Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan teori terbentuknya negara 1, sesungguhnya negara terbentuk

dari sekelompok individu yang saling berinteraksi satu sama lain hingga

membentuk keluarga, berlanjut hingga membentuk masyarakat dan suku-suku.

Sampai disini manusia membentuk persekutuan-persekutuan tersebut masih

didorong oleh kebutuhan alamiah. Namun manusia tidak berhenti sebatas

kebutuhan alamiah semata akan tetapi terus berlanjut menyentuh kepentingan

yang mengakibatkan persekutuan-persekutuan tersebut membentuk suatu entitas

masyarakat untuk mewujudkan kepentingan-kepentingannya dengan membentuk

negara. Dengan kata lain negara dibentuk tidak hanya memenuhi kebutuhan

semata tetapi juga untuk memenuhi kepentingan-kepentingan manusia. 2

Negara adalah lanjutan dari keinginan manusia yang hendak bergaul antara

seorang dengan orang lainnya dalam rangka menyempurnakan segala kebutuhan

hidupnya. Semakin luas pergaulan manusia dan semakin banyak kebutuhannya,

maka bertambah besar kebutuhannya kepada sesuatu organisasi negara yang

1
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 2005, hlm. 14
Menurut Socrates negara bukanlah semata-mata merupakan suatu keharusan yang bersifat
obyektif, yang asal mulanya berpangkal pada pekerti manusia. Sedang tugas negara adalah
menciptakan hukum, yang harus dilakukan oleh para pemimpin, atau para penguasa yang dipilih
secara saksama oleh rakyat. Disinilah tersimpul pikiran Demokratis daripada Socrates. Ia selalu
menolak dan menentang keras apa yang dianggapnya bertentangan dengan ajarannya yaitu menaati
undang-undang.
2
Fitra Waluyandi, Mengapa Manusia membentuk negara?, dikutip dari http://guru-
ppkn.blogspot.com/2014/10/mengapa-manusia-membentuk-negara.html, diakses pada tanggal 12
Maret 2015, pukul 14.08 WIB
akanmelindungi dan memelihara keselamatan hidupnya. 3Dikaitkan dengan hukum

internasional, definisi negara dikemukakan lebih lengkap oleh Henry C. Black. Ia

mendefinisikan negara sebagai sekumpulan orang yang secara permanen

menempati suatu wilayah yang tetap, diikat oleh ketentuan-ketentuan hukum

yang, melalui pemerintahnya, mampu menjalankan kedaulatannya yang merdeka

dan mengawasi masyarakat dan harta bendanya dalam wilayah perbatasannya,

mampu menyatakan perang dan damai serta mampu mengadakan hubungan

internasional dengan masyarakat internasional lainnya. 4Hal ini tidak jauh berbeda

dengan unsur suatu negara yang tercantum dalam Pasal 1 Montevideo (Pan

American) Convention on Rights and Duties of States of 1933. Pasal tersebut

berbunyi sebagai berikut: 5

“The State as a person of international law should possess the following


qualifications:
a. a permanent population;
b. a defined territory;
c. a government; and
d. a capacity to enter into relation with other States.”

Pada unsur keempat ini, Oppenheim-Lautherpacht menggunakan kalimat

“pemerintah harus berdaulat” (sovereign). 6Negara dikatakan berdaulat atau

sovereign karena kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki negara.Bila

3
Samidjo, Ilmu Negara, Bandung: Armico, 2002, hlm. 27
4
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002, hlm. 2
5
Montevideo (Pan American) Convention on Rights and Duties of States of 1933.
Konvensi Montevideo ini disahkan pada konverensi Internasional negara-negara Amerika di kota
Montevideo yang ke-7 pada 26 Desember 1933. Lima belas negara Amerika Latin yang
menghadiri konvensi ini dan Amerika Serikat juga adalah peserta konvensi ini. Konvensi ini, dan
terutama pasal 1 nya, telah diterima dan dianggap sebagai unsur-unsur yang umum sebagai
prasyarat adanya suatu negara menurut Hukum Internasional.
6
Yang dimaksud dengan pemerintah yang berdaulat yaitu kekuasaan tertinggi yang bebas
dari pengaruh kekuasaan lain di muka bumi. Kedaulatan dalam arti sempit berarti kebebasan
sepenuhnya, baik ke dalam maupun ke luar batas-batas negeri.
dikatakan bahwa negara itu berdaulat, dimaksudkan bahwa negara itu mempunyai

kekuasaan tertinggi.Ruang berlaku kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas

wilayah negara itu, artinya suatu negara hanya memiliki kekuasaan tertinggi di

dalam batas wilayahnya.Di luar wilayahnya, suatu negara tidak lagi memiliki

kekuasaan demikian. 7

Unsur inilah yang paling penting dari segi hukum internasional.Ciri ini

pula yang membedakan negara dengan unit-unit yang lebih kecil seperti anggota-

anggota federasi atau protektorat-protektorat yang tidak menangani sendiri urusan

luar negerinya dan tidak diakui oleh negara-negara lain sebagai anggota

masyarakat internasional yang mandiri. 8

Sama halnya seperti manusia, negara tidak dapat berdiri sendiri untuk

mencapai tujuannya, dia membutuhkan negara lain yang dapat membantunya

untuk memenuhi kebutuhan negaranya tersebut. Seiring perkembangan globalisasi

internasional, membuat semakin berkembang pula kepentingan suatu negara

terhadap negara lain untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Hal ini dirasakan

masyarakat internasional dewasa ini bukan saja karena meningkatnya kepentingan

negara-negara di dunia dalam segala bidang, tetapi juga untuk menciptakan

suasana yang lebih aman dan damai dalam lingkungan pergaulan

internasional.Kepentingan tersebut terdiri dari bermacam-macam bidang, seperti

contohnya dalam bidang pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, dan lain

sebagainya.

7
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: PT
Alumni, 2003, hlm 16
8
loc.cit, Huala Adolf
Saling membutuhkan antara negara-negara di berbagai lapangan

kehidupan yang mengakibatkan timbulnya hubungan yang tetap dan terus-

menerus antara negara-negara, mengakibatkan pula timbulnya kepentingan untuk

memelihara dan mengatur hubungan demikian.Karena kebutuhan antar negara-

negara timbal balik sifatnya, kepentingan memelihara dan mengatur hubungan

yang bermanfaat demikian merupakan suatu kepentingan bersama. 9

Oleh karena kepentingan tersebut menyangkut kepentingan banyak negara,

maka perlu diatur melalui hukum internasional agar kepentingan masing-masing

negara dapat terjamin. Hukum internasional sebagaimana yang dimaksud diatas,

dapat diimplementasikan dalam bentuk suatu perjanjian internasional, dimana

suatu negara dapat mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian internasional itu

sendiri dengan negara lain atau bahkan dengan suatu organisasi internasional.

Perjanjian internasional yang dimaksud adalah seperti yang tercantum pada Pasal

2 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, yang berbunyi: 10“treaty,

means an international agreement concluded between States in written form and

governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two

or more related instruments and whatever its particular designation”


9
op.cit, Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, hlm. 13
10
Bung Pokrol, Konvensi Wina 1969 Induk Pengaturan Perjanjian Internasional?, dikutip
dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4268/konvensi-wina-1969-induk-pengaturan-
perjanjian-internasional?, diakses pada tanggal 18 Maret 2015 pukul 18.06 WIB. Vienna
Convention on the Law of Treaties 1969 (Vienna Convention 1969) mengatur mengenai Perjanjian
Internasional Publik antar Negara sebagai subjek utama hukum internasional. Konvensi ini
pertama kali open for ratification pada tahun 1969 dan baru entry into force pada tahun 1980.
Sebelum adanya Vienna Convention 1969 perjanjian antar negara, baik bilateral maupun
multilateral, diselenggarakan semata-mata berdasarkan asas-asas seperti, good faith, pacta sunt
servanda dan perjanjian tersebut terbentuk atas consent dari negara-negara di dalamnya.
Singkatnya sebelum keberadaan Vienna Convention 1969, Perjanjian Internasional antar Negara
diatur berdasarkan kebiasaan internasional yang berbasis pada praktek Negara dan keputusan-
keputusan Mahkamah Internasional atau Mahkamah Permanen Internasional (sekarang sudah tidak
ada lagi) maupun pendapat-pendapat para ahli hukum internasional (sebagai perwujudan dari
opinio juris).
Perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi perjanjian internasional

tertulis dan perjanjian internasional tidak tertulis. 11Perjanjian internasional tertulis

adalah setiap perjanjian internasional yang dituangkan dalam instrumen-instrumen

pembentuk perjanjian yang tertulis dan formal.Maksudnya adalah perjanjian ini

dituangkan dalam suatu instrumen tertulis yang pembentukannya memiliki

prosedur atau aturan tertentu berdasarkan hukum internasional, sehingga

instrumen tertulis itu menjadi instrumen otentik. Instrumen-instrumen tertulis ini,

sebagai contoh, antara lain: konvensi (convention), protokol (protocol),

persetujuan (agreement), statuta (statute), deklarasi (declaration), dan sebagainya.

