Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA NY. W DENGAN DIABETES MELLITUS

DIRUANG TERATAI 3

RSUD RA KARTINI JEPARA

Di susun oleh :

1. Agung setianto 2017’1314

2. Eka sugiyarti 2017’1283

3. Etti widia sari 2017’1286

4. Eva ernawati 2017’1287

5. Stevi anggara 2017’1301

Kelas : 2A /IV

AKADEMI KEPERAWATAN KRIDA HUSADA KUDUS

TAHUN AJARAN 2018/2019


A. Pengertian

Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti “mengalirkan atau mengalihkan”

(siphon). Mellitus berasal dari bahasa latin yang bermakna manis atau madu. Penyakit

diabetes melitus dapat diartikan individu yang mengalirkan volume urine yang banyak

dengan kadar glukosa tinggi. Diabetes melitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai

dengan ketidakadaan absolute insulin atau penurunan relative insensitivitas sel terhadap

insulin (Corwin, 2009).

Diabetes Melitus (DM) adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai

kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi

kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah, disertai lesi pada membran basalis

dalam pemeriksaan dengan mikroskop elektron (Mansjoer, 2010).

DM ialah sekelompok kelainan heterogen yg ditandai oleh kelainan kadar glukosa

dalam darah atau hiperglikemia yg disebabkan defisiensi insulin atau akibat kerja insulin yg

tidak adekuat (Brunner & Suddart, 2012).

B. Etiologi

1. Diabetes Melitus tergantung insulin (DMTI)

a) Faktor genetic :

Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri tetapi

mewarisi suatu presdisposisi atau kecenderungan genetic kearah terjadinya

diabetes tipe I. Kecenderungan genetic ini ditentukan pada individu yang


memililiki tipe antigen HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA

merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen tranplantasi

dan proses imun lainnya.

b) Faktor imunologi :

Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun.

Ini merupakan respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan

normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang

dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing.

c) Faktor lingkungan

Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel β pancreas,

sebagai contoh hasil penyelidikan menyatakan bahwa virus atau toksin

tertentu dapat memicu proses autoimun yang dapat menimbulkan destuksi

sel β pancreas.

2. Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI)

Secara pasti penyebab dari DM tipe II ini belum diketahui, factor genetic

diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.

Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI) penyakitnya mempunyai pola familiar

yang kuat.DMTTI ditandai dengan kelainan dalam sekresi insulin maupun dalam kerja

insulin.Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja

insulin.Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel

tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselluler yang meningkatkan transport glukosa

menembus membran sel. Pada pasien dengan DMTTI terdapat kelainan dalam pengikatan
insulin dengan reseptor. Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat

reseptor yang responsif insulin pada membran sel. Akibatnya terjadi penggabungan

abnormal antara komplek reseptor insulin dengan system transport glukosa. Kadar glukosa

normal dapat dipertahankan dalam waktu yang cukup lama dan meningkatkan sekresi

insulin, tetapi pada akhirnya sekresi insulin yang beredar tidak lagi memadai untuk

mempertahankan euglikemia (Price, 1995 cit Indriastuti 2008).

Diabetes Melitus tipe II disebut juga Diabetes Melitus tidak tergantung insulin

(DMTTI) atau Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) yang merupakan suatu

kelompok heterogen bentuk-bentuk Diabetes yang lebih ringan, terutama dijumpai pada

orang dewasa, tetapi terkadang dapat timbul pada masa kanak-kanak.

Faktor risiko yang berhubungan dengan proses terjadinya DM tipe II, diantaranya adalah:

a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun)

b. Obesitas

c. Riwayat keluarga

d. Kelompok etnik

C. Patofisiologi

Diabetes tipe I. Pada diabetes tipe satu terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan

insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiperglikemi

puasa terjadi akibat produkasi glukosa yang tidak terukur oleh hati.Di samping itu glukosa
yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam

darah dan menimbulkan hiperglikemia posprandial (sesudah makan).

Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat menyerap

kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam

urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan di ekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini

akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan

diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami

peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia).

Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan lemak yang

menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan

(polifagia), akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan

kelemahan. Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan

glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari dari asam-

asam amino dan substansi lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan

terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut akan turut menimbulkan hiperglikemia. Disamping

itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton

yang merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang

menggangu keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis

yang diakibatkannya dapat menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen,

mual, muntah, hiperventilasi, nafas berbau aseton dan bila tidak ditangani akan

menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama

cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik
tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai

pemantauan kadar gula darah yang sering merupakan komponen terapi yang penting.

