Anda di halaman 1dari 25

MANAJEMEN NYERI (ETIOLOGI, BIOLOGIC STRESS RESPONSE, PENGKAJIAN NYERI : BPS

DAN CPOT, MANAGEMEN NYERI

Rustiani Ayu A 1610711005


Astie Rina A 1610711010
Luigisha Augusti 1610711012
Risma Awalia P 1610711017
Kris Prihatin 1610711020
Ulfa Aeni 1610711021
Mei Diana A 1610711033
Yenti Herawati 1610711034
Siti hidayatun nazza 1610711037

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEMBANGGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
2019
A. Etiologi
1. Trauma
a. Mekanik
Rasa nyeri yang timbul akibat ujung-ujung saraf bebas mengalami kerusakan, misalnya akibat
benturan, gesekan, luka dan lain-lain.
b. Thermis
Nyeri timbul karena ujung syaraf reseptor mendapat rangsangan akibat panas, dingin, misalnya
terkena api atau air.
c. Khemis
Timbul karena kontak dengan zat kimia yang bersifat asam atau zat basa yang kuat
d. Elektrik
Timbul karena pengaruh aliran listrik yang kuat mengenai reseptor rasa nyeri yang menimbulkan
kekejangan otot dan luka bakar
2. Neoplasma
Neoplasma adalah pertumbuhan abnormal, tetapi bukan kangker yang mungkin terjadi di berbagai bagian
tubuh.
a. Jinas
b. Ganas
3. Peradangan
Nyeri terjadi karena kerusakan ujung-ujung saraf reseptor akibat adanya perdangan atau terjepit oleh
pembengkakan. Misalnya : abses
4. Gangguan sirkulasi darah dan kelainan pembulu darah
Adalah kelainan yang terjadi pada sistemn peredaran darah atau gangguan sirkulasi darah manusia baik
yang disebabkan oleh faktor eksternal.
5. Trauma psikologis
Trauma psikologis adalah jenis kerusakan jiwa yang terjadi sebagai akibat dari peristiwa traumatik.

B. Behavioral pain scale

Penggunaan indikator tingkah laku dan fisiologis untuk menilai nyeri pada pasien dewasa yang
tidak responsive, tidak komunikatif telah dikemukakan oleh Payen pada tahun 2001. Payen
membandingkan prospektif 30 pasien yang berada dalam mekanikal ventilator yang mendapat sedasi
dan analgesi. BPS digunakan untuk menilai rasa nyeri yang dialami pasien pada prosedur yang
menyakitkan seperti tracheal suctioning ataupun mobilisasi tubuh. Skala ini sudah divalidasi. BPS
terdiri dari tiga penilaian, yaitu ekspresi wajah, pergerakan ekstremitas, dan komplians dengan mesin
ventilator. Setiap subskala diskoring dari 1 (tidak ada respon) hingga 4 (respon penuh). Karena itu
skor berkisar dari 3 (tidak nyeri) hingga 12 (nyeri maksimal). Skor BPS sama dengan 6 atau lebih
dipertimbangkan sebagai nyeri yang tidak dapat diterima (unacceptable pain).
Tabel 2 The Behavioral Pain Scale

Item Description Score


Facial expression Relaxed 1
Partially tightened 2
Fully tightened 3
Grimacing 4
Upper Limbs No movement 1
Partially bent 2
Fully bent with finger flexion 3
Permanently retracted 4
Compliance with ventilation Tolerating movement 1
Coughing but tolerating 2
ventilation for most of the
time

Fighting ventilator 3
Unable to control ventilation 4

BPS atau Behavioural Pain Scale adalah sebuah alat yang dapat digunakan untuk penilaian nyeri pada
pasien penurunan kesadaran dengan ventilator dimana penilaian tersebut berdasarkan tiga ekspresi perilaku,
yaitu ekspresi wajah, pergerakan ekstremitas atas, dan kompensasi terhadap ventilator. BPS menggambarkan
nyeri dalam rentan skor antara 3 (tidak nyeri) hingga 12 (nyeri paling hebat). Adapun penilaiannya adalah
sebagai berikut:

1. Ekspresi Wajah: relaks/santai (skor 1), sedikit mengerut/mis. mengerutkan dahi (skor 2), mengerut
secara penuh/mis. hingga menutup kelopak mata (skor 3), meringis (skor 4).

2. Pergerakan Ekstremitas Atas: tidak ada pergerakan (skor 1), sedikit membungkuk (skor 2),
membungkuk penuh dengan fleksi pada jari (skor 3), retraksi permanen (skor 4)

3. Kompensasi terhadap Ventilator: pergerakan yang menoleransi (skor 1), batuk dengan pergerakan
(skor 2), melawan ventilator (skor 3), tidak mampu mengontrol ventilator (skor 4).
B. biological Stress Respon

