Anda di halaman 1dari 8

Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Palu, Oktober 2014

FKIK Universitas Tadulako


Rumah Sakit Umum Daerah Undata

REFLEKSI KASUS

Nama : Siti Rahma, S. Ked


Stambuk : N 101 10 020
Pembimbing Klinik : dr. Andi Soraya T.U., M.Kes., Sp.KJ

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2014
REFLEKSI KASUS

Identitas Pasien

Nama : Ny. HM
Jenis kelamin : perempuan
Usia : 57 Tahun
Alamat : jl. Tombolotutu Lrg. Bakora I No. 14B
Status pernikahan : Sudah menikah (Janda)
Pendidikan terakhir : SMP
Pekerjaan : ibu rumah tangga
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 27 oktober 2014

I. Deskripsi Kasus

Ny. HM, berusi 57 tahun dating ke poli jiwa RSUD UNDATA


dengan keluhan sakit kepala belakang hingga leher dan nyeri uluh hati,
susah tidur, nafsu makan berkurang, dan merasakan kesedihan dan sering
menangis jika anak-anaknya tidak mengikuti keinginannya. Keluhan ini
sudah dirasakan ± 7 tahun yang lalu.

Sebelumnya, pasien pernah beberapa kali masuk RSUD UNDATA


dengan keluhan pernah terjatuh di rumah dan sakit pada daerah dada kiri,
nyeri uluh hati, dan sakit kepala belakang hingga leher. Pasien juga
mengatakan jika sakitnya datang, pasien susah tidur dan menangis berteriak.
Tetapi selama beberapakali dirawat pasien mengatakan tidak ada perubahan
terhadap keluhannya. Setelah beberapa lama dirawat, pasien dikonsulkan ke
poli jiwa, setelah diberikan terapi pasien mengatakan ada perubahan yang
dirasakan walaupun nyeri uluh hati dan sakit kepala masih timbul kadang-
kadang.

Pasien merasakan keluhan sejak 5 bulan setelah suaminya meninggal


dunia, pasien merasa sedih karena tidak ada lagi yang mengikuti
kemauannya seperti yang suaminya sering lakukan. Pasien juga kadang
merasa jengkel hingga menangis jika kemauannya tidak dituruti anaknya,
dan merasa tertekan karena anaknya sering melarang pasien pergi keluar
rumah diantar oleh orang lain.

II. Emosi yang terlibat


Kasus ini menarik untuk dibahas karena pasien hanya menjawab
seadanya dan terkesan menutupi kesedihan yang dirasakan olehnya.
III. Analisis
a. Diagnosis

Pasien datang ke poli jiwa untuk kontrol yang kedua kalinya.


Pasien kini merasa nyeri uluh hati dan sakit kepala hingga leher bagian
bagian belakang serta susah tidur. Sebelumnya Pasien masuk RSUD
Undata dengan keluhan nyari pada dada kiri akibat terjatuh, sakit uluh
hati dan sakit kepala. Namun pasien sudah mendapatkan terapi untuk
keluhannya ini dan sudah mengalami perbaikan yang signifikan.

Diagnosis multiaksial

Aksis I: berdasarkan PPDGJ-III pasien ini dapat didiagnosis F 32.0


Gangguan afektif episode depresi ringan

Aksis II: Ciri kepribadian: pasien mengaku berinteraksi baik dengan


orang-orang disekitarnya.

Aksis III: K00-K93 nyeri uluh hati (dyspepsia) terapi yang diberikan
ranitidin

Aksis IV: masalah primary support group (keluarga)

Aksis V: 90-81 gejala minimal seperti susah tidur, dan tidak lebih dari
maslah harian yang biasa.
b. Tinjauan pustaka

Dalam praktek sehari-hari, baik pada praktek umum maupun


praktek spesialis, sebagian besar pasien datang dengan keluhan fisik.
Pasien yang datang ke tempat praktek, seringkali tidak didapatkan
kelainan organik yang bermakna, sehingga dokter membuat diagnosis
sesuai dengan keluhan pasien. Dokter biasanya baru menyadari adanya
gangguan psikiatri setelah dilakukan berbagai macam pemeriksaan dan
pengobatan tanpa hasil yang memuaskan. Bila sejak awal sudah
dilakukan pendekatan psikosomatik pada setiap pasien yang datang
berobat, baik dengan penyakit organik atau tanpa adanya penyakit
organik, hal ini tidak akan terjadi.(2)

Gangguan psikiatri terutama cemas dan depresi banyak


dilaporkan terjadi pada gangguan gastrointestinal fungsional, paling
sering pada kasus dispepsia dan Irritable Bowel Syndrome (IBS).
Peranan faktor psikologis cukup besar pada perjalanan penyakit ini,
walaupun sulit untuk dikatakan sebagai hubungan kausatif.(3)

Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia


yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala
penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan,
psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak
berdaya, serta bunuh diri.(4)

Faktor penyebab depresi dapat secara buatan dibagi menjadi 3


bagian yaitu faktor biologi, faktor genetik, dan faktor psikososial.
Factor biologi yang berhubungan dengan terjadinya depresi adalah
neurotransmitter serotonin dan norepinefrin. Penurunan serotonin dan
norepinefrin ini dapat mencetuskan depresi.(4)