Diabetes tipe II.Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan

dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin

akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin

dengan resptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam

sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini.

Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa

oleh jaringan.

Untuk mengatasi resistensi insulin dan untuk mencegah terbentuknya glukosa dalam

darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita

toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan

kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun

demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin,

maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II. Meskipun terjadi gangguan

sekresi insulin yang merupakan ciri khas DM tipe II, namun masih terdapat insulin dengan

jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang

menyertainya.Karena itu ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II.Meskipun

demikian, diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya

yang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketoik (HHNK).

Diabetes tipe II paling sering terjadi pada penderita diabetes yang berusia lebih dari 30

tahun dan obesitas.Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama bertahun-

tahun) dan progresif, maka awitan diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi.Jika
gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan dan dapat mencakup

kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsi, luka pada kulit yang lama sembuh-sembuh,

infeksi vagina atau pandangan yang kabur (jika kadra glukosanya sangat tinggi).

D.Patways

Keseimbangan produksi insulin kerusakan sel beta fakror genetic,infeksi virus,pengrusakan dan imunologik

Gula darah tidak dapat di bawa masuk

Hiperglikemia viskositas dalam darah syok hiperglikemik anabolisme protein menurun


meningkt
koma diabetikum,kerusakan pada anti bodi

Batas melebihi ambang ginjal aliran darah melambat kekebalan tubuh menurun

Glukosuria iskemik jaringan Resiko Neuropati sensori perifer

Deuresis osmotic Ketidak efektifan perfusi jaringan Nekrokis luka klien tidak mersa

Retensi urin kehilangan kalori Gangren Kerusakan integritas Kulit

Kehilangan elektrolit dalam sel Sel kekurangan bahan untuk metabolisme

Dehridrasi protein dan lemak dibakar

Resiko Syok BB menurun

Merangsang Hipotalamus Kelemahan

Pusat lapar dan haus katabolisme lemak pemecahan protein

Polidipsia,polipagia Ketoadosis asam lemak keton ureum

Keseimbangan nutrisi Kurang dari

Resiko ketidakseimbangan
E. Klarifikasi

Dokumen konsesus tahun 1997 oleh American Diabetes Association’s Expert

Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Melitus, menjabarkan 4

kategori utama diabetes, yaitu: (Corwin, 2009)

1. Tipe I: Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM)/ Diabetes Melitus

tergantung insulin (DMTI)

Lima persen sampai sepuluh persen penderita diabetik adalah tipe I. Sel-

sel beta dari pankreas yang normalnya menghasilkan insulin dihancurkan oleh

proses autoimun. Diperlukan suntikan insulin untuk mengontrol kadar gula

darah. Awitannya mendadak biasanya terjadi sebelum usia 30 tahun.

2. Tipe II: Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)/ Diabetes Mellitus

tak tergantung insulin (DMTTI)

Sembilan puluh persen sampai 95% penderita diabetik adalah tipe

II.Kondisi ini diakibatkan oleh penurunan sensitivitas terhadap insulin

(resisten insulin) atau akibat penurunan jumlah pembentukan insulin.

Pengobatan pertama adalah dengan diit dan olah raga, jika kenaikan kadar

glukosa darah menetap, suplemen dengan preparat hipoglikemik (suntikan

insulin dibutuhkan, jika preparat oral tidak dapat mengontrol hiperglikemia).

Terjadi paling sering pada mereka yang berusia lebih dari 30 tahun dan pada

mereka yang obesitas.

3. DM tipe lain
Karena kelainan genetik, penyakit pankreas (trauma pankreatik), obat,

infeksi, antibodi, sindroma penyakit lain, dan penyakit dengan karakteristik

gangguan endokrin.

4. Diabetes Kehamilan: Gestasional Diabetes Melitus (GDM)

Diabetes yang terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak

mengidap diabetes.

F. Manifestasi Klinik

1. Diabetes Tipe I

- hiperglikemia berpuasa

- glukosuria, diuresis osmotik, poliuria, polidipsia, polifagia

- keletihan dan kelemahan

- ketoasidosis diabetik (mual, nyeri abdomen, muntah, hiperventilasi,

nafas bau buah, ada perubahan tingkat kesadaran, koma, kematian)

2. Diabetes Tipe II

- lambat (selama tahunan), intoleransi glukosa progresif

- gejala seringkali ringan mencakup keletihan, mudah tersinggung,

poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang sembuhnya lama, infeksi

vaginal, penglihatan kabur

- komplikasi jangka panjang (retinopati, neuropati, penyakit vaskular

perifer)
G. KOMPLIKASI

Menurut Tarwoto (2012) komplikasi yang berkaitan dengan diabetes melitus

digolongkan menjadi dua, yaitu :

