Untuk menengah atas (diniah takmiliyah wustha) masa belajar tiga tahun, untuk menengah atas
(diniyah ulya) masa belajar selama tiga tahun dengan jumlah jam belajar minimal 18 jam
pelajaran dalam seminggu (Kemenag Jabar, 2010: 7)
Menurut Amin Haidar yang dijelaskan kembali oleh Umar perubahan nomenklatur dari
madrasah diniyah menjadi diniyah takmiliyah berdasarkan pertimbangan bahwa kegiatan
madrasah diniyah merupakan pendidikan tambahan sebagai penyempurna bagi siswa sekolah
dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas (SMA) yang hanya
mendapat pendidikan agama Islam dua jam pelajaran dalam satu minggu, oleh karena itu sesuai
dengan artinya maka kegiatan tersebut yang tepat adalah diniyah takmiliah.
Madrasah Diniyah (MD) atau pada saat ini disebut Madrasah Diniyah Takmiliah (MDT) adalah
lembaga pendidikan Islam yang dikenal sejak lama bersamaan dengan masa penyiaran Islam di
Nusantara. Pengajaran dan pendidikan Islam timbul secara alamiah melalui proses akulturasi
yang berjalan secara halus, perlahan sesuai kebutuhan masyarakat sekitar.
Pada masa penjajahan hampir semu desa yang penduduknya beragama Islam, terdapat
Madrasah Diniah (Diniyah Takmiliah), dengan nama dan bentuk berbeda beda antara satu
daerah dengan daerah lainnya, seperti pengajian, surau, rangkang, sekolah agama dan lain lain.
Mata pelajaran agama juga berbeda beda yang yang pada umumnya meliputi aqidah, ibadah,
akhlak, membaca Al Qur’an dan bahasa Arab (Direktorat PD Pontern, 2007:1).
Namun walaupun demikian keberadaan MDT ini masih terkesan kurang mendapat perhatian
khusus baik dari kalangan masyarakat maupun pemerintah. padahal jika melihat perkembangan
spiritualitas generasi saat ini sudah semakin memprihatinkan. Oleh sebab itu sudah menjadi
suatu keniscayaan kalau keberadaan madrasah takmiliyah ini mendapat perhatian lebih baik dari
masyarakat maupun pemerintah.
Maka Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 31 ayat 3 setelah mengalami perubahan keempat kalinya
yang berbunyi “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang undang.
Namun tidak dapat kita pungkiri bahwa kecerdasan yang paling tepat dan yang paling
dibutuhkan dalam asumsi di atas adalah kecerdasan yang mengarah pada kecerdasan
spiritualitas, sebab kecerdasan spiritual inilah yang sangat menentukan baik dan tidaknya suatu
bangsa. Karena apabila kecerdasan spiritualitas ini tidak dimiliki oleh penerus bangsa ini sudah
dapat dipastikan kelangsungan bangsa ini akan cenderung mengalami kerancuan yang
berkesinambungan.
Nah, untuk menunjang proses peningkatan kecerdasan spiritualitas tersebut tidak cukup kalau
hanya mengacu pada pendidikan formal seperti SD, SMP, MTs, dan sebagainya. Dimana di
dalmnya hanya terdapat sedikit waktu untuk berbagi nilai nilai spiritualitas tersebut. Jadi sudah
barang tentu menjadi keniscayaan pentingnya pengembangan sistem Madrasah Diniyah
Takmiliyah (MDT) sebagai alternatif yang dominan untuk melengkapi pelajaran keagamaan
dalam lembaga formal tersebut yang terkesan memiliki waktu sedikit dalam proses peningkatan
keimanan, katakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa ini.
MADRASAH merupakan salah satu dari tiga lembaga pendidikan di Indonesia. Berbeda dengan
pesantren dan sekolah, madrasah adalah lembaga pendidikan yang memadukan sistem keduanya. Dari
sudut umurnya, keberadaan madrasah patut diacungi jempol, berkat kerja keras masyarakat madrasah
tetap eksis hingga saat ini.
Fokus pembahasan penulis adalah pada Madrasah Diniyah. Madrasah Diniyah adalah lembaga
pendidikan dan pengajaran Agama Islam jalur luar sekolah. Lembaga ini dikenal bersamaan dengan
penyebaran Agama Islam di Indonesia. Pada masa penjajahan, hampir semua desa di seluruh pelosok
tanah air yang ada penduduknya yang beragama Islam terdapat Madrasah Diniyah dengan berbagai
nama dan bentuk, seperti Pengajian Anak-anak, Sekolah Kitab, Sekolah Agama, Sistem Surau,
Rangkang dan lain-lain. Penyelenggaraan madrasah diniyah biasanya mendapat bantuan dari raja-raja
atau sultan setempat.
