Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keberadaan industri pertambangan di Indonesia yang sampai dengan saat ini masih
menjadi salah satu penghasil devisa besar. Jika dikaitkan dengan aspek ketenagakerjaan
(penyerapan tenaga kerja) dan usaha mempersiapkan masyarakat di daerah pertambangan
untuk dapat bertahan dengan sektor ekonomi lain sebagai penunjang, yang dalam kasus ini
kita indikasikan melalui cadangan batubara (terkait dengan umur tambang) akan muncul
berbagai permasalahan, untuk lebih jelasnya dapat dibaca pada tema memandang keterkaitan
antara peningkatan produksi batubara dengan investasi dan penyerapan tenaga kerja pada
perusahaan pertambangan batubara dalam proyek listrik 10.000 mw.

Indonesia merupakan salah satu negara yang beruntung memiliki kekayaan sumber daya alam
yang cukup “besar”, baik sumber daya yang tidak dapat terbaharui maupun yang dapat
terbaharui. Dalam konteks ini tidak digunakan kata “melimpah”, sebab kata “besar” itu
adalah relatif. Sementara, kata “melimpah” seolah tidak habis-habis atau tidak terbatas.
Contohnya, sumber daya batubara Indonesia mencapai 104 miliar ton dan cadangan 21 miliar
ton. Berdasarkan data BP Statistical Review 2010, cadangan Indonesia hanya 0,5 persen dari
cadangan dunia. Sedangkan bila kita berasumsi 21 miliar ton dihitung semua sebagai
cadangan yang mineable jumlahnya tidak sampai 2,5 persen. Potensi mineral dan batubara
tersebar di berbagai kepulauan di Indonesia. Karena memiliki potensi ekonomi yang cukup
besar maka sejak lama sumber daya mineral dan batubara telah menjadi andalan
pembangunan ekonomi.

Pertanyaannya, sejauh mana manfaat dari bahan galian mineral dan batubara ini bisa
dioptimalkan sebagai modal pembangunan? Hal ini merupakan isu sentral terkait dengan
pengembangan mineral dan batubara Indonesia saat ini. Pertanyaan ini adalah sebuah hal
yang wajar, mengingat di dalam konteks pengembangannya terdapat sejumlah paradoks.
Pertama, di satu sisi jumlah sumber daya dan cadangan mineral dan batubara ini sebagai
sumber daya yang tidak bisa terbaharui tentunya terbatas jumlahnya, namun produksinya dari
tahun ke tahun terus meningkat tanpa bisa ditahan. Kedua, kebutuhan domestik meningkat
tapi ekspor juga meningkat lebih cepat lagi. Ketiga, Indonesia masih menjual barang mentah
termasuk sebagian besar produksi mineral dan batubara dan menjadi pasar barang jadi.

Untungnya di dalam UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU


Minerba) terdapat pesan yang jelas bahwa kekayaan sumber daya alam ini harus
dioptimalkan demi kepentingan sebesar-besar kemakmuran rakyat, sejalan dengan substansi
Pasal 33 UUD 1945. Maka yang diperlukan disini adalah bagaimana jalannya untuk
menempuh hal tersebut. Ini menjadi sebuah tantangan kedepan yang perlu dijawab dan
dibenahi dengan kerjasama lintas sektor dan pusat-daerah.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun Rumusan Masalahnya :
1. Jelaskan pokok pembahasan dari UU, PP, Permen ESDM tentang
Sumberdaya Mineral dan Energ (SDME)i!
2. Jelaskan mengenai Tarif Bea atau Royalti Iuran yang dikenakan terhadap
Pemanfaatan SDME!

1.3 Tujuan
Adapun Tujuannya :
1. Mengetahui Pokok pembahasan tentang hukum Pemanfaatan Sumberdaya
Mineral dan Energi
2. Mengetahui Sistem Tarif Bea pada Pemanfaatan SDME

1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang didapat :
Mendapatkan Pengetahuan yang luas mengenai Pemanfaatan Sumberdaya Mineral
dan Energi
BAB II

PEMBAHASAN

UNDANG-UNDANG NO.4 TAHUN 2009

TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

Prinsip utama diterapkannya Undang-Undang No.4 Tahun 2009 Tentang


Pertambangan Mineral dan Batubara antara lain sebagai pengganti UU No. 11 Tahun 1967
yang sentralistik serta keinginan pemerintah untuk konsisten dengan UUD 1945 pasal 33.
Beberapa prinsip utama yang melatarbelakangi diterapkannya UU No 4 Tahun 2009 tersebut
selain sebagai pengganti UU No. 11 tahun 1967 yang sentralistik juga untuk mengoptimalkan
penerimaan negara, memberi kewenangan pemerintah yang jelas sekaligus mengembalikan
fungsi Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai regulator."UU Minerba mewajibkan pemrosesan
dan pemurnian logam dilakukan didalam negeri sehingga dapat meningkatkan nilai tambah
produk dan demi kepentingan nasional, pemerintah dapat menetapkan domestic market
obligation (DMO) untuk mineral dan batubara,butir-butir terpenting lainnya dalam UU No.4
Tahun 2009 adalah mendorong implementasi kaidah-kaidah good mining practices yang
mengutamakan lingkungan, adanya jaminan kepastian berusaha, mengintegrasikan
pengelolaan data pertambangan dan divestasi saham asing untuk pihak nasional. Saat ini
Pemerintah sedang melakukan persiapan penyusunan 4 RPP dan 1 rancangan Permen ESDM
untuk mendukung UU No. 4 Tahun 2009. Dengan diberlakukannya UU tersebut diharapkan
dapat membawa masa depan pertambangan yang lebih baik dengan adanya kepastian dalam
pengusahaan pertambangan dan penyederhanaan skema perizinan

.
POKOK PEMBAHASAN TIAP BAB
UU NO.4 TAHUN 2009
PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