Sedangkan, perjanjian internasional tidak tertulis dapat diartikan sebagai setiap

perjanjian internasional yang dibuat melalui instrumen-instrumen tidak

tertulis.Instrumen tidak tertulis dapat berupa ucapan lisan, tindakan tertentu dari

negara atau subjek hukum internasional lainnya dan tulisan yang pembentukannya

tidak melalui atau membutuhkan prosedur tertentu. 12

Sebagai subjek hukum internasional penuh, setiap negara memiliki

kemampuan membentuk perjanjian internasional.Hal ini berbeda dengan

organisasi internasional, karena tidak semua organisasi internasional mempunyai

kemampuan tersebut. Perbedaan ini terlihat apabila Pasal 6 Vienna Convention

1969, yang menentukan: 13Every State possesses capacity to conclude treaties,

dibandingkan dengan Pasal 6 Vienna Convention 1986, yang berbunyi: 14The

11
F. A. Whisnu Situni, Indentifikasi dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum
Internasional, Bandung: CV. Mandar Maju, 1989, hlm. 32
12
op. cit, Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, hlm. 33
13
ibid., hlm. 34
14
Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International
Organizations or between International Organizations 1986
capacity of an international organization to conclude treaties is governed by the

rules of that organization.

Suatu organisasi internasional dibentuk dan didirikan melalui suatu

konferensi internasional yang menghasilkan perjanjian internasional yang

merupakan anggaran dasarnya yang biasa disebut piagam, covenan, atau statuta,

atau dengan istilah yang lebih umum disebut juga dengan konstitusi dari

organisasi internasional.Atas dasar piagam atau konstitusinya itulah suatu

organisasi internasional didirikan.Di dalam piagamnya itu ditentukan tentang

asas-asas dan tujuan dari organisasi internasional maupun organ-organ serta

mekanisme bekerjanya. 15

Meskipun anggota-anggotanya adalah negara-negara, tetapi kedudukan

organisasi internasional itu tidaklah diatas negara, melainkan sejajar atau sederajat

dengan negara-negara.Justru karena kedudukannya yang sederajat dengan negara-

negara itulah, maka organisasi internasional dapat mengadakan dan terlibat dalam

hubungan-hubungan internasional, seperti halnya negara dan subyek hukum

internasional lainnya. Atau seperti dikemukakan G. I. Tunkin: “international

organizations are not situated above international relations, but are within the

system of these relations”. 16

Hak, kekuasaan, dan kewenangan suatu organisasi internasional dalam

mengadakan hubungan-hubungan internasional atau menjadi pihak dalam suatu

perjanjian internasional, terbatas pada bidang dan ruang lingkup kegiatannya atau

apa yang menjadi maksud dan tujuan dari organisasi internasional itu
15
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bag:1, Bandung: CV. Mandar
Maju, 2002, hlm. 22
16
ibid
sendiri. 17Misalnya ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) sebagai

salah satu organisasi internasional regional di kawasan Asia Tenggara.ASEAN

yang dibentuk pada tanggal 8 Agustus 1967 pada hakikatnya merupakan

organisasi regional yang tertutup (closed regional organization) karena

keanggotaannya tidak terbuka untuk kelompok negara-negara

lainnya.Keanggotaan ASEAN hanya negara-negara yang termasuk di dalam

kawasan Asia Tenggara. 18 Sebagaimana ketentuan dalam isi Bangkok Declaration

keempat: “… the association is open for participation to all States in the South-

East Asian Region…” 19

Kewenangan ASEAN dalam mengadakan hubungan-hubungan

internasional pun terbatas pada tujuan pembentukan ASEAN itu sendiri yang

tercantum dalam Bangkok Declaration, yaitu:

1. To accelerate the economic growth, social progress and cultural


development in the region through joint endeavours in the spirit of
equality and partnership in order to strengthen the foundation for a
prosperous and peaceful community of South-East Asian Nations;
2. To promote regional peace and stability through abiding respect for
justice and the rule of law in the relationship among countries of the
region and adherence to the principles of the United Nations Charter;
3. To promote active collaboration and mutual assistance on matters of
common interest in the economic, social, cultural, technical, scientific
and administrative fields;
4. To provide assistance to each other in the form of training and
research facilities in the educational, professional, technical and
administrative spheres;

