Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

SINDROM KORONARI AKUT/ IMA (UAP DD NSTEMI)


Di Instalasi Gawat Darurat RSUD Dr. Soedarsono Kota Pasuruan

Disusun untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen Gawat Darurat


Dibimbing oleh : Ns. Suryanto, S.Kep., M.Nurs., PhD.
: Ns. Nanang Qosim, S.Kep.

Oleh:
Achmad Novan Zubairi
190070300111064
Kelompok 3A

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019
A. DEFINISI
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh
darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi
plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti
oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus
yang kaya trombosit (white thrombus).Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh
darah koroner, baik secara total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang
menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat
vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran
darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium.
Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan
miokardium mengalami nekrosis (infark miokard).
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah
koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat
menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Akibat
dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium karena
proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan remodeling
ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian pasien SKA tidak
mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka mengalami SKA karena
obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria epikardial (Angina
Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat
diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan
(IKP).
Angina tak stabil dan NSTEMI mempunyai patogenesis dan presentasi klinik
yang sama, hanya berbeda dalam derajatnya. Bila ditemui penanda biokimia nekrosis
miokard (peningkatan troponin I, troponin T, atau CK-MB) maka diagnosis adalah
NSTEMI; sedangkan bila penanda biokimia ini tidak meninggi, maka diagnosis adalah
APTS (Idrus Alwi, 2006).
NSTEMI dalah IMA yang disebabkan penurunan suplai oksigen atau peningkatan
kebutuhan oksigen jantung yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena
trombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner. Trombosisi ini diawali dengan adanya
ruptur plak yang tidak stabil dan biasanya plak tersebut mempunyai inti lipid yang besar,
densitas otot polos yang rendah, fibrosus cap yang tipis, dan konsentrasi jaringan yang
tinggi. (Corwin, 2001).
NSTEMI adalah adanya ketidakseimbangan antara pemintaan dan suplai oksigen
ke miokardium terutama akibat penyempitan arteri koroner akan menyebabkan iskemia
miokardium local. Iskemia yang bersifat sementara akan menyebabkan perubahan
reversible pada tingkat sel dan jaringan. Pada NStemi gambaran EKG tidak ditemukn
adanya elevasi pada segmen ST (Sylvia,2006).

B. KLASIFIKASI
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram
(EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi:
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation
myocardial infarction
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment
elevation myocardial infarction)
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indikator
kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan
revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya;
secara medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi
koroner perkutan primer. Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina
pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang
bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil
peningkatan marka jantung.
Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika terdapat
keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan
yang bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST,
inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization,
atau bahkan tanpa perubahan (Gambar 1). Sedangkan Angina Pektoris tidak stabil
dan NSTEMI dibedakan berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai dengan
peningkatan marka jantung. Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/T
atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi peningkatan
bermakna, maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi (Non
ST-Elevation Myocardial Infarction, NSTEMI). Pada Angina Pektoris tidak stabil marka
jantung tidak meningkat secara bermakna. Pada sindroma koroner akut, nilai ambang
untuk peningkatan CK-MB yang abnormal adalah beberapa unit melebihi nilai normal
atas (upper limits of normal, ULN).
Jika pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau
menunjukkan kelainan yang nondiagnostik sementara angina masih berlangsung,
maka pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian. Jika ulangan EKG tetap
menunjukkan gambaran nondiagnostik sementara keluhan angina sangat sugestif
SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam. EKG diulang tiap 6 jam dan setiap
terjadi angina berulang

UAP DD NSTEMI
Diagnosis angina pektoris tidak stabil (APTS/UAP) dan infark miokard non ST
elevasi (NSTEMI) ditegakkan atas dasar keluhan angina tipikal yang dapat disertai
dengan perubahan EKG spesifik, dengan atau tanpa peningkatan marka jantung. Jika
marka jantung meningkat, diagnosis mengarah NSTEMI; jika tidak meningkat,
diagnosis mengarah UAP. Sebagian besar pasien NSTEMI akan mengalami evolusi
menjadi infark miokard tanpa gelombang Q. Dibandingkan dengan STEMI, prevalensi
NSTEMI dan UAP lebih tinggi, di mana pasien-pasien biasanya berusia lebih lanjut
dan memiliki lebih banyak komorbiditas. Selain itu, mortalitas awal NSTEMI lebih
rendah dibandingkan STEMI namun setelah 6 bulan, mortalitas keduanya berimbang
dan secara jangka panjang, mortalitas NSTEMI lebih tinggi.
Tabel 1. Karakteristik ACS (Acute Coronary Syndrome)
Jenis Nyeri Dada EKG Enzim Jantung