BAB I KETENTUAN UMUM


- Dalam bab ketentuan ini menjelaskan definisi-definisi yang berhubungan dengan
pertambangan mineral dan batu bara, seperti apa itu pertambangan, mineral, batubara,
dan lain-lain.
BAB II ASAS DAN TUJUAN
- Pada bab ini menjelaskan asas pengelolaan pertambangan dan tujuan pengelolaan
mineral dan batubara.
BAB III PENGUASAAN MINERAL DAN BATUBARA
- Pada bab ini menjelaskan mengenai siapa yang menguasai atau yang memiliki
kewenangan penguasaan mineral dan batubara.
BAB IV KEWENANGAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN
BATUBARA
- Pada bab ini menjelaskan kewenangan pengelolaan pertambangan mineral dan
batubara.
BAB V WILAYAH PERTAMBANGAN
- Pada bab ini menjelaskan bahwa wilayah pertambangan adalah sebagai bagian dari tata
ruang nasional merupakan landasan bagi penetapan kegiatan pertambangan dan
penetapannya secara transparan, terpadu, dan bertanggung jawab. Pada bab ini juga
terbagi atas IV bagian. Bagian pertama yaitu hal umum, bagian kedua Wilayah Usaha
Pertambangan , bagian ketiga Wilayah Pertambangan Rakyat, dan bagian keempat
wilayah Pencadangan Negara
BAB VI USAHA PERTAMBANGAN
- Dibagian bab ini menjelaskan bahwa Usaha Pertambangan terbagia atas 2 yaitu
Mineral dan Batu Bara, meliputi IUP, IPR, dan IUPK
BAB VII IZIN USAHA PERTAMBANGAN
- Pada bab ini menjelaskan mengenai segala hal yang berhubungan dengan IUP,
dimana ada IUP Ekplorasi dan IUP Operasi Produksi
BAB VIII PERSYARATAN PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN
- Pada bab ini menjelaskan segala hal mengenai syarat sah perizinan usaha
pertambangan dimana Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya berkewajiban mengumumkan rencana kegiatan usaha pertambangan di
WIUP
BAB IX IZIN PERTAMBANGAN RAKYAT
- Pada bab ini menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan IPR, dimana ada
pertambangan mineral logam, miniral non logam, batuan dan batubara
BAB X IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS
- Pada bab ini menjelaskan mengenai IUPK, dan juga IUPK diberikan kepada menteri
mengingat kepentingan daerah
BAB XI PERSYARATAN PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS
- Pada bab ini menjelaskan mengenai hal-hal yang harus dipenuhi dalam melakukan
IUPK, syarat ini hampir sama dengan syarat perizinan IUP.
BAB XII DATA PERTAMBANGAN
- Pada bab ini menjelaskan mengenai analisis data pertambangan, dan bertujuan Untuk
menunjang penyiapan WP dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
pertambangan, Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya dapat menugasi
lembaga riset negara dan/atau daerah untuk melakukan penyelidikan dan penelitian
tentang pertambangan
BAB XIII HAK DAN KEWAJIBAN
- Pada bab ini menjelaskan mengenai hak dan kewajiban seputar pihak-pihak dalam
IUP, IPR, dan IUPK
BAB XIV PENGHENTIAN SEMENTARA KEGIATAN IZIN USAHA
PERTAMBANGAN DAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS
- Pada bab ini menjelaskan tentang mekanisme penghentian sementara kegiatan IUP
dan IUPK
BAB XV BERAKHIRNYA IZIN USAHA PERTAMBANGAN DAN IZIN USAHA
PERTAMBANGAN KHUSUS
- Pada bab ini menjelaskan tentang disaat kapan suatu IUP dan IUPK berakhir
BAB XVI USAHA JASA PERTAMBANGAN
- Pada bab ini menjelaskan mengenai usaha jasa pertambangan
BAB XVII PENDAPATAN NEGARA DAN DAERAH
- Pada bab ini menjelaskan tentang pendapatan negara dan daerah yang sumbernya dari
pertambangan dan juga menjalaskan pembagian pendapatan negara dan daerah dalam
tanda kutip
BAB XVIII PENGGUNAAN TANAH UNTUK KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN
- Pada bab ini menjelaskan tentang kecocokan tanah pertambangan atau pengelolaan
tanah di wilayah pertambangan dan juga pemanfaatan ulang tanah.
BAB XIX PEMBINAAN, PENGAWASAN, DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT
- Pada bab ini menjelaskan tentang bagaimana pembinaan dan pengawasan
perlindungan masyarakat yang berhubungan dengan pertambangan
BAB XX PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SERTA PENDIDIKAN DAN
PELATIHAN
- Pada bab ini menjelaskan mengenai penelitian dan pengembangan serta pendidikan
dan pelatihan mengenai pertambangan mineral dan batubara
BAB XXI PENYIDIKAN
BAB XXII SANKSI ADMINISTRATIF
BAB XXIII KETENTUAN PIDANA
BAB XXIV KETENTUAN LAIN-LAIN
BAB XXV KETENTUAN PERALIHAN
BAB XXVI KETENTUAN PENUTUP

A. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara


mengandung pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
1. Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh negara
dan pengembangan derta pendayagunaannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah
daerah bersama dengan pelaku usaha;
2. Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan
hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk melakukan
pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah,
diberikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya
masing-masing;
3. Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan
pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan pemerintah dan pemerintah daerah;
4. Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besar
bagi kesejahteraan rakyat Indonesia;
5. Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong
kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kesil dan menengah serta mendorong tumbuhnya
industri penunjang pertambangan; dan
6. Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan
lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat.
Beberapa hal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang membedakannya
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 adalah sebagai berikut:
1. Penguasaan bahan galian
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 menyatakan bahwa penguasaan bahan galian
diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Untuk kepentingan strategis
nasional, maka Pemerintah dengan persetujuan DPR menetapkan Wilayah Pencadangan
Negara (WPN) untuk mineral dan batubara. Undang-Undang ini juga mengutamakan
kebutuhan mineral dan batubara dalam negeri. Data dan informasi adalah milik Pemerintah
Daerah serta pengelolaan dilaksanakan oleh Pemerintah dan daerah.
Sedangkan Undang-Undang sebelumnya hanya mengatur bahwa penguasaan bahan galian
diselenggarakan oleh Pemerintah.
2. Kewenangan Pengelolaan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
mengatur bahwa Pemerintah Pusat memegang kewenangan kebijakan dan pengelolaan
nasional, Pemerintah Provinsi memegang kewenangan kebijakan dan pengelolaan regional
sedangkan Kabupaten/Kota memegang kewenangan kebijakan dan pengelolaan lokal.
Sedangkan Undang-Undang sebelumnya mengatur bahwa kebijakan dan kepentingan
pengelolaan bersifat nasional.
3. Pengusahaan dan Penggolongan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
Penggolongan mineral dan batubara dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara terdiri dari mineral radioaktif, mineral logam, mineral
bukan logam dan batuan, dan batubara, sedangkan dalam Undang-Undang sebelumnya bahan
galian digolongkan ke dalam, bahan galian strategis, vital, non strategis dan non vital.
4. Perizinan
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
Perijinan terdiri dari Izin Usaha pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan
Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), sedangkan dalam Undang-Undang sebelumnya,
perizinan dan perjanjian berupa penugasan, Kuasa Pertambangan, Surat Ijin Pertambangan
Daerah, Surat Izin Pertambangan Rakyat, Kontrak Karya (KK)/ Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
5. Tata cara Perizinan
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
perizinan dilakukan dengan lelang untuk mineral logam dan batubara, sedangkan untuk
mineral bukan logam dan batuan perijinan dilakukan dengan permohonan wilayah. Dalam
Undang-Undang sebelumnya tata cara perizinan dilakukan dengan permohonan.
6. Kewajiban Pelaku Usaha
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
Pelaku usaha memiliki kewajiban dalam bidang keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-udangan, pajak, PNBP, dan bagi hasil dari keuntungan bersih sejak berproduksi
untuk IUPK, dari sisi lingkungan harus memiliki syarat reklamasi/pasca tambang, kewajiban
pengembangan masyarakat, kewajiban penggunaan teknik pertambangan, kewajiban untuk
memberikan nilai tambah, kewajiban untuk membuat data dan pelaporan, dan kewajiban
untuk melaksanakan kemitraan dan bagi hasil.
Sedangkan dalam Undang-Undang sebelumnya kewajiban pelaku usaha perizinan terkait
dengan keuangan dimana untuk Kuasa Pertambangan (KP) sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan KK/PKP2B tetap pada saat kontrak ditandatangani, lingkungan,
kemitraan, nilai, tambah, data dan pelaporan.
7. Penggunaan Lahan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
memberikan pembatasan tanah yang dapat diusahakan dan sebelum memasuki tahap operasi
produksi pemegang IUP/IUPK wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak.
Sedangkan dalam Undang-Undang sebelumnya dalam penggunaan lahan dilakukan
pembatasan tanah yang dapat diusahakan.
8. Pelaku Usaha
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
pelaku usaha pertambangan mineral dan batubara adalah pemerintah (untuk bahan
radioaktif), badan usaha, koperasi, dan perorangan, sedangkan dalam Undang-
Undangsebelumnya pelaku usaha merupakan investor domestik (KP, Surat Izin
Pertambangan daerah (SIPD), PKP2B) dan investor asing (KK, PKP2B).
9. Jangka Waktu
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
jangka waktu eksplorasi dan eksploitasi diatur sebagai berikut:
a. IUP Eksplorasi mineral logam (8 tahun) terdiri dari Penyelidikan umum (1 tahun),
Eksplorasi (3 tahun + 2x1 tahun) dan studi kelayakan (1+1 tahun);
b. IUP Eksplorasi Batubara (7 tahun) terdiri dari Penyelidikan Umum (1 tahun), Eksplorasi
(2 tahun + 2x1 tahun) dan Studi Kelayakam (2 tahun);
c. IUP Operasi Produksi mineral dan Batubara (20 tahun + 2 x 10 tahun) terdiri dari
konstrulsi (3 tahun) dan kegiatan penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan
dan penjualan (20 tahun). Sedangkan dalam Undang-Undang sebelumnya, KP/KK/PKP2B
Penyelidikan Umum (1+1Tahun), KP/KK/PKP2B Eksplorasi (3Tahun + 2 x 1 Tahun),
KK/PKP2B Studi Kelayakan (1 + 1Tahun), KK/PKP2B Konstruksi (3 Tahun),
KP/KK/PKP2B Operasi Produksi/Eksplotasi termasuk pengolahan dan pemurnian serta
pemasaran (30 Tahun + 2 x 10 tahun).
10. Pengembangan Wilayah dan Masyarakat
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
Pengembangan wilayah dan masyarakat merupakan kewajiban keharusan yang dipenuhi oleh
pemegang IUP, sedangkan Undang-Undang sebelumnya tidak diatur.
11. Pembinaan dan pengawasan
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
pembinaan dan pengawasan terhadap pemegang IUP dan IUPK dilakukan oleh menteri,
gubernur, bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya, sedangkan untuk IPR merupakan
tugas Bupati/walikota. Dalam Undang-Undang sebelumnya pembinaan dan pengawasan
sifatnya terpusat.
12. Penyidikan
Setelah pada peraturan sebelumnya tidak diatur, maka Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menggunakan penyidik polri dan PPNS.
13. Ketentuan Pidana
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
ketentuan pidana diatur sesuai dengan situasi dan kondisi dengan sanksi yang cukup keras.
Apabila pidana dilakukan oleh badan Hukum maka sanksi dan denda ditambah 1/3. Dalam
Undang-Undang sebelumnya ketentuan pidana diatur tetapi aturan tersebut sudah tidak sesuai
lagi dengan situsi dan kondisi saat ini, sedangkan sanksi pidana /kurungan sangat lunak.
B. Kelemahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara
1. Batasan luasan minimal wilayah eksplorasi
Pasal 52 ayat (1) : Pemegang IUP Eksplorasi mineral logam diberi WIUP dengan luas
paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare.
Pasal 55 ayat (1) :Pemegang IUP Eksplorasi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas
paling sedikit 500 (lima ratus) hektare dan paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu)
hektare. Pasal 58 ayat (1) : (1) Pemegang IUP Eksplorasi batuan diberi WIUP dengan luas
paling sedikit 5 (lima) hektare dan paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare. Pasal 61 ayat
(1) :Pemegang IUP Eksplorasi Batubara diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5.000 (lima
ribu) hektare dan paling banyak 50.000(lima puluh ribu) hektar. Pembatasan luasan wilayah
minimal untuk eksplorasi yang terdapat dalam Pasal 52 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 58
ayat (1) dan pasal 61 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2009 berpotensi menghambat persaingan
usaha yang sehat dengan menciptakan hambatan masuk ke dalam industri pertambangan
mineral dan batubara. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang batasan minimal dan maksimal
untuk IUP Eksplorasi yang dibedakan antara mineral logam, mineral non logam, batuan dan
batubara. Di lapangan tim menemukan bahwa ketentuan untuk luas wilayah minimal tidak
memperhatikan kondisi geologis dan potensi cadangan mineral di tiap-tiap daerah di seluruh
wilayah Indonesia dengan cermat. Sebagai contoh adalah daerah Belitung dan Berau yang
mempunyai wilayah-wilayah pertambangan dengan luasan di bawah 5000 hektar.
Pembatasan tersebut dikhawatirkan akan membuat wilayah yang sebenarnya mempunyai
potensi cadangan mineral menjadi tidak dapat diusahakan. Selain menjadi hambatan
bagi pelaku usaha, batas bawah ini juga menimbulkan permasalahan bagi daerah penghasil
tambang yang luas wilayah administratifnya terbatas. Akibatnya, daerah kesulitan dalam
pemberian izin usaha pertambangan tersebut, sehingga wilayah potensial menjadi tidak
dapat diusahakan dengan adanya ketentuan ini. Penetapan luasan minimum yang tidak
memperhatikan karakteristik daerah penghasil tambang di Indonesia sebagai sebuah negara
kepulauan pada akhirnya juga berpotensi menimbulkan high cost economy, yang menghalangi
pelaku usaha tertentu.

2. Kewajiban Divestasi Setelah 5 (Lima) Tahun Operasi Produksi


Pasal 112 ayat (1) : Setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha pemegang IUP
dan IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada
Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau
badan usaha swasta nasional.
Kewajiban divestasi setelah 5 (lima) tahun operasi produksi sebagaimana tercantum
pada pasal 112 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2009 juga termasuk kebijakan yang berpotensi
memberikan hambatan persaingan. Pencantuman divestasi saham hanya berlaku apabila
sahamnya dimiliki oleh asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan tentang dive stasi seharusnya memperhatikan jenis usaha tambang, karena
masingmasing jenis usaha tambang memiliki waktu yang berbeda-beda untuk mencapai
Break Event Point (BEP). Hal tersebut juga terkait dengan keuntungan yang hendak dicapai
oleh pelaku usaha.
UU Minerba masih belum mengatur secara jelas mengenai divestasi. Penyusunan
mengenai ketentuan-ketentuan divestasi tersebut harus dilakukan secara matang untuk
menghindari munculnya hambatan bagi pelaku usaha asing untuk menanamkan
investasinya di pertambangan mineral dan batubara di Indonesia. Keresahan yang muncul di
sebagian kalangan pelaku usaha pertambangan mineral dan batubara, adalah
ketidakjelasan dalam ketentuan divestasi akan mengakibatkan ketidakpastian mereka
dalam membuat keputusan melakukan investasi.