Interaksi endokrin otak relevan dalam terjemahan stres menjadi perubahan fisiologis dan psikologis.
Sistem saraf otonom (ANS), seperti yang disebutkan di atas, memainkan peran penting dalam menerjemahkan
stres menjadi respons. ANS merespons secara refleksif terhadap kedua pemicu fisik (misalnya baroresepsi),
dan input tingkat yang lebih tinggi dari otak.
ANS terdiri dari sistem saraf parasimpatis dan sistem saraf simpatis, dua cabang yang keduanya aktif
secara tonik dengan aktivitas yang berlawanan. ANS secara langsung menginervasi jaringan melalui saraf
postganglionik, yang dikendalikan oleh neuron preganglionik yang berasal dari kolom sel intermediolateral.
ANS menerima input dari medula, hipotalamus, sistem limbik, korteks prefrontal, otak tengah, dan inti
monoamina.
Aktivitas sistem saraf simpatik mendorong apa yang disebut respons "lawan atau lari". Pertarungan atau
respons terbang terhadap keadaan darurat atau stres melibatkan midriasis, peningkatan denyut jantung dan
kontraksi kekuatan, vasokonstriksi, bronkodilatasi, glikogenolisis, glukoneogenesis, lipolisis, berkeringat,
penurunan motilitas sistem pencernaan, sekresi epinefrin dan kortisol dari medula adrenal, dan relaksasi
dinding kandung kemih. Respons saraf parasimpatis, "istirahat dan cerna", melibatkan kembali untuk
mempertahankan homeostasis, dan melibatkan miosis, bronkokonstriksi, peningkatan aktivitas sistem
pencernaan, dan kontraksi dinding kandung kemih. [35] Hubungan kompleks antara faktor-faktor pelindung
dan kerentanan pada efek stres di rumah masa kanak-kanak pada penyakit psikologis, penyakit kardiovaskular
dan adaptasi telah diamati. [37] Mekanisme terkait ANS diperkirakan berkontribusi terhadap peningkatan risiko
penyakit kardiovaskular setelah peristiwa stres utama
Sumbu HPA adalah sistem neuroendokrin yang memediasi respons stres. Neuron di hipotalamus,
khususnya nukleus paraventrikular, melepaskan hormon pelepas vasopresin dan kortikotropin, yang berjalan
melalui pembuluh portal hipofisial tempat mereka melakukan perjalanan dan mengikat reseptor hormon pelepas
kortikotropin pada kelenjar hipofisis anterior. Beberapa peptida CRH telah diidentifikasi, dan reseptor telah
diidentifikasi pada beberapa area otak, termasuk amigdala. CRH adalah molekul pengatur utama pelepasan
ACTH.
Sekresi ACTH ke dalam sirkulasi sistemik memungkinkannya untuk mengikat dan mengaktifkan
reseptor Melanocortin, di mana ia merangsang pelepasan hormon steroid. Hormon steroid berikatan dengan
reseptor glukokortikoid di otak, memberikan umpan balik negatif dengan mengurangi pelepasan ACTH.
Beberapa bukti mendukung umpan balik jangka panjang kedua yang tidak sensitif terhadap sekresi kortisol.
PVN hipotalamus menerima input dari inti saluran soliter, dan lamina terminalis. Melalui input ini, ia menerima
dan dapat merespons perubahan dalam darah
Inervasi PVN dari inti batang otak, khususnya inti noradrenergik merangsang pelepasan CRH. Daerah
lain dari hipotalamus baik secara langsung maupun tidak langsung menghambat aktivitas aksis HPA. Neuron
hipotalamik yang terlibat dalam pengaturan keseimbangan energi juga mempengaruhi aktivitas aksis HPA
melalui pelepasan neurotransmiter seperti neuropeptida Y, yang merangsang aktivitas aksis HPA. Secara
umum, amigdala merangsang, dan prefrontal cortex dan hippocampus menipiskan, aktivitas aksis HPA; namun,
hubungan yang kompleks memang ada di antara wilayah-wilayah tersebut.
Sistem kekebalan tubuh mungkin sangat dipengaruhi oleh stres. Sistem saraf simpatis menginervasi
berbagai struktur imunologis, seperti sumsum tulang dan limpa, sehingga memungkinkannya untuk mengatur
fungsi kekebalan tubuh. Zat adrenergik yang dilepaskan oleh sistem saraf simpatik juga dapat mengikat dan
memengaruhi berbagai sel imunologis, yang selanjutnya memberikan koneksi antar sistem. Sumbu HPA pada
akhirnya menghasilkan pelepasan kortisol, yang umumnya memiliki efek imunosupresif. Namun, efek stres
pada sistem kekebalan tubuh masih diperdebatkan, dan berbagai model telah diusulkan dalam upaya untuk
menjelaskan baik penyakit yang diduga terkait "kekurangan kekebalan" dan penyakit yang melibatkan aktivasi
hiper sistem kekebalan. Salah satu model yang diusulkan untuk menjelaskan ini menyarankan dorongan menuju
ketidakseimbangan imunitas seluler (Th1) dan imunitas humoral (Th2). Ketidakseimbangan yang diusulkan
melibatkan hiperaktivitas sistem Th2 yang mengarah ke beberapa bentuk hipersensitivitas imun, sementara
juga meningkatkan risiko beberapa penyakit yang terkait dengan penurunan fungsi sistem kekebalan tubuh,
seperti infeksi dan kanker.

Respon stres
Merupakan sebuah stressor yang diaktifkan oleh nyeri. Respon stres ini melibatkan sistem saraf,
endokrin dan kekebalan tubuh dalam hipotalamo-pituitary-adrenal axis. Pada kondisi nyeri hipotalamus akan
melepaskan mediator kortikotropin (CRF) yang mengaktifkan sistem saraf simpatis kemudian norepineprin
dikeluarkan dari terminal saraf simpatis dan epineprin dikeluarkan dari saluran luar adrenal. Dampak dari
hormon stres ini menyebabkan pengamatan terhadap respon fisiologis yang terkait dengan aktivasi sistem saraf
simpatis, yaitu sebagai berikut :
1. Meningkatnya denyut jantung
2. Meningkatnya tekanan darah
3. Meningkatnya frekuensi napas
4. Dilatasi pupil
5. Mual dan muntah
6. Pucat
Setelah respon stres diatas, CRF dikeluarkan dari hipotalamus dan merangsang kelenjar hipofise
anterior untuk melepaskan hormon ACTH sedangkan kelenjar hipofise posterior melepaskan hormon
vasopresin dan ADH. ACTH mengaktifkan sal luar adrenal utk melepaskn hormon aldosteron dan kortisol.
Vasopresin dan aldosteron meningkatkan penyimpanan sodium dan air sehingga volume intravaskuler
meningkat, diuresis menurun sehingga tekanan darah menjadi meningkat. Kortisol mempengaruhi sistem
kekebalan tubuh dengan 2 cara : immunosupresi dan pelepasan sitokin

