruhi fungsi-fungsi
kulit sesuai dengan berat ringannya luka bakar.

1.2 Tujuan
Tujuan dalam penulisan laporan kasus ini adalah :
1. Mengetahui alur penanganan kegawat daruratan di Instalasi Gawat Darurat

khususnya sepsis.


2. Meningkatkan kemampuan penulis dalam penulisan karya ilmiah di bidang

kedokteran. 


3. Memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepanitraan Klinik Senior


Program Pendidikan Profesi Kedokteran di Departemen IlmuBedah

Fakultas Kedokteran Sumatera Utara. 


1.3 Manfaat
Manfaat yang diharapkan dalam penulisan laporan ini adalah
4

meningkatkan pemahaman terhadap kasus luka bakar serta penanganan kegawat


daruratan sesuai kompetensi pada tingkat pelayanan primer.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Etiologi


Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia,
listrik, dan radiasi. Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan
morbiditas dan mortalitas tinggi yang memerlukan penatalaksanaan khusus
sejakawal (fasesyok) sampai fase lanjut.
Luka bakar dapat disebabkan oleh paparan api, baik secara langsung
maupun tidak langsung, misal akibat tersiram air panas yang banyak terjadi
pada kecelakaan rumah tangga. Selain itu, pajanan suhu tinggi dari matahari,
listrik maupun bahan kimia juga dapat menyebabkan luka bakar. Secara garis
besar, penyebab terjadinya luka bakar dapat dibagi menjadi:
1. Paparan api
Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka, dan
menyebabkan cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat membakar
pakaian terlebih dahulu baru mengenai tubuh. Serat alami memiliki
kecenderungan untuk terbakar, sedangkan serat sintetik cenderung meleleh
atau menyala dan menimbulkan cedera tambahan berupa cedera kontak.
Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan benda
panas. Luka bakar yang dihasilkan terbatas pada area tubuh yang mengalami
kontak. Contohnya antara lain adalah luka bakar akibat rokok dan alat-alat
seperti solder besi atau peralatan masak.
2. Scalds (air panas)
Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan dan
semakin lama waktu kontaknya, semakin besar kerusakan yang akan
ditimbulkan. Luka yang disengaja atau akibat kecelakaan dapat dibedakan
berdasarkan pola luka bakarnya.
Pada kasus kecelakaan, luka umumnya menunjukkan pola percikan,
yang satu sama lain dipisahkan oleh kulit sehat. Sedangkan pada kasus yang

5
6

disengaja, luka umumnya melibatkan keseluruhan ekstremitas dalam pola


sirkumferensial dengan garis yang menandai permukaan cairan.
3. Uap panas
Terutama ditemukan di daerah industri atau akibat kecelakaan radiator
mobil. Uap panas menimbulkan cedera luas akibat kapasitas panas yang tinggi
dari uap serta dispersi oleh uap bertekanan tinggi. Apabila terjadi inhalasi, uap
panas dapat menyebabkan cedera hingga ke saluran napas distal di paru.
4. Gas panas
Inhalasi menyebabkan cedera thermal pada saluran nafas bagian atas
dan oklusi jalan nafas akibat edema.
5. Aliran listrik
Cedera timbul akibat aliran listrik yang lewat menembus jaringan
tubuh. Umumnya luka bakar mencapai kulit bagian dalam. Listrik yang
menyebabkan percikan api dan membakar pakaian dapat menyebabkan luka
bakar tambahan.
6. Zat kimia (asam atau basa)
7. Radiasi
Sunburn sinar matahari, terapi radiasi.5

2.2 Klasifikasi Luka Bakar


Secara umum tingkat keparahan luka baka ditentukan menurut luas dan
kedalaman kerusakan jaringan yang diakibatkan. Inti dari permasalahan yang
timbul pada luka bakar berat adalah kerusakan endotel dan epitel akibat cedera
termis yang memicu pelepasan mediator-mediator pro-inflamasi dan berkembang
menjadi Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS). Kondisi ini hampir
selalu berlanjut menjadi Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS) dan
berakhir dengan kematian.
Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tinggi suhu, lamanya pajanan suhu
tinggi, adekuasi resusitasi, dan adanya infeksi pada luka. Selain api yang langsung
menjilat tubuh, baju yang ikut terbakar juga memperdalam luka bakar.
7

Bahan baju yang paling aman adalah yang terbuat dari bulu domba (wol).
Bahan sintetis seperti nilon dan dakron, selain mudah terbakar juga mudah
meleleh oleh suhu tinggi, lalu menjadi lengket sehingga memperberat kedalaman
luka bakar.
Berdasarkankedalaman luka bakar dideskripsikan dalam derajat luka bakar,
yaitu luka bakar derajat I, II, atau III: (FKUI)

a. Derajat I(Superficial)
Pajanan hanya merusak epidermis sehingga masih menyisakan banyak
jaringan untuk dapat melakukan regenerasi. Luka bakar derajat I biasanya sembuh
dalam 5-7 hari dan dapat sembuh secara sempurna. Luka biasanya tampak sebagai
eritema dan tidak dijumpai bullae, terasa nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik
ter-iritasi dan hipersensitivitas lokal.Contoh luka bakar derajat I adalah sunburn.

b. Derajat II (Partial thickness)


Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun masih
terdapat epitel vital yang bias menjadi dasar regenerasi dan epitelisasi. Jaringan
tersebut misalnya sel epitel basal, kelenjar sebasea, kelenjar keringat, dan pangkal
rambut. Dengan adanya jaringan yang masih “sehat” tersebut, luka dapat sembuh
dalam 2-3 minggu.Gambaran luka bakar berupa gelembung atau bula yang berisi
cairan eksudat dari pembuluh darah karena perubahan permeabilitas dindingnya,
disertai rasa nyeri.Apabila luka bakar derajat II yang dalam tidak ditangani
8

dengan baik, dapat timbul edema dan penurunan aliran darah di jaringan, sehingga
cedera berkembang menjadi full-thickness burn atau luka bakar derajat III.

Derajat II dibedakan menjadi dua, yaitu :


1. Derajat dua dangkal :
• Kerusakan mengenai bagian superfisial dari dermis
• Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar
sebasea masih utuh.
• Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 10-14 hari
2. Derajat dua dalam :
• Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis
• Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea
sebagian masih utuh.

c. Derajat III (Full thickness)


Mengenai seluruh lapisan kulit, dari subkutis hingga mungkin organ atau
jaringan yang lebih dalam. Pada keadaan ini tidak tersisa jaringan epitel yang
dapat menjadi dasar regenerasi sel spontan, sehingga untuk menumbuhkan
kembali jaringan kulit harus dilakukan cangkok kulit. Gejala yang menyertai
justru tanpa nyeri maupun bula, karena pada dasarnya seluruh jaringan kulit yang
memiliki persarafan sudah tidak intak.5
9

Luas Luka Bakar

Luas Luka Bakar menggunakan Rule of Nines :

Kepala leher 9 % --- 9%

Lengan 9% --- 18 %

Badan depan --- 18 %

Badan belakang --- 18 %

Tungkai 18% --- 36 %

Genitalia / perineum --- 1%

------------------------------------------------

100 %
10

Gambar 7. Perhitungan Luas Luka Bakar

Kriteria berat ringan luka bakar menurut American Burn Association :

1. Luka bakar ringan


Luka bakar derajat II < 15 %

Luka bakar derajat II < 10 % pada anak-anak

Luka bakar derajat III < 1 %

2. Luka bakar sedang


Luka bakar derajat II 15-25% pada orang dewasa

Luka bakar derajat II 10-20% pada anak-anak

Luka bakar derajat III <10%

3. Luka bakar berat


Luka bakar derajat II 25% atau lebih pada orang dewasa

Luka bakar derajat II 20% atau lebih pada anak-anak

Luka bakar derajat III 10% atau lebih

Luka bakar mengenai tangan, wajah telinga, mata, kaki dan


genitalia/perineum
11

Luka bakar dengan cedera inhalasi, listrik, disertai trauma lain.