3. Regulasi tidak bersifat netral terhadap persaingan usaha


Suatu regulasi dapat bersifat netral terhadap persaingan usaha apabila didasari
dengan alasan-alasan yang dapat diterima untuk mencapai suatu tujuan bersama. Seperti
halnya UU Minerba yang mempunyai tujuan-tujuan sebagaimana tercantum di dalam
Pasal 3 UU No. 4 Tahun 2009 (sebagaimana telah dituliskan pada paragraf 2 bagian analisa
kebijakan dari paper ini). Dari analisa pasal-pasal dalam UU Minerba ditemukan beberapa
kebijakan yang bersifat netral terhadap persaingan usaha, yaitu mengenai kewenangan
pemerintah untuk menetapkan jumlah produksi tiap-tiap komoditas per tahun setiap provinsi;
Prioritas kepada BUMN dan BUMD untuk Wilayah Izin Usaha pertambangan Khusus;
Kewajiban menggunakan perusahaan jasa pertambangan lokal dan/atau nasional; larangan
menggunakan perusahaan afiliasi; dan batasan luasan wilayah maksimal operasi pertambangan.
4. Kewenangan pemerintah untuk menetapkan jumlah produksi tiap-tiap komoditas per
tahun setiap provinsi
Pasal 5 ayat (3) : ”Dalam melaksanakan pengendalian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Pemerintah mempunyai kewenangan untuk menetapkan jumlah produksi tiap-tiap
komoditas per tahun setiap provinsi”
Bagi pelaku usaha, kebijakan penetapan besaran produksi tersebut dapat berakibat pada
pembatasan terhadap pelaku usaha dalam berproduksi, terkait dengan strategi perusahaan untuk
melakukan produksi dan kontrak-kontrak yang telah dibuat oleh perusahaan tersebut
sebelum dikeluarkannya kebijakan tersebut. Sebagian kalangan berpendapat bahwa
kebijakan tersebut tidak memperhatikan economies of scale dan economies of scope dari
pelaku usaha, sehingga akan menimbulkan hambatan masuk bagi pelaku usaha yang sebenarnya
potensial untuk mengembangkan industri pertambangan mineral dan batubara. Akan tetapi
kebijakan ini menjadi bersifat netral terhadap persaingan karena mempunyai tujuan untuk
menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber
energi untuk kebutuhan dalam negeri.

5. Prioritas kepada BUMN dan BUMD, Kewajiban menggunakan perusahaan


lokal dan/atau nasional, dan larangan menggunakan perusahaan afiliasi
Pasal 75 Ayat (3) : Badan Usaha milik negara dan badan usaha milik dareah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK.
Kebijakan terkait dengan prioritas lepada BUMN dan BUMD tersebut menyebutkan
bahwa untuk mendapatkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK)
mineral/unsur logam dan batubara diselenggarakan dengan cara priorotas atau lelang.
Prioritas diberikan lepada BUMN dan BUMD dengan mekanisme first come forst serve.
Apabila tidak ada yang berminat maka WIUPK tersebut akan ditawarkan kepada badan
usaha swasta yang bergerak di bidang pertambangan dengan cara lelang. Dari satu sisi,
kebijakan prioritas ini tidak memberikan kesempatan yang sama kepada perusahaan-perusahaan
pertambangan.
Pasal 124 Ayat (1) : Pemegang IUP dan IUPK wajib menggunakan perusahaan jasa
pertambangan lokal dan/atau nasional
Pasal 124 Ayat (2) “ Dalam hal tidak terdapat perusahaan jasa
pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang IUP atau IUPK dapat
menggunakan perusahaan jasa pertambangan lain yang berbada hukum Indonesia.
Sebagian kalangan berpendapat bahwa UU Minerba masih belum memberikan
definisi yang jelas tentang definisi dari perusahaan lokal dan/atau nasional. Ketidakjelasan
definisi tersebut dapat memberikan entry barrier bagi beberapa pelaku usaha yang
sebenarnya mempunyai kompetensi lebih baik.
Pasal 126 Ayat (1) : Pemegang IUP atau IUPK dilarang melibatkan anak perusahaan
dan/atau afiliasinya dalam bidang usaha jasa pertambangan yang diusahakannya , kecuali
dengan izin Menteri.
Pemberian izin Menteri dapat dilakukan jika tidak terdapat perusahaan jasa
pertmabangan sejenis di wilayah tersebut atau tidak ada perusahaan yang berminat/mampu.
Selama peraturan pelaksana untuk larangan menggunakan perusahaan afiliasi ini belum ada
maka mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan No. 1 99/PMK/0 10/2008 bahwa afiliasi
adalah hubungan di antara pihak dimana salah satu pihak secara langsung atau tidak langsung
mengendalikan, dikendalikan, atau di bawah pengendalian pihak lain. Pengecualian juga
akan dilakukan dengan syarat bahwa azas transparansi dan akuntabilitas serta fairness
diterapkan sehingga negara tidak dirugikan dan peluang lapangan pekerjaan (utamanya di
daerah) tetap terbuka lebar.
Kebijakan prioritas kepada BUMN dan BUMD, kewajiban menggunakan perusahaan lokal
dan/atau nasional, dan larangan menggunakan perusahaan afiliasi di satu sisi memberikan
hambatan masuk kepada beberapa pelaku usaha ke dalam industri pertambangan mineral dan
batubara. Di sisi lain kebijakan tersebut dimaksudkan untuk mendukung dan
menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional,
regional, dan internasional.

6. Batasan Wilayah wilayah maksimal operasi pertambangan


Pasal 53 : Pemegang IUP Operasi produksi mineral logam diberi WIUP dengan
luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare. Pasal 56 : Pemegang IUP Operasi
produksi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 5.000 (lima ribu)
hektare. Pasal 59 : Pemegang IUP Operasi produksi batuan diberi WIUP dengan luas
paling banyak 1.000 (seribu) hektare. Pasal 62 : Pemegang IUP Operasi produksi
batubara diberi WIUP dengan luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare.
Peraturan yang tidak menetapkan batas bawah untuk luasan wilayah operasi
pertambangan ini memungkinkan lahan yang sempit namun mempunyai cadangan yang
ekonomis untuk diusahakan dapat tetap ditambang. Di satu sisi, pembatasan luas lahan yang
dapat diusahakan dapat diartikan sebagai pembatasan bagi perusahaan untuk menjadi besar,
akan tetapi di sisi lain kebijakan tersebut bertujuan sebagai pencegahan monopoli lahan dan
pemeliharaan lingkungan hidup. Pembenaran ini sesuai dengan salah satu tujuan UU Minerba,
yaitu menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan hidup sesuai dengan asas yang secara terencana mengintegrasikan
dimesi ekonomi, lingkungan, sosial dan budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan
mineral dan batubara untuk mewujudkan kesejahteraan masa kini dan mendatang.