C. Colorado Behavioral Numerical Pain Scale (CBNPS)

CBNPS dikembangkan dari skala BPS oleh Salmore tahun 2002 untuk menilai nyeri pada pasien yang
tersedasi yang menjalani pemeriksaan saluran cerna, baik endoskopi maupun kolonoskopi. Rasa nyeri
pasien dinilai dengan skala yang lebih mudah, tanpa harus menggunakan ekspresi verbal.Skala CBNPS
dibentuk berdasarkan keadaan yang dinilai sesuai dengan penilaian nyeri oleh Agency of Health Care
(USA) tahun 1992.39 CBNPS menilai tingkah laku yang dideskripsikan dengan skala 0-5, yang
berkorelasi dengan peningkatan nyeri. Pada penelitian Salmore juga dikemukakan persamaan skor dalam
numerik, dengan nilai 0 tidak ada nyeri hingga 5 yaitu nyeri hebat.40

Tabel 3 Colorado Behavioral Numerical Pain Scale

Skor Tingkah Laku

0 Rileks, tidak ada ekspresi wajah

1 Mengeluh, mengerutkan dahi, gelisah/tidak tenang

2 Wajah meringis, memproteksi posisi tubuh

3 Menangis, Resistif

4 Menjerit, melempar sesuatu

5 Melawan
D. Critical care pain observation tool

Pasien dewasa yang terpasang ventilator di ruang intensif seringkali menerima


perawatan yang menyebabkan rasa nyeri. Nyeri merupakan gejala yang paling sering terjadi
pada pasien yang terpasang ventilator dan bersifat individual dengan pengalaman nyeri yang
berbeda- beda.(Keperawatan 2016)

Pengkajian nyeri pada pasien penurunan kesadaran yang tidak mampu


mengekspresikan respon nyeri yang dialami secara verbal merupakan hal penting yang harus
dicermati. CPOT merupakan instrumen untuk menilai nyeri pasien yang tidak dapat
berkomunikasi secara verbal.(Apriani, Agustina, and Hafifah 2018)

Critical-Care Pain Observasion Tool (CPOT) merupakan instrumen pengkajian nyeri


yang dikembangkan oleh Gelinas et al pada tahun 2006. Instrumen pengkajian nyeri tersebut
terdiri dari 4 item penilaian, setiap item memiliki kategori yang berbeda, yaitu ekspresi
wajah, pergerakan badan, tegangan otot dan keteraturan dengan ventilator untuk pasien
terintubasi dan pasien yang tidak terintubasi. Jumlah skor yang diperoleh dalam rentang 0–8.
(Keperawatan 2016)
E. Manajemen Nyeri

a) Pengertian
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah merupakan
pengalaman sensoris subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait
dengan kerusakan jaringan yang nyata, berpotensi rusak, atau menggambarkan kondisi
terjadinya kerusakan. Secara umum nyeri dapat didefinisikan sebagai suatu rasa yang tidak
nyaman baik ringan maupun berat. Nyeri dapat dibedakan nyeri akut dan nyeri kronis
(Priharjo, 1993). Nyeri juga merupakan mekanisme protektif bagi tubuh, yang timbul bila
jaringan rusak dan menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rasa nyeri
tersebut. Nyeri merupakan pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenagkan
yang dihubungkan dengan kerusakan jaringan yang telah atau akan terjadi yang
digambarkan dengan kata-kata kerusakan jaringan ( Torrance, 1997).
McCaffery (1979) mengatakan nyeri sebagai penjelasan pribadi tentang nyeri ketika dia
mengatakan tentang nyeri “ apapun yang dikatakan tentang nyeri dan ada dimanapun ketika
dia mengatakan hal itu ada “.
Kata Manajemen berasal dari bahasa Prancis kuno ménagement, yang memiliki arti seni
melaksanakan dan mengatur. Manajemen belum memiliki definisi yang mapan dan diterima
secara universal. Mary Parker Follet, misalnya, mendefinisikan manajemen sebagai seni
menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain.
Manajemen nyeri suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan,
yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang nyata atau yang berpotensi untuk
menimbulkan kerusakan jaringan, pada orang lain ataupun diri sendiri.

b) Penyebab Nyeri

1. Trauma
a. Mekanik
Rasa nyeri timbul akibat ujung-ujung saraf bebas mengalami kerusakan, misalnya
akibat benturan, gesekan, luka dan lain-lain.
b. Thermis
Nyeri timbul karena ujung saraf reseptor mendapat rangsangan akibat panas,
dingin, misal karena api dan air.
c. Khemis
Timbul karena kontak dengan zat kimia yang bersifat asam atau basa kuat
d. Elektrik
Timbul karena pengaruh aliran listrik yang kuat mengenai reseptor rasa nyeri yang
menimbulkan kekejangan otot dan luka bakar.
2. Neoplasma
a. Jinak
b. Ganas
3. Peradangan
Nyeri terjadi karena kerusakan ujung-ujung saraf reseptor akibat adanya peradangan
atau terjepit oleh pembengkakan. Misalnya : abses
4. Gangguan sirkulasi darah dan kelainan pembuluh darah
5. Trauma psikologi
c) c)Sifat-Sifat Nyeri

1. Nyeri melelahkan dan membutuhkan banyak energi.


2. Nyeri bersifat subjektif dan indvidual.
3. Nyeri tidak dapat dinilai secara objektif seperti sinar X atau lab darah.
4. Perawat hanya dapat mengkaji nyri pasien dengan melihat perubahan fisiologis
tingkah laku dan dari pernyataan klien
5. Hanya klien yang tau kapan nyeri timbul dan seperti apa rasanya.
6. Nyeri merupakan mekanisme pertahanan fisiologis.
7. Nyeri merupakan tanda adanya kerusakan jaringan.
8. Nyeri mengawali ketidakmampuan.
9. Perspsi yang salah mengenai nyeri menyebabkan manajemen nyeri jadi tidak optimal.

d) Macam-macam nyeri

Berdasarkan sumbernya nyeri dibagi menjadi 3 yaitu :

1. Cutaneus superficial, yaitu nyeri yang mengenai jaringan sub kutan, biasanya bersifat
burning (seperti terbakar). Contoh : terkena ujung pisau atau gunting.
2. Deepsomatic (nyeri dalam), yaitu nyeri yang muncul dari ligamen, pembuluh darah,
tendon dan saraf, mnyebar dan lebih lama dari cutaneus. Contoh : sprain sendi.
3. Viseral (pada organ dalam), yaitu stimulasi reseptor nyeri didalam rongga abdomen,
cranium, thorax. Biasanya terjadi karena spasme otot, iskemia.

