Maka perlu kiranya seseorang memahami mengapa manusia perlu beragama? Dan apa pula
hakikat agama itu? Jawaban kedua pertanyaan ini seharusnya diajukan oleh tiap orang yang
memeluksebuah agama.
Betapapun cerdasnya manusia, jika hanya dengan akalnya ia tak akan bisa menjawab dengan
pasti pertanyaan: darimana ia berasal?, kemanakah ia setelah mejalani hidup ini? dan untuk
apa ia hidup?. Banyak filosof dan pemikir yang mencoba mencari jawaban pertanyaan-
pertanyaan ini, namun tak ada jawaban pasti yang dapat mereka berikan. Karenanya tak
mengherankan jika jawaban- jawaban itu berbeda-beda satu dengan yang lain. Ini terjadi
karena jawaban- jawaban yang mereka berikan hnya didasarkan pada asumsi-asumsi dan
prasangka. Jawaban pasti terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas, hanya bisa didapatkan
melui agama dan itu pun tidak semua agama. Sebab pada hakikatnya jawaban pasti itu adalah
berasal dari Tuhan yang menciptakan manusia dan jagat raya ini. Dan saat ini hanya Islamlah
yang mempunyai sumber autentik firman Tuhan, yaitu Al-Qur’an. Selain Al-Qur’an semua
sudah tercampur denganperkataan manusia, bahkan ada yang murni hasil karya manusia
namun dianggapfirmanTuhan.
Bukti yang paling jelas menunjukkan bahwa secara fitrah manusia butuh terhadap agama
adalah kenyataan bahwa semua bangsa mengenal kepercayaan terhadap dzat yang dianggap
agung. Baik itu bangsa yang primitif maupun yang berperadaban, yang di barat maupun yang
di timur, yang kuno maupun yang modern. Sedangkan orang-orang yang mengaku tidak
percaya terhadap Tuhan, itu sebenarnya adalah hanya sebuah pelarian dari rasa kecewa
terhadap agama yang mereka lihat. Padahal yang salah adalah ajaran agama itu dan sama
sekali itutidak membuktikan bahwa Tuhan tidak ada.
فطرت هللا التى فطر النا س عـليها, فأقم وجهك للدين حنيفا
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah ata
Kehidupan manusia tak selamanya mulus tanpa kerikil dan batu sandungan. Ada saat-saat
gembira, bahagia, damai dan tentram namun juga ada saat dimana ia sedih, gundah,
menderita dan tertimpa musibah. Disaat jiwa sedang dalam kondisi lemah seperti itulah
semakin terasa ia membutuhkan kekuatan yang bisa mengembalikan rasa bahagia, tentram
dan damai yang hilang. Atau paling tidak ia bisa menghadapi semua itu dengan jiwa yang
besar, ketabahan dankesadaran. Keyakinan dan keimanan terhadap agamalah sumber
kekuatan itu. Sebab hanya agamalah yang mengajarkan tentang kepercayaan terhadap takdir,
tawakkal, kesabaran, pahala dan siksa. Dengan kepercayaan terhadap takdir ia bisa dengan
mudah menerima kenyataan. Dengan tawakkal ia tidak akan terlalu kecewa jika ternyata jerih
payahnya tak sesuai dengan harapan. Dan dengan kepercayaan terhadap pahala dan siksa ia
akan bisa segera bangkit kembali tatkala didzalimi orang lain. Dengan kepercayaan semacam
itulah jiwa akan menjadi sehat dan rohani akan menjadi kuat.
Tentang kaitan antara agama dan kesehatan jiwa ini Dr. Karl Bang memberikan kesaksian:
“Setiap pasien yang berkonsultasi padaku semenjak tiga puluh tahun yang lalu yang berasal
dari seluruh penjuru dunia, ternyata sesungguhnya penyebab sakit mereka adalah kurangnya
keimanan dan goyahnya akidah mereka. Sementara mereka tidak akan mendapatkan
kesembuhan kecua lisetelah mereka mengembalikan keimanan mereka”.
Hukum dan peraturan jelas tidak bisa menjamin bahwa anggota sebuah masyarakat akan bisa
melaksanakan kebaikan, menunaikan kewajiban dan meninggalkan larangan. Sebab hukum
dan peraturan itu tidak bisa menciptakan motivasi dan menumbuhkan kedisiplinan. Karena
memanipulasi hukum adalah suatu hal yang mungkin terjadi dan mencurangi peraturan
adalah bukan hal sulit untuk dilakukan.
Hukum dan peraturan hanyalah sebuah perwujudan dari pengawasan eksternal, dan itu tidak
cukup sampai di situ. Masyarakat membutuhkan motivasi internal yang kita kenal dengan
hati nurani. Dengan membina hati nurani inilah seorang manusia akan termotivasi untuk
melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan dengan sukarela walaupun tanpa ada
pengawasan dari manusia dan tekanan dari hukum dan peraturan.
Peran pembinaan terhadap hati nurani inilah yang tak dapat dilakukan selain oleh agama.
Apalagi agama juga mengajarkan adanya “pengawasan melekat” oleh Tuhan terhadap seluruh
perbuatan manusia. Motivasi hati nurani dan “pengawasan melekat” seperti inilah yang bisa
menjamin suburnya nilai-nilai kebaikan dan akhlak mulia dalam masyarakat.Marilah kita
simak kata-kata Voltair berikut ini:
“Mengapa kalian meragukan eksistensi Tuhan, padahal kalau bukan karena Tuhanniscaya
istriku telah mengkhianatiku (berbuat serong) dan pembantuku telahmencuri hartaku”.
Agama sesungguhnya memiliki peran yang sangat besar urgensinya dalam mempererat
hubungan antara manusia satu sama lain, dalam status mereka semua sebagai hamba milik
satu Tuhan (Allah) yang talah menciptakan mereka dan dalam status mereka semua sebagai
anak dari satu bapak (Adam) yang telah menurunkan mereka, terlebih lagi dengan
persaudaraan akidah dan ikatan iman yang dibangun oleh agama diantara mereka.
Bahkan ikatan akidah dan keimanan ini mampu melampaui batas-batas bangsa, suku, warna
kulit, jenis kelamin dan melebihi ikatan darah dan kekerabatan. Maka tidak mengherankan
jika kita menemukan mereka mencintai yang lainnya sebagaimana ia mencintai dirinya
sendiri, rela mengorbankan nyawa demi saudaranya dan berlinang air mata karena
penderitaan saudaranya di negeri lain meskipun dipisahkan jarak beribu-ribu kilo meter.
Dengan cinta dan pengorbanan semacam itulah sebuah masyarakat menjadi solid dan kokoh
dalam menjalankan agama.
Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Kuasa di muka bumi ini sebagai makhluk yang paling
sempurna dibandingkan dengan makhluk lain. Melalui kesempurnaannya itu manusia bisa
berpikir, bertindak, berusaha, dan bisa menentukan mana yang benar dan baik. Di sisi lain,
manusia meyakini bahwa dia memiliki keterbatasan dan kekurangan. Mereka yakin ada
kekuatan lain, yaitu Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta. Oleh sebab itu, sudah menjadi
fitrah manusia jika manusia mempercayai adanya Sang Maha Pencipta yang mengatur
seluruh sistem kehidupan di muka bumi. Dalam kehidupannya, manusia tidak bisa
meninggalkan unsur Ketuhanan. Manusia selalu ingin mencari sesuatu yang sempurna. Dan
sesuatu yang sempurna tersebut adalah Tuhan. Hal itu merupakan fitrah manusia yang
diciptakan dengan tujuan untuk beribadah kepada Tuhannya.
Dari zanman dahulu hingga pada saat ini masih banyak para peneliti yang masih
mempertanyakan tentang asal usul dari manusia yang diciptakanoleh allah di atas bumi
ini,hingga pada saat ini sudah ada beberapa versi mengenai hal tersebut.
Dan sekarang saya akan mencoba menjelaskan asal usul manusia menurut Al-Qur’an
Diantara sekian banyak penemuan yang sudah didapatkan oleh para peneliti dalam bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin hari semakin canggih,akan tetapi masih ada
satu permasalahan yang hingga detik ini masih belum mampu ada jawaban dari manusia
secara tepat dan benar,dan masalah itu adalah asal usul dari adanya manusia.
Menurut kitab suci Al-Qur’an pada surat AL-HIJR (15),28-29,asal usul manusia adalah
ketika ALLAH berfirman ; dan ingatlah ketika tuhanmu berfirman kepada para
malaikat;”sesungguhnya aku akan menciptakan seseorang dari tanah liat kering yang berasal
dari lumpur hitam yang diberi bentuk,maka apabila aku telah menyempurnakan
kejadianya,danb telah meniupkan kedalamnya ruh ciptanku maka tunduklah kamu kepadanya
dengan bersujud.
Ungkapan ilmiah dari Al-Qur’andan hadist 15 abad islam telah menjadi bahan penelitian bgi
para ahli biologi untuk memperdalam ilmu tentang organ-organ dan jasad manusia.
4. Makhluk Berakhlak
Akhlak merupakan gambaran atau wujud diri manusia yang sebenarnya, ketika manusia
memiliki akhlak yang baik, maka ia memilki kedudukan yang tinggi di mata Allah. Sebaliknya
jika manusia memiliki akhlak yang buruk, maka kedudukannya rendah di mata Allah. Akhlak
merupakan salah satu keunggulan yang dimiliki manusia, karena manusia memiliki akhlak,
maka manusia mempunyai kemampuan untuk membedakan yang hak dengan yang batil.
5. Makhluk Kontroversial
Manusia disebut makhluk kontrovesial, karena ketika manusia menggunakan akalnya dan
dapat mengendalikan nafsunya serta beriman kepada Allah, maka manusia merupakan
makhluk yang paling tinggi kedudukannya diantara makhluk lain. Ketika manusia tidak
mempergunakan akalnya dan diperbudak oleh hawa nafsu, maka akan menjadi makhluk yang
paling hina dan rendah. Hal ini akan terjadi apabila manusia melakukan kerusakan dan
kejahatan di muka bumi, maka dampak kerusakan yang timbul akan amat dahsyat, karena tidak
ada makhluk lain yang dapat melakukan kerusakan yang sedahsyat manusia.