C. Kelebihan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral


dan Batubara
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
telah memberikan kepastian hukum karena:
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
berkembang, seperti demokratisasi, HAM dan lingkungan hidup sehingga sudah tidak
bertentangan dengan Undang-Undang yang ada, antara lain dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerah;
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
telah mengatur distribusi kewenangan yang jelas antara penyelenggaraan kebijakan
pertambangan umum. Di samping itu juga terdapat mekanisme pemberian sanksi
terhadap pelaku pelanggaran;
3. Pemerintah juga dapat menetapkan prioritas nasional seperti Domestic Market
Obligation (DMO), nilai tambah hasil tambang, Pemerintah divestasi, dan lain-lain;
4. Bagi pengusaha telah diatur secara mekanisme pengusahaan mulai dari sistem
pelelangan, luas wilayah, jangka waktu, dan lain-lain;
5. Masyarakat di sekitar tambang juga dilindungi hak-haknya mulai dari kewajiban
pengembangan masyarakat dan perlindungan lingkungan.
PERATURAN PEMERINTAH

PP NO. 22 TAHUN 2010

Peraturan Pemerintah No 22 Tahun 2010 (PP 22/2010) tentang Wilayah


Pertambangan telah ditetapkan pada tanggal 1 Februari 2010 sebagai pelaksanaan ketentuan
pasal 12, 19, 25, 33 dan 89 Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara. Wilayah Pertambangan (WP) merupakan kawasan yang memiliki potensi
mineral dan/atau batubara yang terletak di permukaan tanah maupun di bawah tanah, dalam
wilayah daratan atau laut untuk kegiatan pertarnbangan yang memiliki kriteria adanya
indikasi formasi pembawa mineral dan/atau batubara serta berpotensi sumber daya tambang.
Penyiapan WP dilakukan dalam 2 kegiatan yaitu : Perencanaan WP dan Penetapan WP.
Perencanaan WP dilakukan melalui tahapan: inventarisasi potensi pertambangan dan
penyusunan rencana WP. Inventarisasi ditujukan untuk mengumpulkan data dan informasi
potensi pertambangan sebagai dasar penyusunan rencana penetapan WP yang dilakukan
melalui kegiatan penyelidikan dan penelitian pertambangan.

Data dan informasi hasil penyelidikan dan penelitian pertambangan yang dilakukan
oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (selanjutnya akan disebut Menteri), gubernur,
bupati/walikota dan lembaga riset wajib diolah menjadi peta potensi mineral dan/atau
batubara dan harus dilaporkan ke Menteri untuk dilakukan evaluasi oleh Menteri sebagai
bahan penyusunan rencana WP. Rencana WP ditetapkan oleh Menteri menjadi WP setelah
berkoordinasi dengan gubernur, bupati/walikota dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) yang dapat ditinjau kembali satu kali dalam 5 tahun. Gubernur atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat mengusulkan perubahan WP kepada
Menteri berdasarkan hasil penyelidikan dan penelitian. WP dapat terdiri atas : Wilayah Usaha
Pertambangan (WUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), dan/atau Wilayah
Pencadangan Negara (WPN).WUP ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan
gubernur dan bupati/walikota setempat. Khusus penetapan WUP pertambangan mineral
bukan logam dan batuan dapat dilimpahkan kepada gubernur. Untuk menetapkan WUP,
Menteri dan gubernur dapat melakukan eksplorasi untuk memperoleh data dan informasi
yang berupa: peta, yang terdiri atas peta geologi dan peta formasi batuan pembawa dan/atau
peta geokimia dan peta geofisika serta perkiraan sumber daya dan cadangan. WUP dapat
terdiri atas : Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) radioaktif, WIUP mineral logam,
WIUP batubara, WIUP mineral bukan logam, dan/atau WIUP batuan.WIUP mineral logam
dan/atau batubara ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan gubernur dan
bupati/walikota setempat. Untuk WIUP mineral bukan logam dan/atau batuan ditetapkan oleh
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan
permohonan dari badan usaha, koperasi, atau perseorangan. Rencana penetapan wilayah di
dalam WP ini ditetapkan menjadi Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) oleh bupati/walikota
setempat setelah berkoordinasi dengan pemerintah provinsi dan berkonsultasi dengan DPRD
Kabupaten/Kota. Penetapan WPR disampaikan secara tertulis oleh bupati/walikota kepada
Menteri dan gubernur.Untuk kepentingan strategis nasional, Menteri menetapkan Wilayah
Pencadangan Negara (WPN) setelah mendapat persetujuan DPR. Menteri menyusun rencana
penetapan suatu wilayah di dalam WP menjadi WPN berdasarkan peta potensi mineral
dan/atau batubara serta peta potensi cadangan mineral dan/atau batubara. Wilayah di dalam
WP yang memenuhi kriteria ditetapkan menjadi WPN oleh Menteri setelah memperhatikan
aspirasi daerah dan mendapat persetujuan dari DPR. WPN yang ditetapkan untuk komoditas
tertentu antara lain tembaga, timah, emas, besi, nikel, bauksit dan batubara dapat diusahakan
sebagian luas wilayahnya setelah berubah statusnya menjadi Wilayah Usaha Pertambangan
Khusus (WUPK) dengan persetujuan dari DPR berdasarkan usulan Menteri.Untuk
menetapkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) dalam suatu WUPK harus
memenuhi kriteria: letak geografis, kaidah konservasi, daya dukung lingkungan, optimalisasi
sumber daya mineral logam dan/atau batubara, dan tingkat kepadatan penduduk. Peta zonasi
untuk WIUP Eksplorasi dan WIUPK Eksplorasi pada kawasan lindung dapat di-delineasi
menjadi peta zonasi WIUP Operasi Produksi atau WIUPK Operasi Produksi. Delineasi zonasi
dilakukan berdasarkan hasil kajian kelayakan dan memperhatikan keseimbangan antara biaya
dan manfaat serta antara resiko dan manfaat dalam konversi kawasan lindung. Keseimbangan
antara biaya dan manfaat dan antara resiko dan manfaat dilakukan dengan memperhitungkan
paling sedikit mengenai reklamasi, pascatambang, teknologi, program pengembangan
masyarakat yang berkelanjutan, dan pengelolaan lingkungan.Pemerintah, pemerintah
provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota wajib mengelola data dan informasi kegiatan usaha
pertambangan sesuai dengan kewenangannya. Pemerintah provinsi atau pemerintah
kabupaten/kota wajib menyampaikan data dan inforrnasi usaha pertambangan kepada
Pemerintah yang merupakan milik negara dan dikelola oleh Menteri. WP dikelola oleh
Menteri dalam suatu sistem informasi WP yang terintegrasi secara nasional untuk melakukan
penyeragaman mengenai sistem koordinat dan peta dasar dalam penerbitan WUP, WIUP,
WPR, WPN, WUPK, dan WIUPK yang harus dapat diakses juga oleh pemerintah provinsi
dan pemerintah kabupaten/kota dengan menggunakan sistem koordinat Datum Geodesi
Nasional.Ketentuan peralihan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini sebagai berikut :

1. Instansi Pemerintah pusat, provinsi, atau kabupaten/kota wajib menyesuaikan dengan


sistem koordinat peta berdasarkan Datum Geodesi Nasional dalam jangka waktu
paling lama 6 bulan.
2. Wilayah Surat Izin Pertambangan Daerah atau Kuasa Pertambangan yang telah
diberikan sebelum diterbitkan PP ini dalam jangka waktu paling lambat 3 bulan sejak
berlakunya PP ini harus ditetapkan menjadi WIUP dalam WUP.
3. Wilayah KK dan PKP2B yang telah diberikan sebelum diterbitkannya PP ini dalam
jangka waktu paling lambat 3 bulan sejak berlakunya PP ini harus ditetapkan dalarn
WUP.

PP NO. 23 TAHUN 2010


Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara. Setidaknya, ada dua alasan diterbitkannya PP tersebut.
Pertama, sebagai pelaksanaan peningkatan nilai tambah mineral logam melalui
kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral logam sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor
4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pemerintah terus berupaya mendorong
terwujudnya pembangunan fasilitas pemurnian didalam negeri.
Kedua, untuk memberikan manfaat yang optimal bagi negara serta memberikan
kepastian hukum dan kepastian berusaha bagi pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK
Operasi Produksi, Kontrak Karya, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.

PP NOMOR 24 TAHUN 2012

Tentang perubahan atas peraturan pemerintah nomor 23 tahun 2010 tentang


pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara

Dalam rangka pembangunan nasional khususnya pembangunan industri dalam negeri,


perlu ditunjang ketersediaan mineral bukan logam dan batuan melalui penataan kembali
dalam pemberian Izin Usaha Pertambangan. Selain itu dalam rangka keberpihakan kepada
peserta Indonesia untuk lebih berpartisipasi di bidang pengusahaan pertambangan dan
batubara, perlu mewajibkan modal asing untuk mengalihkan sebagian sahamnya kepada
peserta Indonesia dan mengatur lebih jelas ketentuan mengenai pengalihan
saham.Selanjutnya dalam rangka memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha bagi
pemegang kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara untuk
memperoleh perpanjangan pertama dan/atau kedua, perlu diatur secara khusus pemberian
perpanjangan kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara dalam
bentuk Izin Usaha Pertambangan perpanjangan, dengan mengatur tata cara permohonan Izin
Usaha Pertambangan perpanjangan dimaksud yang meliputi pejabat yang berwenang
menerbitkan Izin Usaha Pertambangan perpanjangan, batas jangka waktu pengajuan
permohonan Izin Usaha Pertambangan perpanjangan, dan persyaratan permohonan Izin
Usaha Pertambangan perpanjangan.Berdasarkan pertimbangan di atas, perlu mengubah
beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

PP NO. 8 TAHUN 2018

Perubahan Ke Lima atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

PP NO 1 TAHUN 2017

Perubahan Ke Empat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

PP NO. 77 TAHUN 2014

Perubahan Ke Tiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

PP NO.24 TAHUN 2012

Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

PP NO. 9 TAHUN 2012

Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral
PP NO. 78 TAHUN 2010

Reklamasi dan Pasca Tambang

PP NO. 55 TAHUN 2010

Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan


Batubara
PERATURAN MENTERI

Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2018

Menteri ESDM, Ignasisus Jonan, mengesahkan peraturan menteri energi dan


sumberdaya mineral no. 26 tahun 2018, yang terdiri dari 9 bab yang mengatur berbagai
macam hal terkait dengan pertambangan. Pada bab 2 regulasi ini mengatur tentang
pelaksanaan kaidah teknik pertambangan yang baik, terdapat 6 bagain di mana terdapat
bagian ketiga yang berjudul “Pengelolaan Keselamatan Pertambangan dan Keselamatan
Pengolahan dan atau Pemurnian Mineral dan Batubara”. Pada bagian ketiga, terdapat 3
paragraf terkait dengan keselamatan dan kesehatan kerja yang terdiri dari 6 pasal.

Peraturan Menteri ESDM No. 24 Tahun 2012


Peraturan Menteri ESDM No. 24 Tahun 2012 yang mengatur penyelenggaraan usaha
jasa pertambangan mineral dan batubara (minerba) dinilai lebih jelas dibanding regulasi yang
diterbitkan Menteri ESDM pada 2009.

Permen 24 bertujuan meminimalisasi sengketa perusahaan tambang dengan penyedia


usaha jasa pertambangan. Selama tiga tahun Permen No. 28 Tahun 2009 berlaku, peraturan
yang digantikan Permen 24, ternyata banyak muncul perbedaan persepsi mengenai usaha jasa
pertambangan minerba. Salah satu bukti perbedaan persepsi itu adalah judicial review UU
No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) ke MK. Saat ini permohonan
judicial review ini masih diproses.

Permen 24 telah memuat pasal khusus tentang keterlibatan masyarakat dalam usaha
jasa pertambangan, terutama tata kelola mineral timah. Selain itu, pengaturan mengenai
penggunaan alat berat juga diperjelas. Karena itu, Nur yakin Permen 24 lebih memudahkan
masyarakat menjalankan usaha tambang mereka.

PERMEN ESDM NO.22 TAHUN 2018


Perubahan atas Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor 11 Tahun 2018
tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan dan Pelaporan pada Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara
PERMEN ESDM NO.11 TAHUN 2018
Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan dan Pelaporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara

PERMEN ESDM NO. 7 TAHUN 2017


Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batubara

PERMEN ESDM NO. 10 TAHUN 2014


Tata Cara Penyediaan dan Penetapan Harga Batubara untuk Pembangkit Listrik Mulut
Tambang

PERMEN ESDM NO.6 TAHUN 2017

1. Mineral ke luar negeri merupakan persyaratan untuk mendapatkan persetujuan ekspor.


2. Permohonan Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh pemegang IUPK
Operasi Produksi Mineral Logam, IUP Operasi Produksi Mineral Logam, dan IUP Operasi
Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian harus dilengkapi persyaratan, antara
lain: a. Pakta integritas untuk melakukan pembangunan fasilitas pemurnian di dalam negeri
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ESDM No.6/2017; b. Salinan sertifikat Clear and Clean (CnC) bagi
pemegang IUP Operasi Produksi Mineral Logam; c. Report of Analysis (RoA) atau
Certificate of Analysis (CoA) produk Mineral Logam yang telah memenuhi batasan
minimum Pengolahan yang diterbitkan 1 (satu) bulan terakhir dari surveyor independen yang
ditunjuk oleh Menteri; d. Surat keterangan pelunasan kewajiban pembayaran Penerimaan
Negara Bukan Pajak selama 1 (satu) tahun terakhir yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal
Mineral dan Batubara; e. Rencana pembangunan fasilitas Pemurnian di dalam negeri yang
telah diverifikasi oleh Verifikator Independen, antara lain jadwal pembangunan fasilitas
pemurnian, nilai investasi, dan kapasitas input per tahun; f. Rencana kerja dan anggaran biaya
tahun berjalan yang telah disetujui oleh Menteri atau gubernur sesuai dengan
kewenangannya; g. Laporan hasil verifikasi kemajuan fisik dari Verifikator Independen bagi
pemegang IUPK Operasi Produksi Mineral Logam, IUP Operasi Produksi Mineral Logam,
dan IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian yang telah atau
sedang melaksanakan pembangunan fasilitas Pemurnian; h. Rencana penjualan ke luar negeri
yang memuat, antara lain jenis dan jumlah Mineral Logam yang telah memenuhi batasan
minimum Pengolahan/nikel dengan kadar <1,7%, bauksit yang telah dilakukan pencucian
(washed bauxite) dengan kadar Al2O3 >42%, nomor Pos Tarif/HS (Harmonized System),
pelabuhan muat, pelabuhan bongkar, dan negara tujuan.

3. Rekomendasi ekspor diberikan untuk menentukan; a. Jenis dan mutu produk sesuai batasan
minimum pengolahan. b. Jumlah tertentu yang dapat diekspor berdasarkan: estimasi
cadangan atau jaminan pasokan bahan baku untuk memenuhi kebutuhan fasilitas pemurnian;
jumlah penjualan ke luar negeri dalam persetujuan rencana kerja dan anggaran biaya tahun
berjalan; kapasitas input fasilitas pemurnian; dan kemajuan fisik pembangunan fasilitas
pemurnian, persetujuan dan penolakan rekomendasi ekspor diberikan paling lambat 14 hari
kerja.
TARIF BEA/ ROYALTY IURAN BARANG TAMBANG

Kementerian Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 75


Tahun 2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea
Keluar. Aturan ini sebagai tindak lanjut dari Permen ESDM No. 7 Tahun 2012 tentang
Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral
serta Permendag No. 29 Tahun 2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Bambang Brodjonegoro mengatakan, penetapan bea


keluar ini diberikan kepada 65 jenis barang hasil tambang untuk membenahi data ekspor yang
selama ini dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). “Sejauh ini pemerintah menilai
data ekspor mineral mentah di BPS masih jauh dari angka yang sebenarnya,”. Bambang
menjelaskan, hingga saat ini data ekspor yang tercatat di BPS tidak sesuai dengan data impor
yang tercatat di negara tetangga penerima ekspor mineral. Dia mengatakan, tak menutup
kemungkinan telah terjadi kebocoran eskpor mineral yang luput dari pengawasan pihak bea
dan cukai. Hal ini menjadi persoalan tersendiri yang harus diperbaiki.

Sebelum adanya pemberlakuan bea keluar ini, bahwa eksportir mineral hanya
berkewajiban melaporkan kegiatan ekspornya ke Ditjen Bea dan Cukai tanpa adanya
pengecekan harga dan volume hasil mineral terlebih dahulu. Kemungkinan terjadinya
kebocoran ekspor tambang mineral sangatlah besar.

Untuk itu, penetapan bea keluar dinilai tepat untuk menertibkan kegiatan ekspor di
Indonesia serta mengoptimalkan dan menjaga penerimaan negara. Penetapan bea keluar ini
hanya berlaku bagi 65 jenis hasil tambang berupa 21 logam, 10 non logam dan 34 batu-
batuan. “Bea keluar ini sifatnya flat bagi 65 jenis hasil tambang, yaitu 20 persen dari Harga
Patokan Ekspor (HPE) yang akan ditetapkan secara berkala,” ujarnya. Sementara itu, bagi
eksportir yang ingin melakukan aktivitas ekspor tambang mineral mentah, setiap eksportir
harus terdaftar di Kemendag dan mendapatkan rekomendasi dari Kementerian ESDM terlebih
dahulu. Isi rekomendasi itu berupa ketentuan yang telah ditentukan oleh Kementerian ESDM
beberapa saat lalu, salah satunya adalah bukti clean and clear. Tujuannya, lanjut Bambang,
agar tidak terjadi tumpang tindih dengan eksportir lain. Masing-masing eksportir yang sudah
tedaftar, sambungnya, wajib melunasi royalty yang akan dikutip oleh Kementerian ESDM.
Namun, Bambang menegaskan penetapan bea cukai ini sebagai disinsentif ekspor bukan
sebagai penerimaan pajak. Penetapan bea cukai ini juga untuk menunjang pelaksanaan UU
No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba).

Terkait Permendag No. 29 Tahun 2012 yang diterbitkan beberapa waktu lalu oleh
Kemendag, Direktur Perdagangan Luar Negeri Kemendag Dedi Shaleh mengatakan, sudah
ada lima perusahaan tambang yang mendapatkan Eksportir Terdaftar Produk Pertambangan
(ET-Pertambangan). Tetapi jika lima perusahaan tersebut ingin mendapatkan izin ekspor
pertambangan, mereka harus mendapatkan surat bukti ekspor tambang mineral dari
Kementerian ESDM. Salah satu dari lima perusahaan itu adalah PT Antam Tbk. Sedangkan
yang lainnya adalah perusahaa swasta.

PEMBANGUNAN SMELTER

Sejak terbitnya Permen ESDM No. 7 Tahun 2012, sebanyak 126 perusahaan tambang
telah menyerahkan proposal perencanaan pembangunan smelter ke Kementerian ESDM.
Peningkatan jumlah perusahaan yang berniat untuk membangun smelter di Indonesia
merupakan salah satu hal positif yang harus disambut baik. Dirjen Mineral dan Batubara
Kementerian ESDM, Thamrin Sihite, mengatakan sejak disahkannya UU No. 4 Tahun 2009
tentang Minerba, yang mewajibkan setiap perusahaan tambang membangun smelter di
Indonesia, hanya tujuh perusahaan yang telah memenuhi hal tersebut. Melihat pergerakan
yang lamban dari para pengusaha pertambangan dan meningkatnya jumlah ekspor biji
mineral hingga 4000 persen, akhirnya Kementerian ESDM mengeluarkan peraturan
pelarangan ekspor. Namun, ia menegaskan bahwa keseluruhan proposal tersebut akan dikaji
ulang. Pasalnya, jika 126 proposal tersebut dikabulkan, maka akan terlalu banyak
pembangunan smelter di Indonesia. Ia khawatir penyerahan proposal ini hanya dijadikan alat
untuk dapat melakukan ekspor, sementara kesungguhannya dipertanyakan. Selain itu,
peningkatan jumlah proposal perencanaan pembangungan smelter ini juga tidak lepas dari
kebijakan pemerintah untuk menetapkan bea keluar bagi ekspor biji mineral sebesar 20
persen. Kebijakan ini pun dinilai sebagai salah satu alasan perusahaan tambang untuk
membangun smelter.
Penetapan bea keluar ini, tentunya akan memberikan dampak positif bagi penerimaan
negara. Pasalnya, hal ini menuntut perusahaan tambang untuk tidak melakukan ekspor biji
mineral. Melalui pengolahan dan pemurnian yang dilakukan di dalam negeri, akan
menaikkan penerimaan negara puluhan kali lipat dari penerimaan hasil ekspor biji mineral.
DJBC akan terus melakukan komunikasi yang intens dengan Kementerian ESDM dan
Kemendag untuk mengetahui secara akurat tentang aktivitas ekspor mineral di Indonesia.
Selain itu, pihaknya akan mengawasi kegiatan ekspor biji mineral agar semua pelaku usaha
dapat mematuhi semua kebijakan ini.

BAB XVI USAHA JASA PERTAMBANGAN

Pasal 124

(1) Pemegang IUP atau IUPK wajib menggunakan perusahaan jasa


pertambangan lokal dan/atau nasional.

(2) Dalam hal tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang IUP atau IUPK
dapat menggunakan perusahaan jasa pertambangan lain yang
berbadan hukum Indonesia.

(3) Jenis usaha jasa pertambangan meliputi:

a. konsultasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pengujian peralatan


di bidang:

1) penyelidikan umum;

2) eksplorasi;

3) studi kelayakan;

4) konstruksi pertambangan;

5) pengangkutan;

6) lingkungan pertambangan;

7) pascatambang dan reklarnasi; dan/atau

8) keselamatan dan kesehatan kerja.

b. konsultasi, perencanaan, dan pengujian peralatan di bidang:

1) penambangan; atau
2) pengolahan dan pemurnian.