Berdasarkan penyebab, nyeri dibagi 2 yaitu :

1. Nyeri fisik, bisa terjadi karena stimulasi fisik.contoh fraktur femur.


2. Neri Psikogenik, terjadi karena sebab yang kurang jelas atau susah diidentifikasi,
bersumber dari emosi atau psikis dan biasanya tidak disadari. Contoh : orang yang
marah tiba-tiba merasa nyeri pada dadanya.

Bedasarkan lama atau durasinya, nyeri dibagi menjadi 2 yaitu :

1. Nyeri akut adalah nyeri dengan tanda inflamasi, biasanya berlangsung beberapa hari
sampai proses penyembuhan. Tanda- tanda utama inflamasi adalah: rubor (kemerahan
jaringan), kalor (kehangatan jaringan), tumor (pembengkakan jaringan), dolor (nyeri
jaringan), fungsio laesa (kehilangan fungsi jaringan).
2. Nyeri kronik adalah nyeri tanpa tanda inflamasi, waktu berlangsungnya lama
atau merupakan ikutan dari proses akut, dimana nyeri masih berlangsung meskipun
kerusakan jaringan sudah sembuh. Nyeri kanker merupakan kombinasi dari nyeri akut
dan nyeri kronis dimana ada suatu proses inflamasi kemudian nyeri berlangsung
terus- menerus sesuai dengan perkembangan kankernya, bilamana kanker tidak
ditangani.

Berdasarkan lokasi atau letak, nyeri dibagi menjadi 3 yaitu :

1. radiating pain: nyeri yang mnyebar dari sumber nyeri ke jaringan yang didekatnya.
Contoh : nyeri kardiak.
2. referred pain : nyeri dirasaan pada baian tubuh tertentu yang diperkirakan berasal
dari jaringan penyebab.
3. intrcable pain: nyeri yang susah dihilangkan . contoh nyeri kanker maligna
4. Phantom pain : Nyeri yang dirasakan pada bagian tubuh yang hilang. Contoh bagian
tubuh yang diamputasi.

e) fisiologi Nyeri

Banyak teori yang berusaha menjelaskan dasar neurology dari nyeri. Untuk memudahkan
memahami fisiologis nyeri maka perlu mempelajari tiga komponen fisiologi berikut ini :
1. Reaksi : respon fisiologis dan prilaku setelah mempersepsikan nyeri resepsi.
2. Resepsi : proses perjalanan nyeri
3. Persepsi : kesadaran seseorang terhadap nyeri.

Adanya stimulus yang mengenai tubuh ( mekanik, termal, kimia) , akan menyebabkan
pelepasan subtansi kimia, seperti histamine, bradikinin, kalium. Substansi tersebut
mnyebabkan nosi resetor bereaksi. Apabila nosi reseptor mencapai ambang nyeri, maka akan
timbul Impuls saraf yang akan dibawa oleh serabut saraf perifer. Sarabut saraf perifer yang
akan membawa impuls saraf ada 2 jenis, yaitu : serabut A delta dan serabut C. impuls saraf
akan dibawa sepanjang serabut saraf sampai ke cornudorsalis medulla spinalis. Impuls saraf
tersebut akan mnyebabkan cornudorsalis melepasakan neurotransmitter ( substansi P).
substang P ini menyebabkan transmisi sinap dari saraf perifer kesaraf traktus spinotalamus. Hal
ini memngkinkan impuls saraf ditransmisikan lebih jauh kedlam system saraf pusat. Setelah
impuls saraf sampai di otak, otak akan mengolah impuls saraf kemudian akan timbul reflek
protektif. Contoh : apabila tangan terkena strika, maka akan merasakan sensasi terbakar, tangan
juga mealkukan refllek dengan mnarik tangan dari permukaan strika.

f) Respon fisiologis terhadap nyeri

1. Stimulasi Simpatik :nyeri ringan, moderat, dan superficial)


a. Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
b. Peningkatan heart rate
c. Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP
d. Peningkatan nilai gula darah
e. Diaphoresis
f. Peningkatan kekuatan otot
g. Dilatasi pupil
h. Penurunan motilitas GI

2. Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)


a. Muka pucat
b. Otot mengeras
c. Penurunan HR dan BP
d. Nafas cepat dan irreguler

3. Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:


4. Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)
5. Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)
6. Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari &
tangan.
7. Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan,
Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas
menghilangkan nyeri)

Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda
terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat
menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis.
Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam
aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.

Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:

1. Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)


Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa
mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri
dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting,
terutama dalam memberikan informasi pada klien.

2. Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)


Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka
tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan
berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi
terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang
toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil.
Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan,
sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah
nyeri, sebelum nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang
berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap
individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit
endorfin merasakan nyeri lebih besar. Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai
jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan
klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri.
Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan
nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami
nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien
mengkomunikasikan nyeri secara efektif.

3. Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)


Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih
membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien
mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka
respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan
dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan
kemungkinan nyeri berulang.
g) Faktor Yang Mempengaruhi Respon Nyeri

1) Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon
nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan
mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami,
karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka
takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.

2) Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam
merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki
mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).

3) Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri
misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang
harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika
ada nyeri.

4) Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan
bagaimana mengatasinya.

5) Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat
dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan
dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan
tehnik untuk mengatasi nyeri.

6) Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan
seseorang cemas.

7) Pengalaman masa lalu


Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri
yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya
seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi
nyeri.

8) Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya
pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.

9) Support keluarga dan sosial


Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga
atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan
h) Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu,
pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam
intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang
yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah
menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan
tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri,
2007).
Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
1) Skala intensitas nyeri deskritif
2) Skala identitas nyeri numeric
3) Skala analog visual
4) Skala nyeri menurut bourbanis

Keterangan :

0 :Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat
Menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih
respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat
mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang
dan distraksi
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.

i) Penanganan Nyeri

Dalam penanganan nyeri, perawat terlebih dahulu mengkaji tingkat nyeri yang dirasakan
pasien. Hal ini dikarenakan nyeri merupakan pengalaman interpersonal, sehingga perawat
harus menanyakannya secara langsung kepada klien karakteristik nyeri dengan P. Q. R. S. T.

Provoking : Penyebab
Quality : Kwalitas
Region : Lokasi
Severate : Skala
Time : Waktu

a. Lokasi
Pengkajian lokasi nyeri mencakup 2 dimensi :

 Tingkat nyeri, nyeri dalam atau superfisial


 Posisi atau lokasi nyeri

Nyeri superfisial biasanya dapat secara akurat ditunjukkan oleh klien; sedangkan nyeri yang
timbul dari bagian dalam (viscera) lebih dirasakan secara umum.
Nyeri dapat pula dijelaskan menjadi empat kategori, yang berhubungan dengan lokasi:
 Nyeri terlokalisir : nyeri dapat jelas terlihat pada area asalnya
 Nyeri Terproyeksi : nyeri sepanjang saraf atau serabut saraf spesifik
 Nyeri Radiasi : penyebaran nyeri sepanjang area asal yang tidak dapat dilokalisir
 Reffered Pain (Nyeri alih) : nyeri dipersepsikan pada area yang jauh dari area
rangsang nyeri.

b. Intensitas
Beberapa faktor yang mempengaruhi nyeri :
 Distraksi atau konsentrasi dari klien pada suatu kejadian
 Status kesadaran klien
 Harapan klien
 Nyeri dapat berupa : ringan, sedang, berat atau tak tertahankan. Perubahan dari
intensitas nyeri dapat menandakan adanya perubahan kondisi patologis dari klien.

c. Waktu dan Lama (Time & Duration)


Perawat perlu mengetahui/mencatat kapan nyeri mulai timbul; berapa lama;
bagaimana timbulnya dan juga interval tanpa nyeri dan kapan nyeri terakhir timbul.

d. Kualitas
Deskripsi menolong orang mengkomunikasikan kualitas dari nyeri. Anjurkan pasien
menggunakan bahasa yang dia ketahui: nyeri kepala mungkin dikatakan “ada yang
membentur kepalanya”, nyeri abdominal dikatakan “seperti teriris pisau”.

e. Perilaku Non Verbal


Beberapa perilaku nonverbal yang dapat kita amati antara lain : ekspresi wajah,
gemeretak gigi, menggigit bibir bawah dan lain-lain.

f. Faktor Presipitasi
Beberapa faktor presipitasi yang akan meningkatkan nyeri : lingkungan, suhu ekstrim,
kegiatan yang tiba-tiba, stressor fisik dan emosi.

1. Tindakan Farmakologis
Terapi farmakologis untuk menanggulangi nyeri dengan cara memblokade transmisi
stimulan nyeri agar terjadi perubahan persepsi dan dengan mengurangi respon kortikal
terhadap nyeri. Adapun obat yang digunakan untuk terapi nyeri adalah

a. Analgesik Narkotik
Narkotik menghilangkan nyeri dengan merubah aspek emosional dari pengalaman
nyeri (misal : persepsi nyeri). Perubahan mood dan perilaku dan perasaan sehat membuat
seseorang merasa lebih nyaman meskipun nyerinya masih timbul.
Derivat Opiat (morphin dan codein) merupakan obat yang paling umum digunakan untuk
mengatasi nyeri pada klien, untuk nyeri sedang hingga nyeri yang sangat berat.
Pengaruhnya sangat bervariasi tergantung fisiologi klen itu sendri. Klien yang sangat
muda dan sangat tua adalah yang sensitif terhadap pemberian analgesik ini, dan hanya
memerlukan dosis yang sangat rendah untuk meringankan nyeri (long,1996).

b. Analgesik Lokal
analgesik bekerja dengan memblokade konduksi saraf saat diberikan langsung keserabut
saraf.
c. Analgesik yang dikontrol klien
sistem analgesik yang dikontrol klien terdiri dari impus yang diisi narotika menurut
resep, dipasang dengan pengatur padalubang injeksi intravena.

d. Obat – obat nonsteroid


obat.obat non steroid non inflamasi bekerja terutama terhadap penghambat sintesa
prostaglandin. Pada dosis rendah obat-obat ini bersifat analgesik. Pada dosis tinggi
obat ini bersifat anti inflamatori,sebagai tambahan dari khasiat analgesik.