Angina Angina pada waktu istirahat/ Depresi segmen ST Tidak meningkat


Pectoris aktivitas ringan (ICS III-IV). Hilang
Inversi gelombang T
Stabil dengan nitrat
Tidak ada gelombang Q

NSTEMI Lebih berat dan lama (> 20 menit). Depresi segmen ST Meningkat minimal
Tidak hilang dengan nitrat, perlu 2 kali nilai batas
Inversi Gelombang T dalam
opium atas normal

STEMI Lebih berat dan lama (> 20 menit). Elevasi segmen ST Meningkat minimal
Tidak hilang dengan nitrat, perlu 2 kali nilai batas
inversi gelombang T
opium atas normal

C. ETIOLOGI

Angina pectoris sebagian besar akibat proses alteroskelrosis (penyempitan pembuluh


darah sekitar jantung coroner). Aterosklerosisi adalah timbunan lemak didalam pembuluh
darah, apabila semakin banyak maka disebut plak. Atau disebabkan oklusi arteri koroner
setelah terjadinya rupture vulnerable atherosclerotic plaque. Pada sebagian besar kasus,
terdapat beberapa faktor presipitasi yang muncul sebelum terjadinya IMA, antara lain aktivitas
fisik yang berlebihan, stress emosional, dan penyakit dalam lainnya. Selain itu, terdapat
beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya IMA pada individu.Faktor-faktor
resiko ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian besar, yaitu faktor resiko yang tidak dapat dirubah
dan faktor resiko yang dapat dirubah.

NSTEMI disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan peningkatan kebutuhan


oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena thrombosis
akut atau proses vasokonstriksi koroner, sehingga terjadi iskemia miokard dan dapat
menyebabkan nekrosis jaringan miokard dengan derajat lebih kecil, biasanya terbatas pada
subendokardium. Keadaan ini tidak dapat menyebabkan elevasi segmen ST, namun
menyebabkan pelepasan penanda nekrosis (Idrus Alwi, 2006).

Penyebab paling umum adalah penurunan perfusi miokard yang dihasilkan dari
penyempitan arteri koroner disebabkan oleh thrombus non occlusive yang telah
dikembangkan pada plak aterosklerotik terganggu. Penyempitan abnormal dari arteri koroner
mungkin juga bertanggung jawab.

D. FAKTOR RISIKO
1. Faktor yang tidak dapat dirubah :
a) Usia
Walaupun akumulasi plak atherosclerotic merupakan proses yang progresif, biasanya
tidak akan muncul manifestasi klinis sampai lesi mencapai ambang kritis dan mulai
menimbulkan kerusakan organ pada usia menengah maupun usia lanjut. Oleh karena
itu, pada usia antara 40 dan 60 tahun, insiden infark miokard pada pria meningkat lima
kali lipat (Kumar, et al., 2007).
b) Jenis kelamin
Infark miokard jarang ditemukan pada wanita premenopause kecuali jika terdapat
diabetes, hiperlipidemia, dan hipertensi berat. Setelah menopause, insiden penyakit
yang berhubungan dengan atherosclerosis meningkat bahkan lebih besar jika
dibandingkan dengan pria.
c) Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner (saudara, orang tua
yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun) meningkatkan kemungkinan
timbulnya IMA