1. Komplikasi Akut

Komplikasi akut terjadi sebagai akibat dari ketidakseimbangan

jangka pendek dalam glukosa darah, yaitu : hipoglikemia, ketoasidosis

diabetik, sindrom hiperglikemik hiperosmolar non-ketotic (HHNK).

a. Hipoglikemia

Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala klinis penderita

merasa pusing, lemas, gemetar, pandangan berkunang-kunang,

pitam (pandangan menjadi gelap), keluar keringat dingin, detak

jantung meningkat, sampai hilang kesadaran.Apabila tidak segera

ditolong dapat terjadi kerusakan otak dan akhirnya kematian.

Menurut Depkes (2005), serangan hipoglikemia pada penderita

diabetes umumnya terjadi apabila penderita:

1) Lupa atau sengaja meninggalkan makan (pagi, siang atau

malam)

2) Makan terlalu sedikit, lebih sedikit dari yang disarankan oleh

dokter atau ahli gizi

3) Berolah raga terlalu berat

4) Mengkonsumsi obat antidiabetes dalam dosis lebih besar

dari pada seharusnya.

5) Minum alkohol
6) Stress.

7) Mengkonsumsi obat-obatan lain yang dapat meningkatkan

risiko.

b. Sindrom hiperglikemik hiperosmolar non- ketotic

HHNK terjadi pada manula, penyandang diabetes dengan

obesitas, seringkali adanya diabetes tidak terdiagnosis

sebelumnya.Seringkali ditemukan faktor pencetus seperti infark

miokard, stroke, atau infeksi.Onsetnya lambat dengan poliuri

selama 2-3 minggu dan dehidrasi progresif. Kadar glukosa

darah tinggi (sering di atas 45,0 mmol/L) dan osmolalitas

(seringkali di atas 400 mmol/L). Bikarbonat plasma biasanya

normal tanpa disertai ketonuria. Jika kadar bikarbonat plasma

rendah, pikirkan asidosis laktat. Pasien ini memrlukan cairan

dalam jumlah banyak (10 liter) yang diberikan dalam bentuk

Nacl 0,9 % (David. dkk, 2011).

2. Komplikasi kronis

Umumnya terjadi 10 sampai 15 tahun setelah awitan, yaitu :

makrovaskuler, mikrovaskular, dan penyakit neuropati.

a. Komplikasi mikrovaskuler

Komplikasi mikrovaskuler berupa retinopati, nefropati, dan

neuropati merupakan kelainan yang lebih sering timbul setelah

pubertas, namun juga dapat terjadi selama periode prepurbertas


memberikan efek yang tidak sama pada masing-masing

individu dalam hal komplikasi.

b. Neuropati

Menurut Batubara (2010), sistem saraf sentral dan perifer

juga terkena oleh diabetes. Pola keterlibatan yang paling sering

adalah neuropati perifer simetris di ekstremitas bawah yang

mengenai, baik fungsi motorik maupun sensorik, terutama

yangterakhir.Walaupun gejala klinis kelainan saraf pada anak

dan remaja jarang didapatkan namun eberadaan kelainan

subklinis sudah didapatan. Evaluasi klinis dari pemeriksaan

saraf perifer harus meliputi:

1. Anamnesis timbulnya nyeri,parestasia,maupun rasa tebal.

2. Penentuan sensasi vibrasi.

c. Komplikasi makrovaskuler

Penelitian tentang penebalan intima-media pada karotis

merupakan tanda yang sensitif untuk timbulnya komplikasi

makrovaskuler yaitu penyakit jantung koroner dan penyakit

serebro vaskuler.
H. Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Tarwoto (2012), untuk menentukan penyakit DM, di samping di kaji ng

dan gejala yang dialami pasien juga yang penting adalah di lakukan tes diagnostik

diantarannya:

1. Pemeriksaan gula dara puasa atau fasting Blood sugar (FBS)

Tujuan : Menentukan jumlah glukosa darah pada saat puasa

Pembatasaan : Tidak makan selama 12 jam sebelum tes biasanya jam 08.00

pagi sampai jam 12.00, minum boleh

Prosedur : Darah diambil dari vena dan kirim ke laboratorium

Hasil : Normal : 80-120 mg/ 100 ml serum

Abnormal : 140 mg/100 ml atau lebih

2. Pemeriksaan gula darah postprandial

Tujuan : Menentukan gula darah setelah makan

Pembatasaan : Tidak ada

Prosedur : pasien diberi makan kira-kira 100 gr karbohidrat, dua jam kemudian

di ambil darah venanya

Hasil : Normal (kurang dari 20 mg/100 ml serum)

Abnormal : lebih dari 120 mg/100 ml atau lebih, indikasi DM.