Setelah Indonesia merdeka dan berdiri Departemen Agama (dahulu) Kementerian Agama (sekarang)
penyelenggaraan madrasah diniyah mendapat subsidi dan bimbingan dari departemen Agama.
Namun karena berdirinya Madrasah Diniyah memiliki latar belakang tersendiri dan kebanyakan
didirikan atas usaha perorangan yang semata-mata untuk ibadah, maka sistem dan
penyelenggaraannya bergantung pada latar belakang pendiri dan pengasuhnya, sehingga pertumbuhan
madrasah diniyah di Indonesia mengalami banyak corak dan ragamnya.
Sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan kebutuhan, ide-ide pembaharuan pendidikan
Agama, Madrasah Diniyah pun ikut serta mengalami pembaharuan. Beberapa organisasi
penyelenggara Madrasah Diniyah melakukan modifikasi kurikulum bukan saja kurikulum inti yang
dikeluarkan kemeterian Agama, melainkan pula kurikulum lokal pun terus dibenahi sesuai dengan
prinsip dan karakteristik lingkungannya.
Dalam peraturan pemerintah No. 55 tahun 2007 tentang pendidikan Agama dan pendidikan
keagamaan , pasal. 21 “Pendidikan Diniyah dibagi pada tiga jenis : formal, non formal dan informal”.
Jenjang Madrasah Diniyah Takmiliyah dibagi pada tiga jenjang : 1. Madrasah Diniyah Takmiliyah
Awaliyah (MDTA), 2. Madrasah Diniyah Takmiliyah Wushto (MDTW) dan 3. Madrasah Diniyah
Takmiliyah Ulya (MDTU)
Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah (MDTA) adalah satuan pendidikan keagamaan Islam bersifat
non formal yang menyelenggarakan pendidikan tingkat dasar setara SD/sederajat dengan masa
belajar 4 (empat) tahun dan jumlah jam belajar 18 (delapan belas) jam per minggu.
Madrasah Diniyah atau pada saat ini disebut Diniyyah Takmiliyah adalah lembaga
pendidikan Islam yang telah dikenal sejak lama bersamaan dengan masa penyiaran Islam di
Nusantara. Pengajaran dan Pendidikan Islam timbul secara alamiah melalui proses
akulutrasi yang berjalan secara halus, perlahan sesuai dengan kebutuhan masyarakat
sekitar.Pada masa penjajahan hampir semua desa yang penduduknya beragama Islam,
terdapat Madrasah Diniyah (Diniyyah Takmilyah), dengan nama dan bentuk yang berbeda-
beda antara satu daerah dengan daerah lainnya, seperti pengajian, surau,rangkang, sekolah
agama dan lain-lain. Mata pelajaran agama juga berbeda-beda yang pada umumnya
meliputi aqidah, ibadah,akhlak, membaca al-Qur’an dan Bahasa Arab (Direktorat PD
Pontern,2007:1).
Hanya saja seiring dengan perjalanan waktu pada saat ini Diniyah Takmiliyah mengalami
nasib yang tidak menentu “Wujuduhu ka’adamihi” (meskipun ada tapi eksistensinya
dianggap tidak ada) maklumlah tidak ada yang terlalu istimewa dengan lembaga yang
mencoba tetap berdiri untuk mendidik anak-anak kampung yang masih relegius. Di daerah
Penulis khusunya di kecamatan Buah batu dan di kecamatan lainnya di kota Bandung
perhatian baik dari masyarakat dan Pemerintah sangat kurang, terbukti Kemenag Kota
Bandung berupaya untuk “menggolkan” Raperda Diniyyah kepada DPRD Kota Bandung terus
mengalami hambatan.
Penulis sangat berkepentingan mengangkat bahasan ini kerena pada waktu Penulis
menghadapi siswa-siswa salah satu SMP di Kota Bandung banyak yang belum bisa baca
tulis Al-Qur’an secara benar ternyata mereka yang belum bisa baca tulis al-Qur’an tidak
mengikuti pendidkan Diniyah Takmiliyah. Mungkin saja kesalahan tersebut tidak bisa seratus
persen kepada Pemerintah dan masyarakatnya tetapi Lembaga Diniyah Takmiliyahpun jauh
dari yang diharapkan baik dari kurikulum, manajeman,guru atau ustad,pendanaan. Maka
Penulis mengangkat tema “DINIYAH TAKMILIYAH DAN PERMASALAHANNYA”
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan permasalahan pada pembahasan tersebut sebagai berikut:
2. Apa saja ikhtyar yang dilakukan oleh Kemenag dan Masyarakat dalam mengahadapi
permasalahan Dinnyah Takmiliyah?
BAB II
PEMBAHASAN
Adapun tujuan Diniyah Takmiliyah adalah untuk melengkapi pendidikan agama Islam di
SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau di perguruan tinggi dalam rangka peningkatan
keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Allah SWT.(Kemenag jabar, 2010:1).
Menurut Amin Haidari Perubahan nomenklatur dari madrasah diniyyah menjadi diniyyah
takmiliyah berdasarkan pertimbangan bahwa kegiatan madrasah diniyyah adalah
merupakan kegiatan pendidikan tambahan sebagai penyempurna bagi siswa sekolah dasar
(SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA), yang
mendapatkan pendidikan agama Islam hanya dua jam pelajaran dalam satu minggu, oleh
karena itu sesuai dengan artinya maka kegiatan tersebut yang tepat adalah diniyyah
takmiliyah/ suplemen. ( PD Pontren, 2006:v)
Dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam
Bab kesembilan tentang pendidikan keagamaan pasal 30 ayat 4 “ pendidikan keagaman
berbentuk pendidikan diniyah,pesantren,pasraman, pabhaja, samanera, dan bentuk lain
yang sejenis”.
Diniyah Takmiliyah dalam Peraturan Pemerintah no 55 tahun 2007 tercantum pada pasal 21
ayat 1:” Pendidikan diniyah nonformal diselenggarakan dalam bentuk pengajian kitab, Majlis
Taklim, pendidikan Al-Qur’an, Diniyah Takmiliyah, atau bentuk lain yang sejenis”.
Bagian ini menggambarkan kondisi Diniyah Takmiliyah saat ini yang dilihat dari berbagai
sudut pandang yakni (1) aspek kelembagaan,(2) manajemen, (3) kurikulum, (4) keadaan
tenaga pengajar, (5) keadaan murid, (6) Pendanaan, (7) evaluasi.
Kelembagaan Diniyah takmiliyah (DT)telah disebutkan dia atas masuk kepada Undang-
undang Sisdiknas dan Peraturan Pemerintah RI. Oleh karena itu kemenag tingkat provinsi
dan tingkat kabupaten/kota sangat konsen terhadap kelembagaan Diniyah Takmiliyah ini.
Namun secara umum kelembagaan diniyah takmiliyah masih menghadapi problema
tersendiri penulis sependapat dengan elsaha dalam buku Dinamika Madrasah Diniyah
2008:85, diantaranya:
a. Aspek penyelengaraan, diniyah takmiliyah ada yang bernaung dibawah ormas islam
seperti NU,Persis, Muhammdiyah. Ada juga perorangan dan yayasan juga DKM mesjid dan
pesantren keragaman ini menimbulkan perbedaan orientasi dan kepentingan.
c. Hambatan psikologis karena sebagai pendiri diniyah takmiliyah sejak awal, sebagai
pengelola (tokoh agama, ormas islam, yayasan) tidak mudah menerima perubahan yang
datang dari luar termasuk pemerintah
a. DT yang dikelolah ormas islam atau pesantren, yayasan biasanya tidak ada pemisahan
yang jelas antara pemimpin dan penanggung jawab DT(kepala DT) dalam tugas-tugas
kependidikan sehingga terjadi tumpang tindih kewenangan, hak dan kewajiban.(El-
Saha,2008:86)
Kemenag RI dan kemenag Provinsi telah menerbitkan kurikulum bagi Diniyah Takmiliyah
(DT) namun bagi penulis masih ada permasalahan diantaranya:
a. Tidak seragamnya ditingkat DT penggunaan kurikulum tersebut ada yang full dari
kemenag, ada juga yang kombinasi artinya dari kemenag dan kurikulum dari DT tersendiri
bahkan ada DT yang tidak menggunakan kurikulum dari kemenag yang mengakibatkan tidak
ada standar evaluasi.
b. Buku standar yang berbeda pada setiap DT karena pengeloala yang berbeda baik
ormas islam atau perorangan.
a. Mengajar di DT hanya sampingan artinya bukan profesi maka ada anekdot mengajar di
DT merupakan “tenaga Sisa”
Bagi penulis santri DT sangat menghawatirkan karena di daerah kecamatan buah batu
misalnya yang menjadi santri DT kebanyakan siswa seusia Sekolah dasar sedangkan smp
apalagi sma sudah tidak mau masuk kepada DT mungkin orang tua tidak menyuruh anaknya
ke DT karena merasa cukup pendidikan agam di sekolah.