2. Tindakan Non Farmakologis


Menurut Tamsuri (2006), selain tindakan farmakologis untuk menanggulangi nyeri
ada pula tindakan nonfarmakologis untuk mengatasi nyeri terdiri dari beberapa
tindakan penaganan berdasarkan :

 Penanganan fisik/stimulasi fisik meliputi :


a. Stimulasi kulit
Masase kulit memberikan efek penurunan kecemasan dan ketegangan otot,
rangsangan masase otot ini dipercaya akan merangsang serabut berdiameter besar,
sehingga mampu memblok atau menurunkan impuls nyeri. Beberapa teknik untuk
stimulasi kulit antara lain :
 Kompres dingin
 Analgesics ointments
 Counteriritan, seperti plester hangat.
 Contralateral Stimulation, yaitu massage kulit pada area yang berlawanan dengan
area yang nyeri.
b. Stimulasi electric (TENS)
TENS merupakan stimulasi pada kulit dengan mnggunakan arus listrik ringan yang
dihantarkan melalui elektroda dari luar.
c. Akupuntur
Akupuntur merupakan pengobatan yang sudah lama dilakukan untuk
mengobati nyeri, jarum-jarum kecil yang ditusukkan pada kulit, bertjuan untuk
menyentuh titik-titik tertentu, tergantung pada lokasi nyeri, yang dapat memblok
transmisi ke otak.
d. Plasebo
Dalam bahasa latin berarti ”saya ingin menyenangkan merupakan Zat tanpa kegiatan
farmakologik dalam bentuk yang dikenal klien sebagai obat, seperti tablet,kapsul,
cairan injeksi dan sebagainya”. Plasebo merupakan jenis dari tindakan, seperti pada
intervensi keperawatan yang menghasilkan efek pada klien dikarenakan adanya
suatu kepercayaan daripada kandungan fisik atau kimianya (McCaffery, 1982:22).
Pengobatannya tidak mengandung komponen obat analgesik (seperti : gula, larutan
garam/normal saline, atau air) tetapi hal ini dapat menurunkan nyeri. Untuk
memberikan plasebo ini perawat harus mempunyai izin dari dokter.\

3. Intervensi perilaku kognitif meliputi :


a) Relaksasi
Merupakan teknik untuk mengurangi ketegangan otot skeletal dan menurunkan
kecemasan. Teknik relaksasi dijarkan beberapa kali agar mencapai hail yang optimal,
tujuannya agar dapat merubah perepsi pasien terhadap nyeri. Contohnya adalah yoga
Efek positif relaksasi pada klien yang menderita nyeri adalah:
1. Memperbaiki kualitas tidur
2. Memperbaiki kemampuan pemecahan masalah
3. Menurunkan fatigue
4. Meningkatkan kepercayaan diri dan self control dalam koping terhadap nyeri
5. Distraksi nyeri
6. Meningkatkan efektifitas terhadap tindakan lain untuk mengurangi nyeri
7. Memperbaiki kemampuan dalam toleransi

Teknik relaksasi terutama efektif untuk nyeri kronik dan memberikan beberapa keuntungan,
antara lain :
1. Relaksasi akan menurunkan ansietas yang berhubungan dengan nyeri atau stres
2. Menurunkan nyeri otot
3. Menolong individu untuk melupakan nyeri
4. Meningkatkan periode istirahat dan tidur
5. Meningkatkan keefektifan terapi nyeri lain
6. Menurunkan perasaan tak berdaya dan depresi yang timbul akibat nyeri

Stewart (1976: 959), menganjurkan beberapa teknik relaksasi berikut :


1. Klien menarik nafas dalam dan menahannya di dalam paru
2. Secara perlahan-lahan keluarkan udara dan rasakan tubuh menjadi kendor dan rasakan
betapa nyaman hal tersebut
3. Klien bernafas dengan irama normal dalam beberapa waktu
4. Klien mengambil nafas dalam kembali dan keluarkan secara perlahan-lahan, pada
saat ini biarkan telapak kaki relaks. Perawat minta kepada klien untuk
mengkonsentrasikan fikiran pada kakinya yang terasa ringan dan hangat. kelompok
otot-otot lain
5. Setelah klien merasa relaks, klien dianjurkan bernafas secara perlahan. Bila nyeri
menjadi hebat klien dapat bernafas secara dangkal dan cepat.

2. Hypnosis
Membantu mngubah persepsi nyeri melalui pengaruh sugesti positif

3. Umpan balik biologis


Terapi perilaku yang dilakukan dangan memberikan individu informasi tentang respon
nyeri fisiologis dan cara untuk melatih control volunteer terhadap respon tersebut efektif
untuk mengatasi ketegangan otot dan migrant, dengan cara memasang elektroda pada
pelipis

4. Distraksi
Memfokuskan perhatian klien pada hal lain diluar nyeri.Didasari landasan teori bahwa jika
bagian retikuler ‘brain stem’ memperoleh input sensori yang cukup, akan menyebabkan
gagalnya atau blockade sensasi lain termasuk nyeri.Distraksi sangat baik dilakukan sebelum
timbul nyeri ataupun segera setelah nyeri timbul.Baik untuk nyeri dengan skala sedang
sampai berat, tetapi distraksi tidak dapat dipakai terus-menerus untuk periode lama dan dapat
menyebabkan peningkatan fatigue dan nyeri secara bersamaan. Efektif dilakukan pada anak-
anak
Beberapa contoh teknik distraksi:
1. Visual distraction –Memfokuskan pada satu subjek atau titik dan menjelaskan secara
detail, menghitung objek, membaca atau menonton televisi
2. Auditory distraction –Mendengarkan musik, mendengarkan cerita
3. Tactil kinesthetic distraction –Memeluk orang yang dicintai, boneka, nafas lambat dan
ritmik
4. Project distraction –Memainkan permainan yang menantang misalnya puzzle, computer
game,dll
5. Guided Imagery (Imajinasi terbimbing)
Lebih efektif untuk klien yang mengeluh nyeri kronik daripada akut. Contoh: perawat
duduk dekat pasien tetapi tidak menyentuhnya, dengan suara lembut, tenang dan halus
membawa klien ke suasana yang disenangi oleh klien.

h. Study Kasus

Ny. E berusia 40 tahun, menderita carcinoma mamae, pada mamae bagian kanan. Ny. E
sudah pernah menjalani pembedahan untuk pengangkatan sel kanker pada bagian mamae
yang sama. Ny. E sering mengeluh nyeri hebat pada bagian mamaenya, adanya cairan yang
keluar dari puting susu dan puting eritema mengeras. Keluhan lain yang dirasakan Ny. E
adalah nyeri tulang dan menurunnya berat badan.