17
ibid., hlm. 23
18
Anggota IKAPI, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional, PT Alumni, Bandung,
1997, hlm. 83
19
The ASEAN Declaration (Bangkok Declaration), Bangkok 8 Agustus 1967 merupakan
landasan kesepakatan untuk mengadakan kerja sama regional dalam bidang ekonomi, sosial dan
kebudayaan di Asia Tenggara. Deklarasi ini ditandatangani oleh ketua delegasi dari lima negara
yang terdiri dari Adam Malik (Menteri Luar Negeri Indonesia), Tun Abdul Razak (Wakil Perdana
Menteri Malaysia), Narciso Ramos (Menteri Luar Negeri Filipina), S. Rajaratnam (Menteri Luar
Negeri Singapura) dan Thanat Khoman (Menteri Luar Negeri Thailand). Dalam deklarasi tersebut
dinyatakan pendirian perhimpunan di kawasan Asia Tenggara (ASEAN).
5. To collaborate more effectively for the greater utilization of their
agriculture and industries, the expansion of their trade, including the
study of the problems of international commodity trade, the
improvement of their transportation and communications facilities and
the raising of the living standards of their peoples;
6. To promote South-East Asian studies;
7. To maintain close and beneficial cooperation with existing
international and regional organizations with similar aims and
purposes, and explore all avenues for even closer cooperation among
themselves. 20

Disamping itu, untuk diakui statusnya di dalam hukum internasional baik

sebagai organisasi internasional maupun organisasi regional, suatu organisasi

memerlukan tiga syarat penting.Pertama, adanya persetujuan internasional. Dalam

pembentukan ASEAN, para negara pendirinya, yaitu Indonesia, Malaysia,

Filipina, Singapura dan Thailand membentuk ASEAN tanpa perjanjian atau

persetujuan yang akan diratifikasi oleh anggotanya melainkan hanya dengan suatu

Deklarasi yang ditandatangani oleh kelima wakil negara tersebut. Dengan

demikian, adanya persetujuan internasional dalam arti multilateral adalah tidak

mutlak. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Henry G. Scohremen:

“Agreements between States can be expressed in other ways. Their

representatives assembled in a conference, may decide to establish a

public international organization without using the form of a treaty and

without the usual proviso for subsequent ratification by each of States” 21

Kedua, harus memiliki badan-badan penggerak organisasi atau struktur

organsasi. Dalam hal ini, ASEAN telah membentuk badan-badan seperti Sidang

Tahunan Menteri Luar Negeri (Annual Meeting of Foreign Ministers) yang

20
Hasnil Basri Siregar, Hukum Organisasi Internasional, Kelompok Studi Hukum dan
Masyarakat, Fakultas Hukum USU, Medan, 1994, hlm. 145
21
op.cit, Henry G. Scohremen, sebagaimana dikutip oleh Anggota IKAPI, hlm. 84
merupakan badan tertinggi dari ASEAN yang diadakan secara bergiliran di

ibukota masing-masing negara anggota, Standing Committee yang melakukan

tugas-tugas ASEAN selama antar Sidang Menteri-Menteri Luar Negeri ASEAN,

Ad HocCommittee dan Permanent Committees serta Sekretariat Nasional yang

dibentuk di setiap negara anggota.

Ketiga, pembentukannya harus dibawah hukum internasional. Jika dilihat

baik Bangkok Declaration 1997, Kuala Lumpur Declaration 1971, Declaration of

ASEAN Concord 1976, Agreement on the Establishment of the ASEAN Secretariat

1976 maupun Treaty of Amity and Cooperation in South East Asia 1976,

semuanya adalah merupakan persetujuan-persetujuan internasional antara kelima

negara anggotanya yang mengikat secara hukum internasional.

Kembali merujuk pada syarat kedua, dalam pendirian ASEAN diperlukan

suatu badan yang berfungsi sebagai badan administratif yang membantu

koordinasi kegiatan ASEAN dan menyediakan jalur komunikasi antara negara-

negara anggota ASEAN dengan berbagai badan dan komite dalam ASEAN, serta

antara ASEAN dengan negara-negara lain (Mitra Wicara ASEAN) maupun

organisasi lainnya.Oleh karena itu pada KTT ke-1 ASEAN di Bali tahun 1976,

para Menteri Luar Negeri ASEAN menandatangani Agreement on the

Establishment of the ASEAN Secretariat. Sekretariat ASEAN berfungsi sejak

tanggal 7 Juni 1976, dikepalai oleh seorang Sekretaris Jenderal, dan berkedudukan