Kategori Luka Bakar Mayor jika didapatkan :

• Luka Bakar derajat Dua >25% luas permukaan tubuh pada dewasa
• Luka Bakar derajat Dua >20% luas permukaan tubuh pada anak-anak
• Luka Bakar derajat Tiga >10% luas permukaan tubuh
• Mengenai wajah, kedua mata, kedua tangan, kaki atau perineum
• Semua luka bakar listrik/elektrik
• Semua luka bakar inhalasi
• Luka bakar komplikasi dengan trauma mayor lain1

2.3 Patofisiologi Luka Bakar


Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan.
Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas
meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi
anemia. Meningkatnya permeabilitas menyebabkan edema dan menimbulkan
bula yang mengandung banyak elektrolit. Hal itu menyebabkan berkurangnya
volume cairan intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan
kehilangan cairan akibat penguapan yang berlebihan, masuknya cairan ke
bula yang terbentuk pada luka bakar derajat II, dan pengeluaran cairan dari
keropeng luka bakar derajat III.
Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme
kompensasi tubuh masih bisa mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20%, akan
terjadi syok hipovolemik dengan gejala yang khas, seperti gelisah, pucat,
dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun dan
produksi urin yang berkurang. Pembengkakan terjadi pelan-pelan, maksimal
terjadi setelah delapan jam. Pada kebakaran ruang tertutup atau bila luka
terjadi di wajah, dapat terjadi kerusakan mukosa jalan napas karena gas, asap
atau uap panas yang terisap. Edema laring yang ditimbulkannya dapat
menyebabkan hambatan jalan napas dengan gejala sesak napas, takipnea,
stridor, suara serak dan dahak berwarna gelap akibat jelaga.
12

Dapat juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lainnya. CO


akan mengikat hemoglobin dengan kuat sehingga hemoglobin tak mampu lagi
mengikat oksigen. Tanda keracunan ringan adalah lemas, bingung, pusing,
mual dan muntah. Pada keracunan yang berat terjadi koma. Bila lebih dari
60% hemoglobin terikat CO, penderita dapat meninggal.
Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi
mobilisasi serta penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh darah. Ini
ditandai dengan meningkatnya diuresis.
Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati, yang
merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan
mempermudah infeksi. Infeksi ini sulit diatasi karena daerahnya tidak
tercapai oleh pembuluh kapiler yang mengalami trombosis. Padahal,
pembuluh ini membawa sistem pertahanan tubuh atau antibiotik. Kuman
penyebab infeksi pada luka bakar, selain berasal dari dari kulit penderita
sendiri, juga dari kontaminasi kuman saluran napas atas dan kontaminasi
kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi nosokomial ini biasanya sangat
berbahaya karena kumannya banyak yang sudah resisten terhadap berbagai
antibiotik.
Pada awalnya, infeksi biasanya disebabkan oleh kokus Gram positif
yang berasal dari kulit sendiri atau dari saluran napas, tetapi kemudian dapat
terjadi invasi kuman Gram negatif, Pseudomonas aeruginosa yang dapat
menghasilkan eksotoksin protease dari toksin lain yang berbahaya, terkenal
sangat agresif dalam invasinya pada luka bakar. Infeksi pseudomonas dapat
dilihat dari warna hijau pada kasa penutup luka bakar. Kuman memproduksi
enzim penghancur keropeng yang bersama dengan eksudasi oleh jaringan
granulasi membentuk nanah.
Infeksi ringan dan noninvasif ditandai dengan keropeng yang mudah
terlepas dengan nanah yang banyak. Infeksi yang invasif ditandai dengan
keropeng yang kering dengan perubahan jaringan di tepi keropeng yang
mula-mula sehat menadi nekrotik; akibatnya, luka bakar yang mula-mula
derajat II menjadi derajat III. Infeksi kuman menimbulkan vaskulitis pada
13

pembuluh kapiler di jaringan yang terbakar dan menimbulkan trombosis


sehingga jaringan yang didarahinya nanti.
Bila luka bakar dibiopsi dan eksudatnya dibiak, biasanya ditemukan
kuman dan terlihat invasi kuman tersebut ke jaringan sekelilingnya. Luka
bakar demikian disebut luka bakar septik. Bila penyebabnya kuman Gram
positif, seperti stafilokokus atau basil Gram negatif lainnya, dapat terjadi
penyebaran kuman lewat darah (bakteremia) yang dapat menimbulkan fokus
infeksi di usus. Syok sepsis dan kematian dapat terjadi karena toksin kuman
yang menyebar di darah.
Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat II dapat
sembuh dengan meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai
dari sisa elemen epitel yang masih vital, misalnya sel kelenjar sebasea, sel
basal, sel kelenjar keringat, atau sel pangkal rambut. Luka bakar derajat II
yang dalam mungkin meninggalkan parut hipertrofik yang nyeri, gatal, kaku
dan secara estetik jelek. Luka bakar derajat III yang dibiarkan sembuh sendiri
akan mengalami kontraktur. Bila terjadi di persendian, fungsi sendi dapat
berkurang atau hilang.
Pada luka bakar berat dapat ditemukan ileus paralitik. Pada fase akut,
peristalsis usus menurun atau berhenti karena syok, sedangkan pada fase
mobilisasi, peristalsis dapat menurun karena kekurangan ion kalium.
Stres atau badan faali yang terjadi pada penderita luka bakar berat
dapat menyebabkan terjadinya tukak di mukosa lambung atau duodenum
dengan gejala yang sama dengan gejala tukak peptik. Kelainan ini dikenal
sebagai tukak Curling.
Fase permulaan luka bakar merupakan fase katabolisme sehingga
keseimbangan protein menjadi negatif. Protein tubuh banyak hilang karena
eksudasi, metabolisme tinggi dan infeksi. Penguapan berlebihan dari kulit
yang rusak juga memerluka kalori tambahan. Tenaga yang diperlukan tubuh
pada fase ini terutama didapat dari pembakaran protein dari otot skelet. Oleh
karena itu, penderita menjadi sangat kurus, otot mengecil, dan berat badan
menurun. Dengan demikian, korban luka bakar menderita penyakit berat yang
14

disebut penyakit luka bakar. Bila luka bakar menyebabkan cacat, terutama
bila luka mengenai wajah sehingga rusak berat, penderita mungkin
mengalami beban kejiwaan berat. Jadi prognosis luka bakar ditentukan oleh
luasnya luka bakar.6

2.4 Fase pada Luka Bakar


Dalam perjalanan penyakit, dapat dibedakan menjadi tiga fase pada luka
bakar, yaitu:
 Fase awal, fase akut, fase syok
Pada fase ini, masalah utama berkisar pada gangguan yang terjadi pada
saluran nafas yaitu gangguan mekanisme bernafas, hal ini dikarenakan adanya
skar melingkar di dada atau trauma multipel di ronggatoraks; dan gangguan
sirkulasi seperti keseimbangan cairan elektrolit, syok hipovolemia.
 Fase setelah syok berakhir, fase sub akut
Masalah utama pada fase ini adalah Systemic Inflammatory Response
Syndrome (SIRS) dan Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS)
dan sepsis. Hal ini merupakan dampak dan atau perkembangan masalah yang
timbul pada fase pertama dan masalah yang bermula dari kerusakan jaringan
(luka dan sepsis luka)
 Faselanjut
Fase ini berlangsung setelah penutupan luka sampai terjadinya
maturasi jaringan. Masalah yang dihadapi adalah penyulit dari luka bakar
seperti parut hipertrofik, kontraktur dan deformitas lain yang terjadi akibat
kerapuhan jaringan atau struktur tertentu akibat proses inflamasi yang hebat
dan berlangsung lama
Pembagian zona kerusakanjaringan:
 Zona koagulasi, zona nekrosis
Merupakan daerah yang langsung mengalami kerusakan (koagulasi
protein) akibat pengaruh cedera termis, hamper dapat dipastikan jaringan ini
mengalami nekrosis beberapa saat setelah kontak. Oleh karena itulah disebut
juga sebagai zona nekrosis.
15