Pasal 125

(1) Dalam hal pemegang IUP atau IUPK menggunakan jasa


pertambangan, tanggung jawab kegiatan usaha pertambangan tetap
dibebankan kepada pemegang IUP atau IUPK.

(2) Pelaksana usaha jasa pertambangan dapat berupa badan usaha,


koperasi, atau perseorangan sesuai dengan klasffikasi dan
kualifikasi yang telah ditetapkan oleh Menteri.

(3) Pelaku usaha jasa pertambangan wajib mengutamakan kontraktor


dan tenaga kerja lokal.

Pasal 126

(1) Pemegang IUP atau IUPK dilarang melibatkan anak perusahaan


dan/atau afiliasinya dalam bidang usaha jasa pertambangan di
wilayah usaha pertambangan yang diusahakannya, kecuali dengan
izin Menteri.

(2) Pemberian izin Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dilakukan apabila:

a. tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan sejenis di wilayah


tersebut; atau

b. tidak ada perusahaan jasa pertambangan yang berminat/mampu.

Pasal 127

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan usaha jasa


pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124, Pasal 125, dan
Pasal 126 diatur dengan peraturan menteri.
BAB XVII PENDAPATAN NEGARA DAN DAERAH

Pasal 128

(1) Pemegang IUP atau IUPK wajib membayar pendapatan negara dan
pendapatan daerah.

(2) Pendapatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak.

(3) Penerimaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:

a. pajak-pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah sesuai


dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan; dan

b. bea masuk dan cukai.

(4) Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat


(2) terdiri atas:

a. iuran tetap;

b. iuran eksplorasi;

c. iuran produksi; dan

d. kompensasi data informasi.

(5) Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. pajak daerah;

b. retribusi daerah; dan

c. pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan


perundang-undangan.

Pasal 129

(1) Pemegang IUPK Operasi Produksi untuk pertambangan mineral


logam dan batubara wajib membayar sebesar 4% (empat persen)
kepada Pemerintah dan 6% (enam persen) kepada pemerintah
daerah dari keuntungan bersih sejak berproduksi.

(2) Bagian pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


diatur sebagai berikut:

a. pemerintah provinsi mendapat bagian sebesar 1% (satu persen);

b. pemerintah kabupaten/kota penghasil mendapat bagian sebesar


2,5% (dua koma lima persen); dan

c. pemerintah kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang sama


mendapat bagian sebesar 2,5% (dua koma lima persen).

Pasal 130

(1) Pemegang IUP atau IUPK tidak dikenai iuran produksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 128 ayat (4) huruf c dan pajak daerah dan
retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (5)
atas tanah/batuan yang ikut tergali pada saat penambangan.

(2) Pemegang IUP atau IUPK dikenai iuran produksi sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 128 ayat (4) huruf c atas pemanfaatan
tanah/batuan yang ikut tergali pada saat penambangan.

Pasal 131

Besarnya pajak dan penerimaan negara bukan pajak yang dipungut dari
pemegang IUP, MR, atau IUPK ditetapkan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 132

(1) Besaran tarif iuran produksi ditetapkan berdasarkan tingkat


pengusahaan, produksi, dan harga komoditas tambang.

(2) Besaran tarif iuran produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 133

(1) Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal


128 ayat (4) merupakan pendapatan negara dan daerah yang
pembagiannya ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

(2) Penerimaan negara bukan pajak yang merupakan bagian daerah


dibayar langsung ke kas daerah setiap 3 (tiga) bulan setelah disetor
ke kas negara.
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

1. Prinsip utama diterapkannya Undang-Undang No.4 Tahun 2009 Tentang


Pertambangan Mineral dan Batubara antara lain sebagai pengganti UU No. 11 Tahun
1967 yang sentralistik serta keinginan pemerintah untuk konsisten dengan UUD 1945
pasal 33. Beberapa prinsip utama yang melatarbelakangi diterapkannya UU No 4
Tahun 2009 tersebut selain sebagai pengganti UU No. 11 tahun 1967 yang sentralistik
juga untuk mengoptimalkan penerimaan negara, memberi kewenangan pemerintah
yang jelas sekaligus mengembalikan fungsi Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai
regulator.

2. Kementerian Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 75


Tahun 2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif
Bea Keluar. Aturan ini sebagai tindak lanjut dari Permen ESDM No. 7 Tahun 2012
tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan
Pemurnian Mineral serta Permendag No. 29 Tahun 2012 tentang Ketentuan Ekspor
Produk Pertambangan.

3.2 Saran

Dengan diberlakukannya UU mengenai Sumberdaya Mineral dan Energi tersebut


diharapkan dapat membawa masa depan pertambangan yang lebih baik dengan
adanya kepastian dalam pengusahaan pertambangan dan penyederhanaan skema
perizinan.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2011. Hukum Pertambangan: https://www.hukumpertambangan.com/.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral

dan Batubara
POKOK PEMBAHASAN UU, PP, PERMEN ESDM DAN
TARIF BEA PADA PEMANFAATAN SDME

Dibuat untuk memenuhi Tugas ke-1


di Fakultas Teknik Jurusan Pertambangan
Universitas Sriwijaya

Oleh

Annisa Octavianie Ariyati

03021181722011

JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
Berkah dan Anugerah-Nya sehingga paper ini dapat terselesaikan dengan baik dengan judul
“Pokok Pembahasan UU, PP, PERMEN ESDM dan Tarif Bea Pada Pemanfaatan SDME”.
Makalah ini Saya tulis sebagai salah satu syarat pemenuhan Tugas ke-1.

Telah banyak hikmah, manfaat dan ilmu pengetahuan yang kami peroleh selama
melakukan dan menyusun Paper ini, oleh karna itu penulis mengucapkan banyak terima kasih
kepada :
1. Prof. Ir. Subriyer Nasyir, M.S., PhD, Dekan Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya.
2. Dr. Hj. Rr. Harminuke Eko Handayani, S.T., M.T., dan Ir. Bochori, M.T., IPM., selaku
Ketua dan Sekretaris Jurusan Teknik Pertambangan Universitas Sriwijaya.
3. Ir.Mukiat, M. S. Selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Pemanfaatan Sumberdaya
Mineral dan Energi
4. Pihak lain yang juga telah membantu menyelesaikan makalah ini
Menyadari bahwa substansi paper ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu
sangat diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga tulisan ini dapat
bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.

Indralaya, Agustus 2019

Penulis

Ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul...........................................................................................................................i

Kata Pengantar.........................................................................................................................ii

Daftar Isi..................................................................................................................................iii
Bab I Pendahuluan...................................................................................................................1
1.1 LatarBelakang...........................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................................
1.3 Tujuan.......................................................................................................................
1.4 Manfaat.....................................................................................................................
Bab II Pokok Pembahasan........................................................................................................3
2.1 Undang-undang........................................................................................................
2.2 Peraturan Pemerintah................................................................................................
2.3 Peraturan Menteri................................................................................ ....................
2.4 Tarif Bea Pemanfaatan SDME.................................................................................
Bab III Kesimpulan................................................................................................................30
3.1 Kesimpulan...............................................................................................................
3.2 Saran.........................................................................................................................
Daftar Pustaka....................................................................................................................................31

iii

Anda mungkin juga menyukai