Dari study kasus diatas, maka masalah keperawatan yang muncul adalah :
Masalah keperawatan :
1) Nyeri berhubungan dengan manipulasi jaringan dan atau trauma karena pembedahan,
interupsi saraf, diseksi otot
2) Kerusakan integristas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi, adanya edema,
destruksi jaringan.
3) Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan kerusakan drainase limpatik necrose
jaringan.
4) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan kehilangan mammae dan atau perubahan
gambaran mammae.
5) Kurang pengetahuan berhubungan dengan carsinoma mammae dan pilihan
pengobatan
6) Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kemotherapi
7) Anxietas berhubungan dengan lingkungan Rumah Sakit yang tidak dikenal,
ketidakpastian tentang hasil pengobatan carsinoma, perasaan putus asa dan tak
berdaya dan ketidak cukupan pengetahuan tentang carsinoma dan pengobatan.

Fokus Pengkajian

1. Nyeri berhubungan dengan manipulasi jaringan dan atau trauma karena pembedahan,
interupsi saraf, diseksi otot.
a. Kaji tingkat nyeri dengan P. Q. R. S. T.
Provoking : Penyebab : apa yang menyebabkan?
Quality : Kwalitas : apa yang dirasakan? Bagaimana kelihatannya?
Region : Lokasi : dimana dan kemana menyebarnya ?
Severate : Skala : skala 1 (tidak nyeri) sampai skala 10 (nyeri yang sangat hebat)
Time : Waktu : kapan gejala dimulai? Apakah konstan? Apakah tiba-tiba atau bertahap?
b. Kaji efek nyeri pada individu dengan menggunakan individu dan keluarga
Kinerja ( pekerjaan ) tanggung jawab peran Keuangan Aktifitas sehari – hari Kognitif
alam perasaan Unit keluarga ( respon anggota keluarga )

Fokus pengkajian

Fokus intervensi dari perawatan pasien dengan carsinoma mammae dengan keluhan nyeri.
1. Nyeri berhubungan dengan manipulasi jaringan dan atau trauma karena pembedahan,
interupsi, diseksi otot ( Danielle Gale, 1995; Doengos, 1993).

Kriteria evaluasi :
Pasien mengekspresikan penurunan nyeri
Intervensi :
1.Perhatikan lokasi nyeri
2. lamanya dan intensitasnya ( skala 1-10)
3. perhatikan respon verbal dalam mengungkapkan nyeri
4. bantu pasien untuk posisi yang nyaman serta tindakan yang dapat memberi kenyamanan
seperti masase punggung
5.dorong ambualasi dini dan teknik relaksasi, berikan obat sesuai pesanan

PENGERTIAN NYERI

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan


ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut
International Association for Study of Plain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan
emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual
maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.

Respon nyeri sangat subyektif tergantung dari ambang nyeri dari setiap klien, koping
klien, pengalaman nyeri, ansietas, budaya dari klien serta dipengaruhi oleh gender dan usia.
Oleh karena itu, untuk mengkaji nyeri, perawat dapat melakukan observasi respon dan
perubahan perilaku klien diantaranya menurut Zborowski (1969) ada lima kelompok umum
respon klien terhadap nyeri.

1. Motor responses (twisting, wriggling, movement of body or its parts, walking,


jumping, clencing teeth).
2. Vocal responses (moaning, groaning, crying, screaming).
3. Verbal responses (complaining, cursing, talking about plain, asking for help).
4. Social responses (withdrawl from people, changes in communication patterns,
changes in social manners or personal appearance)
5. The absence of manifest behavior (hiding of plain or suppressing external sign of
pain).
Respon seseorang terhadap nyeri bisa kombinasi antara beberapa respon diatas.

Rasa Nyeri
(Sumber : health.ghiboo.com)

FISIOLOGI NYERI

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri.
Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang
berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut
juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada
juga yang tidak bermielien dari syaraf perifer.

Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian tubuh yaitu
pada kulit (kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena
letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.

1. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah
ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit
(kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu : a) Reseptor A delta yang merupakan
serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan
timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan. b)
Serabut C yang merupakan serabut komponen lambat (kecepatan 0,5 m/det) yang
terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit
dilokalisasi.
2. Struktur reseptor nyeri somantik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada
tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur
reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit
dilokalisasi.
3. Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ
viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada
reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetap sangat sensitif
terhadap penekanan, iskemia, inflamasi.
TIPE NYERI
Beberapa tipe nyeri antara lain :

1. Somatic pain
2. Neurophatic pain
3. Surgery Pain
4. Chemotherapeutik drugs
5. After rediation theraphy

TEORI PENGONTROLAN NYERI

Terdapat beberapa teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor


dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba
menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap
paling relevan (Tamsuri, 2007).

Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri
dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori
ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls
dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan
dasar teori menghilangkan nyeri.

Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari
otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan
substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat
mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat melepaskan
neurotransmiter penghambat. Apabila masukan masukan yang dominan berasal dari serabut
beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan.

Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok
punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor,
apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan
membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsian sensasi nyeri. Bahkan jika impuls
nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi
nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu
pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh.

Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan


substansi P. Tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk
melepaskan endofrin (Potter, 2005).