Menurut data kemenag khususnya di seksi peka pontren kota bandung tahun 2011 jumlah
Diniyah Takmiliyah awaliyah (DTA) berjumlah 1.538 dengan jumlah murid 75.713 jadi rata-
rata satu DTA adalah +/- 49 santri, sedangkan diniyah takmiliyah wustha berjumlah 214
dengan jumlah murid 7146 santri jadi rata-rata satu DTW +/- 33 santri, sedangkan diniyah
ulya (DTU) berjumlah 102 dengan jumlah murid 1809 jadi rata-rata satu DTU +/- 17 santri.
Keenam, Pendanaan
Pengelola Diniyah Takmiliyah (DT) mungkin harus ikhlas beramal karena dana yang
diperoleh DT sangatlah minim , biasanya dana diperoleh dari:
a. Uang syariyah(bulanan) biaya itu tidak seragam setiap DT- nya dan tidak bisa
memenuhi biaya oprasional bahkan hanya unutk honor gurupun.
b. Zakat,infak,sodaqoh yang tentu hanya sealakadarnya saja dan tidak menentu atau
tidak rutin.
Rendahnya alokasi sumber dana yang minim ini mengakibatkan kondisi diniyah takmiliyah
seperti”layamutu wa layahya” (hidup tidak, matipun tidak). Disamping itu, terbatasnya
pendanaan juga berpengaruh pada kurang layaknya sarana dan prasarana di lingkungan
pendidikan diniyah takmiliyah. Kalau mengharapkan diniyah takmiliyah meningkat salah
satu upaya yang harus dipikirkan adalah pemerintah dan masyarakat bahu membahu
mencarikan dana pendidikan diniyah takmiliyah. (el saha,2008:94).
Ketujuh, Evaluasi
Walaupun Diniyah Takmiliyah tergolong pendidikan tradisional tetapi salalu ada evaluasi
walaupun seadanya biasanya evaluasi itu di lakukan pada waktu ulangan bulanan, ujian ahir
semester dan ada imtihan atau kenaikan kelas. Bahkan kemenag tingat provinsi dan kota
selalu mengadakan evaluasi dengan memberikan soal, namun masih ada kendala yaitu
tidak meratanya DT melakukan evaluasi yang diberikan oleh kemenag karena:
Kemenag Kota bandung cq Seksi PekaPontren telah membuat Raperda rancangan peraturan
daerah tentang Diniyah dari tahun 2007 dan masih berjuang sampai hari ini mudah-
mudahan Pemerintah Kota Bandung dan DPRD Kota bandung mau mendengarkan dan
meloloskan untuk kepentingan kita bersama.
Pembentukan organisasi dninyah takmiliyah telah digulirkan dari tahun 2004 dengan nama
kelompok kerja kepala madrasah diniyah (K3MD) tingkat kota namun “tukcing” artinya
dibentuk tapi tidak ada kegiatan. Pada tahun 2008 dibentuklah Kelompok Kerja Diniyah
Takmiliyah (KKDT) banyak kegiatan yang dilakukan walaupun dengan dana yang minim,
seperti manasik haji, pawai Ta’aruf, pekan olahraga Diniyah (porsadin). Pada tahun 2011
diganti nama menjadi Forum Diniyah Takmiliyah (FDT).
BAB III
KESIMPULAN dan SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran
1. Para pengelola Diniyah Takmiliyah harus membenah diri walaupun kendala terus ada,
tidak harus menunggu Perda Diniyah lolos minimal manajemen,pembelajaran dan ustad kita
benahi.
2. Pemerintah dan DPR RI khusunya Pemkot Kota Bandung dan DPRD Kota Bandung harus
memperhatikan keberadan Diniyah Takmiliyah walaupun Nonformal tetapi sangat berperan
dalam pendidikan keagamaan terutama bekerjasama dalam meloloskan Raperda Diniyah.
DAFTAR PUSTAKA