Selain neurotransmitter depresi juga terjadi akibat Disregulasi


neuroendokrin. Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis
neuroendokrin, menerima input neuron yang mengandung
neurotransmiter amin biogenik. Pada pasien depresi ditemukan adanya
disregulasi neuroendokrin. Disregulasi ini terjadi akibat kelainan fungsi
neuron yang mengandung amin biogenik. Sebaliknya, stres kronik yang
mengaktivasi aksis Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) dapat
menimbulkan perubahan pada amin biogenik sentral. Aksis
neuroendokrin yang paling sering terganggu yaitu adrenal, tiroid, dan
aksis hormon pertumbuhan. Aksis HPA merupakan aksis yang paling
banyak diteliti. Hipersekresi CRH merupakan gangguan aksis HPA
yang sangat fundamental pada pasien depresi. Hipersekresi yang terjadi
diduga akibat adanya defek pada sistem umpan balik kortisol di sistem
limpik atau adanya kelainan pada sistem monoaminogenik dan
neuromodulator yang mengatur CRH. Sekresi CRH dipengaruhi oleh
emosi. Emosi seperti perasaan takut dan marah berhubungan dengan
Paraventriculer nucleus (PVN), yang merupakan organ utama pada
sistem endokrin dan fungsinya diatur oleh sistem limbik. Emosi
mempengaruhi CRH di PVN, yang menyebabkan peningkatan sekresi
(4)
CRH

Pengaruh genetik terhadap depresi tidak disebutkan secara


khusus, hanya disebutkan bahwa terdapat penurunan dalam ketahanan
dan kemampuan dalam menanggapi stres. Proses menua bersifat
individual, sehingga dipikirkan kepekaan seseorang terhadap penyakit
adalah genetik. (4)

Sedangkan factor psikososial yang menyebabkan depresi yaitu,


menurut Freud dalam teori psikodinamikanya, penyebab depresi adalah
kehilangan objek yang dicintai. Ada sejumlah faktor psikososial yang
diprediksi sebagai penyebab gangguan mental pada lanjut usia yang
pada umumnya berhubungan dengan kehilangan. Faktor psikososial
tersebut adalah hilangnya peranan sosial, hilangnya otonomi, kematian
teman atau sanak saudara, penurunan kesehatan, peningkatan isolasi
diri, keterbatasan finansial, dan penurunan fungsi kognitif. (4)
Peristiwa kehidupan dan stresor lingkungan. Peristiwa
kehidupan yang menyebabkan stres, lebih sering mendahului episode
pertama gangguan mood dari episode selanjutnya. Para klinisi
mempercayai bahwa peristiwa kehidupan memegang peranan utama
dalam depresi, klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa kehidupan
hanya memiliki peranan terbatas dalam onset depresi. Stressor
lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu episode
depresi adalah kehilangan pasangan. (4)

c. Terapi
Banyak jenis terapi, efektivitas akan berbeda dari orang ke orang
dari waktu ke waktu. Psikiater memberikan medikasi dengan anti
depresan dan medikasi lainnya untuk membuat keseimbangan kimiawi
otak penderita. Pilihan terapi sangat bergantung pada hasil evaluasi
riwayat kesehatan fisik dan mental penderita. Pada gangguan depresif
ringan seringkali psikoterapi saja dapat menolong. Tetapi, tidak jarang
diperlukan juga terapi psikofarmaka antidepresan.

Pada kasus depresi sering digunakan obat anti-depresi serotonin


selective reuptake inhibitor (SSRI). Dimana penggunaan SSRI memiliki
kapasitas untuk menghambat re-uptake aminergic neurotransmitter serta
menghambat penghancuran oleh enzim monoaminase oxidase sehingga
terjadi peningkatan jumlah aminergic neurotransmitter pada celah
sinaps neuron tersebut yang dapat meningkatkan aktivitas reseptor
serotonin.(5)
Selain itu, Benzodiazepin pada penggunaan klinis memiliki
kapasitas untuk menguatkan ikatan neurotransmiter inhibitori utama
asam gamma-aminobutirat (GABA) pada reseptor GABAA, sehingga
mempercepat arus ionik terinduksi-GABA melalui saluran ini. Semua
efek benzodiazepin dihasilkan oleh kerjanya pada sistem saraf pusat
(SSP). Efek-efek ini yang paling dominan adalah sedasi, hipnosis,
penurunan ansietas; relaksasi otot, amnesia anterograde, dan aktivitas
antikonvulsan.(3)

Pengobatan untuk pasien ini bisa ditambahkan dengan


memberikan obat yang menurunkan gejala nyeri perut atau nyeri ulu
hati seperti obat golongan PPI (omeprazol, lazoprazol) atau
antihistamin H2 (ranitidin, simetidin).
IV. Kesimpulan

Berdasarkan kasus ini, hal yang bisa dijadikan sebagai pembelajaran


adalah bagaimana berkomunikasi yang baik dengan pasien sehingga
masalah utama yang dirasakan pasien dapat kita ketahui dan rasakan.
Kesulitan dalam melakukan wawancara sebaiknya direfleksikan pada diri
bahwa mungkin pasien masih belum percaya pada kita untuk menceritakan
masalahnya. Hal ini penting karena menjadi dasar pada pengobatan
psikologis pasien.

Daftar Pustaka

1. Maslim R (ed). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III.


Jakarta: Bagian Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya, PT Nuh Jaya; 2001.
2. Noerhidajati E, Izzudin, Djagat H. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Amplifikasi Somatosensori Pada Penderita dengan Keluhan Nyeri Ulu Hati.
Sains Medika Jurnal Kesehatan, 2010: 2 (2); 178-192.
3. Utama H (ed). Buku Ajar Psikiatri Edisi Kedua. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2013
4. Sadock B J, Sadock V A. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi
2. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta; 2010.
5. Muslim, Rusdi. Panduan Praktis, Penggunaan klinis Obat Psikotropik.
Jakarta: Bagian Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya, PT Nuh Jaya; 2007.

Anda mungkin juga menyukai