MANAJEMEN NYERI
Dalam manajemen nyeri, terdapat empat teknik yang bisa digunakan, antara lain :

Stimulas kutaneus
Merupakan teknik reduksi nyeri dengan melakukan stimulasi pada kulit untuk menghilangkan
nyeri. Beberapa teknik untuk stimulasi kulit antara lain :
 Kompres dingin
 Analgetic ointments
 Counteriritan, seperti plester hangat
 Contralateral stimulation, yaitu massage kulit pada area yang berlawanan dengan area
nyeri

Distraksi
Merupakan teknik reduksi nyeri dengan mengalihkan perhatian kepada hal lain sehingga
kesadaran terhadap nyerinya berkurang. Teknik distraksi dapat dilakukan diantaranya dengan
cara :

 Nafas dalam lambat dan berirama


 Massage and slow, rhythmic breating
 Rhythmic singing and tapping
 Active listening
 Guided imagery (kekuatan imajinasi klien bisa dengan mendengarkan musik yang
lembut)

Anticipatory Guidance
Merupakan teknik reduksi yang dilakukan oleh perawat dengan cara memberikan informasi
yang dapat mencegah terjadinya misinterpretasi dari kejadian yang dapat menimbulkan nyeri
dan membantu pemahaman apa yang diharapkan. Informasi yang diberikan kepada klien
diantaranya :

 Penyebab nyeri
 Proses terjadinya nyeri
 Lama dan kualitas nyeri
 Berat-ringannya nyeri
 Lokasi nyeri
 Informasi tentang keamanan yang akan diberikan kepada klien
 Metode yang digunakan perawat pada klien untuk mengurangi nyeri
 Hal-hal yang diharapkan klien selama prosedur

Relaksasi
Teknik relaksasi terutama efektif untuk nyeri kronik dan memberikan beberapa keuntungan,
antara lain :

 Relaksasi akan menurunkan ansietas yang berhubungan dengan nyeri atau stres.
 Menurunkan nyeri
 Menolong individu untuk melupakan nyeri
 Meningkatkan periode istirahat dan tidur
 Meningkatkan keefektifan terapi nyeri lain
 Menurunkan perasaan tak berdaya dan depresi yang timbul akibat nyeri

Stewart (1976: 959), menganjurkan beberapa teknik relaksasi antara lain sebagai berikut :

 Klien menarik nafas dalam dan menahannya di dalam paru


 Secara perlahan-lahan keluarkan udara dan rasakan tubuh menjadi kendor dan rasakan
betapa nyaman hal tersebut
 Klien bernafas dengan irama normal dalam beberapa waktu
 Klien mengambil nafas dalam kembali dan keluarkan secara perlahan - lahan, pada
saat ini biarkan telapak kaki relaks. Perawat minta kepada klien untuk
mengkonsentrasikan pikiran pada kakinya yang terasa ringan dan hangat.
 Ulangi langkah diatas dan konsentrasikan pikiran pada lengan, perut, punggung dan
kelompok otot-otot yang lain.
 Setelah klien merasa relaks, klien dianjurkan bernafas secara perlahan. Bila nyeri
menjadi hebat klien dapat bernafas secara dangkal dan cepat.
STUDI LITERATUR : INSTRUMEN PENGKAJIAN NYERI PADA PASIEN
KRITIS DEWASA YANG TERPASANG VENTILATOR

Pasien kritis dewasa yang terpasang ventilator di ruang intesif seringkalu menerima
perawatan yang menyebabkan nyeri. penilaian nyeri pada pasien kritis dengan ventilator
sangat diperlukan karena ketidakmampuan pasien dalam menhampaikan rasa nyeri secara
verbal. Metode yang digunakan apda studi literatur ini dilakukan dengan melalui EBSCO,
GoogleSchoolar, Proquest dan Pubmed. Hasil dari studi literatur ini ditemukan 5 instrumen
pengkajian nyeri pada pasien kritis dewasa yang terpasang ventilator, ada BPS, CPOT,
NVPS, P.A.I.N , dan comfort scale. Kelimanya memiliki kekurangan dan kelebihan masing-
masing.
Menurut peneliti, instrumen pengkajian CPOT menunjukan validitas dan rehabilitas
yang kebih tinggi daripada yang lainnya. Intsrumen tersebut bisa digunakan untuk pasien
kritis dewasa baik yang terpasang ventilator maupun tidak terpasang ventilator dan telah
digunakan pada pasien dengan kasus medikal, bedah, dan trauma.

Pengkajian Nyeri pada Pasien Kritis dengan Menggunakan Critical Pain Observation Tool (CPOT) di
Intensive Care Unit (ICU)

Observation Tool (CPOT) di Intensive Care Unit (ICU)Tujuan peneliti melakukan


penelitian adalah melihat kesesuaian alat ukur CPOT dengan alat ukur BPS. Peneliti
menggunakan metode observasional analitik dengan rancangan cross sectional. Adapun hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa alat ukur CPOT dan BPS terbukti dapat mengukur
perbedaan skala nyeri pada kondisi istirqahat dan positioning, dimana tinggi rendahnya skor
nyeri yang diukur oleh CPOT berhubungan dnegan tinggi rendahnya hasil ukur menggunakan
BPS.
DAFTAR PUSTAKA

Apriani, Rismia Agustina, and Ifa Hafifah. 2018. “Effectiveness of Power Contruction Cpot
and Wong Bekker Awareness Declines of Patient.” Dunia Keperawatan 6(1): 34–40.
Author links open overlay panel JeanneYoungabJoSiffleetaSueNikolettiabThérèseShawa
Keperawatan, Jurnal. 2016. “Pengkajian Nyeri Pada Pasien Kritis Dewasa Yang
Terpasang Ventilator.”
Priambodo, A. P., Ibrahim, K. Nursiswati. (2016).Pengkajian Nyeri pada Pasien Kritis
dengan Menggunakan Critical Pain Observation Tool (CPOT) di Intensive Care Unit
(ICU). Vol : 4
Sriwahyuningsih, I (2016). Studi Literatur: Instrumen Pengkajian Nyeri Pada Pasien Kritis
Dewasa yang Terpasang Ventilator. Nurscope. Jurnal Keperawatan dan Pemikiran
Ilmiah. 2 (2). 1-7
Sumber: Use of a Behavioural Pain Scale to assess pain in ventilated, unconscious and/or

sedated patients

Team KDKK I. 2012. Ketrampilan Dasar Dalam Keperawatan I. Yogyakarta : STIKES A


YANI

Anda mungkin juga menyukai