di Jakarta yang semula bertempat di Departemen Luar Negeri Republik Indonesia

hingga diselesaikannya pembangunan gedung Sekretariat ASEAN di Jakartatahun

1981.
Selanjutnya untuk memperkuat Sekretariat ASEAN, para Menteri Luar

Negeri ASEAN mengamandemen Agreement on the Establishment of the ASEAN

Secretariat melalui sebuah protokol di Manila tahun 1992. Protokol tersebut

menaikkan status Sekretariat Jenderal sebagai pejabat setingkat Menteri dan

memberikan mandat tambahan untuk memprakarsai, memberikan nasihat,

melakukan koordinasi, dan melaksanakan kegiatan-kegiatan ASEAN. 22

Di dalam pendirian Sekretariat ASEAN, tentu saja hal ini tidak terlepas

dari perjanjian internasional yang dibuat antara ASEAN dengan negara tuan

rumah (host country) yang mana adalah Indonesia. Perjanjian ini dikenal dengan

Host Country Agreement.Host Country Agreement tersebut memuat kapasitas

hukum ASEAN di Indonesia, tanggung jawab para pihak, perlindungan terhadap

tempat, pemberian Privileges and Immunities, serta siapa saja pihak yang

mendapatkan Privileges and Immunties tersebut.

Berdasarkan uraian diatas, maka dirasa penting untuk mengkaji lebih

lanjut bagaimana status perjanjian internasional yang dibuat antara ASEAN

dengan Indonesia dalam hal pendirian Sekretariat ASEAN yang berada di Jakarta

saat ini, sehingga melatarbelakangi penulis untuk memberikan judul: Status

Perjanjian Internasional Antara Indonesia dengan ASEAN dalam Pendirian

Sekretariat ASEAN di Jakarta terkait dengan Host Country Agreement

(HCA).

B. Perumusan Masalah

22
Visensia Evitaria, ASEAN, dikutip dari http://visenmargabanjar.blogspot.com/2013
/02/vbehaviorurldefaultvmlo.html, diakses tanggal 5 Mei 2015 pukul 18.44 WIB
Berdasarkan judul dan latar belakang yang penulis paparkan, adapun

permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana kedudukan ASEAN sebagai suatu organisasi internasional

regional menurut hukum internasional?

2. Bagaimana keberadaan Host Country Agreement dalam masyarakat

internasional kaitannya dengan pembuatan Sekretariat ASEAN di Jakarta?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan

skripsi ini antara lain:

1. Untuk mengetahui kedudukan ASEAN sebagai suatu organisasi

internasional regional menurut hukum internasional.

2. Untuk mengetahui keberadaan Host Country Agreement di dalam

masyarakat internasional terkait dengan pembuatan Sekretariat ASEAN di

Jakarta.

Manfaat Penelitian

Secara praktis dapat memberikan pengertian dan informasi tentang

bagaimana kedudukan ASEAN sebagai suatu organisasi internasional regional

menurut hukum internasional. Selain itu, kiranya kehadiran tulisan ini mampu

memberikan sumbangan pemikiran dan pengembangan ilmu hukum internasional

dan juga menjadi sebuah persembahan bagi masyarakat luas terkhusus untuk

mahasiswa-mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Hukum Universitas Sumatera


Utara agar dapat memahami bagaimana keberadaan Host Country Agreement

dalam perjanjian pendirian Sekretariat ASEAN di Indonesia.

D. Keaslian Penelitian

Penelitian ini adalah asli, sebab ide, gagasan pemikiran dalam penelitian

ini bukan merupakan hasil ciptaan atau hasil penggandaan dari karya tulis orang

lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu. Demikian penelitian ini dapat

dipertanggungjawabkan keasliannya dan belum pernah ada judul yang sama,

demikian juga dengan pembahasan yang diuraikan berdasarkan pemeriksaan oleh

Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara/Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara tertanggal 11 September 2014. Dalam hal mendukung penelitian

ini, dipakai pendapat-pendapat para sarjana yang ada hubungannya dengan

masalah dan pembahasan yang disajikan.

E. Tinjauan Kepustakaan

Penelitian ini memperoleh bahan tulisannya dari berbagai sumber yang

dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan berupa buku-buku, laporan-

laporan, dan informasi dari internet. Untuk itu akan diberikan penegasan dan

pengertian dari judul penelitian yang diambil dari sumber-sumber yang

memberikan pengertian terhadap judul penelitian ini, yang ditinjau dari sudut

etimologi dan pengertian-pengertian lainnya dari sudut ilmu hukum maupun dari

pendapat para sarjana, sehingga mempunyai arti yang lebih tegas.