2. Faktor resiko yang dapat dirubah :


a) Hiperlipidemia merupakan peningkatan kolesterol dan/atau trigliserida serum di atas
batas normal. Peningkatan kadar kolesterol di atas 180 mg/dl akan meningkatkan
resiko penyakit arteri koronaria, dan peningkatan resiko ini akan lebih cepat terjadi bila
kadarnya melebihi 240 mg/dl. Peningkatan kolosterol LDL dihubungkan dengan
meningkatnya resiko penyakit arteri koronaria, sedangkan kadar kolesterol HDL yang
tinggi berperan sebagai faktor pelindung terhadap penyakit ini.
b) Hipertensi merupakan faktor risiko mayor dari IMA, baik tekanan darah systole
maupun diastole memiliki peran penting. Hipertensi dapat meningkatkan risiko
ischemic heart disease (IHD) sekitar 60% dibandingkan dengan individu
normotensive. Tanpa perawatan, sekitar 50% pasien hipertensi dapat meninggal
karena IHD atau gagal jantung kongestif, dan sepertiga lainnya dapat meninggal
karena stroke (Kumar, et al., 2007).
c) Merokok merupakan faktor risiko pasti pada pria, dan konsumsi rokok mungkin
merupakan penyebab peningkatan insiden dan keparahanatherosclerosis pada
wanita. Penggunaan rokok dalam jangka waktu yang lama meningkatkan kematian
karena IHD sekitar 200%. Berhenti merokok dapat menurunkan risiko secara
substansial (Kumar, et al., 2007).
d) Diabetes mellitus menginduksi hiperkolesterolemia dan juga meningkatkan
predisposisi atherosclerosis. Insiden infark miokard dua kali lebih tinggi pada
seseorang yang menderita diabetes daripada tidak. Juga terdapat peningkatan risiko
stroke pada seseorang yang menderita diabetes mellitus
e) Gaya hidup monoton, berperan pada timbulnya penyakit jantung koroner.
f) Stres Psikologik, stres menyebabkan peningkatan katekolamin yang bersifat
aterogenik serta mempercepat terjadinya serangan.

E. PATOFISIOLOGI (terlampir)
F. TANDA DAN GEJALA
1. Angina tipikal.
2. ST elevasi, T inversi, ST depresi, Q patologi
3. Peningkatan marka jantung (enzim CK-MB, Troponin T)
4. Nyeri Dada
Nyeri yang lama yaitu minimal 30 menit, sedangkan pada angina kurang dari
itu. Disamping itu pada angina biasanya nyeri akan hilang dengan istirahat akan tetapi
pada infark tidak. Nyeri dan rasa tertekan pada dada itu bisa disertai dengan keluarnya
keringat dingin atau perasaan takut. Biasanya nyeri dada menjalar ke lengan kiri, bahu,
leher sampai ke epigastrium, akan tetapi pada orang tertentu nyeri yang terasa hanya
sedikit. Hal tersebut biasanya terjadi pada manula, atau penderita DM berkaitan
dengan neuropathy.
4. Sesak Nafas
Sesak nafas bisa disebabkan oleh peningkatan mendadak tekanan akhir
diastolik ventrikel kiri, disamping itu perasaan cemas bisa menimbulkan hiperventilasi.
Pada infark yang tanpa gejala nyeri, sesak nafas merupakan tanda adanya disfungsi
ventrikel kiri yang bermakna.
5. Gejala Gastrointestinal
Peningkatan aktivitas vagal menyebabkan mual dan muntah, dan biasanya
lebih sering pada infark inferior, dan stimulasi diafragma pada infak inferior juga bisa
menyebabkan cegukan.
Tabel 1. Karakteristik ACS (Acute Coronary Syndrome)
Jenis Nyeri Dada EKG Enzim Jantung

Angina Pectoris Angina pada waktu Depresi segmen ST Tidak meningkat

Stabil istirahat/ aktivitas ringan


Inversi gelombang T
(ICS III-IV). Hilang Tidak ada gelombang
dengan nitrat Q

Lebih berat dan lama (> Depresi segmen ST Meningkat minimal 2

NSTEMI 20 menit). Tidak hilang kali nilai batas atas


Inversi Gelombang T
dengan nitrat, perlu opium normal
dalam

Lebih berat dan lama (> Elevasi segmen ST Meningkat minimal 2


STEMI 20 menit). Tidak hilang kali nilai batas atas
inversi gelombang T
dengan nitrat, perlu opium normal

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Fisik
Tujuan dilakukannya pemeriksaan fisik adalah untuk menegakkan diagnosis banding
dan mengidentifikasi pencetus. Selain itu, pemeriksaan fisik jika digabungkan dengan keluhan
angina (anamnesis), dapat menunjukkan tingkat kemungkinan keluhan nyeri dada sebagai
representasi SKA (Tabel 3).

2. Elektrokardiogram
EKG perlu dilakukan pada waktu serangan angina, bila EKG istirahat normal,
stress test harus dilakukan dengan treadmill ataupun sepeda ergometer. Tujuan dari
stress test adalah:
- menilai nyeri dada apakah berasal dari jantung atau tidak
- menilai beratnya penyakit seperti bila kelainan terjadi pada pembuluh darah
utama akan memberi hasil positif kuat
Pada pemeriksaan EKG dijumpai adanya gambaran T Inverted dan ST depresi
yang menunjukkan adanya iskemia pada arteri koroner. Jika terjadi iskemia,
gelombang T menjadi terbalik (inversi), simetris, dan biasanya bersifat sementara
(saat pasien simptomatik). Bila pada kasus ini tidak didapatkan kerusakan
miokardium, sesuai dengan pemeriksaan CK-MB (creatine kinase-myoglobin) maupun
troponin yang tetap normal, diagnosisnya adalah angina tidak stabil. Namun, jika
inversi gelombang T menetap, biasanya didapatkan kenaikan kadar troponin, dan
diagnosisnya menjadi NSTEMI. Angina tidak stabil dan NSTEMI disebabkan oleh
thrombus non-oklusif, oklusi ringan (dapat mengalami reperfusi spontan), atau oklusi
yang dapat dikompensasi oleh sirkulasi kolateral yang baik.

Perekaman EKG harus dilakukan dalam 10 menit sejak kontak medis pertama.
Bila bisa didapatkan, perbandingan dengan hasil EKG sebelumnya dapat sangat
membantu diagnosis. Setelah perekaman EKG awal dan penatalaksanaan, perlu
dilakukan perekaman EKG serial atau pemantauan terus-menerus. EKG yang
mungkin dijumpai pada pasien NSTEMI dan UAP antara lain:
 Depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T; dapat disertai dengan elevasi
segmen ST yang tidak persisten (<20 menit)
 Gelombang Q yang menetap
 Nondiagnostik
 Normal
Hasil EKG 12 sadapan yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan
diagnosis SKA tanpa elevasi segmen ST, misalnya akibat iskemia tersembunyi di
daerah sirkumfleks atau keterlibatan ventrikel kanan, oleh karena itu pada hasil EKG
normal perlu dipertimbangkan pemasangan sadapan tambahan. Depresi segmen ST
≥0,5 mm di dua atau lebih sadapan berdekatan sugestif untuk diagnosis UAP atau
NSTEMI, tetapi mengingat kesulitan mengukur depresi segmen ST yang kecil,
diagnosis lebih relevan dihubungkan dengan depresi segmen ST ≥1 mm. Depresi
segmen ST ≥1 mm dan/atau inversi gelombang T≥2 mm di beberapa sadapan
prekordial sangat sugestif untuk mendiagnosis UAP atau NSTEMI (tingkat peluang
tinggi). Gelombang Q ≥0,04 detik tanpa disertai depresi segmen ST dan/atau inversi
gelombang T menunjukkan tingkat persangkaan terhadap SKA tidak tinggi sehingga
diagnosis yang seharusnya dibuat adalah Kemungkinan SKA atau Definitif SKA. Jika
pemeriksaan EKG awal menunjukkan kelainan nondiagnostik, sementara angina
masih berlangsung, pemeriksaan diulang 10 – 20 menit kemudian (rekam juga V7-
V9). Pada keadaan di mana EKG ulang tetap menunjukkan kelainan yang
nondiagnostik dan marka jantung negatif sementara keluhan angina sangat sugestif
SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam untuk dilakukan EKG ulang tiap 6 jam
dan setiap terjadi angina berulang.
Bila dalam masa pemantauan terjadi perubahan EKG, misalnya depresi
segmen ST dan/atau inversi gelombang T yang signifikan, maka diagnosis UAP atau
NSTEMI dapat dipastikan. Walaupun demikian, depresi segmen ST yang kecil (0,5
mm) yang terdeteksi saat nyeri dada dan mengalami normalisasi saat nyeri dada
hilang sangat sugestif diagnosis UAP atau NSTEMI. Stress test dapat dilakukan untuk
provokasi iskemia jika dalam masa pemantauan nyeri dada tidak berulang, EKG tetap
nondiagnostik, marka jantung negatif, dan tidak terdapat tanda gagal jantung. Hasil
stress test yang positif meyakinkan diagnosis atau menunjukkan persangkaan tinggi
UAP atau NSTEMI. Hasil stress test negatif menunjukkan diagnosis SKA diragukan
dan dilanjutkan dengan rawat jalan (PERKI, 2015)

3. Marka Jantung
1) Troponin
Troponin adalah protein pengatur yang ditemukan di otot rangka dan jantung. Tiga
subunit yang telah diidentifikasi termasuk troponin I (TnI), troponin T (TnT), dan troponin C
(TnC). Gen yang mengkode isoform TnC pada otot rangka dan jantung adalah identik. Karena
itulah tidak ada perbedaan struktural diantara keduanya. Walaupun demikian, subform TnI dan
TnT pada otot rangka dan otot jantung berbeda dengan jelas, dan immunoassay telah didesain
untuk membedakan keduanya. Hal ini menjelaskan kardiospesifitas yang unik dari cardiac
troponin.
Troponin bukanlah marker awal untuk myocardial necrosis. Uji troponin menunjukkan
hasil positif pada 4-8 jam setelah gejala terjadi, mirip dengan waktu pengeluaran CK-MB.
Meski demikian, mereka tetap tinggi selama kurang lebih 7-10 hari pasca MI. Cardiac troponin
itu sensitif, kardiospesifik, dan menyediakan informasi prognostik untuk pasien dengan ACS.
Terdapat hubungan antara level TnI atau TnT dengan tingkat mortalitas dan adverse cardiac
event pada ACS. Mereka telah menjadi cardiac marker pilihan untuk pasien dengan ACS.
Petanda biokimia troponin T dan troponin I mempunyai peranan yang sangat penting
pada diagnostik, stratifikasi dan pengobatan penderita Sindroma Koroner Akut (SKA).
Troponin T mempunyai sensitifitas 97% dan spesitifitas 99% dalam mendeteksi kerusakan sel
miokard bahkan yang minimal sekalipun (mikro infark). Sedangkan troponin I memiliki nilai
normal 0,1. Perbedaan troponin T dengan troponin I:
 Troponin T (TnT) dengan berat molekul 24.000 dalton, suatu komponen inhibitorik yang
berfungsi mengikat aktin.
 Troponin I (TnI) dengan berat molekul 37.000 dalton yang berfungsi mengikat
tropomiosin.
Pemeriksaan troponin I/T adalah standard baku emas dalam diagnosis NSTEMI, di
mana peningkatan kadar marka jantung tersebut akan terjadi dalam waktu 2 hingga 4 jam.
Penggunaan troponin I/T untuk diagnosis NSTEMI harus digabungkan dengan kriteria lain
yaitu keluhan angina dan perubahan EKG. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika marka jantung
meningkat sedikit melampaui nilai normal atas (upper limit of normal, ULN). Dalam
menentukan kapan marka jantung hendak diulang seyogyanya mempertimbangkan
ketidakpastian dalam menentukan awitan angina. Tes yang negatif pada satu kali pemeriksaan
awal tidak dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis infark miokard akut. Kadar troponin
pada pasien infark miokard akut meningkat di dalam darah perifer 3 – 4 jam setelah awitan
infark dan menetap sampai 2 minggu.
Peningkatan ringan kadar troponin biasanya menghilang dalam 2 hingga 3 hari, namun
bila terjadi nekrosis luas, peningkatan ini dapat menetap hingga 2 minggu. Mengingat troponin
I/T tidak terdeteksi dalam darah orang sehat, nilai ambang peningkatan marka jantung ini
ditetapkan sedikit di atas nilai normal yang ditetapkan oleh laboratorium setempat. Perlu diingat
bahwa selain akibat STEMI dan NSTEMI, peningkatan kadar troponin juga dapat terjadi akibat:
 Takiaritmia atau bradiaritmia berat
 Miokarditis
 Dissecting aneurysm
 Emboli paru
 Gangguan ginjal akut atau kronik
 Stroke atau perdarahan subarakhnoid
 Penyakit kritis, terutama pada sepsis
Apabila pemeriksaan troponin tidak tersedia, pemeriksaan CKMB dapat digunakan.
CKMB akan meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam, mencapai puncaknya saat 12 jam, dan
menetap sampai 2 hari.
2) Creatine Kinase-MB isoenzym
Sebelum cardiac troponin dikenal, marker biokimia yang dipilih untuk diagnosis
AMI adalah isoenzim CK-MB. Kriterium yang kebanyakan digunakan untuk diagnosis
AMI adalah 2 serial elevasi di atas level cutoff diagnostik atau hasil tunggal lebih dari dua
kali lipat batas atas normal. Walaupun CK-MB lebih terkonsentrasi di miokardium (kurang
lebih 15% dari total CK), enzim ini juga terdapat pada otot rangka. Kardiospesifitas CKMB
tidaklah 100%. Elevasi false positive muncul pada beberapa keadaan klinis seperti trauma
atau miopati.
CK-MB pertama muncul pada 4-6 jam setelah gejala, puncaknya adalah pada 24
jam, dan kembali normal dalam 48-72 jam. CK-MB level walaupun sensitif dan spesifik
untuk diagnosis AMI, tidak prediktif untuk adverse cardiac event dan tidak mempunyai
nilai prognostik.
3) Relative index (Indeks relatif), CK-MB dan total CK
Indeks relatif dihitung berdasarkan rasio [CK-MB (mass) / total CK x 100] dapat
membantu klinisi untuk membedakan elevasi false positive peningkatan CK-MB otot
rangka. Rasio yang kurang dari 3 konsisten dengan sumber dari otot rangka. Rasio >5
mengindikasikan sumber otot jantung. Rasio diantara 3-5 menunjukkan gray area. Indeks
relatif CK-MB/CK diperkenalkan untuk meningkatkan spesifitas elevasi CK-MB untuk
MI.
Pemakaian indeks relatif CK-MB/CK berhasil jika pasien hanya memiliki MI atau
kerusakan otot rangka tapi tidak keduanya. Oleh sebab itu, pada keadaan dimana terdapat
kombinasi AMI dan kerusakan otot rangka (rhabdomyolysis, exercise yang berat,
polymyositis), sensitifitas akan jatuh secara signifikan. Diagnosis AMI tidak boleh
didasarkan hanya pada elevasi indeks relatif saja. Elevasi indeks relatif dapat terjadi pada
keadaan klinis dimana total CK atau CK-MB pada batas normal. Indeks relatif hanya
berfungsi secara klinis bila level CK dan CK-MB dua-duanya mengalami peningkatan
4) Mioglobin
Mioglobin telah menarik perhatian sebagai marker awal pada MI. Mioglobin
adalah protein heme yang ditemukan pada otot rangka dan jantung. Berat molekulnya yang
rendah menyebabkan pelepasannya yang cepat. Mioglobin biasanya meningkat pada 2-4
jam setelah terjadinya infark, puncaknya adalah pada 6-12 jam, dan kembali ke normal
setelah 24-36 jam.
Uji cepat mioglobin telah tersedia, tetapi kekurangannya adalah kurang
kardiospesifik. Uji serial setiap 1-2 jam dapat meningkatkan sensitivitas dan spesifitas.
Peningkatan atau perbedaan 25-40% setelah 1-2 jam adalah penanda kuat dari AMI. Pada
kebanyakan penelitian, mioglobin hanya mencapai 90% sensitifitas untuk AMI. Nilai
prediktif negatif mioglobin tidak cukup tinggi untuk mengeklusi diagnosis AMI. Penelitian
original yang mengevaluasi mioglobin menggunakan definisi origininal WHO tentang
AMI yang distandarkan pada CK-MB. Dengan adopsi dari standar troponin untuk definisi
AMI dari ESC/ACC, sensitifitas mioglobin untuk AMI menurun