 Zona statis
Merupakan daerah yang langsung berada di luar/di sekitar zona
koagulasi.Di daerah ini terjadi kerusakan endotel pembuluh darah disertai
kerusakan trombosit dan leukosit, sehingga terjadi gangguan perfusi (no flow
phenomena), diikuti perubahan permeabilitas kapilar dan respon inflamasi
lokal. Proses ini berlangsung selama 12-24 jam pasca cedera dan mungkin
berakhir dengan nekrosis jaringan.
 Zona hiperemi
Merupakan daerah di luar zona statis, ikut mengalami reaksi berupa
vasodilatasi tanpa banyak melibatkan reaksi selular. Tergantung keadaan
umum dan terapi yang diberikan, zona ketiga dapat mengalami penyembuhan
spontan, atau berubah menjadi zona kedua bahkan zona pertama.5

2.5 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan:
1. Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah
2. Urinalisis
3. Pemeriksaan keseimbangan elektrolit
4. Analisis gas darah
5. Radiologi – jika ada indikasi ARDS
6. Pemeriksaan lain yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis SIRS
dan MODS.5

2.6 Penatalaksanaan Luka Bakar


Pasien luka bakar harus dievaluasi secara sistematik. Prioritas utama
adalah mempertahankan jalan nafas tetap paten, ventilasi yang efektif dan
mendukung sirkulasi sistemik. Intubasi endotrakea dilakukan pada pasien
yang menderita luka bakar berat atau kecurigaan adanya jejas inhalasi atau
luka bakar di jalan nafas atas. Intubasi dapat tidak dilakukan bila telah terjadi
edema luka bakar atau pemberian cairan resusitasi yang terlampau banyak.
16

Pada pasien luka bakar, intubasi orotrakea dan nasotrakea lebih dipilih
daripada trakeostomi.
Pasien dengan luka bakar saja biasanya hipertensi. Adanya hipotensi
awal yang tidak dapat dijelaskan atau adanya tanda-tanda hipovolemia
sistemik pada pasien luka bakar menimbulkan kecurigaan adanya jejas
‘tersembunyi’. Oleh karena itu, setelah mempertahankan ABC, prioritas
berikutnya adalah mendiagnosis dan menata laksana jejas lain (trauma tumpul
atau tajam) yang mengancam nyawa. Riwayat terjadinya luka bermanfaat
untuk mencari trauma terkait dan kemungkinan adanya jejas inhalasi.
Informasi riwayat penyakit dahulu, penggunaan obat, dan alergi juga penting
dalam evaluasi awal.
Pakaian pasien dibuka semua, semua permukaan tubuh dinilai.
Pemeriksaan radiologik pada tulang belakang servikal, pelvis, dan torak dapat
membantu mengevaluasi adanya kemungkinan trauma tumpul.
Setelah mengeksklusi jejas signifikan lainnya, luka bakar dievaluasi.
Terlepas dari luasnya area jejas, dua hal yang harus dilakukan sebelum
dilakukan transfer pasien adalah mempertahankan ventilasi adekuat, dan jika
diindikasikan, melepas dari eskar yang mengkonstriksi.4

2.6.1 Tatalaksana resusitasi luka bakar

a. Tata laksana resusitasi jalan nafas:


Rehabilitasi jalan nafas dan pernafasan dimulai segera pada saat resusitasi.
Prosedur rehabilitasi yang dikerjakan antara lain:

1. mengaturposisipasien
2. latihanpernafasan
3. melatihrefleksbatuk
Posisi pasien yang diyakini tepat bila dijumpai cedera inhalasi adalah
posisi tegak (menggunakan rotating/circulating bed) atau setengah duduk;
bukan berbaring (supinasi). Ada beberapa posisi yang dilaporkan baik untuk kasus-
kasus cedera inhalasi, antara lain lateral dekubitus dan pronasi; yang dikaitkan
17

dengan drenase secret dalam mengatasi hipersekresi. Dengan intubasi dan atau
krikotiroidotomi, posisipronasi dan lateral dekubitus agak sulit diterapkan, namun
dengan fiksasi yang baik keduanya tidak akan menimbulkan masalah. Latihan
pernafasan dikerjakan secara pasif pada saat pasien dalam kondisi hemodinamik
belum stabil dan kesadaran belum baik; latihan aktif dilakukan bila kondisi
hemodinamik stabil dan kesadaran lebih baik. Latihan yang dikerjakan khususnya
melatih otot-otot pernafasan, dengan melakukan kontraksi otot-otot pernafasan
tambahan, vibrasi dan clapping.
4. Intubasi
Tindakan intubasi dikerjakan sebelum edema mukosa menimbulkan
manifestasi obstruksi. Tujuan intubasi mempertahankan jalan nafas dan sebagai
fasilitas pemeliharaan jalan nafas.
5. Krikotiroidotomi
Bertujuan sama dengan intubasi hanya saja dianggap terlalu agresif dan
menimbulkan morbiditas lebih besar disbanding intubasi. Krikotiroidotomi
memperkecil dead space, memperbesar tidal volume, lebih mudah mengerjakan
bila san bronco alveolar dan pasien dapat berbicara jika dibanding dengan
intubasi.
6. Pemberian oksigen 100%
Bertujuan untuk menyediakan kebutuhan oksigen jika terdapat patologi
jalan nafas yang menghalangi suplai oksigen. Hati-hati dalam pemberian oksigen
dosis besar karena dapat menimbulkan stress oksidatif, sehingga akan terbentuk
radikal bebas yang bersifat vasodilator dan modulator sepsis.
7. Perawatan jalan nafas
a. Penghisapansekret (secaraberkala)
b. Pemberian terapi inhalasi
Bertujuan mengupayakan suasana udara yang lebih baik didalam lumen
jalan nafas dan mencairkan secret kental sehingga mudah dikeluarkan.Terapi
inhalasi umumnya menggunakan cairan dasar natrium klorida 0,9% ditambah
dengan bronkodilator bila perlu. Selain itu bias ditambahkan zat-zat dengan
18

khasiat tertentu seperti atropinsulfat (menurunkan produksi sekret), natrium


bikarbonat (mengatasi asidosis seluler) dan steroid (masih kontroversial)
c. Bilasan bronco alveolar
d. Perawatan rehabilitative untuk respirasi
e. Eskarotomi pada dinding toraks yang bertujuan untuk
memperbaiki kompliansi paru

b. Tatalaksana resusitasi cairan


Resusitasi cairan diberikan dengan tujuan preservasi perfusi yang adekuat
dan seimbang di seluruh pembuluh darah vaskular regional, sehingga iskemia
jaringan tidak terjadi pada setiap organ sistemik. Selain itu cairan diberikan agar
dapat meminimalisasi dan eliminasi cairan bebas yang tidak diperlukan,
optimalisasi status volume dan komposisi intravascular untuk menjamin
survival/maksimal dari seluruh sel, serta meminimalisasir respons inflamasi dan
hipermetabolik dengan menggunakan kelebihan dan keuntungan dari berbagai
macam cairan seperti kristaloid, hipertonik, koloid, dan sebagainya pada waktu
yang tepat. Dengan adanya resusitasi cairan yang tepat, kita dapat mengupayakan
stabilisasi pasien secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologik dalam persiapan
menghadapi intervensi bedah seawal mungkin.
Resusitasi cairan dilakukan dengan memberikan cairan pengganti. Ada
beberapa cara untuk menghitung kebutuhan cairan ini:
1. Cara Evans
 Luas lukabakar (%) x BB (kg) menjadi mL NaCl per 24 jam
 Luas lukabakar (%) x BB (kg) menjadi mL plasma per 24 jam 2.000 cc
glukosa 5% per 24 jam
(no 1 dan 2 pengganti cairan yang hilang akibat oedem. Plasma untuk
mengganti plasma yang keluar dari pembuluh dan meninggikan tekanan
osmosis hingga mengurangi perembesan keluar dan menarik kembali
cairan yang telah keluar).
 2000 cc Dextrose 5% / 24 jam (untuk mengganti cairan yang hilang akibat
penguapan) Separuh dari jumlah cairan 1+2+3 diberikan dalam 8 jam
19

pertama, sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua


diberikan setengah jumlah cairan pada hari pertama. Dan hari ketiga
diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.
(Separuh dari jumlah 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya
diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah
jumlah cairan hari pertama. Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah
cairan hari kedua).
2. Cara Baxter
 Luas lukabakar (%) x BB (kg) x 4 mL
 Separuh dari jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya
diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah
jumlah cairan hari pertama. Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah
cairan hari kedua.7

c. Resusitasinutrisi
Pada pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral sebaiknya dilakukan
sejak dini dan pasien tidak perlu dipuasakan. Bila pasien tidak sadar, maka
pemberian nutrisi dapat melalui naso-gastric tube (NGT). Nutrisi yang diberikan
sebaiknya mengandung 10-15% protein, 50-60% karbohidrat dan 25-30% lemak.
Pemberian nutrisi sejak awal ini dapat meningkatkan fungsi kekebalan tubuh dan
mencegah terjadinya atrofi viliusus. Dengan demikian diharapkan pemberian
nutrisi sejak awal dapat membantu mencegah terjadinya SIRS dan MODS.

Kebutuhan Nutrisi Penderita Luka Bakar


Minuman diberikan pada penderita luka bakar :
 Segera setelah peristaltis menjadi normal
 Sebanyak 25 mL/kgBB/hari
 Sampai dieresis sekurang-kurangnya mencapai 30 mL/jam
Makanan diberikan diberikan oral pada penderita luka bakar :
 Segera setelah dapat minum tanpa kesulitan
20

 Sedapatmungkin 2500 kalori/hari


 Sedapat mungkin mengandung 100-150 gr protein/hari
Sebagai tambahan diberikan setiap hari :
 Vitamin A, B, dan D
 Vitamin C 500 mg
 Fe sulfat 500 mg
 Mukoprotektor
Penderita yang sudah mulai stabil keadaannya memerlukan fisioterapi untuk
memperlancar peredaran darah dan mencegah kekakuan sendi. Kalau perlu, sendi
diistirahatkan dalam posisi fungsional dengan bidai.

d. Perawatan luka bakar


Umumnya untuk menghilangkan rasa nyeri dari luka bakar digunakan
morfin dalam dosis kecil secara intravena (dosis dewasa awal : 0,1-0,2 mg/kg dan
‘maintenance’ 5-20 mg/70 kg setiap 4 jam, sedangkan dosis anak-anak 0,05-0,2
mg/kg setiap 4 jam). Tetapi ada juga yang menyatakan pemberian methadone (5-
10 mg dosis dewasa) setiap 8 jam merupakan terapi penghilang nyeri kronik yang
bagus untuk semua pasien luka bakar dewasa. Jika pasien masih merasakan nyeri
walau dengan pemberian morfin atau methadone, dapat juga diberikan
benzodiazepine sebagai tambahan.7,11

2.6.2 Terapi pembedahan pada luka bakar


1. Eksisi dini
Eksisi dini adalah tindakan pembuangan jaringan nekrosis dan debris
(debridement) yang dilakukan dalam waktu kurang dari 7 hari (biasanya hari ke 5-
7) pasca cedera termis. Dasar dari tindakan ini adalah:
Mengupayakan proses penyembuhan berlangsung lebih cepat. Dengan
dibuangnya jaringan nekrosis, debris dan eskar, proses inflamasi tidak akan
berlangsung lebih lama dan segera dilanjutkan proses fibroplasia. Pada daerah
sekitar luka bakar umumnya terjadi edema, hal ini akan menghambat aliran darah
dari arteri yang dapat mengakibatkan terjadinya iskemi pada jaringan tersebut
21

ataupun menghambat proses penyembuhan dari luka tersebut. Dengan semakin


lama waktu terlepasnya eskar, semakin lama juga waktu yang diperlukan untuk
penyembuhan.
Memutus rantai proses inflamasi yang dapat berlanjut menjadi komplikasi –
komplikasi luka bakar (seperti SIRS). Hal ini didasarkan atas jaringan nekrosis
yang melepaskan “burn toxic” (lipid protein complex) yang menginduksi
dilepasnya mediator-mediator inflamasi.
Semakin lama penundaan tindakan eksisi, semakin banyaknya proses
angiogenesis yang terjadi dan vasodilatasi di sekitar luka. Hal ini mengakibatkan
banyaknya darah keluar saat dilakukan tindakan operasi. Selain itu, penundaan
eksisi akan meningkatkan resiko kolonisasi mikro – organisme patogen yang akan
menghambat pemulihan graft dan juga eskar yang melembut membuat tindakan
eksisi semakin sulit.
Tindakan ini disertai anestesi baik lokal maupun general dan pemberian
cairan melalui infus. Tindakan ini digunakan untuk mengatasi kasus luka bakar
derajat II dalam dan derajat III. Tindakan ini diikuti tindakan hemostasis dan juga
“skin grafting” (dianjurkan “split thickness skin grafting”). Tindakan ini juga
tidak akan mengurangi mortalitas pada pasien luka bakar yang luas. Kriteria
penatalaksanaan eksisi dini ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Kasus luka bakar dalam yang diperkirakan mengalami penyembuhan lebih
dari 3 minggu.
2. Kondisi fisik yang memungkinkan untuk menjalani operasi besar.
3. Tidak ada masalah dengan proses pembekuan darah.
4. Tersedia donor yang cukup untuk menutupi permukaan terbuka yang
timbul.
Eksisi dini diutamakan dilakukan pada daerah luka sekitar batang tubuh
posterior. Eksisi dini terdiri dari eksisi tangensial dan eksisi fasial.

1. Eksisi tangensial
Suatu teknik yang mengeksisi jaringan yang terluka lapis demi lapis sampai
dijumpai permukaan yang mengeluarkan darah (endpoint). Adapun alat-alat yang
22

digunakan dapat bermacam-macam, yaitu pisau Goulian atau Humbly yang


digunakan pada luka bakar dengan luas permukaan luka yang kecil, sedangkan
pisau Watson maupun mesin yang dapat memotong jaringan kulit perlapis
(dermatom) digunakan untuk luka bakar yang luas.
Permukaan kulit yang dilakukan tindakan ini tidak boleh melebihi 25% dari
seluruh luas permukaan tubuh. Untuk memperkecil perdarahan dapat dilakukan
hemostasis, yaitu dengan tourniquet sebelum dilakukan eksisi atau pemberian
larutan epinephrine 1:100.000 pada daerah yang dieksisi. Setelah dilakukan hal-
hal tersebut, baru dilakukan “skin graft”. Keuntungan dari teknik ini adalah
didapatnya fungsi optimal dari kulit dan keuntungan dari segi kosmetik. Kerugian
dari teknik adalah perdarahan dengan jumlah yang banyak dan endpoint bedah
yang sulit ditentukan.

2. Eksisi fasial
Teknik yang mengeksisi jaringan yang terluka sampai lapisan fascia.
Teknik ini digunakan pada kasus luka bakar dengan ketebalan penuh (full
thickness) yang sangat luas atau luka bakar yang sangat dalam. Alat yang
digunakan pada teknik ini adalah pisau scalpel, mesin pemotong “electrocautery”.
Adapun keuntungan dan kerugian dari teknik ini adalah:
- Keuntungan : lebih mudah dikerjakan, cepat, perdarahan tidak banyak,
endpoint yang lebih mudah ditentukan
- Kerugian : kerugian bidang kosmetik, peningkatan resiko cedera pada
saraf-saraf superfisial dan tendon sekitar, edema pada bagian distal dari
eksisi.2

2.7 Manajemen Awal Untuk Pasien Luka Bakar

Pasien luka bakar biasanya akan menjalani berbagai prosedur pembedahan


dan anestesi. Cidera dengan kedalaman dan ketebalan penuh akan membutuhkan
grafting yang luas untuk perbaikannya. Terapi definitif untuk luka bakar ketebalan
partial meliputi pembuangan eskar, yang dapat berperan sebagai media kultur
23

yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Bedah perbaikan dapat dilakukan pada luka
bakar ketebalan penuh, yang basanya diambil dari kulit paha, aksila atau split
thickness dari beberapa area. Kosmetik, durabilitas dan massa jaringan akan lebih
baik dengan menggunakan grafting full thickness.3,9

Manajemen Awal13,16

Yang harus diperhatikan dalam manajemen anestesi pasien luka bakar


bahwa selalu ditekankan pasien diperlakukan sebagai :

1. Difficult airway
2. Inadequate resuscitated patient
3. Difficulty in establishing IV access
4. Hyperkalemic response to scoline
5. Resistance to non-depolarising muscle relaxant
6. Significant blood and plasma loss
7. Penderita yang memerlukan perhatian khusus untuk posisi
8. Mudah jatuh pada kondisi hipotermia
9. Membutuhkan postoperative analgesia
Sangat penting untuk mengetahui tipe dari jenis luka bakar untuk meng
assesment kerusakan jalan napas, gangguan fungsi organ lain yang disebabkan
oleh trauma luka bakar, kemungkinan kerusakan jaringan lain.

I. PRIMARY SURVEY20

a. Airway dan cervical spine proteksi


b. Breathing dan ventilasi
c. Sirkulasi dan kontrol perdarahan
d. Disability- pemeriksaan neurologis
e. Exposure
24

II. SECONDARY SURVEY20

a. History / anamnesa
Anamnesa stantard yang harus kita lakukan pada persiapan preoperatif
tetap harus kita lakukan seperti :

- riwayat penyakit sekarang


- riwayat penyakit dahulu
- riwayat pengobatan atau obat-obatan yang pernah dan atau masih
dikonsumsi
- riwayat alergi
- riwayat operasi dahulu
- riwayat anestesi dahulu
b. Pemeriksaan fisik/lengkap mulai kepala-kaki
c. Pemeriksaan Penunjang :

1. Darah rutin
2. Darah Lengkap
3. Albumin
4. RFT dan LFT
5. Elektrolit, Na, K, Cl, HCO3
6. Blood urea nitrogen
7. Urinalisa
8.Foto Thorak
9. AGD
10. Carboxy Hemoglobin
11. ECG
25

2.8 Assesment preoperatif 12,14

1. Evaluasi :

- Penilaian survai primer


- Penilaian survai sekunder
- Derajat luka bakar
- Luas luka bakar
- Daerah yanag akan dioperasi
2. Evaluasi hasil pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya

3. Pertimbangan pemberian premedikasi di ruang perawatan

4. Pertimbangan analgesi yang adekuat.

5. Minimalisir heat loss untuk menghurangi insiden post-op shivering

6. Monitoring ketat status haemodinamik

7. Replace blood early

8. Harus ada komunikasi yang baik antara ahli anestesi dan ahli bedah untuk
mempersiapkan pasien dengan optimal.

Penilaian jalan napas rutin dilakukan dnegan perhatian adanya luka bakar
di wajah yang akan mempersulit ventilasi sungkup muka. Adanya edema,
jaringan parut atau kontraktur akan membatasi pembukaan mulut dan pergerakan
leher.

Pertimbangan pemberian nutrisi pre-operatif yang adekuat mempengaruhi


kebijakan menentukan puasa sebelum operasi. Biasanya pasien mendapatkan
asupan makanan enteral melalui pipa nasogstrik. Pasien yang sudah terintubasi
tidak perlu dipuasakan , etapi apabila belum di intubasi perlu puasa setidaknya 4
jam sebelum operasi. Penelitian menunjukkan terdapatnya penurunan produksi
asam lambung pada periode awal pasca luka bakar.
26

2.9 Penatalaksanaan Durante Operasi

Monitor durante operasi tergantung pada kondisi medis pasien dan jenis
pembedahan. Pemasangan elektrokardiogram pada daerah yang terkena luka bakar
dapat menggunakan elektroda berjarum. Apabila ujung jari tidak akurat mengukur
saturasi menggunakan oksimetri nadi, maka dapat dignakan tempat lain seperti
telinga, hidung, atau lidah. Pemasangan monitor invasif (kateter vena sentral,
kateter arteri pulmonal dan lain-lain) dapat dipasang sesuai indikasi. Monitor
temperatur sangat diperlukan, karena biasanya pasien mudah jatuh dalam kondisi
hipotermia. Suhu kamar operasi diupayakan > 28°C dan semua cairan intravena
harus dihangatkan terlebih dahulu.

Monitoring yang diperlukan selama tindakan eksisi dan pelaksanaan


grafting adalah pertimbangan tindakan eksisi pada jaringan yang mati biasanya
berhubungan dengan kejadian blood loss. Terutama jika operasi dilaksanakan
setelah beberapa hari setelah kejadian trauma. Pemasangan kateter vena sentral
akan sangat membantu pada pasien yang mengalami kesulitan akses vena. Jika
diperlukan, pengukuran tekanan darah noninvasive harus dilakukan sebagai back
up arterial line.

Terjadinya heat loss melalui jaringan kulit yang terbakar merupakan


masalah serius pada pasien luka bakar yang harus dimonitor. Hipotermi dapat
diminimalisisr dengan memakai warming blankets dan heat lamps, meningkatkan
suhu/temperatur ruangan operasi, humidifikasi gas inspirasi, dan menghangatkan
cairan yang dimasukkan pada akses intravena.10

Pengaruh luka bakar farmakologi obat-obat anestesi

Obat anestesi volatil akan mengakibatkan eksaserbasi depresi myokardial.


Karena itu Halothane merupakan agent yang harus dihindari terutama jika
Epinefrin dipakai untuk penataksanaan blood loss. Pilihan agen inhalasi antara
Halothane, Enflurane, Isoflurane dan Sevoflurane tidak terbukti mempengaruhi
hasil akhir anestesi pada luka bakar. Bermacam jenis obat intravena menunjukkan
hasil yang baik pada pasien luka bakar. Ketamin memberikan keuntungan
27

hemodinamik yang stabil dan menghasilkan analgesia yang adekuat untuk


penggantian pembalut luka bakar. Ethomidate dapat menjadi pilihan alternatif dari
Ketamine untuk pasien yang hemidinamik tidak stabil. Penggunaan Propofol dan
Thiopental harus dipastikan pasien sudah diresusitasi dengan adekuat dan tidak
dalam kondisi sepsis. 5,18,19

Selain pertimbangan pemilihan obat induksi dan pemiiharaan, penggunaan


opioid dalam anestesi pada pasien luka bakar merupakan hal penting. Pasien luka
bakar mengalami nyeri sangat hebat, dan biasanya memerlukan opioid dosis besar
untuk tetap merasa nyaman meskipun tidak dilakukan tindakan pada luka bakar
ataupun tidak bergerak. Penggunaan antiansietas juga perlu diberikan karena
kecemasan dapat menurunkan ambang nyeri.

Analgetik lain yang dapat digunakan saat penggantian balut adalah


Ketamine ang memberikan beberapa keuntungan seperti analgetik, peningkatan
curah jantung, depresi napas minimal. Penggunaan analgetik NSAID dihindari
pada pasien yang menjalani eksisi luas ataupun pencangkokkan kulit, karena
memiliki efek antiplatelet dan efek nefrotoksik.

Hati-hati pada pemberian cairan, tindakan resusitasi cairan yang agresif


memiliki resiko kelebihan cairan yang dapat berupa edema jaringan lunak.
Apabila pada akhir operasi tampak edema pada wajah pasien, kemungkinan juga
terdapat edema pada jalan napas, sehingga ekstubasi ditunda sampai edema
menghilang.

Teknik anestesi harus meliputi sedasi, amnesia, analgesia dan stabilitas


hemodinamik. Pada umumnya balans anestesi dengan menggunakan oksigen,
narkotik, relaksan otot dan agen volatile. Kehilangan darah yang bermakna harus
diantisipasi khusus harus ditujukan untuk pemberian ventilasi yang adekuat,
oksigenasi, pembuangan sekresi dan pertahanan ginjal. Dengan luka bakar yang
ekstrim maka torniquet bisa digunakan untuk meminimalisir perdarahan.

Pada pasien luka bakar normothermi kurang lebih berada pada 38,5°C
yang disebabkan karena penyesuaian pada pusat pengaturan suhu di hypothlamus
28

dan hipermetabolisme setelah luka bakar. Hipotermia akan menyebabkan


peningkatan stess fisiologis, penurunan metabolisme obat, peningkatan
komplikasi perdarahan dan sukarnya penyembuhan luka. Suhu ruangan harus
ditingkatkan untuk mencegah terjadinya gradien pendinginan yang berlebihan.
Selimut penghangat, cairan penghangat dna gas yang dilmbabkan dapat diberikan
untuk mencegah terjadinya hipotermia. Labilitas hemodinamik selama resusitasi
awal diperkirakan dapat menjadi penyulit pada saat operasi. Monitor
hemodinamik tambahan direkomendasikan pada kondisi seperti ini. Tekanan jalan
napas yang tinggi dapat diantisipasi selama ventilasi mekanis akibat penyakit
restriktif pada dinding dada dari eskar yang berkontraksi, bronkospasme, sekresi
pulmoner dan kemungkinan pneumonia.10

2.10 MANAJEMEN POST OPERASI

Hal-hal yang harusdiperhatikansetelah post operasi adalah:8

- Kebutuhanoksigenpasien
- Kebutuhanpasienuntuknyeri post operative
- Temperaturtubuhpasien, kemungkinanmembutuhkanpenghangat
- Kebutuhancairanpasien

2.11 KOMPLIKASI
Komplikasi dapat berasal dari 2 sumber; luka itu sendiri maupun
gangguan dalam proses penyembuhan luka. Komplikasi yang dapat timbul
antara lain:5
1. Infeksi dan sepsis
2. Kegagalan multi-organ
3. SIRS (Systemicinflammatory response syndrome )
4. Sindroma respiratoriakut
5. Gangguanperfusi
6. Pembentukan sikatrik dan kontraktur otot
7. Deformitas
29

8. Gangguan pergerakan jangka panjang – akibat luka bakar di daerah


sendi
9. Gangguan psikologis - Post traumatic stress disorder, depresi,
ansietas.

2.12 PROGNOSIS

Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan
luasnya permukaan luka bakar, dan penanganan sejak awal hingga penyembuhan.
Selain itu factor letak daerah yang terbakar, usia dan keadaan kesehatan penderita
juga turut menentukan kecepatan penyembuhan.
Penyulit juga mempengaruhi prognosis pasien. Penyulit yang timbul pada
lukabakarantara lain gagalginjalakut, edema paru, SIRS, infeksi dan sepsis,
sertaparuthipertrofik dan kontraktur.
BAB 3

STATUS ORANG SAKIT

3.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. MH
Umur : 35 tahun
Alamat : Jl. Marelan II, Pasar IV Timur Lingk. 27 Medan
Pekerjaan : Pegawai Negeri
Tanggal masuk: 12 September 2019

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama: Luka bakar pada dada, perut, dan kedua tangan
Telaah :
Hal ini telah dialami pasien lebih kurang 3 hari yang lalu. Pasien saat melakukan
simulasi kebakaran terkena semburan api saat menyiram bensin. Riwayat trauma
kepala disangkal, sesak nafas dan nyeri dada disangkal. BAK warna kuning pekat.
BAB normal. Trauma inhalasi (-). Suara serak tidak dijumpai. Pasien sebelumnya
dirawat di RS Nias.

Primary Survey:
Airway: clear, snoring (-), gurgling (-), crowing (-)
SP: Vesikular, ST (-)
Breathing: spontan, RR: 20 x/I, SpO2: 99%, dengan pemberian Nasal Kanul
Circulation: akral hangat, CRT<2”, TD: 120/60, HR: 98x/i
Disability: GCS 15
Exposure:
Wajah dan leher: superficial – mid dermal burns 0%
Dada dan Perut : superficial dermal – full thickness burns 18%
Punggung : 18%
Ekstremitas atas kanan – kiri : 18%
Ekstremitas bawah kanan – kiri : 0%

30
31

Total : 54%
RPT : Tidakjelas
RPO : Tidak jelas

Laboratorium 19 September 2019


Pemeriksaan Hasil Rujukan
Hematologi
- Hemoglobin 12 12-16 g/dl
- Hematokrit 31 36-47 %
- Leukosit 36.130 4000-11000/µl
- Trombosit 336.000 150000-450000
Kimia Klinik
- Analisa Gas Darah
pH 7,2 7,35-7,45
pCO2 38,0 38-42
pO2 161 85-100
HCO3 17,9 22-26
Total CO2 19,1 19-25
BE -8,2 (-2) – (+2)
Saturasi O2 99 95-100

- Hati
Albumin 2.2 3,5-5,0
- Karbohidrat
BUN 30 9-21
Ureum 64 19-44
Kreatinin 0.85 0,7-1.3
- Elektrolit
Natrium 132 135-155
Kalium 3.1 3,6-5,5
32

Klorida 103 96-106

Diagnosis kerja: flame burn mid to deep dermal 54% on the chest, abdomen, both
arm and back + hipoalbumin
P: O2 10 liter via NRM
Ceftriaxone 1 gr/12 jam
Inj. Ranitidin 1 amp/ 12 jam
Inj. Ketorolac 1 amp/ 8 jam
Inj. Tetagam 1 amp / IM
Resusitasi cairan: Bexter
4 x 54% x 80kg = 17.280 cc
8 jam I = diberikan 50 % = 8.640 cc
16 jam II = diberikan 50 % = 8.640 cc
Pantau Urin Output
Pasang NGT
Balut kasa lembab
Informed Consent tindakan debridement
R: Cek Lab
BAB 4