Pengertian judul “STATUS PERJANJIAN INTERNASIONAL

ANTARA INDONESIA DENGAN ASEAN DALAM PENDIRIAN


SEKRETARIAT ASEAN DI JAKARTA TERKAIT DENGAN HOST

COUNTRY AGREEMENT (HCA)” dapat diartikan secara etimologis:

Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota

masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum

tertentu.Jadi termasuk di dalamnya perjanjian antar negara dan perjanjian antara

suatu organisasi internasional dengan organisasi internasional lannya.Juga dapat

dianggap sebagai perjanjian internasional, perjanjian yang diadakan antara Tahta

Suci dengan negara-negara. Sebaliknya tidak dapat dianggap sebagai perjanjian

internasional dalam arti diutarakan di atas perjanjian internasional dalam arti

diutarakan di atas perjanjian tidak adil (unequal treaties) yang pernah diadakan di

masa lampau, contohnya serikat-serikat dagang yang besar, seperti East India

Company dan Verenigde Oost Companiedengan kepala-kepala negeri bumi

putera. 23Dari uraian ini jelaslah dikemukakan bahwa untuk dapat dinamakan

perjanjian internasional, suatu perjanjian harus diadakan oleh subyek hukum

internasional yang juga merupakan anggota masyarakat internasional.

Perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi beberapa golongan,

seperti: 24

1. Perjanjian Internasional Ditinjau dari Jumlah Pesertanya

Dalam pembuatan suatu perjanjian internasional, dapat dilakukan oleh

dua negara, tiga, maupun lebih dari itu.Secara garis besar dapat

dikelompokkan menjadi dua, yakni perjanjian internasional bilateral yaitu

perjanjian internasional yang jumlah peserta atau pihak-pihak yang terikat di


23
T. May Rudy, Hukum Internasional, Bandung: PT Refika Aditama, 2006, hlm. 4
24
I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Mandar Maju, 2003,
hlm. 210
dalamnya terdiri atas dua negara saja, serta perjanjian internasional

multilateral yaitu perjanjian internasional yang peserta atau pihak-pihak yang

terikat di dalam perjanjian itu lebih dari dua negara.

Perbedaan antara perjanjian bilateral dan perjanjian multilateral ini

berkaitan dengan masalah persyaratan, dan sifat atau hakekat dari kaidah

hukum yang dapat timbul/lahir dari isi perjanjian tersebut. Dalam perjanjian

bilateral, kedua pihak harus tunduk secara penuh atau secara keseluruhan

terhadap semua isi/pasal dari perjanjian tersebut atau sama sekali tidak mau

tunduk sehingga perjanjian tersebut tidak akan pernah mengikat dan berlaku

sebagai hukum positif. Sedangkan dalam perjanjian multilateral, negara-

negara yang hendak mengikatkan dirinya dapat mengajukan persyaratan

sepanjang tidak secara tegas dilarang oleh perjanjian itu dan sepanjang tidak

bertentangan dengan maksud dan tujuan perjanjian tersebut.Dengan

demikian, tunduk atau terikatnya suatu negara pada suatu perjanjian

internasional tidak perlu harus secara penuh, tanpa merombak atau merubah

lagi rumusan naskah atau pasal-pasal yang telah dihasilkan.

2. Perjanjian Internasional Ditinjau dari Kaidah Hukum yang Dilahirkannya

Ditinjau dari kaidah hukum yang dilahirkannya, perjanjian

internasional terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Perjanjian internasional yang melahirkan kaidah hukum yang khusus

berlaku bagi pihak-pihak yang bersangkutan, atau yang lazim disebut

treaty contract atau perjanjian khusus.


b. Perjanjian internasional yang melahirkan kaidah-kaidah hukum yang

berlaku umum atau yang terbuka bagi pihak ketiga, atau disebut law

making treaty atau perjanjian umum.

3. Perjanjian Internasional yang Ditinjau dari Prosedur atau Tahap

Pembentukannya.

Ditinjau dari prosedur atau tahap pembentukannya, maka suatu

perjanjian internasional dapat dibedakan antara:

a. Perjanjian Internasional yang Melalui Dua Tahap.

Kedua tahap ini adalah tahap perundingan (negotiation) dan

tahap penandatanganan (signature).Dalam tahap perundingan, wakil-

wakil para pihak bertemu dalam suatu forum atau tempat yang secara

khusus membahas dan merumuskan pokok-pokok masalah yang

dirundingkan itu.Selanjutnya pada tahap kedua yaitu tahap

penandatanganan, maka perjanjian itu telah mempunyai kekuatan

mengikat bagi para pihak yang bersangkutan.Dengan demikian, tahap

terakhir ini mempunyai makna sebagai pengikatan diri dari para pihak

terhadap naskah perjanjian yang telah disepakati itu.

b. Perjanjian Internasional yang Melalui Tiga Tahap

Pada jenis perjanjian internasional ini, ditambahkan satu tahap

terakhir yaitu tahap pengesahan (ratification).Pada tahap ini, agar

perjanjian yang telah ditandatangani oleh wakil-wakil tersebut mengikat

bagi para pihak, maka wakil-wakil tersebut harus mengajukan pada


pemerintah negaranya masing-masing untuk disahkan atau

diratifikasi.Jadi, dengan dilaluinya tahap pengesahan dan tahap

ratifikasi ini, barulah perjanjian itu dapat berlaku atau mengikat bagi

para pihak yang bersangkutan.

4. Perjanjian Internasional Ditinjau dari Jangka Waktu Berlakunya

Pembedaan atas perjanjian internasional berdasarakan atas jangka

waktunya, secara mudah dapat diketahui pada naskah perjanjian itu

sendiri.Sebab tentang jangka waktu berlakunya ini, di dalam beberapa

perjanjian internasional ditentukan secara tegas. Misalnya, untuk jangka

waktu lima tahun, sepuluh tahun dan seterusnya.

ASEAN adalah suatu Perhimpunan Regional dari negara-negara

merdeka di kawasan Asia Tenggara yang didirikan di Bangkok pada 8

Agustus 1967, dengan ditanda-tanganinya Deklarasi ASEAN oleh negara-

negara pendirinya yakni Republik Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura,

dan Thailand. Ke lima negara ini selain merupakan negara pendiri ASEAN,

mereka juga merupakan negara-negara anggota ASEAN yang pertama. Hal

ini mengingat bahwa menurut Deklarasi ASEAN, Perhimpunan Regional ini

keanggotaannya terbuka bagi semua negara yang berada di kawasan Asia

Tenggara, dengan syarat bahwa mereka harus menyetujui dasar-dasar dan

tujuan organisasi ini sebagaimana yang tercantum di dalam Deklarasi

ASEAN. 25

25
1967-1977 Dasawarsa ASEAN, Sekretariat Nasional ASEAN Departemen Luar Negeri
Republik Indonesia, hlm. 93
Sekretariat adalah bagian organisasi yang menangani pekerjaan dan

urusan yang menjadi tugas sekretaris; kepaniteraan. 26Sekretariat ASEAN

didirikan pada Februari 1976 oleh Menteri Luar Negeri ASEAN. Pada

awalnya Sekretariat ASEAN bertempat di Departemen Luar Negeri Indonesia

di Jakarta, kemudian berpindah ke Jalan Sisingamangaraja 70A, Jakarta

setelah diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia, H.E. Soeharto pada

tahun 1981. 27

Host Country Agreement adalah perjanjian yang mengatur kewajiban

masing-masing pihak, serta memberikan status hukum, hak-hak khusus, dan

imunitas kepada organisasi internasional untuk menjalankan fungsinya di

wilayah kedaulatan dari negara tuan rumah(host state). 28 Dalam hal Host

Country Agreement antara Indonesia dengan ASEAN ini, ditetapkanlah tugas

dan tanggung jawab dari para pihak serta hak istimewa dan kekebalan, yang

diberikan oleh Pemerintah Indonesia untuk ASEAN, termasuk Sekretariat,

untuk memungkinkannya melakukan fungsi dan tugasnya secara efektif. 29

F. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang akan ditempuh dalam memperoleh data-

data atau bahan-bahan dalam penelitian meliputi:

26
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, 2008, dimuat dalam
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php, diakses pada tanggal 15 Mei 2015 pukul
17.40 WIB
27
ASEAN Secretariat http://www.asean.org/asean/asean-secretariat, diakses pada tanggal
15 Mei 2015 pukul 18.08 WIB
28
Andin Aditya Rahman, Tentang Headquarters Agreement dan Kebiasaan Internasional,
dikutip dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5055e47a63ce3/tentang-headquarters-
agreement-dan-hukum-kebiasaan-internasional, diakses pada tanggal 15 Mei 2015 pukul 19.09
WIB
29
ASEAN Secretariat News, Indonesia and ASEAN Sign Host Country Agreement, dikutip
dari http://www.asean.org/news/asean-secretariat-news/item/indonesia-and-asean-sign-host-
country-agreement, diakses pada tanggal 15 Mei 2015 pukul 19.13 WIB
1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian yuridis normatif yakni penelitian yang mengacu pada norma-norma

hukum yang terdapat dalam berbagai perangkat peraturan perundang-

undangan, yang antara lain berupa konvensi internasional ataupun perundang-

undangan nasional Indonesia serta bahan-bahan hukum lain.

2. Sifat Penelitian

Dilihat dari sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif yang

menggambarkan masalah dengan cara menjabarkan fakta secara sistematis,

faktual, dan akurat. 30 Penelitian deskriptif juga merupakan penelitian yang

berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi

atau hubungan baik yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang

sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau tentang

kecenderungan yang tengah berlangsung.

Penelitian deksriptif juga dirancang untuk memperoleh informasi

tentang status suatu gejala saat penelitian dilakukan dan penelitian deskriptif

tidak ada perlakuan yang diberikan atau dikendalikan, serta tidak ada uji

hipotesis sebagaimana yang terdapat dalam penelitian eksperimen.

3. Data Penelitian

Sumber data yang diperoleh berasal dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang

termasuk dalam sumber-sumber hukum internasional yang mencakup

30
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2001, hlm.
36
perjanjian atau konvensi internasional, misalnya yang terdapat dalam

Vienna Convention on the Law of Treaties between States and

International Organizations or between International Organizations

1986, serta berbagai konvensi lainnya dan peraturan perundang-

undangan nasional yang terdapat di Indonesia.

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer, seperti: buku-buku, termasuk jurnal hukum, serta hasil-

hasil penelitian.

c. Bahan hukum tersier, bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus

Hukum, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

4. Teknik Pengumpulan Data

Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian

yuridis normatif dan mempergunakan data sekunder, maka penelitian ini

mengacu kepada Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu

mempelajari serta mengumpulkan data yang diperoleh dari buku-buku yang

menulis tentang ASEAN, baik karangan dalam negeri maupun luar negeri,

serta peraturan-peraturan yang mengaturnya secara internasional seperti

ASEAN Charter.

5. Analisis Data

Pada penelitian hukum normatif, pengolahan data pada hakikatnya

merupakan kegiatan untuk mengadakan sistemasi terhadap bahan-bahan

hukum tertulis.Sistematisasi berarti membuat klarifikasi terhadap bahan-


bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan

konstruksi.

G. Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penulisan ini, penulis ingin menjabarkan secara singkat

mengenai isi dari skripsi ini. Skripsi ini terbagi dalam empat bab. Berikut

dijabarkan garis besar atau sistematika penulisan dari penelitian ini yaitu:

BAB I PENDAHULUAN

Di dalam bab ini terdapat latar belakang penulisan,

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian

penulisan, tinjauan pustaka, metode pengumpulan data serta

sistematika penulisan skripsi.

BAB II KEDUDUKAN ASEAN SEBAGAI SUATU

ORGANISASI INTERNASIONAL REGIONAL

MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

Di dalam bab ini dibahas mengenai sejarah terbentuknya

ASEAN, tugas dan wewenang ASEAN, serta kedudukan

ASEAN sebagai suatu organisasi internasional regional

menurut hukum internasional.


BAB III KEBERADAAN HOST COUNTRY AGREEMENT DI

DALAM MASYARAKAT INTERNASIONAL

TERKAIT DENGAN PENDIRIAN SEKRETARIAT

ASEAN DI JAKARTA

Di dalam bab ini dibahas mengenai Host Country

Agreement dan perkembangannya dalam masyarakat

internasional, Host Country Agreement sebagai dasar

pendirian Sekretariat organisasi di suatu negara, pemberian

Privileges and Immunities dalam Host Country Agreement

terkait dengan pendirian Sekretariat ASEAN di Jakarta,

serta keberadaan Sekretariat ASEAN di Jakarta.

BAB IV PENUTUP

Pada bab ini berisikan kesimpulan dan saran-saran terkait

dengan perjanjian internasional antara ASEAN dan

Indonesia dalam pendirian Sekretariat ASEAN di Jakarta

dikaitkan dengan Host Country Agreement.

Anda mungkin juga menyukai