5) Creatine Kinase-MB isoforms


Isoenzim CK-MB terdapat dalam 2 isoform, yaitu CK-MB1 dan CK-MB2. CK-
MB2 adalah bentuk jaringan dan awalnya dilepaskan oleh miokardium setelah MI.
Kemudian berubah di serum menjadi isoform CK-MB1. Hal ini terjadi segera setelah gejala
terjadi. Isoform CK-MB dapat dianalisis menggunakan elektroforesis tegangan tinggi.
Rasio CK-MB2/CK-MB1 juga dihitung. Normalnya, isoform jaringan CK-MB1 lebih
dominan sehingga rasionya kurang dari 1. Hasil pemeriksaan dikatakan positif jika CK-
MB2 meningkat dan rasionya lebih dari 1,7.
Pelepasan isoform CK-MB termasuk cepat. CK-MB2 dapat dideteksi di serum
pada 2-4 jam setelah onset dan puncaknya adalah 6-9 jam. Ini adalah marker awal dari
AMI. Dua penelitian besar menyebutkan bahwa sensitivitasnya adalah 92% pada 6 jam
setelah onset gejala dibandingkan dengan 66% untuk CKMB dan 79% untuk mioglobin.
Kekurangan terbesar dari uji ini adalah relatif sulit dilakukan oleh laboratorium.
6) C-reactive Protein
CRP, marker inflamasi nonspesifik, diperhitungkan terlibat secara langsung pada
coronary plaque atherogenesis. Penelitian yang dimulai pada awal 1990an menunjukkan
bahwa level CRP yang meningkat menunjukkan adverse cardiac events, baik pada prevensi
primer maupun sekunder. Level CRP berguna untuk mengevaluasi profil risiko jantung
pasien. Data baru mengindikasikan bahwa CRP berguna sebagai indikator prognostik pada
pasien dengan ACS. Peningkatan level CRP memprediksi kematian jantung dan AMI.
7) Referensi Nilai
Hasil normal bervariasi berdasarkan laboratorium dan metode yang digunakan.
Informasi di bawah ini adalah dari ACC dan the American Heart Association (AHA).
 Total CK = 38–174 units/L untuk laki-laki dan 96–140 units/L untuk
perempuan.
 CKMB = 10-13 units/L.
 Troponin T = kurang dari 0,1 ng/mL.
 Troponin I = kurang dari 1,5 ng/mL.
 Isoform CKMB = rasio 1,5 atau lebih.
 Mioglobin = kurang dari 110 ng/mL
Tabel 4. Cardiac marker pada MI.