FOLLOW UP

20 September 2019
S Sesak (+)
O Sensorium: Compos Mentis
Airway clear, SP: vesikular, ST: -/- , RR: 22x/i
Akral H/M/K, TD: 130/80. HR: 92x/i
UOP (+) warna kuning
Abdomen soepel, peristaltik (+) normal
Edema (-), fraktur (-)
A flame burn mid to deep dermal 54% on the chest, abdomen, both arm and
back + hipoalbumin
P - IVFD Asering 20 gtt/I
- Inj. Meropenem 1 amp/ 8 jam
- Inj Ranitidine 50 mg/ 12 jam
- Clinimix lipid 1 x 1 bag /24 jam
- Diet TKTP ekstrasusu 2 gelas / hari dan putih telur 8 butir / hari

21 September 2019
S Sesak (+)
O Sensorium: Compos Mentis
Airway clear, SP: vesikular, ST: -/- , RR: 22x/i
Akral H/M/K, TD: 130/90. HR: 82x/i
UOP (+) warna kuning
Abdomen soepel, peristaltik (+) normal
Edema (-), fraktur (-)
A flame burn mid to deep dermal 54% on the chest, abdomen, both arm and
back + hipoalbumin
P - IVFD Asering 20 gtt/I

33
- Inj. Meropenem 1 amp/ 8 jam
- Inj Ranitidine 50 mg/ 12 jam
- Clinimix lipid 1 x 1 bag /24 jam
- Diet TKTP ekstrasusu 2 gelas / hari dan putih telur 8 butir / hari

22 September 2019
S Nyeri berkurang
O Sensorium: Compos Mentis
Airway clear, SP: vesikular, ST: -/- , RR: 22x/i, SaO2: 99%
Akral H/M/K, TD: 120/70. HR: 103x/i
UOP (+) warnakuning
Abdomen soepel, peristaltik (+) normal
Edema (-), fraktur (-)
A flame burn mid to deep dermal 54% on the chest, abdomen, both arm and
back + hipoalbumin
P - IVFD RL 36 gtt/I
- Ketorolac 30 mg/24 jam
- Ceftriaxone 1 gr/24 jam
- Ranitidine 2x50 mg /24 jam
- Clinimix lipid 1 x 1 bag /24 jam
- Diet TKTP ekstrasusu 2 gelas / hari dan putihtelur 8 butir / hari

34
35

BAB 5

DISKUSI

Teori Kasus
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan Tn. MH, Laki-laki berusia 35
atau kehilangan jaringan yang disebabkan tahun dating dengan keluhan luka
kontak dengan sumber panas seperti api, air bakar.
panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi
Secara umum tingkat keparahan luka bakar Luka di hamper seluruh tubuh.
ditentukan menurut luas dan kedalaman Derajat luka bakar: Superficial to
kerusakan jaringan yang diakibatkan. full thickness 54%
a. Derajat I (Superficial)  Wajah dan leher: superficial
Pajanan hanya merusak epidermis sehingga – mid dermal burns 0%
masih menyisakan banyak jaringan untuk  Dada dan Perut : superficial
dapat melakukan regenerasi dermal – full thickness burns
b. Derajat II (Partial thickness) 18%
Lesi melibatkan epidermis dan mencapai  Punggung : 18%
kedalaman dermis namun masih terdapat  Ekstremitas atas kanan – kiri
epitel vital yang bisa menjadi dasar regenerasi : 18%
dan epitelisasi.  Ekstremitasbawahkanan –
c. Derajat III (full thickness) kiri : 0%
Mengenai seluruh lapisankulit,
dari  Total : 54%
subkutis hingga mungkin organ atau jaringan
yang lebih dalam. Pada keadaan ini tidak
tersisa jaringan epitel yang dapat menjadi
dasar regenerasi sel spontan, sehingga untuk
menumbuhkan kembali jaringan kulit harus
dilakukan cangkok kulit. Gejala yang
menyertai justru tanpa nyeri maupun bula,
karena pada dasarnya seluruh jaringan kulit
yang memiliki persarafan sudah tidak intak.
36

Luas Luka Bakar


Luas Luka Bakar menggunakan Rule of
Nines :
Kepala leher --- 9%
Lengan 2x9% --- 18 %
Badan depan --- 18 %
Badan belakang --- 18 %
Tungkai 2x 18% --- 36 %
Genitalia / perineum --- 1%
---------------------------------------
100 %

Masalah yang timbul pada luka bakar Trauma inhalasi (-), suaraserak (-
fase akut terutama berkaitan dengan gangguan )
jalan nafas (cedera inhalasi), gangguan
mekanisme bernafas dan gangguan sirkulasi;
ketiganya menyebabkan gangguan perfusi
jaringan yang menyebabkan kematian dalam
waktu singkat; atau bila korban dapat
bertahan (hidup) selama fase akut disertai
kemungkinan timbulnya SIRS dan MODS
yang berakhir fatal.
Cedera inhalasi merupakan gangguan
mukosa saluran nafas akibat paparan atau
kontak dengan sumber termis (sangat jarang),
sisa pembakaran yang tidak sempurna (toxic
fumes), berbagai zat toksik seperti CO dan
zat kimia lainnya. Cedera inhalasi ini
umumnya dijumpai pada luka bakar yang
disebabkan api, terperangkap di ruang
tertutup, atau terpapar pada zat kimia. Dugaan
kuat mengenai adanya cedera inhalasi ini bila
37

dijumpai luka bakar mengenai muka dan


leher, serta adanya tanda bulu hidung
terbakar, sputum dan liur mengandung
karbon. Kerusakan mukosa sebagaimana
dijelaskan juga dapat terjadi pada kasus luka
bakar yang disebabkan minyak panas, air
panas atau bahan kimia yang mengenai muka,
leher dan dada bagian atas.
Terjadi edema mukosa mulai dari daerah
orofaring dan laring (saluran nafas bagian
atas) sampai membran alveoli (saluran nafas
bagian bawah). Gejala yang timbul sangat
bervariasi tergantung derajat paparan dan
penyebab. Edema yang bermakna pada
saluran nafas bagian atas dapat menyebabkan
obstruksi, ditandai dengan perubahan suara
(serak, stridor), kesulitan bernafas, dan pasien
tampak gelisah (hipoksik). Obstruksi seperti
ini relatif jarang dijumpai, umumnya terjadi
dalam waktu kurang dari 8jam pasca cedera
dan bersifat fatal bila tidak ditangani segera.
Proses inflamasi pada mukosa disertai
produksi sekret yang banyak (hipersekresi)
merupakan hal yang umum dan menyebabkan
masalah pada saluran nafas. Inflamasi pada
mukosa berlanjut dengan disrupsi; silia pada
mukosa mengalami nekrosis yang kemudian
lepas (sloughing mucosa), disertai fibrin-
fibrin yang terbentuk pada proses dan atau
partikel karbon bereaksi dengan sekret
membentuk cast (mucus plug) yang sulit
38

dilepaskan; menyebabkan obstruksi lumen.


Obstruksi seperti ini lebih sering dijumpai,
umumnya terjadi hari kedua-keempat pasca
cedera
Meskipun jalan nafas pasien tampak normal, Pada pasien ini telah dilakukan
perlu dipertimbangkan untuk melakukan tatalaksana awal berupa :
intubasi endotrakheal profilaktik. Tidak  O2 2-4 liter via nasal
semua cedera jalan nafas bermanifestasi kanul
segera. Udema jalan nafas yang berhubungan  Inj. Ranitidin 1 amp/ 12
dengan resusitasi cairan masif dapat jam
mengganggu jalan nafas dan mempersulit  Inj. Tetagam 1 amp / IM
dilakukannya intubasi trakhea.  Resusitasi cairan: Bexter
Penatalaksanaan luka bakar tanpa distress  4 x 54% x 80kg = 17.280
pernapasan : cc
1. Intubasi (pemasangan pipa  8 jam I = diberikan 50 %
endotrakeal) tanpa menggunakan = 8.640 cc
pelumpuh otot dan tanpa ventilator  16 jam II = diberikan 50
2. Pemberian oksigen 2-4 liter/menit % = 8.640 cc
melalui pipa endotrakeal
 Pantau Urin Output
3. Penghisapan sekret secara berkala
 Pasang NGT
4. Humidifikasi dengan pemberian
 Balut kasa lembab
nebulizer setiap 6 jam
 Informed Consent
5. Pemberian bronkodilator (Ventolin
tindakan debridement
inhalasi) dilakukan bila jelas dijumpai
 R: Cek Lab
gejala dan tanda distress pernapasan
6. Pemantauan gejala/tanda distress
pernapasan :
A. Gejala subyektif : gelisah,
sesak napas
B. Gejala obyektif : peningkatan
frekuensi pernapasan (>30
39

x/menit), sianotik, stridor,


aktivitas otot pernapasan
bertambah
C. Untuk pemantauan ini
dilakukan pemeriksaan :
*Analisis gas darah :
- pada pertama kali
penderita ditolong (saat
resusitasi)
- pada 8 jam
pertama
- dalam 24 jam pasca
cedera
- selanjutnya sesuai
kebutuhan
*Foto thorax 24 jam
pasca cedera
• Syok menjadi factor utama berperan
pada timbul dan berkembangnya
SIRS, dan MODS, sehingga harus
ditatalaksanai dengan baik. Resusitasi
adekuat dengan pemberian cairan
kristaloid merupakan prosedur
resusitasi yang dianggap paling aman
untuk substitusi cairan
• Dalam 1-3 hari pertama pasca cedera,
luka masih dalam keadaan steril
sehingga tidak diperlukan antibiotik.
Pada hari ketiga sampai ketujuh, luka
didominasi oleh bakteri gram positif
yang berasal dari apendises kulit
40

(folikel rambut, kelenjar sebasea, dsb),


sedangkan setelah 5-7 hari, populasi
bakteri digantikan oleh bakteri gram
negatif yang lebih virulen. Pemberian
antibiotik secara empirik didasari pola
ini dan disesuaikan dengan pola
kuman yang ada

Eksisi dini adalah tindakan pembuangan Pada pasien ini dilakukan


jaringan nekrosis dan debris (debridement) tindakan debridement.
yang dilakukan dalam waktu kurang dari 7
hari (biasanya hari ke 5-7) pasca cedera
termis. Dasar dari tindakan ini adalah:
Mengupayakan proses penyembuhan
berlangsung lebih cepat. Dengan dibuangnya
jaringan nekrosis, debris dan eskar, proses
inflamasi tidak akan berlangsung lebih lama
KESIMPULAN

Tn. Mh, 35 tahun,dating dengan keluhan lukabakar pada daerah, dada,


punggung dan tangan, sesak nafas tidak dijumpai. Pasien di diagnosis dengan
superficial to full thickness burn 54%. Pasien ini ditatalaksana awal dengan
Resusitasi cairan (Bexter Formula) 4 x 54% x 80 = 17.280 ml

8 jam I: diberikan 50 %  8.640ml

16 jam II : diberikan 50%  8.640 ml

Balut kasa lembab, Analgetik ( injketorolac 30mg / 5 jam) dan Antibiotik broad
spectrum inj. Ceftriaxone 1g IV / 12 jam . Selanjutnya pada pasien ini dilakukan
tindakan debridement.

41
DAFTAR PUSTAKA

American Burn Association. Burn modules. Available in website:


http://www.ameriburn.org.
American College of Surgeons. Guidelines for the Operation of Burn Units.
Reprinted from Resources for Optimal Care of the Injured Patient,
Chapter 14: Committee on Trauma, 2008. Available in
website:http://www.ameriburn.org/guidelinesops.pdf.
Duke, J., 2000 Anesthesia and Burns in Anesthesia Secrets. Second
Edition. Hanley & Belfus. Inc Philadelphia. Pp 292-7.
Marzoeki, D., 2004 Overview in Burn Management dalam Penanganan Luka
Bakar Masa Kini, Seminar Luka Bakar Pp 1-2.
Moenadjat Y. Luka Bakar: Pengetahuanklinis praktis, edisi revisi. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2003. p.4, 23-28.
Moenadjat Y. Sindroma respons inflamasi sistemik (SRIS), sindromdisfungsi
organ multipel (SDOM) dansepsis pada kasus luka bakar. Disampaikan
pada Pertemuan ilmiah tahunan (PIT) IV Perhimpunan dokter spesialis
bedah plastik Indonesia (Perapi). Bandung 2012.
Moenadjat, Y., 2005. Petunjuk Praktise Penatalaksanaan Luka Bakar. Asosiasi
Luka Bakar Indonesia Diterbitkan oleh Komite Medik Asosiasi Luka
Bakar Indonesia.
Moossa A.R., Hart M. E., Easter D.W., Surgical complication. In: Sabiston DC
Jr, Lyery HK, editors. Textbook of surgery; 15th ed. Philadelphia: WB
Saunders Company,2010 ; 347.
Morgan, G. E. and Mikhail, M. S. 2002. Clinical Anesthesiology, 3rd edition.,
Appleton and Lange. London.
Naguib, M. and Lien C. A., 2005 Pharmacology of Muscle Relaxants and
Their Antagonists in Miller’s Anesthesia sixth edition . pp 530-1.
Noer, S. M., 2004 Acute Burn Management dalam Penanganan Luka
Bakar Masa Kini. Seminar Luka Bakar. Pp 5-13.
Perdanakusumah, D. S., 2004, Wound Management in Burn. SMF Bedah Plastik
FK UNAIR-RSU Dr. Soetomo Unit Luka Bakar. Surabaya.
Prayitno, W. B., 2004 Respiratory Problem in Burn dalam Penanganan Luka
Bakar Masa Kini. Seminar Luka Bakar. Pp 48- 53.
Respiratory Care: Educational symposia. Available in manual book of 36th
Annual meeting of American Burn Association. Vancouver: 2005.

42
Roberta.,L. H., 2004, Adult Perioperative Anesthesia, Elsevier Mosby,
Philadelphia.
Song, C. 2004 Recent Advance in Burn Management dalam Penanganan Luka
Bakar Masa Kini, Seminar Luka Bakar. Pp 18-22.
Steinberg KP, Hudson LD. Acute respiratory distress syndrome: Acute lung injury
and acute respiratory distress syndrome, the clinical syndrome. Clin
chest med 2000; vol 21 no.3. Available in website:
http://www.home.mdconsult.com/das/article/body/1/jorg.
Steinberg KP, Hudson LD. Acute respiratory distress syndrome: Acute lung injury
and acute respiratory distress syndrome, the clinical syndrome. Clin
chest med 2000; vol 21 no.3.
Stoelting. R. K., . Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice, 3 rd
edition., Lippincott-Raven Publishers, Philladelphia.
Sutjahjo, R. A. 2004. Nyeri pada Luka Bakar. Departement of Anesthesiology
&Reanimation School of Medicine. Airlangga University. Dr. Soetomo
General Hospital. Surabaya.
Tomashefsky J.F., Acute respiratory distress syndrome: Pulmonary
pathology of acute respiratory distress syndrome. Clin chest med 2014;
vol 21 no.3. Available in website: http://www. home.
mdconsult.com/das/article/body/1/jorg.
Tomashefsky JF. Acute respiratory distress syndrome: Pulmonary pathology of
acute respiratory distresssyndrome. Clin chest med 2012; vol 21
no. 3.

43

Anda mungkin juga menyukai