3. Pemeriksaan toleransi glukosa oral/oral glukosa tolerance tes (TTGO)


Tujuan : Menentukan toleransi terhadap respons pemberian glukosa

Pembatasan : Pasien tidak makan 12 jam seblum tes dan selama test, boleh

minum air putih, tidak merokok, ngopi atau minum the selama pemeriksaan

(untuk mengukur respon tubuh terhadap karbohidrat), sedikit aktivitas, kurangi

sters (keadaan banyak aktivitas dan stress menstimulasi epinephrine dan

kortisol dan berpengaruh terhadap peningkatan gula darah melalui peningkatan

glukoneogenesis).

Prosedur : Pasien di beri makan tinggi karbohidrat selama 3 hari sebelum tes.

Kemuadian puasa selama 12 jam, ambil darah puasa dan urin untuk

pemeriksaaan. Berikan 100 gr glukosa ditambah juice lemon melalui

mulut,periksaa darah dan urine ½, 1,2,3,4, dan 5 jam setelah pemberian

glukosa.

Hasil : Normal puncaknya jam pertama setelah pemberian 140 mg/dl dan

kembali normal 2 atau 3 jam kemudian.

Abnormal : Peningkatan glukosa pada jam pertama tidak kembali setelah 2 atau

3 jam, urine positif glukosa

4. Pemeriksaan glukosa urine

Pemeriksaan ini kurang akurat karena hasil pemeriksaan ini banyak

dipengaruhi oleh berbagai hal misalnya karena obat-obatan seperti aspirin,

vitamin C dan beberapa antibiotik, adanya kelainan ginjal pada lansia dimana

ambang ginjal meningkat. Adanya glukosuria menunjukkan bahwa ambang

ginjal terhadap glukosa terganggu.


5. Pemeriksaan ketone urin

Badan ketone merupakan produk sampingan proses pemecahan lemak, dan

senyawa ini akan menumpuk pada darah dan urine. Jumlah keton yang besar

pada urin akan merubah preaksi pada stirip menjadi keunguan. Adanya

ketonuria menunjukkan adanya ketoasidosis

6. Pemeriksaan kolesterol dan kadar serum trigliserida, dapat meningkat karena

ketidakadekuatan kontrol glikemik

7. Pemeriksaan hemoglobin glikat (HbA1c)

Pemeriksaan lain untuk memantau rata-rata kadar glukosa darah

adalahglykosytaled hemoglobin ( HbA1c). tes ini mengukur protensis glukosa

yang melekat pada hemoglobim. Pemeriksaan ini menunjukkan kadar glukosa

rata-rata selama 120 hari sebelumnya, sesuai dengan usia eritrosit. HbA1c

digunakan untuk mengkaji kontrol glukosa jangka panjang, sehingga dapat

memprediksi risiko komplikasi.Hasil HbA1c tidak berubah karna pengaruh

kebiasaan makan sehari sebelum test. Pemeriksaan HbA1c dilakukan

diagnosis dan pada inteval tertentu untul mengevaluasi penatalaksanaan DM,

direkomendasikan dilakukan 2 kali dalam sethaun bagi pasien DM. kadar

yang direkomendasikan oleh ADA < 7% (ADA 2003 dalam black dan hawks,

2005 : ignativicius dan workman, 2006).

I. Penatalaksanaan

1. Medis
Tujuan utama terapi DM adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar

glukosa darah dalam upaya mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta

neuropatik. Tujuan terapeutik pada setiap tipe DM adalah mencapai kadar glukosa

darah normal tanpa terjadi hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktivitas

pasien. Ada lima komponen dalam penatalaksanaan DM, yaitu

a. Diet

Syarat diet DM hendaknya dapat :

1) Memperbaiki kesehatan umum penderita

2) Mengarahkan pada berat badan normal

3) Menekan dan menunda timbulnya penyakit angiopati diabetik

4) Memberikan modifikasi diit sesuai dengan keadaan penderita

5) Menarik dan mudah diberikan

Prinsip diet DM, adalah :

1) Jumlah sesuai kebutuhan

2) Jadwal diet ketat

3) Jenis : boleh dimakan / tidak

Dalam melaksanakan diit diabetes sehari-hari hendaklah diikuti pedoman 3 J

yaitu:

- jumlah kalori yang diberikan harus habis, jangan dikurangi atau ditambah

- jadwal diit harus sesuai dengan intervalnya

- jenis makanan yang manis harus dihindari


b. Latihan

Beberapa kegunaan latihan teratur setiap hari bagi penderita DM, adalah :

- Meningkatkan kepekaan insulin, apabila dikerjakan setiap 1 1/2 jam sesudah

makan, berarti pula mengurangi insulin resisten pada penderita dengan

kegemukan atau menambah jumlah reseptor insulin dan meningkatkan

sensivitas insulin dengan reseptornya.