Waktu Awal Waktu Puncak Waktu Kembali


Marker
Peningkatan (jam) Peningkatan (jam) Normal
CK 4–8 12 – 24 72 – 96 jam
CK-MB 4–8 12 – 24 48 – 72 jam
Mioglobin 2–4 4–9 < 24 jam
LDH 10 – 12 48 – 72 7 – 10 hari
Troponin I 4–6 12 – 24 3 – 10 hari
Troponin T 4–6 12 – 48 7 – 10 hari
H. PENATALAKSANAAN

1. Anti Iskemia
- Beta Blocker
Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya terhadap reseptor beta-
1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen miokardium. Terapi hendaknya tidak
diberikan pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-ventrikler ang signifikan, asma
bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri. Pada kebanyakan kasus, preparat oral cukup
memadai dibandingkan injeksi

- Nitrat
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi venayang mengakibatkan
berkurangnya preload dan volume akhir diastolik ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen
miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik yang

normal maupun yang mengalami aterosklerosis.

- Calcium Channel BBlocker

Nifedipin dan amplodipin mempunyaiefek vasodilator arteri dengan sedikit atau tanpa
efek pada SA Node atau AV Node. Sebaliknya verapamil dan diltiazem mempunyai efek
terhadap SA Node dan AV Node yang menonjol dan sekaligus efek dilatasi arteri. Studi
menggunakan CCB pada UAP danNSTEMI umumnya memperlihatkan hasil yang seimbang
dengan penyekat beta dalam mengatasi keluhan angina.

2. Anti Platelet
3. Anti Koagulan

Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat mungkin

4. ACE Inhibitor

Referensi
DAFTAR PUSTAKA

PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Centra Communications.

Alwi, Idrus. 2006. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III. Jakarta: FKUI.

American Heart Association. 2006. Heart and Stroke Facts: 2005 Statistical Supplement. Dallas:
American Heart Association.

American Heart Association. 2007. Management of Patients with Unstable Angina/Non-ST-Elevation


Myocardial Infrction. Dallas: American Heart Association.

Antman EM, Hand M, Armstrong PW, Bates ER, Green LA, Hochman JS, et al. 2008. Focused update
of the ACC/AHA 2004 guidelines for the management of patients with ST-elevation myocardial
infarction: a report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task
Force on Practice Guidelines (51: 210–247). J Am Coll Cardiol.

Corwin, E.J. 2001. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta: EGC;
Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku saku patofisiologi. Edisi 3. EGC. Jakarta
Faqih, R.,. (2006). Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskuler. Malang: UMM Press

Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. 2010. 17th Edition Harrison’s
Principles of Internal Medicine. New South Wales: McGraw Hill.

Guyton AC, Hall JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

Levefer, J.,. (1997). Buku Saku Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik dengan Implikasi
Keperawatan. Jakarta: EGC

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman Tatalaksana Sindrom


Koroner Akut. Edisi Ketiga. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.

Prasetyo, J., B.,. (2003). Ilmu Penyakit Jantung. Surabaya: Airlangga University.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V.
dalam Farissa, Inne Pratiwi. 2012. Komplikasi Pada Pasien Infark Miokard Akut St-
Elevasi (STEMI) yang Mendapat Maupun tidak Mendapat Terapi Reperfusi (Studi Di
RSUP Dr.Kariadi Semarang). Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro 2012. Jakarta: Interna Publishing

Anda mungkin juga menyukai