- Mencegah kegemukan bila ditambah latihan pagi dan sore

- Memperbaiki aliran perifer dan menambah suplai oksigen

- Meningkatkan kadar kolesterol – high density lipoprotein

- Kadar glukosa otot dan hati menjadi berkurang, maka latihan akan dirangsang

pembentukan glikogen baru.

- Menurunkan kolesterol (total) dan trigliserida dalam darah karena pembakaran

asam lemak menjadi lebih baik.

c. Penyuluhan

Penyuluhan merupakan salah satu bentuk penyuluhan kesehatan kepada

penderita DM, melalui bermacam-macam cara atau media misalnya: leaflet,

poster, TV, kaset video, diskusi kelompok, dan sebagainya.

d. Obat

1) Tablet OAD (Oral Antidiabetes)/ Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

a) Mekanisme kerja sulfanilurea


Obat ini bekerja dengan cara menstimulasi pelepasan insulin yang

tersimpan, menurunkan ambang sekresi insulin dam meningkatkan

sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa. Obat golongan ini

biasanya diberikan pada penderita dengan berat badan normal dan masih

bisa dipakai pada pasien yang berat badannya sedikit lebih.

b) Mekanisme kerja Biguanida

Biguanida tidak mempunyai efek pankreatik, tetapi mempunyai efek

lain yang dapat meningkatkan efektivitas insulin, yaitu :

1. Biguanida pada tingkat prereseptor → ekstra pankreatik

- Menghambat absorpsi karbohidrat

- Menghambat glukoneogenesis di hati

- Meningkatkan afinitas pada reseptor insulin

2. Biguanida pada tingkat reseptor : meningkatkan jumlah reseptor

insulin

3. Biguanida pada tingkat pascareseptor: mempunyai efek intraselluler

2) Insulin

a) Indikasi penggunaan insulin

1. DM tipe I

2. DM tipe II yang pada saat tertentu tidak dapat dirawat dengan

OAD

3. DM kehamilan
4. DM dan gangguan faal hati yang berat

5. DM dan gangguan infeksi akut (selulitis, gangren)

6. DM dan TBC paru akut

7. DM dan koma lain pada DM

8. DM operasi

9. DM patah tulang

10. DM dan underweight

11. DM dan penyakit Graves

b) Beberapa cara pemberian insulin

Suntikan insulin subkutan

Insulin regular mencapai puncak kerjanya pada 1 – 4 jam, sesudah

suntikan subcutan, kecepatan absorpsi di tempat suntikan tergantung

pada beberapa faktor antara lain :

c. Cangkok pankreas

Pendekatan terbaru untuk cangkok adalah segmental dari donor hidup

saudara kembar identik

D. Diagnosa Keperawatan

Berdasarkan pengkajian data keperawatan yang sering terjadi berdasarkan

teori, maka diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien Diabetes

Mellitus yaitu :
1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d gangguan

keseimbangan insulin, makanan dan aktivitas jasmani.

2. Resiko Syok

3. Kerusakan integritas jaringan

4. Resiko infeksi b.d hyperglikemia

5. Retensi urin b.d inkomplit pengosongan kandung kemih,sfingter kuat dan

poliuri

6. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d penurunan sirkulasi darah ke

perifer, proses penyakit (DM)

7. Resiko ketidakseimbangan elektrolit b.d gejala poliuria dan dehidrasi


DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth.2012. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 12 vol 3. Jakarta: EGC

Corwin EJ,(2009), Buku Saku Patofisiologi, Alih Bahasa James Veldan, Editor Bahasa

Indonesia Egi Komara Yuda et al. Jakarta : EGC

Mansjoer, A dkk. 2010. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius

Nurarif Amin Huda dan Kusuma Hardhi (2013).Aplikasi Keperawatan berdasarkan Diagnosa

Medis dan NANDA NIC-NOC jilid 1 : Mediaction publishing : Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai